Anda di halaman 1dari 31

REFLEKSI KASUS

“Pulmonary Oedema”

Pembimbing :
dr. Sri Indah Aruminingsih Sp.Rad

OLEH :

Alfia Nikmah, S.Ked


Alvin Widya Ananda, S.Ked
Farhandika Muhammad, S.Ked
Rachmi Lestari P. Rukmono, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSIITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK
2020
BAB I
STATUS PASIEN

Tanggal : 5 April 2019


IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. YF
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 51 tahun

ANAMNESIS

Keluhan Utama: Sesak Nafas

Keluhan Tambahan: Batuk berdahak, Mengantuk, Gelisah

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien usia 51 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak
tadi pagi. Gejala ini dirasakan saat pasien bangun tidur. Sesak nafas dirasakan
semakin lama semakin memberat. keluhan disertai dengan batuk berdahak
berwarna merah muda. Keluarga pasien memberitahukan bahwa pasien sempat
mengantuk, gelisah, dan tidak ada respon sekitar 30 menit. Setelahnya pasien
tersadar, namun tidak dapat mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Pasien
akhirnya dibawa ke rumah sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat reseksi temporal kanan akibat meningioma 3 tahun yang lalu,


diketahui memiliki riwayat kejang, serta riwayat diabetes mellitus tipe 2
dengan HbA1C terkontrol

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan


Riwayat Pengobatan

Pasien rutin melakukan pengobatan berupa fenitoin 200 mg dua kali sehari,
Lamotrigine 200 mg tiga kali sehari, Metformin atau Sitagliptin 1000 dan 50
mg dua kali sehari.

PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Somnolen
Tekanan Darah : 90/50 mmHg
Nadi : 129 x/menit
Nafas : 28 x/menit
Suhu : 37,30 C
SpO2 : 82 % pada udara ruangan

b. Pemeriksaan Umum
Kelainan Mukosa Kulit / Subkutan yang Menyeluruh
Pucat : positif
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada

c. Kepala
Muka : Simetris, normocephal, pucat (+), ikterik (-)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-), palpebra
edema (-/-), sekret (-/-) mata cekung (-), kornea jernih,
pupil isokor, relfeks cahaya (+/+),
Telinga : Edema (-), Hiperemis (-), serumen (-), discharge (-)
Hidung : Deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-)
Mulut : Sianosis(-), faring berwarna kemerahan, edema (-),abses (-),
bibir pucat (+)
d. Leher
Bentuk : Simetris
Trakea : Di tengah, tidak ada deviasi
KGB : Tidak teraba pembesaran
Vena jugularis : tidak ada pembesaran

e. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV garis midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I – II tidak reguler, murmur (-), gallop (-)

f. Paru-Paru
Anterior Posterior
Sinistra Dextra Sinistra Dextra
Pergerakan Pergerakan Pergerakan
Pergerakan
nafas simetris nafas simetris nafas
Inspeksi nafas simetris
Retraksi Retraksi simetris
intercostal intercostal
Nyeri (-),
Nyeri (-), Nyeri (-), Nyeri (-),
vokal
Palpasi fremitus vokal fremitus vokal fremitus
fremitus
normal normal normal
normal
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Vesikuler +/
Vesikuler +/+ Vesikuler +/+ Vesikuler +/+
Auskultas +
Ronki basah Ronki basah Ronki basah
i Ronki basah
+/+ +/+ +/+
+/+

g. Abdomen
Inspeksi : simetris, ptekie (-), luka (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi :Massa (-), nyeri (-), asites (-), tidak ada pembesaran organ
Perkusi : Timpani, Asites (-)

h. Pemeriksaan Neurologis
Dalam batas Normal, Refleks Patologis (-)

i. Ekstremitas
Superior : Akral dingin, pucat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
Inferior : Akral dingin, pucat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Hematologi Lengkap
No. Indikator Hasil Nilai Rujukan
1 Leukosit 9600 /µl 6.000 - 10.800/µl
2 Hemoglobin 10,9 gr/dL 12-15 gr/Dl
3 Trombosit 340.000/µl 150.000 – 450.000 /µl

b. Pemeriksaan Mikrobiologi dan Drug Level.


No. Parameter Hasil Nilai Rujukan
1. Mikrobiologi
 Blood Culture Negatif Negatif
 Sputum Culture Negatif Negatif

2. Drug Level
 Phenitoin Level 3,6 mcmol/L 40-79 mcmol/L

c. Pemeriksaan Kimiawi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Urea 5,7 Mmol/L 2,76-8,07
Kreatinin 31 Mmol/L 53-97
Natrium 138 Mmol/L 135-145
Kalium 4,2 Mmol/L 3,6-5,1
Klorida 100 Mmol/L 96-110
Magnesium 0,77 Mmol/L 0,66-1,07
Glukosa 11,2 Mmol/L 3,3-5,5
Bikarbonat 22,9 Mmol/L 24-30
Albumin 40 g/L 35-50
Kalsium 2,16 Mmol/L 2,1-2,6
Fosfor 1,08 Mmol/L 0,87-1,45
Bilirubin Total 4,5 Mcmol/L 3,5-24
ALT 12 U/L 0-30
AST 15 U/L 0-31
Protein C-Reaktif 23 Mg/L 0-5
Troponin T 24,8 Ng/L 0-14

d. Pemeriksaan EKG

Pemeriksaan EKG didapatkan Sinus Takikardi dengan Kontraksi ventrikel


prematur.

e. Pemeriksaan AGD
Arterial Blood Gases (ABG) pada udara ruangan
a. pH 7.41 (7.35–7.45)
b. PaO2 48.8 mmHg (83–108)
c. PaCO2 35 mmHg (35–45)
d. HCO3 22.5 mmol/L (21–28)
e. PaO2/FiO2 ratio: 232 (normal ratio 500).
f. Pemeriksaan Echo Cardiography
Kontraktilitas keseluruhan dalam keadaan baik, tidak ada kelainan dinding
jantung, Ejeksi fraksi 58-60%, fungsi sistolik ventrikel kiri normal.

g. Pemeriksaan Radiologi

Ditemukan bayangan opasitas dan radiolusen (air-space) berbentuk konfluen


dan patch pada kedua lapang paru.

DIAGNOSIS

Noncardiogenic Pulmonary Edema

PENATALAKSANAAN

Pasien diberikan tatalaksana

a. 1,5 L Normal salin intravena bolus


b. Terpasang Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
c. Antibiotik untuk mencegah aspirasi pneumonia
d. Anti-konvulsan (fenitoin)
e. Diuretik (Furosemid)
PROGNOSIS

Quo ad Vitam : dubia


Quo ad Fungtionam : dubia
Quo ad Sanationam : dubia

BAB II
ANALISIS KASUS

A. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan utama sesak
napas dengan keluhan tambahan batuk berdahak, mengantuk, dan gelisah.
Keluhan sesak napas dialami pasien secara tiba-tiba dan semakin memberat.
Batuk berdahak yang dialami pasien berwarna merah muda. 3 tahun yang lalu,
pasien dilakukan reseksi temporal kanan akibat meningioma dengan riwayat
kejang, dan DM terkontrol. Pada hasil anamnesis tersebut telah menunjang
penegakkan diagnose edema pulmo, dimana terdapat keluhan sesak napas
yang muncul tiba-tiba dan semakin memberat disertai batuk berdahak dengan
sputum berwarna merah muda. Pada pasien perlu dibedakan apakah termasuk
kedalam edema pulmo kardiogenik dan non-kardiogenik. Tidak didapatkan
riwayat gangguan kardiovaskular, sehingga mungkin untuk mendiganosa
edema pulmo non-kardiogenik.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat,


kesadaran somnolen, dengan hipotensi, takikardi, takipneu, dan penurunan
saturasi oksigen. Pasien tampak pucat, konjungtiva anemis, dan bibir pucat.
Pemeriksaan jantung pasien dalam batas normal. Inspeksi paru-paru terdapat
retraksi intercostals, dan auskultasi didapatkan ronkhi basah pada lapang paru.
Hasil pemeriksaan fisik di atas mengkonfirmasi kemungkinan diagnosis
edema paru non-kardiogenik. Tingkat oksigenasi yang rendah pada tubuh
(hipoksia) menyebabkan pasien tampak pucat dengan keadaan umum sakit
berat dengan saturasi oksigen menurun. Sebagai mekanisme kompensasi,
tubuh akan meningkatkan perfusi jaringan dengan takikardi dan takipneu.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan akral dingin, suara jantung tambahan,
peningkatan vena jugularis, dan terdapat suara paru tambahan berupa ronki
yang menunjukkan bahwa pasien mengalami edema pulmo non-kardiogenik.
Pasien mendapatkan beberapa pemeriksaan penunjang seperti laboratorium
darah, mikrobiologi, analisis gas darah, EKG, ekokardiografi, dan foto thorax.
Pada pemeriksaan laboratorium, pasien penurunan hemoglobin, kreatinin, dan
bikarbonat, serta peningkatan glukosa darah, protein C-reaktif, dan enzim
jantung troponin T. Pemeriksaan kultur darah dan kultur sputum didapatkan
hasil negative, dan level obat fenitoin normal yaitu 3,6 mcmol/L. Hasil AGD,
PaO2 menurun, dan rasio PaO2/FiO2 dibawah 300, yaitu 232. Pemeriksaan
EKG menunjukkan sinus takikardi dengan kontraksi ventrikel premature.
Tidak ada kelainan jantung seperti miokard infark/iskemik. Echokardiografi
juga menunjukkan hasil yang serupa, tidak ada kelainan mikoard maupun
katup jantung, maupun kegagalan jantung kiri.

B. GAMBARAN RADIOLOGI
Pada pemeriksaan radiologi, ditemukan bayangan opasitas dan radiolusen (air-
space) berbentuk konfluen dan patch pada kedua lapang paru. Pada
pemeriksaan radiologi, ditemukan bayangan opasitas dengan air-space
berbentuk konfluen dan patch pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
radiologi ditemukan adanya bercak-bercak berbentuk bulat atau patch dan
ditemukan adanya bentuk-bentuk yang saling terhubung (Networking).

Menurut Scott et al (2009), Bentuk ini merupakan kombinasi antara edema


pulmonal interstitial pola retikuler dengan pola noduler, sehingga dapat
dikatakan sebagai pola retikulonoduler. Pola retikuler disebabkan adanya
akumulasi dari garis opasitas yang tidak beraturan. Pola nodular biasanya
terdiri dari kumpulan beberapa titik opasitas

Wake (2006) menyatakan bahwa pada edema interstisial, pertukaran gas


hanya sedikit terganggu karena membran kapiler mencegah penumpukan
cairan, tetapi pada edema alveoli pertukaran gas sangat terganggu secara
bermakna. Terjadi ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) karena terdapat
unit paru yang tidak mengembang akibat terendam cairan.

C. TATALAKSANA
Pada kasus di atas, pasien diberikan terapi suportif berupa pemasangan CPAP.
Penggunaan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) sangat membantu
pada pasien edema paru. Suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi
yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja
pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin, serta
mengurangi overdistensi alveolar. Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan
dengan kanul hidung atau masker muka (face mask). Pasien juga diberikan
loop diuretics (furosemide) untuk menurunkan preload melalui 2 mekanisme,
yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-
40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada
keadaan yang berat.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru
yang terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh tekanan intravaskular
yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler (edema paru non kardiogenik) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.
Edema paru didefinisikan sebagai akumulasi cairan di interstisial dan
alveolus. (Sudoyo, 2009)

B. ETIOLOGI
Edema paru disebabkan oleh (Soemantri, 2011):
1. Kardiogenik atau edem paru hidrostatik atau edem hemodinamik.
Penyebabnya berupa infark miokard, hipertensi, penyakit jantung
katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/ diastolik dan lainnya.
2. Nonkardiogenik/ edem paru akibat permeabilitas meningkat.

Penyebab yang tersering dari edema paru-paru adalah kegagalan ventrikel


kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edema
paru-paru yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga edema
paru kardiogenik, sedangkan edema paru yang disebabkan selain kelainan
jantung disebut edema paru non kardiogenik. Edema paru nonkardiogenik
adalah penimbunan cairan pada jaringan interstisial paru dan alveolus paru
yang disebabkan selain oleh kelainan jantung. (Alasdair et al,2008)

Penyebab edema paru non kardiogenik disebabkan oleh (Lorraine et al,


2005) :

1. Peningkatan permeabilitas, seperti aspirasi lambung, tenggelam,


kontusio paru, pneumonia berat, emboli lemak, emboli amnion
2. Hiponatremia
3. Peningkatan tekanan kapiler paru seperti sindroma kongesti vena
4. Penurunan tekanan onkotik seperti pada sindroma nefrotik dan
malnutrisi
5. Inhalasi bahan kimia

Menurut Soewondo (1998), Aspirasi cairan lambung dapat menyebabkan


ARDS. Berat ringannya edema paru berhubungan dengan derajat pH asam
lambung dan volume cairan yang teraspirasi. Asam lambung akan tersebar
di dalam paru dalam beberapa detik saja, dan jaringan paru akan terdapar
(buffered) dalam beberapa menit sehingga cepat menimbulkan edema
paru.

Tenggelam (near drowning). Edema paru dapat terjadi pada mereka yang
selamat dari tenggelam dari air tawar atau air laut. Autopsi penderita yang
tidak bisa diselamatkan menunjukan perubahan patologis paru yang sama
dengan perubahan pada edema paru karena sebab lain. Pada saat
tenggelam korban biasanya mengaspirasi sejumlah air. Air tawar adalah
hipotonis, dan air laut adalah hipertonis relatif terhadap darah, yang
menyebabkan pergerakan cairan melalui membran alveolar-kapiler ke
dalam darah atau ke dalam paru. Resultante perubahan konsentrasi
elektrolit dalam darah sebanding dengan volume cairan yang diabsorpsi.

Edema paru pada infeksi paru menunjukan perubahan yang sama dengan
edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru. Mekanisme
dikarenakan terjadinya reaksi inflamasi sehingga mengakibatkan
kerusakan endotel.

Inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan lesi paru seperti yang
disebabkan oleh inhalasi asap. Edema paru dilaporkan dapat disebabkan
akibat paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur
dioksida, oksida metalik, uap asam, dan uap bahan kimia kompleks
lainnya. Jika terhisap oleh manusia pada konsentrasi tertentu menyebabkan
edema paru-paru akibat adanya gangguan keseimbangan cairan yang ada
dan meningkatkan peroksida lipid dan permeabilitas pembuluh darah.
Oksigen dalam konsentrasi tinggi ternyata toksik terhadap paru. Edema
paru dapat terjadi 24 – 72 jam setelah terpapar oksigen 100%. Lesi yang
ditimbulkan secara histologis mirip dengan edema paru yang ditimbulkan
akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru. Di bawah mikroskop
elektron, perubahan dini yang terjadi adalah penebalan ruang interstisial
oleh cairan edema yang berisi serat fibrin, leukosit, trombosit, dan
makrofag. Ini terjadi sebelum tampak kerusakan endotel. (Amin et al,
1995)

Edema pulmonal neurologik pada penderita yang mengalami trauma


kepala, kejang-kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang
mendadak. Diduga dasar mekanisme edema paru neurogenik adalah
adanya rangsangan hipotalamus (akibat penyebab di atas) yang
menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang kemudian
menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi
pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
penurunan pengisian ventrikel kiri à tekanan atrium kiri meningkat dan
terjadilah edema paru. (Soewondo, 1998)

Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita sindrom kongesti vena dengan kelebihan cairan intravaskular
dengan ukuran jantung normal. Ekspansi volume intravaskular tidak perlu
terlalu besar untuk terjadinya kongesti vena, karena vasokontriksi sistemik
dapat menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam sirkulasi sentral.
Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang mendapat cairan kristaloid
atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu sendiri (terjadi
retensi air). Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan kongesti
vena lebih lanjut (Soewondo, 1998)

C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Menurut Wake (2006) Edema paru terjadi bila volume plasma berlebihan
memasuki ruang interstisial dan alveoli. Edema paru merupakan suatu
keadaan klinis akut yang ditandai dengan gejala distress pernafasan dan
takipnea yang sebanding dengan penurunan PaO2 dan P(A-a)O2.
Gangguan fisiologis yang menyebabkan terjadinya hipoksemia adalah
adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi (ventilation-perfusion
missmatch)

Persamaan Starling menggambarkan daya yang mengendalikan


perpindahan cairan melalui membran semipermeabel. Persamaan ini juga
berguna dalam memberikan sebuah batasan klasifikasi penyebab edema
paru, karena penyimpangan salah satu dari variabel-variabel tersebut
bertanggung jawab terhadap terjadinya edema. Persamaan Starling
menyatakan bahwa aliran cairan melalui membran semipermeabel
dikendalikan oleh tekanan dan osmolaritas salah satu sisi membran, seperti
halnya permeabilitas relatif membran terhadap larutan dan zat terlarut.
Berikut persamaan Starling.

Qf = Kf (Pmv – Ppmv) – σ (л mv – л pmv)

Qf = aliran transvaskuler bersih/netto

Kf = koefisien filtrasi

Pmv = tekanan hidrostatik mikrovaskular

Ppmv = tekanan hidrostatik perimikrovaskular (interstisial)

л mv = tekanan osmotik koloid mikrovaskular

л pmv = tekanan osmotik koloid perimikrovaskular

σ = koefisien refleksi (relatif resisten terhadap aliran koloid)

Peningkatan tekanan hidrostatik mikrovaskular paru Salah satu penyebab


edema paru adalah perbedaan antara tekanan mikrovaskular dan tekanan
interstisial. Kenaikan tekanan mikrovaskular paru dapat dikarenakan
pemberian cairan intravena yang berlebihan (meskipun pemberian ini juga
mempengaruhi tekanan osmotik), dan defek-defek kardiak, termasuk di
antaranya adalah shunt (pirai) kiri-ke-kanan, obstruksi vena paru dan
atrium kiri, serta disfungsi ventrikel kiri.
Penurunan tekanan osmotik koloid Terjadi akibat kadar protein yang
rendah. Biasanya terjadi pada malnutrisi berat, enteropati yang
menyebabkan kehilangan protein, dan nefrosis. Penurunan tekanan
hidrostatik interstisial Nilai tekanan interstisial telah diperkirakan antara -5
hingga -10 mmHg. Penurunan tekanan hidrostatatik interstisial biasanya
terjadi karena tiga keadaan, yaitu penurunan tekanan intratorakal,
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular, dan peningkatan tekanan
negatif pleura.

Peningkatan permeabilitas kapiler paru Dapat terjadi melalui dua


mekanisme, yaitu penambahan jumlah total poros dan pelebaran diameter
poros. Keadaan ini dapat disebabkan oleh lepasnya mediator inflamasi,
inhalasi zat toksik, terbakar, toksin, dan lain-lain. Bila merujuk persamaan
Starling, hal ini merupakan jumlah peningkatan koefisien filtrasi (Kf) dan
penurunan koefisien refleksi. Hal tersebut akan menyebabkan cairan
edema yang relatif kaya protein.

Aliran pembuluh limfatik Edema paru yang disebabkan oleh insufisiensi


limfatik adalah satu-satunya edema paru yang sejauh ini tidak
dideskripsikan dalam persamaan Starling. Aliran limfatik diperkirakan
sebesar 10−20 ml/jam pada orang dewasa dengan kemampuan untuk
mengatasi peningkatan sebesar 10 tanpa perubahan signifikan dalam
akumulasi cairan interstisial. Kontribusi relatif dari faktor-faktor di dalam
sistem limfatik, seperti valvula limfatik dan otot polos, yaitu bekerja
sebagai pompa untuk mengatasi peningkatan tekanan vena sistemik, masih
diperdebatkan.

Peningkatan luas permukaan vaskular paru Satu hal yang perlu untuk
diingat adalah, dibandingkan dengan dewasa, area permukaan vaskular
yang berisi darah lebih luas pada bayi dan anak. Oleh karena itu, keadaan
tersebut mempermudah terjadinya perpindahan cairan paru.

Menurut Larsen, et al (2003), Edema paru akan mempengaruhi


kemampuan mekanik dan pertukaran gas di paru dengan berbagai
mekanisme. Produksi lapisan surfaktan terganggu karena alveoli terendam
cairan, serta adanya protein dan sel debris. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan tegangan permukaan pada alveoli, sehingga memudahkan
terjadi kolaps (atelektasis). Adanya penumpukan cairan berlebihan di
ruang intestisial juga mengurangi kelenturan paru dan mempermudah
kolaps alveoli dan saluran respiratorik kecil. Resistensi jalan napas juga
meningkat akibat kompresi saluran respiratorik kecil oleh cairan dan
penumpukan cairan di interstisial peribronkial. Efek ini bersama-sama
akan mengurangi komplians paru dan meningkatkan resistensi jalan napas
yang secara langsung meningkatkan kerja pernapasan, akhirnya terjadi
kelelahan otot respiratorik, dan terjadi gagal napas.

Pada edema paru, terjadi gangguan pertukaran gas. Pada edema


interstisial, pertukaran gas hanya sedikit terganggu karena membran
kapiler mencegah penumpukan cairan, tetapi pada edema alveoli
pertukaran gas sangat terganggu secara bermakna. Terjadi
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) karena terdapat unit paru yang
tidak mengembang akibat terendam cairan, atau karena obstruksi saluran
respiratorik, sehingga aliran darah ke unit paru yang tidak mengembang
akan berkurang karena vasokonstriksi akibat hipoksia.

Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena


peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru
lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura
visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler
endotel tetap normal, maka cairan edem ayng meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik
di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan
vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
dan Tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25
mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25)
maka cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus.
(Soemantri, 2011).

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala paling umum dari pulmonary edema adalah sesak nafas. Gejala-gejala
umum lainnya seperti: mudah lelah, mudah sesak napas dengan aktivitas biasa
(dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea), dan sakit kepala. Manifestasi
klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium 3,4,5:
a. Stadium 1
Pada keadaan ini terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid di ruang
interstitial yang berasal dari kapiler paru. Celah pada endotel kapiler paru
mulai melebar akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau efek zat-zat
toksik. Selain itu juga terjadi peningkatan cairan yang keluar dari aliran
limfatik. Meskipun filtrasi sudah meningkat, namun belum tampak
peningkatan cairan di ruang interstitial. Keluhan pada stadium ini berupa
sesak nafas saat aktivitas. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronkhi saat
inspirasi, namun jarang.
b. Stadium 2
Pada stadium ini kemampuan sistem limfatik telah berkurang. Akibatnya,
cairan dan koloid mulai terakumulasi di ruang interstitial sekitar bronkiolus,
arteriol, dan venula. Apabila cairan terus bertambah, maka membrane
alveolus akan menyempit. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal
(garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di interstisial, akan lebih
memperkecil saluran nafas yang kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi.

c. Stadium 3
Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveoli.
Terjadi peningkatan filtrasi cairan dan tekanan di ruang interstitial dan
peribronkhovascular sheat semakin tinggi, sehingga terjadi tight junction di
antara sel epitel. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas,
sehingga terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali
dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru menurun.

Manifestasi klinis edema paru baik yang kardiogenik maupun non-


kardiogenik bisa serupa; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan
gejala yang dominan dari kedua jenis tersebut sebagai pedoman
pengobatan.1 Tabel 1 memperlihatkan perbedaan edema paru kardiogenik
dan non-kardiogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Tabel. Perbedaan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
Pemeriksaan Kardiogenik Non-kardiogenik
Anamnesis Gangguan Penyakit yang
kardiovaskuler (+) mendasari (+)
Pemeriksaan fisik:
- Akral Dingin Hangat, nadi kuat
- S3, gallop, (+) (-)
kardiomegali
- Tekanan vena Meningkat Tidak meningkat
jugular
- Ronkhi Basah Kering
Pemeriksaan penunjang
- EKG Iskemik/infark Biasanya normal
- Foto thorax Distribusi perihiler Distribusi perifer
- Enzim kardiak Dapat meningkat Biasanya normal
- PCWP >18 mmHg <18 mmHg
- PaO2:FiO2 Normal/menurun <300
- Hipoksemia (+) Berat
- Protein edema: <0,5 >0,7
plasma

E. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan adanya sesak napas yang bersifat
tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan riwayat
sakit jantung pada edem pulmo kardiogenik. Perkembangan edema
pulmo dapat berlangsung pelan maupun tiba-tiba seperti pada kasus
edema paru akut. Gejala umum lain yang mungkin ditemukan adalah
mudah lelah, lebih mudah sesak napas dengan aktivitas yang biasa
(dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea), pusing, atau kelemahan.

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien biasanya tampak sakit
sedang sampai berat. Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia)
dapat bermanifestasi pada kulit tampak pucat, bibir sianosis, dan CRT
memanjang. Pada pemeriksaan auskultasi thorax dapat terdengar suara
paru abnormal seperti ronkhi atau crakles. Sputum umumnya
berjumlah banyak, berbusa, dan berwarna merah jambu.

c. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis, yaitu:
- Pemeriksaan foto thorax
Menunjukkan gambaran kardiomegali (pada pasien dengan CHF)
dan adanya oedema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi
bilateral dengan pola butterfly, gambaran vascular paru dan hilus
yang berkabut serta adanya garis-garis Kerley B di interlobularis.
- EKG
Menunjukkan kelainan pada jantung, seperti pembesaran atrium
kiri, ventrikel kiri, miokard iskemik maupun infark
- Ekokardiografi
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi
ventrikel kiri dan adanya kelainan katup jantung
- Laboratorium enzim jantung
Membantu menegakkan infark miokard. Peningkatan kadar brain
natriuretic peptide (BNP) di dalam darah merupakan respon
terhadap peningkatan tekanan di ventrikel. Apabila kadarnya >500
pg/ml, dapat membantu menegakkan edema paru kardiogenik
- Analisis gas darah (AGD)
Dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan PCO2 pada keadaan awal
tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya PO2 semakin menurun
sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat biasanya dijumpai
hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
- Kateterisasi jantung kanan
Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge pressure) melalui
kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien
edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan
pada pasien ARDS P pw 0-18 mmHg
- Kadar protein cairan edema
Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema dibandingkan
protein plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil
dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal
atau bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru
kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif rendah
dibanding plasma (rasio <0,6). Pada edema paru nonkardiogenik
konsentrasi protein cairan edema relatif lebih tinggi (rasio >0,7)
karena sawar mikrovaskular berkurang.
F. GAMBARAN RADIOLOGI
Sistem grading pada edema pulmoner berdasarkan dari radiografi dada dan
Pulmonary capillary wedge measurement (PCWP) terbagi menjadi:
1. Grade 0 : Radiografi dada dalam batas normal, PCWP 8-12 mmhg
2. Grade 1 : terlihat adanya “upper lobe diversion” pada radiografi
dada, PCWP 13-18 mmhg
3. Grade 3 : terlihat adanya edema interstitial pada radiografi dada,
PCWP 19-25 mmHg
4. Grade 4 : menunjukkan adanya edema alveolar pada radiografi
dada, PCWP >25 mmhg

Gambaran Radiologi pada Edema paru alveolar berupa hasil dari acini
(end air spaces) dengan cairan baik dari edema ataupun pus,dan jarang
terlihat material seluler. Pola ini membentuk densitas yang halus atau
fluffy. Kemungkinan besar juga adanya tanda Air Bronchogram karena
cairan mengisi volume alveolus dan acini meningkat. Udara pada bronkus
akan terisi oleh cairan. Ketika cabang bronkus tegak lurus dengan sinar X-
ray, maka akan telihat sebagai titik (dot) radiolusen.

Gambar 2. Edema Pulmonal Alveolar memiliki pola opasitas seperti wol


atau berawan
Pada edema pulmonal interstitial, terdapat empat pola dasar pada
pemeriksaan radiologi, yaitu linear- septal lines (Kerley lines), reticular-
mesh like appearance, nodular- discrete opacities, dan reticulonodular-
combination.

Gambar 3. Tipe-tipe pola edema pulmonal Interstitial

Pada linear pattern, terlihat adanya penebalan pada septum interlobular


sehingga menghasilkan garis kerley. Biasanya penyebab penebalan septal
interlobularis, terlihatnya garis kerley A dan B merupakan tanda-tanda dari
edema pulmonal.

Gambar 4. Gambaran Linear Pattern Edema Pulmonal Interstitial


Pola retikuler disebabkan adanya akumulasi dari garis opasitas yang tidak
beraturan. Opasitas reticular dapat didesskripsikan sebagai bentuk yang
saling berhubungan (Network), opasitas meningkat seiiring dengan
semakin lebarnya opasitas.

Gambar 5. Reticular Pattern pada edema pulmonal

Pola nodular biasanya terdiri dari kumpulan beberapa titik opasitas


berdiameter antara 1 mm hingga 1 cm. pola ini dideskripsikan sebagai
bentuk miliar kecil hingga besar, dengan diameter yang akan semakin
membesar.

Gambar 6. Pola Noduler pada Edema Pulmonal Interstitial


Pola Retikulonoduler adalah kombinasi antara opasitas reticular dan
noduler. Pola ini sering kali sulit dibedakan antara pola retikuler atau
noduler murni.

Gambar 7. Pola Retikulonoduler pada edema pulmonal

Radiologi Keterangan
Progressive lobar vessel enlargement,
peribronchial cuffing (tanda panah).
Increasing size of azygos vein
Bilateral Kerley lines dan late alveolar
edema with nodular areas of increased
opacity.

Inter dan intralobar septal line pre-


dominating in the anterior portion of
the left lung field with some
peribronchial cuffing

Gambaran “bat wings” edema

“bat wings” alveolar edema with a


central distribution and sparing of the
lung cortex

Right-sided predominance of the


pulmonary edema
Airspace consolidation predominantly
at the apices. Tidak ada efusi pleura,
Kerley lines, dan ukuran jantung
normal

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan edema paru harus secepat mungkin setelah ditegakkan
diagnosis. Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang
ditujukan terutama untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran
gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan
diobati sesegera mungkin bila memungkinkan. Prinsip penatalaksanaan
meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan
mempertahankan fungsi kardiovaskular. Pertimbangan awal ialah dengan
evaluasi klinis, EKG, foto toraks, dan AGD.

a. Suplementasi Oksigen
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma
maupun terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen
merupakan terapi intervensi yang penting untuk meningkatkan
pertukaran gas dan menurunkan kerja pernapasan, mengoptimalisasi
unit fungsional paru sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi
alveolar. Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul
hidung atau masker muka (face mask). Continuous positive airway
pressure (CPAP) sangat membantu pada pasien edema paru
kardiogenik. Intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik dengan
positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang
berat.
b. Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif, cepat,
dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena
diawali dengan dosis rendah (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan
secara bertahap (dosis maksimal 200µg/menit). Loop diuretics
(furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu:
diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral
20-40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara
infus pada keadaan yang berat. Morfin sulfat digunakan untuk
menurunkan preload dengan dosis 3 mg secara intra vena dan dapat
diberikan berulang.
c. Obat-obatan untuk menurunkan afterload
Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan
curah jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg)
ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan
pasien. Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE
inhibitors akan menurunkan angka mortalitas.

d. Obat-obatan golongan inotropik


Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru
kardiogenik yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20
µg/kg/menit atau dopamin 3-20 µg/kg/menit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Larsen LG, Accursa JF, Halbower CA, dkk. Pulmonary edema. Dalam:
Hay WW, Hayward RA, Levin JM, penyunting. Current pediatric
diagnosis and treatment. Edisi ke-16. Boston: Mc Graw Hill; 2003. h.
533.
2. Wake LB, Matthay AM. Acute pulmonary edema. N Engl J Med
2006;353:2788–92.
3. Harun S dan Sally N. EdemParuAkut. 2009. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-3
4. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap
PKB XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD
DR.Soetomo, p.113-9.
5. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic
Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008; 359: 142-51
6. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;
353:2788-96.
7. Amin M, Alsagaff H, Saleh WBMT. Pengantar Ilmu Penyakit Paru.
Airlangga University Press. Surabaya. 1995; 128-30
8. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U,
Waspadji S, et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 1998; 767-72
9. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic
pulmonary edema. Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.
10. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (Edisi ke-5). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; p.
1651-3.
11. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med.
2005;353:278896.
12. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non
kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10
13. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J
Tuberc Lung Dis. 2011;15(2):155-160.
14. Salman A, Milbrandt EB, Pinsky MR. The role of noninvasive
ventilation in acute cardiogenic pulmonary edema. Critical Care.
2010;14(303):1-3.
15. Masip J, Roque M, Sanchez B, Fernandez R, Subirana M, Exposito
JA. Noninvasive ventilation in cardiogenic pulmonary edema:
systematic review and meta-analysis. JAMA. 2005;294:3124-32.
16. Gray A, Goodacre S, Newby DE, Masson M, Sampson F, Nicholl J.
Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N
Engl J Med. 2008;359(2):142-51.
17. Winck JC, Azevedo LF, Costa-Pereira A, Antonelli M, Wyatt JC.
Efficacy and safety of non-invasive ventilation in the treatment of
acute cardiogenic pulmonary edema–a systematic review and meta-
analysis. Critical Care. 2006;10(2):1-18.

Anda mungkin juga menyukai