Anda di halaman 1dari 33

REFLEKSI KASUS

PREEKLAMSIA DENGAN KEMATIAN JANIN INTRAUTERIN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik

Stase Obstetri dan Ginekologi di RSUD Tugurejo Semarang

Diajukan Kepada :

dr. Diana Handaria, Sp.OG

Disusun oleh:

Fairuz Febrita Dinarsari H2A014058P

KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

Refleksi Kasus

PREEKLAMSIA DENGAN KEMATIAN JANIN INTRAUTERIN

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi

RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh:

Fairuz Febrita Dinarsari

H2A014058P

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Tanggal : ...........................................

Pembimbing Klinik

Ilmu Obstetri dan Ginekologi

dr. Diana Handaria, Sp.OG


BAB I

PENDAHULUAN

Preeklampsia adalah gangguan menyeluruh mengenai malfungsi endotel


vaskular dan vasospasme yang terjadi pada minggu ke 20 kehamilan dan dapat
pula terjadi sampai minggu ke 4-6 postpartum. Secara klinis didefinisikan sebagai
hipertensi dan proteinuria dengan maupun tidak disertai edema patologis.
Preeklampsia merupakan bagian dari hipertensi yang merupakan penyulit dari
kehamilan meliputi hipertensi kronis, preeklampsia superimposed dengan
hipertensi kronik, hipertensi gestasional, preeklampsia dan eklampsia.1,2,3
Angka kematian ibu bersama dengan angka kematian bayi senantiasa
menjadi indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. Menurut
World Health Organization (WHO), diperkirakan kematian maternal terjadi lebih
dari 500.000 kasus per tahun di seluruh dunia, yang terjadi akibat proses
reproduksi. Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah
hipertensi dalam kehamilan khususnya preeklamsi.4,5
Kematian janin dalam kandungan /intra uterine fetal deadth (IUFD)
merupakan salah satu masalah yang ditemukan pada saat hamil, keadaan ini dapat
mengancam nyawa ibu. Kematian janin dalam kandungan apabila tidak segera
ditangani akan mengakibatkan ancaman bagi nyawa ibu. Biasanya ini terjadi pada
usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau pada trimester kedua. Penanganan
preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di antara praktisi dan
rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum ada teori yang mampu
menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas, namun juga akibat kurangnya
kesiapan sarana dan prasarana di daerah.6,7,8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pre – Eklamsia
1. Definisi
Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan
vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan
perfusi organ.9 Preeklampsia didefinisikan sebagai suatu sindrom yang
dijumpai pada ibu hamil di atas 20 minggu terdiri dari hipertensi dan
proteinuria dengan atau tanpa edema.8
Sindroma ini terjadi selama kehamilan, dimana gejala klinis timbul pada
kehamilan setelah 20 minggu atau segera setelah persalinan. Diagnosis
preeklampsia berat adalah keadaan preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110mmHg, dengan atau tanpa kadar
proteinuria > 5 gr/24jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif, kenaikan kadar
kreatinin plasma, terdapat gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium atau
nyeri kuadran kanan atas abdomen, edema paru atau sianosis, dan sindroma
HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzym, Low Platet Count).8
2. Epidemiologi9
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak
faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, dan lain-lain.Angka kejadian preeklamsia didunia sendiri
mencapai 4% dari jumlah total kehamilan. Frekuensi kejadian preeklampsia
sekitar 3-10% di Indonesia, sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa
kejadian preeklampsia sebanyak 3,4%dari semua kehamilan. Pada
primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida muda.

3. Faktor Risiko Preeklampsia


Wanita yang memiliki risiko sedang terhadap terjadinya
preeklampsia,memiliki salah satu kriteria dibawah ini:10
a. Primigravida
b. Umur ≥40 tahun
c. Interval kehamilan ≥ 10 tahun
d. BMI saat kunjungan pertama ≥35 kg/m2
e. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia
f. Kehamilan ganda
Wanita yang memiliki risiko tinggi terjadinya preeklampsia adalah yang
memiliki salah satu dari kriteria dibawah ini:10
a. Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya
b. Penyakit ginjal kronik
c. Penyakit autoimun seperti SLE atau Sindrom Antifosfolipid
d. Diabetes Tipe1 atau Tipe 2
e. Hipertensi Kronik

4. Patofisiologi11
Etiologi dan faktor pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui
secara pasti. Teori timbulnya preeklampsia harus dapat menjelaskan beberapa
hal, yaitu sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnya
frekuensi dengan bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengan
kematian janin intrauterin, sebab timbulnya tanda-tanda preeklampsia. Itulah
sebabnya kenapa penyakit ini disebut “the disease of theories”.
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya
spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air.Bila spasme
arteriolar juga ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa
tekanan darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan
tahanan perifer agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi.Sedangkan
peningkatan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang
berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa
literatur menyebutkan bahwa pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron
yang rendah dan kadar prolaktin yang tinggi dibandingkan pada kehamilan
normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan
mengatur retensi air serta natrium.Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh
darah terhadap protein meningkat.
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi
perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini
kemungkinan akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau
menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II, adrenalin, dan
noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap zat-zat vasokonstriktor.
Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid
seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan
tekanan darah yang normal seperti tekanan darah sebelum hamil.
a. Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada
preeklampsia. Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga
terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan
pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika
dijumpai edema interstitial, volume plasma adalah lebih rendah
dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan terjadi
hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan
ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.
b. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia
dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya
dengan wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah
(BBLR).
c. Aliran Darah di Organ-Organ
1) Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang
20%.Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak
yang mungkin merupakan suatu faktor penting dalam terjadinya
kejang pada preeklampsia maupun perdarahan otak.
2) Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering
menjadi penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus
darah efektif ginjal rata-rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi
600ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang rata-rata 30%, dari
170 menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada
kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit kasus
dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar,
yang fungsinya mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan
darah dan menjamin perfusi plasenta yang adekuat. Pada
kehamilan normal renin plasma, angiotensinogen,angiotensinogen
II, dan aldosteron meningkat nyata di atas nilai normal wanita tidak
hamil. Perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya
kadar progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek
progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin, dan aldosteron,
tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.
Sperof menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia
adalah iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan
antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi
sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Apabila terjadi
hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uterus yang
mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan
pembuluh darah. Disamping itu angiotensin menimbulkan
vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin sebagai
mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun
pada preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan
normal meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia
masih di atas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens
fraksi asam urat yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu
sebelum ada perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat
merupakan gejala awal.
Dijumpai pula peningkatan pengeluaran protein biasanya
ringan sampai sedang.Preeklampsia merupakan penyebab terbesar
sindrom nefrotik pada kehamilan.Penurunan hemodinamik ginjal
dan peningkatan protein urin adalah bagian dari lesi morfologi
khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler
glomerulus yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada
preeklampsia.
3) Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah
perubahan patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan
mungkin merupakan faktor penentu hasil kehamilan.Namun yang
disayangkan adalah belum ada satu pun metode pengukuran arus
darah yang memuaskan baik di uterus maupun di desidua.
4) Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya
karena edema paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.
5) Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah
orbital.Bila terjadi hal hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya
preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah ke eklampsia
adalah skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh
adanya perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di
korteks serebri atau dalam retina.

5. Gejala dan Tanda Klinis


Sesuai dengan definisi preeklampsia, gejala utama preeklampsia adalah
hipertensi, proteinuria dan edema yang dijumpai pada kehamilan semester 2
atau kehamilan diatas 20 minggu dengan atau tanpa edema karena edema
dijumpai 80% pada kehamilan normal dan edema tidak meningkatkan
morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal. Gejala-gejala dan tanda-
tanda lain yang timbul pada preeklampsia sesuaidengan kelainan-kelainan
organ yang terjadi akibat preeklampsia:8
a. Tekanan sistolik > 140 mmHg dan/atau diastolik > 90 mmHg dengan
b. Proteinuria > 300 mg/ urin 24 jam atau dipstick > +1
c. Bila tidak dijumpai proteinuria, penemuan hipertensi baru dengan
salah satu dari trombosit < 100.000/microL, serum kreatinin > 1,1
mg/dL (atau peningkatan 2x lipat dari nilai normal), peningkatan nilai
SGOT/SGPT 2x lipat dari nilai normal, edem pulmo, nyeri kepala,
pandangan kabur

6. Klasifikasi dan Diagnosis


Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan
dan preeklampsia berat.7
a. Preeklampsia Ringan
Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi
organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
aktivasi endotel.
Diagnosa preeklampsia ringan ditegakkan dengan kriteria:
1) Hipertensi: Sistolik/diastolik ≥ 140/90mmHg.
2) Proteinuria: ≥300mg/24 jam atau ≥1+ dipstik.
3) Edema: Edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria
preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema
generalisata
b. Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah
sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai
kerusakan organ atrget.
Diagnosa preeklampsia berat ditegakkan dengan kriteria:
1) Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥110 mmHg.
2) Proteinuria lebih > 300mg/24 jam atau dipstick > +1
3) Kenaikan kadar kreatinin plasma>1,1 mg/dL atau naik dua kali
lipat
4) Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma dan pandangan kabur.
5) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
(akibat tegangnya kapsula Glisson).
6) Edema paru-paru dan sianosis.
7) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3penurunan trombosit
dengan cepat
8) Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan
kadar alanin dan aspartat aminotransferase
9) Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme,
Trombositopenia)

Preeklampsia berat dibagi menjadi:


- Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
- Preeklampsia berat dengan impending eclampsia
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-
gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-
muntah, nyeri epigatrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.

7. Penatalaksanaan
a. Pemberian obat anti kejang7
Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah
magnesium sulfat (MgSO47H2O).Magnesium sulfat menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan
mengambat transmisi neuromuscular. Transmisi neuromuscular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat,
magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan ion
magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat.Magnesium sulfat sampai saat ini
tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau
eklamsia.
Cara pemberian magnesium sulfat regimen:
1) Loading dose : initial dose4 gram MgSO4 intravena, (40 % dalam
10 cc) selama 15 menit.
2) Maintenance dose :Diberikan 1g / jam selama 24 jam
3) Syarat-syarat pemberian MgSO4
a. Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium glukonas 10 %=1 gram (10 % dalam 10 cc) diberikan
i.v. 3 menit.
b. Reflex patella (+) kuat
c. Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda
distress napas.
4) Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi,
setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
b. Pemberian antihipertensi7
Antihipertensi diberikan jika tekanan sistolik ≥ 150 mmHg dan
atau tekanan diastolik ≥ 100 mmHg.

1) Agen lini pertama


Metildopa
Metildopa, agonis reseptor-a yang bekerja di sistem saraf pusat,
adalah obat antihipertensi yangpaling sering digunakan untuk wanita
hamil dengan hipertensi kronis.Metildopamempunyai batas aman yang
luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutamapada sistem
saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan
menurunkan tonussimpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi,
curah jantung, dan aliran darah ginjal relatif tidakterpengaruh. Efek
samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi,
hipertensipostural, anemia hemolitik dan hepatitis yang disebabkan
obat.
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2-
3x/hari, dengandosis maksimum 3g/hari.Efek obat maksimal dicapai 4-
6 jam setelah obat masuk danmenetap selama 10-12 jam sebelum
diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopaadalah
intravena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 (satu) gram tiap
6 (enam) jam untukkrisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta
pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.Metildopa harus dihindari
pada wanita dengan riwayat depresi, karena peningkatan risiko depresi
pasca melahirkan.
2) Agenlini kedua
Agen ini harus digunakan bila monoterapi dengan metildopa tidak
cukup atau ketika wanita tidak dapat mentolerir metildopa.
Nifedipine
Nifedipin merupakan salah satu penghambat kanal kalsium untuk
mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai
antihipertensi.Penghambat kanal kalsium bekerja pada otot polos
arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi denganmenghambat masuknya
kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat
pemberianpenghambat kanal kalsium dapat mengurangi afterload,
sedangkan efeknya pada sirkulasi venahanya minimal.Pemberian
penghambat kanal kalsium dapat memberikan efek samping
maternal,diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan
edema tungkai akibat efek localmikrovaskular serta retensi cairan.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral,
diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosismaksimum 30 mg. Penggunaan
berlebihan penghambat kanal kalsium dilaporkan dapatmenyebabkan
hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi relatif
setelah pemberian penghambat kanal kalsium.
Nikardipin
Nikardipin merupakan penghambat kanal kalsium parenteral, yang
mulai bekerja setelah 10 menitpemberian dan menurunkan tekanan
darah dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Efek
samping pemberian nikardipin tersering yang dilaporkan adalah sakit
kepala.Dibandingkannifedipin, nikardipin bekerja lebih selektif pada
pembuluh darah di miokardium, dengan efeksamping takikardia yang
lebih rendah.Laporan yang ada menunjukkan nikardipin
memperbaikiaktivitas ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan
iskemia jantung.Dosis awal nikardipin yangdianjurkan melalui infus
yaitu 5 mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5 mg/jam tiap 5 menit
hinggamaksimum 10 mg/jam atau hingga penurunan tekanan arterial
rata –rata sebesar 25% tercapai.Kemudian dosis dapat dikurangi dan
disesuaikan sesuai dengan respon.
3) Agen lini ketiga
α dan ß adrenergik blocker
β blocker adrenergik telah disorot sebagai kelas antihipertensi yang
terkait dengan peningkatan risiko IUGR.Atenolol khususnya jarang
digunakan.Atenolol merupakan β-blocker kardioselektif (bekerja pada
reseptor β1 dibandingkan β2).Atenolol dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, terutama bila digunakan untuk jangka
waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester
pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian
anti hipertensi lainnyatidak efektif.
Penggunaan atenolol menjadi pilihan terapi lini pertama pada ibu
dengan preeklamsia post partum dikombinasikan dengan nifedipin atau
ACE-inhibitor.
Diureticthiazide
Diureticthiazide jarang digunakan dalam kehamilan.Obat-obatan
tidak muncul untuk menjadi teratogenik dan meskipun obat-obatan
seperti menyingkat ekspansi volume plasma yang berhubungan dengan
kehamilan normal, belum terbukti mengganggu pertumbuhan
janin.Namun, wanita dengan hipertensi kronis yangsebelum hamil,
merespon dengan baik untuk diuretik thiazide.
Glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34
minggu selama 48 jam (6 gr/12 jam IM sebanyak 4 kali) untuk
pematangan paru janin.Glukokortikoid juga diberikan pada sindroma
HELLP.
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
a. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
b. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian medikamentosa.
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
Bila setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh
dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda
preeklampsia ringan.
Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini,
yaitu:
 Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik
dan laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
6. Laboratorik : Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat
 Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
8. Komplikasi
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi dapat
terjadi pada ibu maupun janin/anak.8,12
a. Maternal
1) Eklampsia
Eklampsia adalah kejang grandmal akibat spasme
serebrovaskular.Kematian disebabkan oleh hipoksia dan
komplikasi dari penyakit berat yang menyertai.
2) Perdarahan serebrovaskular
Perdarahan serebrovaskular terjadi karena kegagalan
autoregulasi aliran darah otak pada MAP (Mean Arterial Pressure)
diatas 140 mmHg.
3) HELLP Syndrome
4) Gagal ginjal
5) Edema paru
6) Ablasio retina
7) Solusio plasenta
8) Koma
9) Trombosis vena
10) Kematian maternal
b. Fetal
1) Pertumbuhan janin terhambat
Pada usia kehamilan 36 minggu, masalah utama adalah
IUGR. IUGR terjadi karena plasenta iskemi yang terdiri dari area
infark.
2) Persalinan prematur
3) Perdarahan serebral
4) Pneumorhorax
5) Serebral Palsy
6) Kematian fetal
9. Prognosis
Kematian ibu pada preeklampsia 3x lipat dari kematian dalam obstetri dan
pada eklampsia angka kematian ibu berkisar 7-17%.Angka kematian perinatal
pada preeklampsia berkisar 10%.Prematuritas merupakan penyebab utama
kematian perinatal.Angka kejadian prematuritas pada preeklampsia paling
sedikit 2x kehamilan normal.Angka kematian bayi prematur lebih kurang
22%.Kejang merupakan faktor utama sebagai penyebab kematian ibu. Kriteria
yang dapat meningkatkan angka kematian ibu (Kriteria Eden) antara lain:8

1. Kejang 10x atau lebih


2. Koma 6 jam atau lebih
3. Temperatur ≥39oC
4. Nadi ≥120x per menit
5. Pernafasan ≥40x per menit
6. Edema pulmonal
7. Sianosis
8. Urin ≤30ml/jam

B. IUFD (Intra Uterine Fetal Death)


1. Pengertian IUFD

Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and


Gynecologists yang disebut kematian janin adalah janin yang mati
dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian
janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian
janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat
janin, atau infeksi. Kematian janin merupakan hasil akhir dari
gangguan pertumbuhan janin, atau akibat infeksi yang tidak
terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak diobati.13
2. Etiologi IUFD

Menurut Norwitz, penyebab kematian janin dalam rahim


yaitu :14
1) 50 % kematian janin bersifat idiopatik (tidak diketahui
penyebabnya).
2) Kondisi medis ibu (hipertensi, pre-eklamsi, diabetes mellitus)
berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian janin.
Deteksi dini dan tata laksana yang yang sesuai akan
mengurangai risiko IUFD.
3) Komplikasi plasenta (plasenta previa, abruption plasenta)
dapat menyebabkan kematian janin. Peristiwa yang tidak
diinginkan akibat tali pusat sulit diramalkan, tetapi sebagian
besar sering ditemukan pada kehamilan kembar
monokorionik/monoamniotik sebelum usia gestasi 32 minggu.
4) Penentuan kariotipe janin harus dipertimbangkan dalam semua
kasus kematian janin untuk mengidentifikasi abnormalitas
kromosom, khususnya dalam kasus ditemukannya
abnormalitas struktural janin. Keberhasilan analisis sitogenetik
menurun pada saat periode laten meningkat. Kadang-kadang,
amniosentesis dilakukan untuk mengambil amniosit hidup
untuk keperluan analisis sitogenetik.

5) Perdarahan janin-ibu (aliran sel darah merah transplasental dari


janin menuju ibu) dapat menyebabkan kematian janin. Kondisi
ini terjadi pada semua kehamilan, tetapi biasanya dengan
jumlah minimal (<0,1 mL). Pada kondisi yang jarang,
perdarahan janin-ibu mungkin bersifat masif. Uji Kleuhauer-
Betke (elusi asam) memungkinkan perhitungan estimasi
volume darah janin dalam sirkulasi ibu.
6) Sindrom antibodi antifosfolipid. Diagnosis ini memerlukan
pengaturan klinis yang benar (>3 kehilangan pada trimester
pertama
>1) kehilangan kehamilan trimester kedua dengan penyebab
yang tidak dapat dijelaskan, peristiwa tromboembolik vena
yang tidak dapat dijelaskan.
7) Infeksi intra-amnion yang mengakibatkan kematian janin
biasanya jelas terlihat pada pemeriksaan klinis. Kultur
pemeriksaan histology terhadap janin, plasenta/selaput janin,
dan tali pusat akan membantu.

3. Predisposisi IUFD

Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas.


Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau
kelainan patologik plasenta.13,14.15
1) Factor maternal antara lain adalah post term(>42 minggu),
diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus eritematosus,
infeksi hipertensi, pre-eklamsia, eklamsia, hemoglobinopati,
umur ibu tua, penyakit rhesus, rupture uteri, antifosfolipid
sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu.

2) Factor fetal antara lain: hamil kembar, hamil tumbuh


terlambat, kelainan congenital, kelainan genetic, infeksi.
3) Factor plasenta antara lain: kelainan tali pusat, lepasnya
plasenta, KPD, vasa previa.
4) Sedangkan factor resiko terjadinya kematian janin intra
uterine meningkat pada usia >40 tahun, pada ibu infertil,
kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan
lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma urelitikum), kegemukan,
ayah berusia lanjut.
4. Manifestasi Klinis IUFD

Menurut Achadiat, criteria diagnostic kematian janin dalam


rahim meliputi :16

1) Rahim yang hamil tersebut tidak bertambah besar lagi, bahkan


semakin mengecil.
2) Tidak lagi dirasakan gerakan janin.
3) Tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan.
4) Bentuk uterus menjadi tidak tegas sebagaimana suatu
kehamilan normal.
5) Bila kematian itu telah berlangsung lama, dapat dirasakan
krepitasi, yakni akibat penimbunan gas dalam tubuh.

5. Menetapkan Kematian Janin dalam Rahim 12

Menetapkan janin dalam rahim meliputi :


1) Pemeriksaan terhadap detak jantung (dengan menggunakan
stetoskop laeneck, alat dopler).

2) Pemeriksaan terhadap tidak adanya gerak jantung, tulang


kepala janin berhimpit, tulang belakang makin melengkung
(dengan menggunakan USG).
3) Pemeriksaan terhadap tulang kepala berhimpit, tulang belakang
melengkung, dalam usus janin dijumpai pembentukkan gas
(dengan foto rontgen).

6. Batasan Kematian Janin12

1. Menurut WHO: kematian yang terjadi pada janin dengan berat


badan lahir lebih dari 1000 gram.
2. Menurut Prawiroharjo: kematian janin dibagi dalam 4 golongan :
Kelompok I : kematian janin sebelum kehamilan 20
minggu. Kelompok II : kematian janin pada umur kehamilan 20-28
minggu.
Kelompok III: kematian janin pada umur kehamilan lebih
dari 28 minggu.
Kelompok IV : kematian janin yang tidak termasuk tiga
golongan di atas
3. Menurut U.S National Center: Kematian janin pada umur
kehamilan lebih dari 20 minggu.
4. Menurut FIGO: Kelahiran bayi termasuk dengan BBL >500 gram
atau lebih sesuai umur kehamilan >22 minggu.
7. Diagnosis IUFD13

Menurut Norwitz, diagnosis kematian janin dalam rahim meliputi :


1) Gejala jika kematian janin terjadi terjadi di awal kehamilan,
mungkin tidak akan ditemukan gejala kecuali berhentinya gejala-
gejala kehamilan yang biasa dialami (mual, sering berkemih,
kepekaan pada payudara). Di usia kehamilan selanjutnya, kematian
janin harus dicurigai jika janin tidak bergerak dalam jangka waktu
yang cukup lama.
2) Tanda-tanda ketidakmampuan mengidentifikasi denyut jantung
janin pada kunjungan ANC (antenatal care) setelah usia gestasi 12
minggu atau tidak adanya pertumbuhan uterus dapat menjadi dasar
diagnosis.
3) Pada pemeriksaan laboratorium terjadi penurunan kadar
gonadotropin korionik manusia (Human Chorionic Gonadotropin
atau HCH) mungkin dapat membantu diagnosis dini selama
kehamilan.
4) Pada pemeriksaan radiologis. Secara historis, foto rontgen
abdominal digunakan untuk mengkonfirmasi IUFD. Tiga temuan
sinar X yang dapat menunjukkan adanya kematian janin meliputi
penumpukan tulang tengkorak janin (tanda spalding), tulang
punggung janin melengkung secara berlebihan dan adanya gas
didalam janin. Meskipun demikian, foto rontgen sudah tidak
digunakan lagi. USG saat ini merupakan baku emas untuk
mengkonfirmasi IUFD dengan mendokumentasikan tidak adanya
aktifitas jantung janin setelah usia gestasi 6 minggu. Temuan

sonografi lain mencakup edema kulit kepala dan maserasi janin.


8. Patofisiologi IUFD12

Kematian janin dalam pada kehamilan yang telah lanjut,


maka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
1) Rigor mortis (tegang mati) berlangsung 2,5 jam setelah mati
kemudian lemas kembali.
2) Stadium maserasi I : timbulnya lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh
ini mula-mula terisi cairan jernih, tetapi kemudian menjadi
merah coklat.
3) Stadium maserasi II : timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai
air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi 48 jam setelah anak
mati.
4) Stadium maserasi III : terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak
mati.

Badan janin sangat lemas dan hubungan antara tulang-tulang


sangat longgar edema di bawah kulit.

9. Komplikasi IUFD13

Menurut Norwitz, sekitar 20-25% dari ibu yang


mempertahankan janin yang telah mati selama lebih dari 3
minggu maka akan mengalami koagulopati intravaskuler
diseminata (Disseminated Intravascular Coagulopathy atau DIC)
akibat adanya konsumsi faktor- faktor pembekuan darah secara
berlebihan.
10. Pengelolaan IUFD

Janin yang mati dalam rahim sebaiknya segera dikeluarkan


secara:12
1) Lahir spontan: 75% akan lahir spontan dalam 2
minggu.
2) Persalinan anjuran :
a) Dilatasi serviks dengan batang laminaria
Setelah dipasang 12-24 jam kemudian dilepas dan
dilanjutkan dengan infus oksitosin sampai terjadi
pengeluaran janin dan plasenta.

b) Dilatasi serviks dengan kateter folley.


(1) Untuk umur kehamilan > 24 minggu.
(2) Kateter folley no 18, dimasukan dalam kanalis
sevikalis diluar kantong amnion.
(3) Diisi 50 ml aquades steril.
(4) Ujung kateter diikat dengan tali, kemudian lewat
katrol, ujung tali diberi beban sebesar 500 gram.
(5) Dilanjutkan infus oksitosin 10 u dalam dekstrose 5 %
500 ml, mulai 8 tetes/menit dinaikkan 4 tetes tiap 30
menit sampai his adekuat.

c) Infus oksitosin
(1) Keberhasilan sangat tergantung dengan kematangan
serviks, dinilai dengan Bishop Score, bila nilai = 5
akan lebih berhasil.

(2) Dipakai oksitosin 5-10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml


mulai 8 tetes / menit dinaikan 4 tetes tiap 15
sampaihis adekuat.
d) Induksi prostaglandin
(1) Dosis :
Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suppositoria 20 mg,
diulang 4-5 jam.
Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suntikan im 400 mg.
Pg-E 2,5 mg/ml dalam larutan NaCL 0.9 %, dimulai
0,625 mg/ml dalam infus.
(2) Kontra Indikasi: asma, alergi dan penyakit
kardiovaskuler.

11. Pencegahan IUFD

Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah


atau mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin
menurun, tidak bergerak atau gerakan janin terlalu keras, perlu
dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio
plasenta. Pada gemeli dengan TT (twin to twin transfusion)
pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis.

.
BAB III
PEMBAHASAN

Hubungan Preeklampsia dengan IUFD


Teori penyebab preeclampsia yang pertama kali dikemukakan adalah
teori kelainan vaskularisasi plasenta yang menunjukkan kegagalan
remodeling arteri spiralis. Invasi sel-sel trofoblas pada lapisan pada lapisan
otot arteri spiralis tidak terjadi pada preeclampsia sehingga arteri spiralis
gagal bervasodilatasi. Vasodilatasi arteri spiralis ini terjadi pada kehamilan
normal dan penting untuk menjaga aliran darah ke janin sehngga dapat
meningkatkan perfusi jaringan dan menjamin pertumbuhan janin dengan baik.
Kegagalan remodeling arteri spiralis terjadi pada preeclampsia, pembuluh
darah tetap kaku sehingga menyebabkan hipoperfusi dan iskemia plasenta.
Kondisi iskemia akan memicu plasenta menghasilkan oksidan (radikal bebas)
yang dapat mengakibatkan kerusakan sel endotel. Iskemia juga dapat
berkembang menjadi aterosis, nekrosis fibrin, thrombosis, penyempitan
arteriola, dan infark plasenta.12.13
Preeklampsia merupakan salah satu faktor risiko IUFD, dimana
preeclampsia merupakan faktor penyakit yang diderita oleh ibu. Pada
preeklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan
air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah
akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar
oksige jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin. Menurut Kotweg dkk, penyebab yang paling penting
untuk IUFD adalah keterbatasan pertumbuhan janin, hal ini menekankan
pentingnya peran plasenta dalam mengoptimalkan pertumbuhan janin.13,15
Sebuah penelitian di India yang dilakukan oleh Jayashree dkk (2017)
mengungkapkan bahwa preeclampsia merupakan penyebab paling umum
pada kematian janin intrauterine. Sehingga, pada wanita hamil yang terdeteksi
mengalami preeclampsia harus diterapi dengan tepat. Terapi meliputi
pemantauan tekanan darah secara teratur, disertai dengan pemantauan
parameter lain seperti pertumbuhan janin, fungsi hati dan fungsi ginjal, serta
fungsi koagulasi. Dengan adanya pemantauan ini, diharapkan preeclampsia
dapat dideteksi pada tahap awal dan jika diperlukan, dapat merujuk ke pusat
kesehatan yang lebih memadai sehingga komplikasi dari preeclampsia dapat
dihidari.13,15
DAFTAR PUSTAKA

1. Hypertensive disorders in pregnancy. In: Cunningham FG, et al,editors.


WilliamsObstetrics. 23rd ed. New York: McGraw-Hill. p. 706-56. 2010

2. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan. In: Saifudin AB, Rachimhadhi


T, WiknjosastroGH, editors. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, 4th
ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. p. 531-36. 2010

3. Manuaba C, Manuaba F. Buku Pengantar Kuliah Obstetri, 1 th ed. Jakarta :


Penerbit BukuKedokteran EGC. p. 402. 2009

4. American College of Obstetry and Gynecology. Hypertension in


pregnancy. Washington DC. American College of Obstetry and
Gynecology. 2013

5. August P, Sibai BM. Preeclamsia : Clinical features and diagnosis. New


York : UpToDate Wolters Kluwer. 2016

6. Magloire L, Funai EF. Gestational hypertension. New York : UpToDate


Wolters Kluwer. 2016

7. August P. Management of hypertension in pregnant and postpartum


women. New York : UpToDate Wolters Kluwer. 2016

8. WHO recommendations for the use of Magnesium Sulphate at the Primary


Health Care Level. Management of women with preeclampsia and
eclampsia. WHO’s Essential Care Practice Guidelines for Pregnancy and
Childbirth. 2012

9. Peres-Cuevaz R, Fraser W, Reyes H, Reinharz D, Daftari A, Heinz CS,


Roberts JM. Critical pathways for the management of preeclampsia and
severe preeclampsia in institutionalized health care settings. BMC
Pregnancy and Childbirth. 2015

10. Phyllis August, MD, MPH. Hypertension In Pregnancy. American College


Of Obstetricians and Gynecologist. Practice guideline. 2013

11. Cunningham, F.G, Leveno, K.J, et al. 2010. Abnormal Labor in William’s
Obstetry 23rd Edition. Philadelphia : Mc-Graw-Hill.
12. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Jakarta Pusat: Yayasan Bina Pustaka.
2010

32
13. Kanavi JV, Shobha G, Kavita G. Incidence and Risk Factors for
Intrauterine Foetal Demise: a Retrospective Study in a Tertiary Care
Centre in India. Int J Pregn & Chi Birth. 2017;2(2):13-6.
14. Facchinetti F, Alberico S, Benedetto C, Cetin I, Cozzolino S, Di Renzo G,
et al. A multicenter, case-control study on risk factors for antepartum
stillbirth. Journal of Maternal-Fetal &amp; Neonatal Medicine.
2011;24:407–10.
15. Anggun CCP, Ratna DP, Arif YP. Kematian Janin Intrauterin dan
Hubungan dengan Preeklampsia. Medula 2017; 7(5)62-65.
16. Achadiat CM. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC;
2004.

33

Anda mungkin juga menyukai