TINJAUAN PUSTAKA
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insidennya menduduki tempat
ketiga dan berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi. Frekuensi terjadinya ektima
berdasarkan umur biasanya terdapat pada anak-anak dan orang tua, tidak ada perbedaan ras
dan jenis kelamin (pria dan wanita sama). Pada anak-anak kebanyakan terjadi pada umur 6
bulan sampai 18 tahun. Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat
kebersihan dari pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab
yang paling terpenting untuk perbedaan angka serangan, beratnya lesi, dan dampak sistemik
yang didapatkan pada pasien ektima. Ektima merupakan penyakit kulit berupa ulkus yang
paling sering terjadi pada orang-orang yang sering bepergian (traveler). Pada suatu studi
kasus di Perancis, ditemukan bahwa dari 60 orang wisatawan, 35 orang (58%) diantaranya
mendapatkan infeksi bakteri, dimana bakteri terbanyak yang ditemukan yaitu
Staphylococcus aureus dan Streptococcus B-hemolyticus grup A yang merupakan
penyebab dari penyakit kulit impetigo dan ektima. Dari studi kasus ini pula, ditemukan
bahwa kebanyakan wisatawan yang datang dengan ektima memiliki riwayat gigitan serangga
(73%). Di daerah perkotaan, lesi-lesi pada ektima disebabkan stafilokokus aureus dan
didapatkan pada pengguna obat-obatan intravena dan pasien terinfeksi HIV.3
ETIOLOGI
Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A . Status bakteriologi dari ektima pada dasarnya
mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap sebagai infeksi Streptococcus, karena pada
banyak kasus didapatkan kultur murni Streptococcus pyogenes. Ini didasarkan pada
isolasi Streptococcus dan Staphylococcus dan dari beberapa Staphylococcus saja.
Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau menginfeksi secara
sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya kerusakan jaringan (seperti ekskoriasi,
gigitan serangga, dermatitis) dan keadaan imunokompromis (seperti diabetes dan
neutropenia) merupakan predisposisi pada pasien untuk timbulnya ektima. Faktor
faktor predisposisi terjadinya ektima antara lain: gizi, hygiene perorangan atau
lingkungan, iklim, underlying disease misalnya diabetes melitus, atopik, trauma dan penyakit
kronik.1,3,4,5
2.3 PATOFISIOLOGI
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan sistemik.
Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga terkenal sebagai bakteri
patogen untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang
paling sering ditemukan pada manusia. Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan
bakteri ini resisten terhadap fagositosis.1,5,6
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes menghasilkan beberapa toksin yang
dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik. Gejala sistemik dan lokal
dimediasi oleh superantigens (SA). Antigen ini bekerja dengan cara berikatan
langsung pada molekul HLA-DR (Mayor Histocompability Complex II (MHC II)) pada
antigen-presenting cell tanpa adanya proses antigen. Walaupun biasanya antigen
konvensional memerlukan interaksi dengan kelima elemen dari kompleks reseptor sel T,
superantigen hanya memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B. Aktivasi non spesifik
dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF- ), α Interleukin-
1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini menyebabkan gejala klinis
berupa demam, ruam eritematous, hipotensi, dan cedera jaringan.1,3
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopi
memainkan peranan penting dalam patogenesis dari infeksi Staphylococcus. Adanya trauma
ataupun inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga
menjadi faktor yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh
bakteri ini.1,3,7
2.5 DIAGNOSIS
2.5.1 Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak bawah. Pasien
biasanya menderita diabetes dan orang tua yang kurang memperhatikan kebersihan dirinya.
Anamnesis ektima, antara lain1,3,5
1. Keluhan utama,pasien datang dengan keluhan berupa luka.
2. Durasi. Ektima dapat terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma berulang, seperti
gigitan serangga.
3. Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang, seperti tungkai
bawah.
4. Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah membentuk ulkus
yang tertutup krusta.
5. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, diabetes melitus dapat menyebabkan
penyembuhan luka yang lama.
Gambar 2. Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus dangkal1
Gambar 4. Impetigo.Eritema dan krustosa yang tersebar pada seluruh daerah sentrofasial1
2.7 KOMPLIKASI
Ektima jarang menyebabkan gejala sistemik. Komplikasi invasif pada infeksi kulit
streptokokus termasuk selulitis, erysipelas, gangren, limfadenitis supuratif dan
bakterimia.1,9
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ektima, antara lain
2.8.1 Nonfarmakologi
Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan sabun antibakteri
dan sering mengganti seprei, handuk, dan pakaian.3
2.8.2 Farmakologi
Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi.
a. Sistemik
Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas. Pengobatan sistemik dibagi
menjadi pengoatan lini pertama dan pengobatan lini kedua.1,2,3
1) Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)
- Dikloksasilin. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
Anak : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.
- Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
- Sefalosporin generasi pertama, seperti Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama
10 hari atau sefadroksil 2 x 10-15 mg/kgBB selama 5-7 hari
2) Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
- Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari
- Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
- Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari. Anak : 12,5 - 50
mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.
b. Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika luas maka
digunakan pengobatan sistemik. Neomisin, asam fusidat 2%, mupirosin, dan
basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan secara topikal.1,3,7,9
Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan efektif yang tidak digunakan secara
sistemik, yang menyebabkan reaksi kulit minimal, dan memiliki angka resistensi
bakteri yang rendah sehingga menjadi terapi antibiotik lokal yang valid. Neomisin dapat larut
dalam air dan memiliki kestabilan terhadap perubahan suhu. Neomisin memiliki efek
bakterisidal secara in vitro yang bekerja spektrum luas gram negatif dan gram positif. Efek
samping neomisin berupa kerusakan ginjal dan ketulian timbul pada pemberian secara
parenteral sehingga saat ini penggunaannya secara topical dan oral.4,6
2.9 PROGNOSIS
Ektima sembuh secara perlahan, tetapi biasanya meninggalkan jaringan parut (skar).2,3
2.10 PENCEGAHAN
Memberi penjelasan kepada pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan badan dan
lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit kulit.1,3,4,7
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
a) Keadaan umum
Kesan sakit : Sakit sedang.
Berat badan : 60 kg.
Tinggi badan : 170 cm.
BMI : 20,7 (Gizi Baik).
b) Tanda vital
Abdomen :
Inspeksi : Tampak simetris, distensi(-), ikterus (-), sikatrik (-),
pelebaran vena (-), darm steifung (-), darm countur (-),
Palpasi : Hepar/lien/ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas : edema (-), akral dingin (-), sesuai dengan effloresensi kulit
d) Status dermatologis
Distribusi : Regional
Regio : Dorsum pedis dekstra
Konfigurasi : Diskret
Efloresensi primer : Pustul dan pustul yang telah pecah
Warna : Eritematosa
Ukuran : Lentikuler
Jumlah : Multipel
Efloresensi sekunder : Ekskoriasi, ulkus, krusta
Impetigo krustosa
3.7 Terapi
Medikamentosa
Gentamycin SK
Cetirizine 2 x 10 mg
Non medikamentosa
Menjaga hygine dengan mandi teratur dan mencuci pakaian yang bersih, dan selalu
menggunakan alas kaki, serta menggunakan sepatu boot saat bekerja di sawah maupun
cetirizine 2 x 10 mg untuk meringankan keluhan gatal, pasien diberikan edukasi untuk tidak
menggaruk lesi. Menjaga hygine dengan mandi teratur dan mencuci pakaian yang bersih,
dan selalu menggunakan alas kaki, serta menggunakan sepatu boot saat bekerja di sawah
maupun saat mengurus ternak. Menasehati agar teratur mengkonsumsi obat sesuai anjuran
dokter.
Prognosis ektima secara ad vitam adalah baik, ektima sembuh secara perlahan.
Namun secara kosmetik prognosisnya buruk karena ektimadapat meninggalkan bekas lesi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang dipengaruhi oleh faktor risiko kebersihan.
sehingga perlu diajarkan untuk cara menjaga kebersihan diri sendiri dan lingkungan.
Menjelaskan mengenai gejala-gejala ektima, seperti adanya luka yang mengandung
pus, serta akan terbentuk ulkus dangkal, menjelaskan kepada pasien untuk segera
berobat apabila terdapat luka seperti gejala-gejala ektima, menjaga kebersihan luka
serte daerah sekitar luka, tidak memberikan obat-obatan tradisional pada luka yang
sedang meradang karena akan menambah munculnya infeksi sekunder.
Menjelaskaan bagaimana menjaga hygine pribadi dan lingkungan seperti cara
mencuci tangan, membersihkan badan pulang dari bekerja, membersihkan tempat
tidur, serta membuka jendela kamar di pagi hari agar kondisi kamar tidur tidak
lembab, dan menghindari kebiasaan menggantung pakaian serta mencampurkan
tempat pakaian kotor dan pakaian bersih.
BAB V
SIMPULAN
1. Craft N, et al. Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma, In: Wolff Klause,
Goldsmith Lowell, Katz Stephen, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 1694-701.
2. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar
tahun 2007.
3. Djuanda A. Pioderma, Dalam: Djuanda A,eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Ke-lamin Edisi 4.
Jakarta: FKUI; 2008. p. 57-60
4. Loretta D. Ecthyma. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com. Dikutip
pada tanggal 6 november 2018
5. Cevasco N.C. Common Skin Infection, Bacterial Infection. Available from: URL:
http://www.clevelandclinicmeded.com. Dikutip pada tanggal 6 november 2018
6. Dennis L, Alan L, Henry F, et al. 2016. Practice Guidline for Diagnosis and Management
of Skin and Soft Tissue Infections: Infectious Diseases Society of America
7. Montravers P, Snauwaert A, Welsch C. Current guidelines and recommendations for the
management of skin and soft tissue infections. Curr. Opin. Infect. Dis. 2016
Apr;29(2):131-8.[PubMed]
8. Boudghene S. Ecthyma. Available from: URL: http://www.therapeutique-
dermatologique.org/spip.php?article1507. Dikutip pada tanggal 2 Desember 2018
9. Vanessa. Ecthyma. Available from: URL: https://www.dermnetnz.org/topics/ecthyma/.
Dikutip pada tanggal 2 Desember 2018
LAMPIRAN DOKUMENTASI