Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau


oleh keduanya disebut pioderma. Penyebab utamanya ialah Staphylococcus
aureus dan Streptococcus B hemolyticus , sedangkan Staphylococcus epidermidis
merupakan penghuni normal di kulit dan jarang menyerang infeksi. Faktor
predisposisi pioderma adalah higiene yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh,
dan telah ada penyakit lain di kulit. Salah satu bentuk pioderma adalah selulitis
yang akan dibahas pada referat ini.
Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan dermis dan
subkutis. Faktor risiko untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan
kulit), luka terbuka di kulit atau gangguan pembuluh vena maupun pembuluh getah
bening. Lebih dari 40% penderita selulitis memiliki penyakit sistemik. Penyakit ini
biasanya didahului trauma, karena itu tempat predileksinya di tungkai bawah.
Gejala prodormal selulitis adalah demam dan malaise, kemudian diikuti tanda-
tanda peradangan yaitu bengkak (tumor), nyeri (dolor), kemerahan (rubor), dan
teraba hangat (kalor) pada area tersebut.
Prevalensi selulitis di seluruh dunia tidak diketahui secara pasti. Sebuah
studi tahun 2006 melaporkan insidensi selulitis di Utah, AS, sebesar 24,6 kasus
per 1000 penduduk per tahun dengan insidensi terbesar pada pasien laki-laki dan
usia 45-64 tahun. Secara garis besar, terjadi peningkatan kunjungan ke pusat
kesehatan di Amerika Serikat akibat penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak kulit
yaitu dari 32,1 menjadi 48,1 kasus per 1000 populasi dari 1997-2005 dan pada
tahun 2005 mencapai 14,2 juta kasus .
Data rumah sakit di Inggris melaporkan kejadian selulitis sebanyak 69.576
kasus pada tahun 2004-2005, selulitis di tungkai menduduki peringkat pertama
dengan jumlah 58.824 kasus. Di Indonesia sendiri, terkhusus pada RSUP Sanglah
Denpasar pada periode 2009-2011 terdapat 78 pasien dengan infeksi jaringan
lunak yang dirawat inap, yang terdiri dari 35 pasien selulitis dan 43 pasien
erusipelas.
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak

1
meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat disertai
limfangitis dan limfadenitis
Terapi untuk selilitis diperlukan antibiotik sistemik dengan pilihan AB lini
pertama ialah flikloksasilin dan golongan penisilin, jika alergi dapat diberikan
golongan makrolid atau klindamisin. Topikal diberikan kompres terbuka
dengan larutan antiseptik ? untuk. Anti histamin diberikan untuk mengurangi
rasa gatal.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang
terjadi menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.Infeksi
ini biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering
Streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada anak
usia di bawah 2 tahun dapat disebabkan oleh Haemophilus influenza,
keadaan anak akan tampak sakit berat, sering disertai gangguan
pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti bakterimia dan septikemia.
Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti eritema,
teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala
sistemik seperti demam dan peningkatan hitungan sel darah putih. Selulitis
yang mengalami supurasi disebut flegmon, sedangkan bentuk selulitis
superfisial yang mengenai pembuluh limfe yang disebabkan oleh
Streptokokus beta hemolitikus grup A disebut erisepelas. Tidak ada
perbedaan yang bersifat absolut antara selulitis dan erisepelas yang
disebabkan oleh Streptokokus.
Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan
antibiotik. Infeksi dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh
tubuh jika terlambat dalam memberikan pengobatan.

2.2 Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah
Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A
sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza
tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHA), dan
Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah
penyebab yang jarang pada selulitis. Selulitis pada orang dewasa
imunokompeten banyak disebabkan oleh Streptococcus pyogenes (SBHA)
dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus
dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus
gram positif dan gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai

3
dermis melalui jalur eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten
perlu ada kerusakan barrier kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih
sering melalui aliran darah. Onset timbulnya penyakit ini pada semua usia.

Gambar 2.1 Etiologi Soft Tissue Infection (STIs)

2.3 Epidemiologi
Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah
3 tahun dan usia dekade keempat dan kelima. Insidensi pada laki-laki lebih
besar daripada perempuan dalam beberapa studi epidemiologi. Insidensi
selulitis ekstremitas masih menduduki peringkat pertama. Terjadi
peningkatan resiko selulitis seiring meningkatnya usia, tetapi tidak ada
hubungan dengan jenis kelamin.

2.4 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi erisepelas dan selulitis adalah: kaheksia,
diabetes melitus, malnutrisi, disgamaglobulinemia, alkoholisme, dan
keadaan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh terutama bila diseratai
higiene yang jelek. Selulitis umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka
atau ulkus atau lesi kulit yang lain, namun dapat terjadi secara mendadak

4
pada kulit yang normal terutama pada pasien dengan kondisi edema
limfatik, penyakit ginjal kronik atau hipostatik.

Tabel 2.1 Etiologi Soft Tissue Infection (STIs)

5
2.5 Patogenesis
Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi
pada permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Penyakit infeksi
sering berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua
pikun dan pada orang yang menderita diabetes mellitus yang
pengobatannya tidak adekuat.
Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke
jaringan-jaringan dan menghancurkannya, hyaluronidase memecah
substansi polisakarida, fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase
menghancurkan membran sel.

2.6 Gambaran Klinis


Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua
bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas tidak jelas, nyeri tekan
dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat
di sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan
akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis.
Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon,
nekrosis atau gangren).

6
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam,
menggigil, dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal
peradangan yaitu rubor (eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor
(pembengkakan). Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi
lesi tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada infeksi yang berat dapat
ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau jaringan neurotik. Ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening regional dan limfangitis ascenden.
Pada pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan leukositosis.
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala
prodormal berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang
dengan cepat, sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien
imunokompromais rentan mengalami infeksi walau dengan patogen yang
patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan
nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar ke sekitar lesi terutama
ke proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi
elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan
pada orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan
dengan riwayat seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah
obat, sering berlokasi di lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi
termasuk glomerulonefritis akut (jika disebabkan oleh strain nefritogenik
streptococcus, limfadenitis, endokarditis bakterial subakut). Kerusakan
pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis rekurens.

Gambar 2.2 Selulitis pada pipi yang disebabkan H. Influenzae

7
2.7 Diagnosis Banding
Deep thrombo phlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak, giant
urticaria, insect bite (respons hipersensitifitas), erupsi obat, eritema
nodosum, eritema migran (Lyme borreliosis), perivascular herpes zooster,
acute Gout, Wells syndrome (selulitis eosinofilik), Familial Mediterranean
fever-associated cellulitis like erythema, cutaneous anthrax, pyoderma
gangrenosum, sweet syndrome (acute febrile neutrophilic dermatosis),
Kawasaki disease.

Pyoderma gangrenosum Erupsi Obat

Deep thrombo phlebitis Erisipelas

Kawasaki disease Acute Gout Awal

Gambar 2.3 Diagnosis Banding Selulitis

8
2.8 Diagnosa
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi
tidak meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat
disertai limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan dapat
menjadi septikemia. Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit
berat, toksik dan sering disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas
bakteriemia dan septikemia. Lesi kulit berwarna merah keabu-abuan, merah
kebiru-biruan atau merah keunguan. Lesi kebiru-biruan dapat juga ditemukan
pada selulitis yang disebabkan oleh Streptokokus pneumonia Pada
pemeriksaan darah tepi selulitis terdapat leukositosis (15.000-400.000)
dengan hitung jenis bergeser ke kiri.
Gejala dan tanda Selulitis
Gejala prodormal : Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigil
Daerah predileksi : Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan
genitalia
Makula eritematous : Eritema cerah
Tepi : Batas tidak tegas
Penonjolan : Tidak terlalu menonjol
Vesikel atau bula : Biasanya disertai dengan vesikel atau bula
Edema : Edema
Hangat : Tidak terlalu hangat
Fluktuasi : Fluktuasi
Tabel 2.2 Gejala dan tanda selulitis
Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pada
sebagian besar pasien dengan selulitis. Seperti halnya pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan pencitraan juga tidak terlalu dibutuhkan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, ditemukan leukositosis pada selulitis penyerta
penyakit berat, leukopenia juga bisa ditemukan pada toxin-mediated
cellulitis. ESR dan C-reactive protein (CRP) juga sering meningkat terutama
penyakit yang membutuhkan perawatan rumah sakit dalam waktu lama.
Pada banyak kasus, pemeriksaan Gram dan kultur darah tidak terlalu
penting dan efektif.

9
2.9 Tata Laksana
2.9.1 Non Farmakologis
 Istirahatkan tungkai bawah
 Tinggikan kaki yang diserang
 Jangan menggaruk lesi
2.9.2 Farmakologis
Terapi topikal yang dapat diberikan pada pasien selulitis berupa
kompres terbuka dengan larutan antiseptik seperti kompres NaCl 0,9%
yang digunakan untuk kompres bersifat normal secara fisiologik untuk
melembabkan lesi dan lingkungan sekitar lesi untuk penyembuhan.
Pemberian antibiotic pada kasus selulitis yang disertai dengan gejala
sistemik diberikan secara sistemik dengan durasi minimal selama 7 hari.
Menurut Perdoksi pilihan antibiotic lini pertama pada kasus pyoderma
adalah Kloksasilin/dikloksasilin (dewasa 4x250-500 mg/hari per oral; anak-
anak 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis), amoksisilin dan asam
klavulanat (dewasa 3x250-500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosi), sefaleksin (dewasa 25-50 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 4 dosis). Sedangkan pilihan antibiotik lini kedua adalah azitromisin
(1x500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1x250 mg (hari 2-5)), klindamisin (15
mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis), eritromisin (dewasa 4x250-500 mg/hari;
anak-anak 20-50 mg/kgBB/hari Dermatologi Infeksi 124 terbagi 4 dosis).
Jika etiologi selulitis adalah bakteri MRSA, pilihan antibiotic antara lain,
trimetoprim-sulfometoxazol (160/800 mg, 2 kali sehari), doksisiklin,
minosiklin (2x100 mg, tidak direkomendasikan untuk anak, usia 8 tahun),
klindamisin (15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis). Kasus yang berat, disertai
infeksi sitemik atau infeksi di daerah berbahaya (misalnya maksila),
antibiotik diberikan parenteral dengan pilihan antiobiotik antara lain nafcillin
(1-2 gram IV tiap 4 jam, anak 100-150 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis),
p enisilin G (2-4 juta unit IV tiap 4-6 jam, anak: 60-100.000 unit/kgBB tiap
6 jam), sefazolin IV (1 gram tiap 8 jam, anak: 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam
3 dosis), seftriaxone IV (1-2 gram ,1 kali/hari). Apabila terdapat/dicurigai
ada methycillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat
pilihan antibiotik antara lain vankomisin (1-2 gram/hari dalam dosis terbagi
atau 15-20 mg/kgBB setiap 8-12 jam intravena, selama 7-14 hari, anak:

10
vankomisin 15 mg/kgBB IV tiap 6 jam) , linezolid (600 mg IV atau oral 2
kali sehari selama 7-14 hari, anakanak 10 mg/kgBB oral atau intravena tiap
8 jam), klindamisin IV (600 mg tiap 8 jam atau 10-13 mg/kgBB tiap 6-8 jam).
Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensi.

Gambar 2.4 Pilihan Antibiotik pada Kasus PIoderma


2.10 Komplikasi
Pada anak dan orang dewasa yang immunocompromised, penyulit
pada selulitis dapat berupa gangren, metastasis, abses dan sepsis yang
berat. Selulitis pada wajah merupakan indikator dini terjadinya bakteriemia

11
stafilokokus beta hemollitikus grup A, dapat berakibat fatal karena
mengakibatkan trombosis sinus cavernpsum yang septik. Selulitis pada
wajah dapat menyebabkan penyulit intrakranial berupa meningitis.

2.11 Prognosis
Selulitis bukan suatu enyakit yang mengancam nyawa namun dapat
berkembang menjadi sepsis bila tidak diberikan pengobatan segera,
sehingga prognosis nya tergantung pada waktu dan ketepatan
pengobatan.

12
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Tanggal Pemeriksaan : 8 April 2019
No RM : 012465
Nama : Ny. S
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Karyawan

3.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 8 April 2019, di
IGD RSI Fatimah Banyuwangi
3.2.1 Keluhan Utama
Panas pada tungkai kiri
3.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit
Kaki bengkak, kemerahan dan nyeri dirasakan kurang lebih 1 hari ini,
awalnya kulit kemerahan muncul di tungkai kaki kiri dan menjalar ke paha
kiri , kulit kemerahan ini lama-lama menjadi bengkak, terasa panas dan
nyeri. Pasien juga mengeluh demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit,
demam dirasakan sumer sumer, serta pusing, mual dan muntah. Pusing
dirasakan seperti berputar, pasien juga muntah sebanyak 4 kali.
3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat riwayat penyakit keluarga, Diabetes melitus ( -),
hipertensi (-), alergi (-). Tidak ada keluhan serupa pada keluarga.
3.2.4 Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan serupa (kemerahan dan nyeri
pada tungkai kiri) 5 tahun lalu. Pasien juga pernah mengalami patah tulang
paha kiri 15 tahun lalu, dan telah menjalani operasi. Riwayat hipertensi (-),
diabetes melitus (-).
3.2.5 Riwayat Pengobatan
Dua hari sebelum masuk rumah sakit, pasien datang ke IGD RSI
Fatimah Banyuwangi dengan keluhan demam, mual muntah dan pusing,

13
pasien mendapatkan injeksi ranitidine dan ondansentron serta pasien
diberikan obat oral ergotamine, ondansentrin, antrain dan ranitidin.

3.3 Pemeriksaan Fisik


I. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS 456
II. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 130/80
b. Laju denyut jantung : 89x/menit reguler
c. Laju pernapasan : 16 x/menit
d. Suhu aksiler : 36,6OC
III. Status Antropometri
- Berat Badan : 88 kg
- Tinggi Badan : 151 cm
- BMI : 38
Kesimpulan :Obesitas
IV. Kepala
a. Bentuk : normosefal, benjolan massa (-).
b. Ukuran : mesosefal
c. Rambut : tipis, hitam.
d. Wajah : simetris, bundar, rash (-), sianosis (-), edema (-).
e. Mata
konjungtiva : anemis (-).
sklera : ikterik (-).
palpebra : edema (-).
Air mata : (+).
f. Telinga : bentuk normal, posisi normal, sekret (-).
g. Hidung : sekret (-) jernih, pernafasan cuping hidung(-),
perdarahan (-), hiperemi (-).
h. Mulut : mukosa bibir kering (-), mucosa sianosis (-), faring
hiperemis (-). Tonsil T1/T1
V. Leher
a. Inspeksi : bentuk leher kesan normal
b. Palpasi : tidak teraba benjolan

14
VI. Thoraks
a. Inspeksi. :Inspeksi tampak simetris, retraksi subcostal (-),
deformitas(-), jaringan parut (-).
b. Jantung:
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
 Palpasi : ictus cordis teraba di anterior midclavicular line (S)
ICS VI(S).
 Perkusi : batas jantung (D) di parasternal line (D) ICS IV dan
batas jantung (S) di anterior axillary line (S) ICS VI.
 Auskultasi : S1S2 tunggal, regular cepat, gallop (-), murmur (-).
c. Paru :
 Inspeksi : gerak nafas simetris pada kedua sisi dinding
dada, retraksi (-), RR 16 kali/menit, teratur, simetris.
 Palpasi : pergerakan dinding dada saat bernafas simetris.
 Perkusi : sonor sonor
sonor sonor
sonor sonor
 Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru.
V V - - - -
SN V V Rh - - Wh - -
V V - - - -

VII. Abdomen
a. Inspeksi : soefl, kulit abdomen : jaringan parut (-).
b. Auskultasi : bising normal
c. Perkusi : timpani, shifting dullnes (-).
d. Palpasi : H/L tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+)

VIII. Punggung
a. Inspeksi : bentuk kesan normal
b. Palpasi : nyeri tekan regio flank sinistra, nyeri ketok CVA sinistra

15
IX. Kulit
Lokasi :Regio femoralis sinistra dan regio cruris sinistra
Distribusi : terlokalisir
Ruam : Makula eritema, berbatas tidak tegas, teraba hangat,
disertai papul papul

X. Genitalia
Tidak dievaluasi.
XI. Ekstremitas

Pemeriksaan Atas Bawah


Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral Hangat Hangat Hangat Hangat

Anemis – – – -

Ikterik – – – -

Edema – - - -

Sianosis - - - -

Ptechiae – – – –

Capillary Refill < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik
Time

16
3.4 Resume
Ny.L, 40 tahun
Anamnesa
Pasien datang ke IGD RSI Fatimah dengan keluhan kaki bengkak,
kemerahan dan nyeri dirasakan kurang lebih 1 hari ini, awalnya kulit
kemerahan muncul di tungkai kaki kiri dan menjalar ke paha kiri , kulit
kemerahan ini lama-lama menjadi bengkak, terasa panas dan nyeri. Pasien
juga mengeluh demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan
sumer sumer, serta pusing, mual dan muntah. Pusing dirasakan seperti
berputar, pasien juga muntah sebanyak 4 kali.
Pemeriksaan fisik
 Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS 456
 Tanda vital :
o Tekanan darah : 130/80 mmHg
o Denyut jantung : 89 x/menit regular
o Pernapasan : 16x/menit
o Suhu aksiler : 36,6O C
 Kepala : tidak ditemukan kelainan
 Leher : tidak ditemukan kelainan.
 Thoraks : tidak ditemukan kelainan.
 Abdomen : nyeri tekan epigastrium (+)
 Punggung : tidak ditemukan kelainan.
 Kulit : regio femoralis sinistra dan cruris sinistra, macula eritema
berbatas tidak tegas teraba hangat disertai papul papul
 Genital : tidak dievaluasi.
 Ekstrimitas : teraba hangat

3.5 Diagnosis
a. Diagnosa Kerja:
Selulitis regio femoralis dan cruris sinitra
b. Rencana diagnosis:
 Lab: Darah Lengkap, GDA
c. Hasil Pemeriksaan Penunjang:

17
- Darah Lengkap (8 April 2019):
Hemoglobin : 11,5 g/dL
Hematokrit : 35,6
Leukosit : 12.100/mm3
Trombosit : 193.000/mm3
Eosinofil/Basofil/Neutrofil/Lymfosit/Monosit: -/-/-87/11/2
GDA : 116 mg/dl
d. Diagnosis Klinis:
Selulitis regio femoralis dan cruris sinitra

3.6 Rencana Terapi


Non Farmakologis :Memberikan edukasi pada pasien untuk beristirahat serta
tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan.
Farmakologis :
 IVFD RL 18 tpm
 Injeksi Antrain 1 amp
 Injeksi Ranitidin 1 amp
 Injeksi Ondansentron 1 amp
 Injeksi Cefoperazone 2x1
 PO ulsafat syrup 3xc1
 PO Braxidin 3x1
 Kompres Nacl 0,9% selama 15 menit tiap 4 jam

3.7 Follow up
a. 9 April 2019
S : muncul benjolan berisi air pada ruam paha dan tungkai kiri, ruam
terasa panas.
O : TD 130/80
Nadi 92 x/menit
RR 19x/menit
Suhu 36,8O C
Regio femoralis dan cruris sinistra didapatkan macula eritema
berbatas tidak tegas, teraba hangat dengan vesikel

18
A : Selulitis
P:
PTx
 IVFD RL 18 tpm
 Injeksi Cefoperazone 2x1
 PO ulsafat syrup 3xc1
 PO Braxidin 3x1
 Kompres Nacl 0,9% selama 15 menit tiap 4 jam
PMo
- Keluhan, TTV
b. 10 April 2019
S : muncul benjolan berisi air pada ruam paha dan tungkai kiri, ruam
terasa panas.
O : TD 130/80
Nadi 86 x/menit
RR 18x/menit
Suhu 36,7O C
Status Lokalis : Regio femoralis dan cruris sinistra didapatkan
macula eritema berbatas tidak tegas, teraba hangat dengan vesikel

A : Selulitis
P:
PTx

19
 IVFD RL 18 tpm
 Injeksi Cefoperazone 2x1
 PO ulsafat syrup 3xc1
 PO Braxidin 3x1
 Kompres Nacl 0,9% selama 15 menit tiap 4 jam
PMo
- Keluhan, TTV
c. 11 April 2019
S : pasien mengeluh mual serta ruam terasa nyeri dan panas.
O : TD 120/80
Nadi 98 x/menit
RR 19x/menit
Suhu 36,6O C
Status Lokalis : Regio femoralis dan cruris sinistra didapatkan
macula eritema berbatas tidak tegas, teraba hangat dengan vesikel
A : Selulitis
P:
PTx
 IVFD RL 18 tpm
 Injeksi Cefoperazone 2x1
 PO metronidazole 3x500 mg
 PO ulsafat syrup 3xc1
 PO Braxidin 3x1
 Kompres Nacl 0,9% selama 15 menit tiap 4 jam
PMo
- Keluhan, TTV
d. 12 April 2019 Diuretik + (UI, 2015,75)
S : pasien mengeluh kaki terasa bengkak
O : TD 110/70
Nadi 82 x/menit
RR 16x/menit
Suhu 36,6O C
Status Lokalis : Regio femoralis dan cruris sinistra didapatkan
macula eritema berbatas tidak tegas, teraba hangat dengan

20
vesikel
A : Selulitis
P:
PTx
 IVFD RL 18 tpm
 Injeksi Cefoperazone 2x1
 PO Metronidazole 3x500 mg
 PO ulsafat syrup 3xc1
 PO Braxidin 3x1
 Kompres Nacl 0,9% selama 15 menit tiap 4 jam
PMo
- Keluhan, TTV
e. 13 April 2019
S : nyeri pada ruam berkurang
O : TD 110/70
Nadi 82 x/menit
RR 16x/menit
Suhu 36,6O C
Status lokalis : Regio femoralis dan cruris sinistra didapatkan
macula eritema berbatas tidak tegas dengan krusta
A : Selulitis
P:
PTx
 IVFD RL 18 tpm
 Injeksi Cefoperazone 2x1
 PO Metronidazole 3x500 mg
 PO ulsafat syrup 3xc1
 PO Braxidin 3x1
 Kompres Nacl 0,9% selama 15 menit tiap 4 jam
PMo
- Keluhan, TTV
-
f. 14 April 2019
S : Nyeri pada ruam berkurang

21
O : TD 110/80
Nadi 78 x/menit
RR 16x/menit
Suhu 36,6O C
Status Lokalis: Regio cruris sinistra dan femoralis sinistra,
erythema berkurang, vesikel (-), krusta (+)
A : Selulitis
P:
PTx
 Pasien KRS, obat pulang
 PO Ciprofloxacin 2x1 > 13 Th. <13 th Gangg pertumb
kartilago, di lempeng epifisis (Amoksisilin 25-50mg/kg/h)
 Sagestam ointment 3 x ue MuNaNeBas
 Sucralfat syrup 3x C1
 Inbumin 2x1

22
BAB 4
Pembahasan

Pasien merupakan wanita dengan usia 40 tahun. Berdasarkan data


epidemiologis, selulitis dapat tejadi pada semua usia, peningkatan resiko selulitis
dapat terjadi seiring engan meningkatnya usia, tetapi jenis kelamin tidak memiliki
hubungan yang berarti dengan angka kejadian selulitis. Pasien datang ke IGD RSI
Fatima dengan keluhan panas pada tungkai serta terdapat ruam kemerahan pada
tungkai kiri. Dua hari sebelum munculnya ruam, pasien datang ke IGD RSI Fatimah
dengan keluhan demam serta mual dan muntah. Dari anamnesis tersebut sesuai
dengan gejala selulitis, yaitu diawali oleh gejala prodromal berupa malaise,
demam, menggigil dan dapat berkembang dengan cepat hingga muncul gejala
klinis selulitis berupa lesi yang tampak merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi
lesi tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada pasien ruam muncul pada
tungkai, hal ini sesuai dengan epidemiologi yang menyatakan bahwa predeleksi
selulitis pada dewasa paling sering pada ekstremitas.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan berat badan pasien 88 kg dengan tinggi
badan pasien 151 cm sehingga indeks massa tubuh pasien adalah 38 yang
tergolong dalam obesitas. Obesitas sendiri menjadi salah satu factor resiko dari
selulitis. Obesitas berkaitan dengan sejumlah efek pada fisiologi kulit, termasuk
efeknya pada fungsi pelindung kulit, kelenjar sebasea dan produksi sebum,
kelenjar keringat, limfatik, struktur dan fungsi kolagen, penyembuhan luka,
mikrosirkulasi dan makrosirkulasi, serta lemak subkutan. Obesitas juga berkaitan
dengan sejumlah perubahan pada fungsi pelindung kulit (Chan MK, et al. 2009).
Loffler, dkk menggunakan metode bioengineering untuk menyelidiki hubungan
antara IMT dan fungsi epidermal. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa
orang dengan obesitas menunjukkan peningkatan transepidermal water loss dan
eritema dibandingkan dengan kontrol, meunjukkan adanya gangguan fungsi
pelindung epidermis. Bukti menunjukkan bahwa suplai vaskuler turut terganggu
pada orang dengan obesitas. Obesitas memengaruhi makrosirkulasi maupun
mikrosirkulasi. Obesitas berkaitan dengan sejumlah penyakit kulit (Concheiro J, et
al. 2012). Penelitian kasus kontrol menunjukkan adanya peningkatan risiko selulitis
dan infeksi kulit pada pasien overweight dan obesitas (Roujeau JC, et al. 2004).
Angka kejadian infeksi kulit dilaporkan lebih tinggi pada pasien obesitas bila

23
dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas. Menurut Rossi AB, dkk
meskipun selulitis kadangkala muncul pada pasien sehat, tanpa obesitas, namun
selulitis dieksarsebasi oleh obesitas. Hal ini dipengaruhi oleh jaringan adiposa
yang ikut berperan aktif dalam inflamasi dan imunitas, dengan menghasilkan dan
melepaskan berbagai faktor proinflamasi dan antiinflamasi, termasuk leptin dan
adiponektin, serta sitokin dan chemokines (Pi-Sunyer FX, 2008). Sementara itu,
adiponektin merupakan imunosupresif yang poten, sedangkan leptin mengaktivasi
netrofil polymorphonuclear, dengan menggunakan aktivitas proliferatif dan anti-
apoptotik limfosit T, memengaruhi produksi sitokin, meregulasi aktivasi
monosit/makrofag, dan berkontribusi pada penyembuhan luka. Induksi leptin
tampaknya merupakan komponen protektif terhadap respon imun dan defisiensi
leptin genetik pada manusia telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas akibat
infeksi (Fantuzzi G, et al. 2008)..
Berdasarkan pemeriksaan status lokalis, didapatkan macula eritema
berbatas tegas dengan papul yang kemudian menjadi vesikel pada regio femoralis
sinistra dan cruris sinistra. Ruam dirasakan panas dan nyeri. Gambaran klinis
selulitis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk ditandai
dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak. Pada infeksi
yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau jaringan neurotik.
Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional dan limfangitis ascenden.
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini di dapat kan hasil
leukosit sebesar 12.000 yang menandakan leukositosis. Pada pasien selulitis
terjadi infeksi bakteri pada jaringan kulit, sehingga pada pemeriksaan darah tepi
biasanya ditemukan leukositosis.
Terapi spesifik yang diberikan untuk menangani seluliitis pada pasien ini
adala antibiotic cefoperazone 2x1 gram serta kompres Nacl 0,9% selama 15
menit tiap 4 jam. Berdasarkan kepustakaan bahwa pengobatan untuk selilitis,
diperlukan antibiotik sistemik dengan pilihan AB lini pertama ialah golongan
penisilin, jika alergi dapat diberikan golongan makrolid atau klindamisin. Topikal
diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik. Anti histamin diberikan
untuk mengurangi rasa gatal. Pada lesi yang kering diberikan asam fusidat.
Pada kasus ini diberikan antibiotic cefoperazone, yang merupakan golongan
terbaru dari beta lactam yang merupakan golongan anti biotik spektrum luas
yang dapat melawan bakteri gram negative maupun bakteri gram positif .

24
Sebagai golongan ketiga dari sefalosporin pemberian antibiotik ini sebaiknya
disesuaikan dengan indikasi dan kemampuan ekonomi dari pasien , mengingat
harga dari antibiotik ini yang mahal. Pada kasus ini diberikan juga obat
simptomatis lainnya untuk membantu mengurangi keluhan pasien selain ruam
seperti demam, mual, dan muntah. Obat simptomatis yang diberikan antara
lain, antrain, ranitidine, ondansentron, sucralfat dan braxidin.

25
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas,dapat disimpulkan bahwa penyakit selulitis


adalah salah satu bentuk dari pioderma diamana selulitis merupakan peradangan
akut yang terutama menyerang dermis dan jaringan subkutis yang biasanya
didahului oleh adanya luka atau trauma.
Selulitis merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Streptoccocus dan S. aureus, yang menyerang jaringan subkutis dan daerah
superfisial. Faktor resiko untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan
kulit), luka terbuka di kulit atau gangguan pada pembuluh balik (vena) maupun
pembuluh getah bening. Daerah predileksi yang sering terkena yaitu wajah, badan,
genitalia, dan ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan klinis
selulitis: adanya makula erimatous, tepi tidak meninggi, batas tidak jelas, edema,
infiltrat dan teraba panas. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan gambaran klinis. Penanganan perlu memperhatikan faktor
predisposisi dan komplikasi yang ada.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008
2. Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition.
New York: McGrawHill: 2008
3. Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State
of America.
4. Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales,
Cardiff, UK. 1708
5. Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and
cellulitis: a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94
6. Kertowigno S. 2011. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri press,
Palembang, Indonesia, hal: 146-149
7. Perdoski. 2017. Panduan Praktis Klinis Perdoski. Jakarta, Indonesia, hal :
121-126

27
Kasus ini menggaris bawahi fakta bahwa obesitas dapat menjadi faktor
predisposisi untuk terjadinya infeksi jaringan lunak yang berat. Obesitas
merupakan hasil interaksi dari faktor-faktor genetik dan lingkungan. Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan, sekitar 60-70% variasi IMT merupakan akibat
dari faktor-faktor lingkungan dan 30- 40% merupakan akibat faktor-faktor genetik.
Sumbangan faktor lingkungan terhadap obesitas telah diketahui dengan jelas.
Pilihan diet, status sosioekonomi, dan faktor perilaku seperti inaktivitas
merupakan faktor-faktor yang penting pada pasien obesitas.4 Obesitas
merupakan hasil dari ketidakseimbangan kronis antara asupan makanan dan
pengeluaran energi. Secara spesifik, terdapat tiga faktor metabolik yang
dilaporkan dapat memprediksi kenaikan berat badan, yaitu: (1) pengeluaran
energi yang rendah akibat gaya hidup sedenter; (2) high respiratory quotient
(rasio karbohidrat dibanding oksidasi lemak); dan (3) tingkat aktivitas fisik yang
rendah.5 Telah diketahui bahwa jaringan adiposa ikut berperan aktif dalam
inflamasi dan imunitas, dengan menghasilkan dan melepaskan berbagai faktor
proinflamasi dan antiinflamasi, termasuk leptin dan adiponektin, serta sitokin dan
chemokines. 1 Sementara itu, adiponektin merupakan imunosupresif yang poten,
sedangkan leptin mengaktivasi netrofil polymorphonuclear, dengan
menggunakan aktivitas proliferatif dan anti-apoptotik limfosit T, memengaruhi
produksi sitokin, meregulasi aktivasi monosit/makrofag, dan berkontribusi pada
penyembuhan luka.6-8 Induksi leptin tampaknya merupakan komponen protektif
terhadap respon imun dan defisiensi leptin genetik pada manusia telah dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas akibat infeksi.
Obesitas berkaitan dengan sejumlah efek pada fisiologi kulit, termasuk efeknya
pada fungsi pelindung kulit, kelenjar sebasea dan produksi sebum, kelenjar
keringat, limfatik, struktur dan fungsi kolagen, penyembuhan luka, mikrosirkulasi
dan makrosirkulasi, serta lemak subkutan. Obesitas juga berkaitan dengan
sejumlah perubahan pada fungsi pelindung kulit. Loffler, dkk.11 menggunakan
metode bioengineering untuk menyelidiki hubungan antara IMT dan fungsi
epidermal. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa orang dengan obesitas
menunjukkan peningkatan transepidermal water loss dan eritema dibandingkan
dengan kontrol, meunjukkan adanya gangguan fungsi pelindung epidermis. Bukti
menunjukkan bahwa suplai vaskuler turut tergangguan pada orang dengan
obesitas. Obesitas memengaruhi makrosirkulasi maupun mikrosirkulasi. Obesitas

28
berkaitan dengan sejumlah penyakit kulit.5 Penelitian kasus kontrol menunjukkan
adanya peningkatan risiko selulitis dan infeksi kulit pada pasien overweight dan
obesitas.12 Angka kejadian infeksi kulit dilaporkan lebih tinggi pada pasien
obesitas bila dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas. Intertigo,
kandidiasis, furunkulosis, eritrasma, tinea cruris, dan folikulitis merupakan infeksi
kulit yang sering ditemukan pada pasien obesitas, sementara selulitis, necrotising
fasciitis, dan gas gangren juga kadang dijumpai. Infeksi jamur di kaki—misalnya
tinea pedis dan onychomycosis—lebih umum dijumpai pada pasien obesitas dan
pada jangka panjang dapat merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
selulitis bakterial akut pada ekstremitas inferior.13-15 Bjornsdottir, dkk. dalam
sebuah penelitian kasus kontrol prospektif menunjukkan obesitas sebagai faktor
risiko untuk terjadinya selulits pada model univariat, namun pada model
multivariat temuan ini tidak lagi tampak setelah mengendalikan faktor-faktor
lainnya. Selulitis pada wanita terutama terjadi di paha, pantat, regio pelvis, dan
abdomen. Selulitis dicirikan dengan lekukan kulit dan perubahan lain pada
topografi kulit, dan kadang dapat menyerupai gambaran kulit jeruk. Selulitis
terutama terjadi karena perubahan pada epidermis dan terjadinya perubahan
pada jaringan adiposa. Meskipun selulitis kadangkala muncul pada pasien sehat,
tanpa obesitas, namun selulitis dieksarsebasi oleh obesitas.17

1. Pi-Sunyer FX. The obesity epidemic: pathophysiology and


consequences of obesity. Obes Res. 2002;10(Suppl 2):97S-104S
2. Yosipovitch G, DeVore A, Dawn A. Obesity and the skin: Skin
physiology and skin manifestations of obesity. J Am Acad Dermatol.
2007;56(6):901-16
3. Fantuzzi G. Adipose tissue, adipokines, and inflammation. J Allergy
Clin Immunol. 2005;115(5):911–9.
4. Wolf AM, Wolf D, Rumpold H, Enrich B, Tilg H. Adiponectin induces
the anti-inflammatory cytokines IL-10 and IL-1RA in human
leukocytes. Biochem Biophys Res Commun. 2004;323(2):630–5.
5. Zarkesh-Esfahani H, Pockley AG, Wu Z, Hellewell PG, Weetman AP,
Ross RJ. Leptin indirectly activates human neutrophils via induction of
TNF-alpha. J Immunol. 2004;172(3):1809–14.

29
6. Fantuzzi G, Faggioni R. Leptin in the regulation of immunity,
inflammation, and hematopoiesis. J Leukoc Biol. 2000;68(4):437– 46
7.
8. Loffler H, Aramaki JU, Effendy I. The influence of body mass index on
skin susceptibility to sodium lauryl sulphate. Skin Res Technol.
2002;8(1):19-22.
9. Dupuy A, Benchikhi H, Roujeau JC, Bernard P, Vaillant L, Chosidow
O et al. Risk factors for erysipelas of the leg (cellulitis): case-control
study. BMJ. 1999;318(7198):1591–4.
10. Garcia HL. Dermatological complications of obesity. Am J Clin
Dermatol. 2002;3(7):497–506. 96
11. Chan MK, Chong LY; Achilles Project Working Group in Hong Kong. A
prospective epidemiologic survey on the prevalence of foot disease in
Hong Kong. J Am Podiatr Med Assoc. 2002;92(8):450–6.
12. Roujeau JC, Sigurgeirsson B, Korting HC, Kerl H, Paul C. Chronic
dermatomycoses of the foot as risk factors for acute bacterial cellulitis
of the leg: a case-control study. Dermatology. 2004;209(4):301–7.
13. Bjornsdottir S, Gottfredsson M, Thorisdottir AS, Gunnarsson GB,
Rikardsdottir H, Kristjansson M et al. Risk factors for acute cellulitis of
the lower limb: a prospective case-control study. Clin Infect Dis.
2005;41(10):1416–22.
14. Rossi AB, Vergnanini AL. Cellulite: a review. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2000;14(4):251-62.
1. Falagas ME, Kompoti M. Obesity and infection. Lancet Infect Dis.
2006;6(7):438–46.

30

Anda mungkin juga menyukai