Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

“OBSTRUKSI DUKTUS NASOLAKRIMALIS”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Disusun Oleh :
Effitra Febrina H2A013030P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
PERIODE 26 FEBRUARI – 23 MARET 2018
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU PENYAKIT MATA

Laporan Kasus
Obstruksi Duktus Nasolakrimalis

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:

Effitra Febrina
H2A013030P

Telah disetujui oleh Pembimbing:

dr. Retno Wahyuningsih, SpM


BAB I
PENDAHULUAN

Duktus nasolakrimal adalah saluran yang menghubungkan sakus


lakrimalis ke bagian anterior meatus inferior dari hidung, tempat mengalirnya air
mata ke hidung.1 Obstruksi pada duktus nasolakrimal, menyebabkan air mata
tidak dapat mengalir ke kavum nasi. Hal ini sering menimbulkan gejala epifora.
Selain gejala epifora yang sering dikeluhkan, pasien yang mengalami obstruksi
pada saluran ini, sering mengalami rekuren infeksi mata atau infeksi saluran air
mata.2
Kanalisasi duktus nasolakrimal biasanya telah terbentuk sempurna pada
bulan ke delapan gestasi.3 Namun, 2-4% dari seluruh bayi yang dilahirkan
mengalami keterlambatan perkembangan, dimana masih terdapat sisa membran di
ujung saluran ini, tidak terdapatnya pungtum, stenosis dari sistem pengeluaran air
mata, infeksi, atau tulang hidung yang menghambat pengeluaran air mata.4
Terdapat 90% pasien obstruksi duktus lakrimal kongenital mengalami patensi
saluran pada usia kurang dari 1 tahun namun sisanya berlanjut hingga usia lebih
dari 1 tahun.5
Kejadian obstruksi duktus nasolakrimal cukup sering, namun tidak
terdapat data pasti yang menyatakan angka kejadian pastinya. Terdapat banyak
hal yang dapat menimbulkan obstruksi duktus nasolakrimal didapat, misalnya
infeksi, inflamasi, neoplasi, trauma, mekanikal.6
Obstruksi duktus nasolakrimal menimbulkan beberapa komplikasi,
komplikasi yang tersering salah satunya adalah konjungtivitis dan komplikasi
lainnya adalah dracyocystitis. Oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanaan untuk
membuat saluran nasolakrimal yang paten. Banyaknya hal yang dapat
menimbulkan obstruksi duktus nasolakrimal dan komplikasi penyakitnya
membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai penegakan diagnosis dan
tatalaksana obstruksi duktus nasolakrimal
BAB II
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Pasien rawat jalan (Poliklinik Mata)
1. Nama : Ny. D
2. No. RM : 002504
3. Umur : 75 tahun
4. Jenis kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Alamat : Losari sawahan
7. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
8. Tanggal periksa : 28 Februari 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Mata berair
2. Riwayat penyakit sekarang
Mata kiri berair sejak 1 bulan yang lalu. Mata kiri nerocos,
mengeluarkan air bening seperti air mata. Nerocos terjadi terus-
menerus. Keluhan semakin dirasakan jika pasien menatap terlalu
lama. Keluhan tidak dirasakan pada mata kanan. Keluhan disertai
dengan lodok berwarna kehijauan di mata kiri dan mata terasa
lengket saat bangun tidur pagi. Mata kiri juga terasa pegal jika
melihat cahaya. Tidak ada keluhan penglihatan kabur, mata merah,
gatal pada mata, maupun perasaan mengganjal pada mata. Keluhan
tidak didahului dengan riwayat peradangan pada saluran pernafasan.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan sama : Diakui
b. Riwayat hipertensi : Diakui
c. Riwayat DM : Disangkal
d. Riwayat alergi obat : Disangkal
e. Riwayat trauma pada mata : Disangkal
f. Riwayat operasi mata : Disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : Disangkal
b. Riwayat DM : Disangkal
c. Riwayat keluhan sama : Disangkal
5. Riwayat sosial ekonomi
Pasien sudah tidak bekerja. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 28 Februari 2018 pukul 11.00
WIB di poli mata RSUD Ambarawa.
1. Keadaan umum : cukup
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : 160/70 mmHg
b. Frek. Nadi : 82 x/menit
c. Frek. Nafas : 22 x/menit
d. Suhu : 36.5 °C
4. Status generalisata
a. Kepala
1) Bentuk : normocephal
2) Hidung : septum deviasi (-), sekret (-)
3) Mulut : bibir kering (-), dinding faring hiperemis (-
)
4) Telinga : normotia, tanda radang (-)
b. Leher : deviasi (-), pembesaran KGB (-)
c. Thoraks : dalam batas normal
d. Abdomen : dalam batas normal
e. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
5. Status oftalmologi
Oculus Dexter (OD) Pemeriksaan Oculus Sinister (OS)
6/15 Visus Natural 6/12
6/10 Visus Kacamata 6/15
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Baik ke segala arah Gerakan bola mata Baik ke segala arah
Normal Suprasilia Normal
Hiperemis (-) Palpebra Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Ptosis (-) Ptosis (-)
Hiperemis (-) Konjungtiva Hiperemis (-)
Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Bulat (+) Kornea Bulat (+)
Jernih (+) Jernih (+)
Mengkilat (+) Mengkilat (+)
Edema (-) Edema (-)
Presipitat (-) Presipitat (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Kedalaman normal COA Kedalaman normal
Hipopion (-) Hipopion (-)
Hifema (-) Hifema (-)
Kripte (+) Iris Kripte (+)
Sinekia (-) Sinekia (-)
Bulat Pupil Bulat
Letak di sentral Letak di sentral
Regular Regular
Jernih (+) Lensa Jernih (+)
D. Diagnosis Banding
1. Obstruksi duktus nasolakrimalis OS
2. Dakriosistitis OS
3. Lakrimasi

E. Diagnosis Klinis
OS obstruksi duktus nasolakrimalis

F. Penatalaksanaan
- Levofloxacin eyedrop 3 x 1
- Rujuk RS Kariadi untuk dilakukan pembedahan

G. Edukasi
1. Menjelaskan pada penderita bahwa penyebab dari mata kiri sering
nerocos adalah dikarenakan adanya sumbatan di saluran
pembuangan kelenjar air mata.
2. Bila adanya sumbatan dikarenakan adanya benda kecil dapat
dikeluarkan dengan mengalirkan cairan ke saluran kelenjar air
mata. Bila sumbatan bersifat besar dapat dilakukan tindakan
operatif untuk memperlancar saluran pembuangan kelenjar air
mata.
3. Bila keluhan dibiarkan lama dapat menimbulkan komplikasi lebih
lanjut seperti adanya infeksi pada saluran pembuangan kelenjar air
mata

H. Prognosis
Oculus Dexter Oculus Sinister
Quo ad vitam Ad bonam Ad bonam
Quo ad sanationam Ad bonam Ad bonam
Quo ad cosmeticam Ad bonam Ad bonam
Quo ad functionam Ad bonam Ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi 5
Kompleks lakrimalis terdiri atas kelenjar lakrimal, kelenjar
lakrimal aksesorius, kanalikuli, saccus lakrimalis, dan ductus
nasolakrimalis. Kelenjar lakrimal terdiri atas struktur-struktur berikut ini:
1. Bagian orbita berbentuk kenari, terletak di dalam fossa glandulae
lacrimalis di segmen temporal atas anterior orbita yang dipisahkan
dari bagian palpebral oleh kornu lateralis musculus levator palpebrae.
Untuk mencapai bagian kelenjar ini dengan pembedahan, harus diiris
kulit, musculus orbicularis oculi, dan septum orbitale.
2. Bagian palpebral yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen
temporal forniks, konjungtiva superior. Duktus sekretorius lakrimal,
yang bermuara pada sekitar sepuluh lubang kecil, menghubungkan
bagian orbita dan bagian palpebral kelenjar lakrimal dengan forniks
konjungtiva superior. Pengangkatan bagian palpebral kelenjar akan
memutus semua saluran penghubung dan mencegah seluruh kelenjar
bersekresi.
Kelenjar lakrimal aksesorius (glandula Krause dan Wolfring)
terletak di dalam substansia propria di konjungtiva palpebra.
Air mata mengalir dari lacus lacrimalis melalui punctum superius
dan inferius dan kanalikuli ke saccus lacrimalis, yang terletak di dalam
fossa glandulae lacrimalis. Ductus nasolacrimalis berlanjut ke bawah dari
saccus dan bermuara ke meatus inferior rongga hidung, lateral terhadap
turbinatus inferior. Air mata diarahkan ke dalam punctum oleh isapan
kapiler, gravitasi, dan kedipan palpebrae. Kombinasi kekuatan isapan
kapiler dalam kanalikuli, gravitasi, dan aktivitas memompa otot Horner –
perluasan musculus orbicularis oculi ke belakang saccus lacrimalis akan
meneruskan aliran air mata ke bawah melalui ductus nasolacrimalis ke
dalam hidung.
B. Fisiologi 5
Sistem ekskresi air mata terdiri atas punctum, kanalikuli, saccus
lacrimalis, dan ductus nasolacrimalis. Setiap kali berkedip, palpebral
menutup seperti ritsleting – mulai dari lateral, menyebarkan air mata
secara merata di atas kornea, dan menyalurkannya ke dalam sistem
ekskresi pada aspek medial palpebra. Pada kondisi normal, air mata
dihasilkan dengan kecepatan yang kira-kira sesuai dengan kecepatan
penguapannya. Dengan demikian, hanya sedikit yang sampai ke sistem
ekskresi. Bila sudah memenuhi saccus konjungtivalis, air mata akan
memasuki puncta sebagian karena sedotan kapiler. Dengan menutup mata,
bagian khusus orbicularis pratarsal yang mengelilingi ampula akan
mengencang untuk mencegahnya keluar. Bersamaan dengan itu, palpebra
ditarik ke arah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia yang
mengelilingi saccus lacrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan
menimbulkan tekanan negatif di dalam saccus. Kerja pompa dinamik ini
menarik air mata ke dalam saccus, yang kemudian berjalan melalui ductus
nasolacrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan, ke
dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan serupa katup milik epitel
pelapis saccus cenderung menghambat aliran balik udara dan air mata.
Yang paling berkembang di antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di
ujung distal ductus nasolacrimalis. Struktur ini penting karena bila tidak
berlubang pada bayi, menjadi penyebab obstruksi kongenital dan
dakriosistitis menahun.

C. Obstruksi Ductus Nasolacrimalis


1. Definisi 6
Obstruksi duktus nasolakrimal adalah sumbatan pada
saluran yang menghubungkan dari salah satu sakus lakrimal ke
bagian anterior meatus inferior dari hidung, tempat mengalirnya air
mata ke hidung. Sesuai dengan fungsi ductus nasolakrimal sebagai
tempat mengalirnya air mata dari sakus lakrimal ke nasal cavity,
obstruksi pada ductus nasolakrimal menyebabkan air mata yang
mengalir berlebihan secara abnormal pada pipi (epifora).
2. Etiologi dan Klasifikasi 7
Obstruksi ductus nasolacrimalis terbagi menjadi dua berdasarkan
usia terjadinya :
a. Obstruksi ductus nasolacrimalis kongenital
Sistem nasolakrimal berkembang sebagai tabung yang
solid yang kemudian mengalami kanalisasi dan paten tepat
sebelum cukup bulan. Obstruksi duktus nasolakrimal
kongenital (CLDO) adalah gangguan patensi duktus
nasolakrimal yang didapatkan semenjak dari lahir. Ujung
distal duktus nasolakrimal bisa tetap imperforata sehingga
menyebabkan mata berair. Sekitar 6% bayi mengalami
pengeluaran air mata walau saat tidak menangis.
Penyebab tersering (50%) dari obtruksi duktus
nasolakrimal kongenital adalah kegagalan dari membran di
ujung duktus nasolakrimal (katup Hasner) untuk membuka
pada atau mendekati kelahiran.
Penyebab lainnya adalah tidak ada punctum pada
kelopak mata atas dan bawah, stenosis, infeksi, dan tulang
hidung yang mengobstruksi saluran air mata saat memasuki
hidung.
Obstruksi kanalikuli menyebabkan sebagian kumpulan
air mata dalam sakus lakrimal dapat terinfeksi dan
menimbulkan mukocelle atau mengakibatkan drakiosistitis.
Kebanyakan obstruksi menghilang pada tahun pertama
kehidupan namun jika epifora masih terjadi setelah tahun
pertama kehidupan dapat dilakukan patensi dengan
melewatkan suatu probe melalui pungtum ke duktus
lakrimalis untuk melubangi membran yang tertutup
(probing).
b. Obstruksi ductus nasolacrimalis didapat
Obstruksi duktus nasolakrimalis didapat terbagi
menjadi dua, yakni primer dan sekunder. Obstruksi duktus
nasolakrimalis primer adalah keadaan obstruksi duktus yang
disebabkan inflamsi atau fibrosis tanpa faktor yang
mendasarinya.
3. Patofisiologi 8
Obstuksi duktus nasolakrimalis primer lebih tinggi pada
wanita dan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan anatomi fossa
lakrimal bagian bawah dan duktus nasolakrimal bagian tengah.
Terdapat perubahan dimensi anteroposterior pada tulang canal
nasolakrimal pada pasien osteoporosis. Hal lain yang
mempengaruhi terjadinya obstruksi adalah fluktuasi hormon,
menstruasi, dan sistem imun. Perubahan hormon menyebabkan
perubahan secara general re-epitelisasi di tubuh termasuk di sakus
dan duktus nasolakrimal.
Obstruksi duktus nasolakrimal sekunder, disebabkan karena
infeksi, inflamasi, mekanikal, tumot, trauma. Bakteri seperti
Actinomyces, Propionibacterium, Fusobacterium, Bacteriodes,
Mycobacterium, Chlamydia. Pada infeksi virus, obstruksi
disebabkan kerusakan substansia propia dari jaringan elastis
kanalikuler dan atau perlekatan baris membran epitel kanalikuli.
Jamur juga dapat menimbulkan sumbatan melalui sumbatan batu,
atau dacryolith. Parasit jarang menimbulkan obstruksi namun
pernah dilaporkan Ascaris lumbricoides memasuki sistem lakrimal
melalui katup Hasner.
Inflamasi endogen yang menyebabkan obstruksi seperti
granulomatosis, sarcoidosis, pemphigoid. Inflamasi eksogen yang
menimbulkan obstruksi antara lain obat tetes mata, radiasi,
kemotherapy sistemik.
4. Manifestasi Klinis 7
Beberapa hal yang menjadi manifetasi klinis obstruksi ductus
nasolacrimalis antara lain:
a. Epifora
b. Iritasi
c. Pandangan kabur yang disebabkan penambahan meniskus
air mata
d. Dacryosistitis, konjungtivitis, pemphigus okular yang
bersifat rekuren
e. Sisi medial kantus yang nyeri dan bengkak.
5. Penegakan Diagnosis 7,8,9
Penegakan diagnosis obstruksi duktus nasolakrimal dimulai
dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
didapatkan gejala dan tanda berupa epifora; mukoid atau purulen
discharge; gejala infeksi ulangan berupa dracyosistitis,
konjungtivitis, pemphigus; nyeri dan bengkak pada medial kantus.
Pada anamnesis digali riwayat penyakit mata terdahulu seperti
pembedahan mata (dacryosistorhinotomi), operasi kelopak mata,
penggunaan obat galukoma atau tetes mata lainnya. Selain riwayat
penyakit mata, pada anamnesis dapat diperoleh riwayat penyakit
sistemik sebelumnya seperti, limpoma, wegener granulomatosis,
sarcoidosis, ocular cicatricial pemphigoid, kawasaki disease,
scleroderma, sinus histiocytosis, riwayat pengobatan dengan
radiasi ke kantus medial dengan kemoterapi sistemik dengan 5-FU,
infeksi parasit, trauma facial, pembedahan nasal atau sinus
sebelumnya.
Untuk membantu penegakan diagnosa obstruksi duktus
nasolakrimal dapat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
fisiknya didapatkan:
a. Observasi Umum
1) Aliran air mata
2) Massa yang menonjol pada sakus lakrimal atau area
medial kantus
3) Sekret bola mata yang mukoid atau purulen (sering
tidak terjadi regurgitasi karena fungsi katup
Rossenmuler
4) Tes regurgitasi : keluarnya cairan mukoid setelah
penekanan pada lakrimal menunjukan terdapat
obstruksi pada nasolakrimal
b. Pada slit lamp ditemukan
1) Tear meniskus dengan cairan flourensence, positif
bila > 2mm
2) Stenosis puntal
3) Kanalikulitis
c. Dye Disappearance Test (DDT)
Tujuan nya untuk menilai terdapat atau tidak
keadekuatan aliran air mata, terutama yang bersifat
unilateral. DDT sulit dilakukan pada anak-anak karena
diperlukan sedasi dalam melakukan irigasi lakrimal.
DDT menggunakan tetesan cairan steril flourescein
2% atau strip flourescein. Pemeriksa memasukan
flourescen ke forniks konjungtiva tiap mata dan
mengobservasi lapisan air mata dengan sinar kobalt biru.
Peristennya perwarnaan terutama terutama yang asimetris
pada lapisan air mata bila meniskus air mata tetap pada >
5 menit mengindikasikan adanya obstruksi.
Bila hasil DDT normal kemungkinan kecil adanya
obstruksi aliran air mata. Namun, penyebab obstruksi
yang bersifat intermiten seperi alergi, dacryolith,
obstruksi intranasal tidak dapat disingkirkan.
d. Jones Test I dan II
Tes jones I dan II digunakan untuk mengevaluasi
epifora. Sama seperti DDT, tes Jones I atau tes pewarnaan
primer, digunakan untuk menilai aliran air mata pada
fungsi fisiologi normal. Tes nonfisiologi Jones II
membedakan ada atau tidak ada floresen di cairan irigasi
salin yang didapatkan dari hidung. Tes ini dapat
membedakan terdapatnya suatu refluks selama irigasi.
Irigasi saluran dari sistem saluran lakrimal didapatkan
cairan salin yang bersih dari bagian dalam hidung
e. Diagnostic Probing
Diagnostic probing pada sistem nasolakrimal atas (punta,
kanalikuli, sakus lakrimal) digunakan untuk
mengokonfirmasi level obstruksi. Pada pasien dewasa
tindakan ini relatif lebih mudah dan dapat dilakukan
dengan topikal anastesi. Suatu probe yang kecil
digunakan untuk menilai adanya obstruksi kanalikular.
Bila terdapat suatu obstruksi probe terjepit pada pungtum
sebelum ditarik. Hal ini dapat menilai sejauh mana
obstruksinya. Probe yang lebih besar dapat digunakan
untuk menilai adanya obstruksi parsial. Diagnostic
probing jarang dilakukan pada obstruksi duktus
nasolakrimal didapat, namun pada obstruksi duktus
nasolakrimal kongenital sering dilakukan dan sangat
bermanfaat.
f. Uji Anel
Caranya pasien duduk atau tidur mata diberi tetes
anastetik dan ditunggu sampai rasa pedas hilang lalu
pungtum lakrimalis diperlebar dengan dilator. Jarum anel
dimasukan horizontal melalui kanalikuli sampai masuk
sakus lakrimal kemudian dimasukan garam fisiologik ke
dalam sakus. Pasien ditanya apakah terasa ada sesuatu
pada tenggorokan dan apakah terlihat reaksi menelan
berarti garam fisiologik masuk tenggorokan. Hal ini
menunjukan fungsi ekskresi normal sebaliknya bila tidak
ada refleks menelan dan garam fisiologik keluar melalui
pungtum lakrimal berarti ada sumbatan pada sistem
ekskresi lakrimal atau duktus nasolakrimal tertutup
g. Uji Floresein
Pemeriksaan ini sederhana dan hanya dapat
dilakukan untuk satu sisitem ekskresi lakrimal pada satu
kali pemeriksaan. Caranya dengan meneteskan satu tetes
flouresein pada satu mata. Pasien diminta berkedip
nenerapa kali. Pada akhir menit ke enam, pasien diminta
bersin dan menyekanya dengan tisu atau pasien diminta
meludah maka jika sistem eksresi lakrimal baik maka
akan terlihat adanya zat warna yang menempel pada
kertas tisu baik dari hidung maupun dari mulut.
h. Nasal endoskopi
Nasal endoskopi digunakan untuk menilai aliran air
mata. Keuntungan nasal endoskopi adalah hanya
membutuhkan waktu beberapa menit untuk menilai
anatomi hidung.
i. Contrast dracyosystography dan dracyoscintiagraphy
Contrast dracyosystography dan dracyo-
scintiagraphy bertujuan untuk menilai anatomi dan fungsi
sistem lakrimal. Kontras radioopak disuntikan ke satu
atau kedua sistem kanalikular kemudian dilakukan
pencitraan pada menit ke-10. Pencitraan tersebut selain
dapat digunakan untuk menilai level obstruksi, dapat juga
digunakan untuk menilai keterlambatan perkembangan
sakus lakrimal, deteksi tumor. Dracyoscintiagraphy
digunakan bila hasil tes irigasi sistem lakrimal berubah-
ubah. Kerugiannya tidak menggambarkan anatomi hidung
yang sesungguhnya.
j. CT-Scan dan MRI
CT-Scan dan MRI digunakan pada pasien yang
memiliki riwayat trauma cranio-facial, deformitas tulang
wajah kongenital, dan kemungkinan neoplasia.
6. Tatalaksana 8,9
a. Intubasi dan Pemasangan Sten
Intubasi dilakukan bila terdapat obstruksi duktus
nasolakrimal parsial dan hanya dapat dilakukan bila tube
mampu melewati duktus.
b. Dracyocystorhinotomy
Dracyocystorhinotomy (DCR) adalah suatu
tindakan bedah yang bertujuan untuk membuat
anastomosom antara sakus lakrimal dan kavitas nasal
melalui ostium tulang. DCR dilakukan bila terdapat
infeksi rekuren dracyosistitis, refluks muokoid kronik,
nyeri pada sakus lakrimalis, dan epifora yang
mengganggu.
7. Prognosis 8
Pada obstruksi duktus nasolakrimal kongenital, janrang
terjadi komplikasi serta kanalisasi spontan pada usia kurang dari 1
tahun sering terjadi (95%).4 Namun, apabila tidak terjadi kanalisasi
spontan, dilakukan prosedur tindakan bedah misalnya dracyo-
cystorhinostomy dan endoskopi laser dracryocystorhinostomy yang
angka kesembuhan bisa mencapai 90%.
8. Komplikasi 8
Komplikasi obstruksi ductus nasolacrimalis antara lain:
a. Dracyocystitis
b. Dermatitis (pada kelopak mata)
c. Selulitis
d. Granuloma pyogenic
DAFTAR PUSTAKA

1. John Hopkins. 2008. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari :


http://www.hopkinsmedicine.org/sinus/sinus_conditions/nasolacrimal_duc
t_obstruction.html , 10 Maret 2018)
2. Basahour Mounir. 2009. Nasolacrimal Duct. Congenital Anomalies.
(Dikutip dari : http://emedicine.medscape.com/article/1210252-overview ,
10 Maret 2018)
3. Anonim. 2010. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari :
http://www.aapos.org/faq_list/congenital_nasolacrimal_duct_obstruction ,
10 Maret 2018)
4. Camara. 2010. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1210141-overview , 10 Maret
2018)
5. Vaughan DG, Asbury T. Lensa. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Alih
Bahasa Tambajong J, Pendit UB. Widya Medika. Jakarta, 2000.
6. Dorland. W.A. Kamus Kedokteran, Edisi 29, Alih Bahasa Setiawan. A.,
Bani. A. P., dkk.EGC. Jakarta, 2005.
7. James Bruce, dkk. Lecture Note Oftalmologi. Edisi 9, Alih Bahasa
Rachmawati A.D., Erlangga. Jakarta, 2005.
8. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science. San
Fransisco: 2011.
9. Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Buku Panduan Ketrampilan Diagnostik Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang:
FK Universitas Sriwijaya. 2006.

Anda mungkin juga menyukai