Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENYAKIT SISTEM INTEGUMEN

EKTIMA

Disusun oleh:

ANDI ELSA MULYA PRATIWI

70600118001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2020
EKTIMA

1. DEFINISI
Ektima adalah pioderma kulit ulseratif yang umumnya disebabkan
oleh streptokokus beta hemolitikus. Penyebab lainnya bisa Stafilokokus
atau kombinasi dari keduanya. Menyerang epidermis dan dermis
membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya
terdapat pada tungkai bawah. Ektima memiliki sinonim antara lain
Ulcerative pyoderma, Cutaneous pyoderma, Impetigo, Deep impetigo,
Skin streptococci, Grup A beta-hemolitik streptococci, Ecthymatous ulcer,
Group A streptococci. (Djuanda, 2008)

2. EPIDEMIOLOGI
Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Di Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, insidennya menduduki tempat ketiga dan berhubungan erat
dengan keadaan sosial ekonomi. Frekuensi terjadinya ektima berdasarkan
umur biasanya terdapat pada anak-anak dan orang tua, tidak ada
perbedaan ras dan jenis kelamin (pria dan wanita sama). Pada anak-anak
kebanyakan terjadi pada umur 6 bulan sampai 18 tahun. (Djuanda, 2008)

Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat


kebersihan dari pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan
penyebab yang paling terpenting untuk perbedaan angka serangan,
beratnya lesi, dan dampak sistemik yang didapatkan pada pasien ektima.
(Djuanda, 2008)

Ektima merupakan penyakit kulit berupa ulkus yang paling sering


terjadi pada orang-orang yang sering bepergian (traveler). Pada suatu
studi kasus di Perancis, ditemukan bahwa dari 60 orang wisatawan, 35
orang (58%) diantaranya mendapatkan infeksi bakteri, dimana bakteri

1
terbanyak yang ditemukan yaitu Staphylococcus aureus dan
Streptococcus B-hemolyticus grup A yang merupakan penyebab dari
penyakit kulit impetigo dan ektima. Dari studi kasus ini pula, ditemukan
bahwa kebanyakan wisatawan yang datang dengan ektima memiliki
riwayat gigitan serangga (73%). Di daerah perkotaan, lesi-lesi pada ektima
disebabkan stafilokokus aureus dan didapatkan pada pengguna obat-
obatan intravena dan pasien terinfeksi HIV. (Djuanda & dkk, 2011)

3. ETIOPATOGENESIS
Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya
disebabkan oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A. Status bakteriologi
dari ektima pada dasarnya mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap
sebagai infeksi Streptococcus, karena pada banyak kasus didapatkan
kultur murni Streptococcus pyogenes. Ini didasarkan pada isolasi
Streptococcus dan Staphylococcus dan dari beberapa Staphylococcus
saja. (Widita, 2016)

Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi


kulit dan sistemik. Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus
sp. Juga terkenal sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup
A, B, C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering
ditemukan pada manusia. Kandungan M-protein pada bakteri ini
menyebabkan bakteri ini resisten terhadap fagositosis. (Widita, 2016)

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes menghasilkan


beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala
sistemik. Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA).
Antigen ini bekerja dengan cara berikatan langsung pada molekul HLA-
DR (Mayor Histocompability Complex II (MHC II)) pada antigen-presenting
cell tanpa adanya proses antigen. Walaupun biasanya antigen
konvensional memerlukan interaksi dengan kelima elemen dari
kompleks reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi

2
dengan variabel dari pita B. Aktivasi non spesifik dari sel T menyebabkan
pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1),
dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini menyebabkan gejala
klinis berupa demam, ruam erythematous, hipotensi, dan cedera jaringan.
(Widita, 2016)

Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic


memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi
Staphylococcus. Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka
bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor
yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh
bakteri ini. (Djuanda & dkk, 2011)

4. ANAMNESIS
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak
bawah. Pasien biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak
peduli dengan kebersihan dirinya. (Arta, 2014)

Anamnesis ektima, antara lain (Arta, 2014) :

1. Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.


2. Durasi. Ektima dapat terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma
berulang, seperti gigitan serangga.
3. Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang,
seperti tungkai bawah.
4. Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta
5. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama.

5. PEMERIKSAAN
A. EFLORESENSI

3
Effloresensi ektima awalnya berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta. (Ferringer, 2009)

Gambar 1. Krusta coklat berlapis lapis pada ektima

Gambar 2. Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat


ulkus yang dangkal

B. PEMERIKSAAN FISIK
a. Adanya Ektima mulai sebagai vesikel atau pustule di atas
kulit yang eritematosa, membesar, dan pecah, terbentuk
krusta yang tebal dan kering yang sukar dilepas dari

4
dasarnya. Bila krusta dilepas terdapat ulkus dangkal
berdiameter 0.5cm hingga 2 cm.
b. Krusta bewarna kuning keabuan dan lebih tebal dan keras
dari kusta impetigo
c. Pada ulkus yang lebih dalam dari lapisan dermis tampak
daerah yang menimbul dan indurasi disekeliling tepinya
yang berbatas jelas.Ulkus dikelilingi oleh halo yang eritem
d. Dapat ditemukan adenopati local.
e. Kadang kala dapat ditemukan daerah nekrosis apabila
vesikel pecah dan ulkus tidak kelihatan sehingga lesi
nekrosis hilang. (Ferringer, 2009)

C. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan gram dan kultur. Bahan untuk pemeriksaan bakteri
sebaiknya diambil dengan mengerok tepi lesi yang aktif.
Pemeriksaan dengan gram merupakan prosedur yang paling
bermanfaat dalam mikrobilologi diagnostik ketika dicurigai
adanya infeksi bakteri. Sebagian besar bahan yang diserahkan
harus diapus pada gelas objek, diwarnai gram dan diperiksa
secara mikroskopik. (N craft, 2008)
Pada pemeriksaan mikroskopik, reaksi gram (biru-keunguan
menunjukkan organisme gram positif, merah gram negatif), dan
morfologi bakteri (bentuk: kokus, batang, fusiform atau yang
lain) harus diperhatikan. Pada kultur atau biakan, kebanyakan
streptokokus tumbuh dalam pembenihan padat sebagai koloni
discoid dengan diameter 1-2 mm. Strain yang menghasilkan
bahan simpai sering membentuk koloni mukoid. (N craft, 2008)
Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang
diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses
mulai dari folikel pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh

5
darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN. Infiltrasi
granulomatous perivaskuler yang dalam dan superficial terjadi
dengan edema endotel. Krusta yang berat menutupi permukaan
dari ulkus pada ektima. (N craft, 2008)

Gambar 3. Pioderma
(Neutrofil tersebar pada dasar ulserasi)

6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ektima, antara lain. (Menaldi, 2018):

1. Nonfarmakologi
Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi
menggunakan sabun antibakteri dan sering mengganti seprei,
handuk, dan pakaian.
2. Farmakologi
Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan
mencegah komplikasi

a. Sistemik
Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas.
Pengobatan sistemik dibagi menjadi pengoatan lini pertama
dan pengobatan lini kedua.

1). Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)

6
- Dikloksasilin. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg
selama 5 - 7 hari. Anak : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4
kali/hari.

- Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB

- Sefalosporin generasi pertama, seperti Sefaleksin 40 - 50


mg/kgBB/hari selama 10 hari atau sefadroksil 2 x 10-15
mg/kgBB selama 5-7 hari

2) Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)

- Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4


hari

- Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10


hari

- Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7


hari. Anak : 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.

b. Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi
jika luas maka digunakan pengobatan sistemik.
Neomisin, Asam fusidat 2%, Mupirosin, dan Basitrasin
merupakan antibiotik yang dapat digunakan secara topical.
(Iis, 2010)

Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan efektif


yang tidak digunakan secara sistemik, yang menyebabkan
reaksi kulit minimal, dan memiliki angka resistensi bakteri
yang rendah sehingga menjadi terapi antibiotik lokal yang
valid. Neomisin dapat larut dalam air dan memiliki kestabilan
terhadap perubahan suhu. Neomisin memiliki efek
bakterisidal secara in vitro yang bekerja spektrum luas gram
negatif dan gram positif. Efek samping neomisin berupa

7
kerusakan ginjal dan ketulian timbul pada pemberian secara
parenteral sehingga saat ini penggunaannya secara topical
dan oral. (Iis, 2010).

7. KONSELING DAN EDUKASI


a. Menjaga kebesihan diri dan lingkungan
b. Menghindari bergantian memakai handuk secara bersamaan
c. Mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan
penderita
d. Perbaiki keadaan umum
e. Menghilangkan factor-faktor predisposisi
f. Pada daerah tropis, perhatikan kebersihan dan gunakan
lotion anti serangga untuk mencegah gigitan serangga. (Iis,
2010)

8. PROGNOSIS
Ektima sembuh secara perlahan, tetapi biasanya meninggalkan
jaringan parut (skar). (N craft, 2008)

9. KOMPLIKASI
Ektima jarang menyebabkan gejala sistemik. Komplikasi invasif
pada infeksi kulit streptokokus termasuk selulitis, erysipelas, gangren,
limfadenitis supuratif dan bakterimia. (Djuanda, 2008)

10. CONTOH KASUS


Seorang anak perempuan berusia 13 tahun datang ke poli kulit
diantar oleh kakaknya. Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan
keluhan luka dan gatal di kaki kanan bagian bawah dan punggung kaki
kanan sejak 2 minggu yang lalu, yang awalnya berupa bisul, timbul tiba-
tiba bukan karena gigitan serangga, kemudian bisul pecah dan
mengeluarkan cairan berwarna kekuningan. Yang kemudian semakin

8
parah karena pasien menggaruk. Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda
tanda vital dalam batas normal , pada pemeriksaan dermatologi ditemukan
pustul, batas tegas, multipel, dengan ukuran lentikuler antara 0,5 cm-1 cm,
tersebar. Beberapa pustul pecah meninggalkan ulkus berbentuk bulat,
berbatas tegas, dasar tampak kotor, pinggiran ulkus meninggi, daerah
sekitar ulkus tertutup krusta berwarna kuning kehitaman terdistribusi
regional pada regio tibialis dextra dan dorsal pedis dextra. Riwayat sering
bermain tanpa menggunakan alas kaki. Riwayat panas badan sebelumnya
tidak ada. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga, tidak ada.
Riwayat alergi tidak ada.

9
11. REFERENSI

Arta, I. G. (2014). Ectima : A Case Report. E- Journal Medica Udayana,


Vol.3 No.3 P.5 ISSN 2303-1395.

Djuanda, A. (2008). Pioderma Dalam Ilmu Kulit dan Penyakit Edisi 4 (Vols.
57-60). Jakarta: FK UI.

Djuanda, A., & dkk. (2011). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ferringer, T. (2009). Bacterial Infections. in: Elston DM. Infectious Disease


Of The Skin Spain: Manshon Publishing, 21.

Iis, A. S. (2010). Hubungan Antara Hygiene Peorangan dan Lingkungan


dengan Kejadian Pioderma. Jurnal Kesehatan Lingkungan , Vol.3
No.1 P.24.

Menaldi. (2018). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

N craft, e. a. (2008). Superficialis Cutaneous Infections and Pyoderma. in:


Wolff K, et al, eds. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine,
ed.USA: McGraw-Hill.

Widita, W. d. (2016). Echtyma in atwo years old Choldren caused by


Sreptococcus Non Group A. Indonesian Journal Of Dermatology
and Venereology, Vol.5 No.1 March P 62.

10

Anda mungkin juga menyukai