Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

TN. A USIA 41 TAHUN DENGAN PENURUNAN KESADARAN,


SUSPEK KAD, DAN SUSPEK SH

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Komprehensif


DI RSU PKU MUHAMMADIYAH MAYONG JEPARA

Disusun oleh :
Retna Ayu Wulandari
H2A014010P

Pembimbing :
dr. Septina Esti A. P.

KEPANITERAAN KOMPREHENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSU PKU MUHAMMADIYAH MAYONG JEPARA
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Retna Ayu Wulandari


NIM : H2A014010P
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Stase : Komprehensif
Pembimbing : dr. Septina Esti A.P

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Januari 2019

Pembimbing,

dr. Septina Esti A.P

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering dijumpai


dalam praktek sehari-hari. Penurunan kesadaran dapat disebabkan gangguan pada otak
dan sekitarnya atau karna pengaruh gangguan metabolik. Penurunan kesadaran dapat
terjadi secara akut/cepat atau secara kronik/progresif. Penurunan kesadaran yang
terjadi secara cepat ini yang biasanya merupakan kasus gawat darurat dan butuh
penanganan sesegera mungkin.
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan
penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “SEMENITE“ yaitu :
a) S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung
b) E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang mungkin
melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
c) M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
d) E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.
e) N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
f) I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
g) T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.
h) E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.

Pada tugas ini di bahas mengenai laporan kasus perempuan dengan penurunan
kesadaran, disertai dengan melena dan anemia berat.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
 Nama : Tn. A
 Umur : 41 tahun
 Alamat : Jleper, Mijen, Demak
 Pekerjaan : Karyawan Swasta
 Agama : Islam
 No.RM : 1075XX
 Tgl. Masuk RS : 14 Januari 2020
 Pembiayaan : BPJS
2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesis dengan keluarga pasien pada
tanggal 14 Januari 2020 pukul 16.00 WIB di IGD RS PKU Muhammadiyah
Mayong.
 Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS PKU Muhammadiyah Mayong diantar
keluarganya dengan penurunan kesadaran. Kurang lebih 9 jam sebelum
masuk rumah sakit (SMRS) pasien tiba-tiba pingsan saat sedang disuapi
makan, karena tidak segera sadar maka pasien dibawa ke RS. Sejak 3 hari
SMRS pasien mengeluhkan badannya lemas (+), pegal-pegal (+), nafsu
makan menurun, demam (-), nyeri kepala (+), pusing (-), batuk (-), sesak
nafas (-), mual (+), muntah (-), nyeri perut (-). Saat di IGD pasien muntah 1
kali, berupa bahan makanan, warna kekuningan, darah (-).
3 bulan terakhir pasien sering minum (+), sering BAK (+),
peningkatan nafsu makan (-), penurunan berat badan (-). BAB dalam batas
normal. 1 bulan terakhir pasien kejang 5 kali, durasi 1-5 menit.

4
 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat HT : disangkal (tidak pernah periksa)
- Riwayat DM : disangkal (tidak pernah periksa)
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat penyakit paru : disangkal
- Riwayat epilepsi : disangkal
- Riwayat cedera kepala : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat Keluarga
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat Pribadi
Riwayat penggunaan obat-obatan maupun alkohol disangkal
 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama istri dan 4 anaknya. Pasien seorang karyawan
swasta. Biaya kesehatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 14 Januari 2020 pukul 16.00 di IGD
RS PKU Muhammadiyah Mayong Jepara :
Primary Survey
1. Keadaan umum : penurunan kesadaran
2. Airway :
a. Look : Sianosis (-), nafas cuping hidung (-), bantuan otot pernapasan (-)
b. Listen : Snoring (+), gargling (-), stridor (-)
c. Feel : Hembusan nafas (+), krepitasi di daerah leher (-)
Kesan : tidak paten
Tx : Pemasangan OPA (Oropharyngeal Airway)  snoring (-)

5
3. Breathing
a. RR : 20x/menit, regular
b. SpO2 : 95 %
c. Gerakan dada : simetris
d. Suara paru : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Kesan : tidak paten
Tx : Pemasangan nasal kanul 3 lpm  SpO2 99%.
4. Circulation
a. TD : 159/80 mmHg
b. Nadi : 114x/menit, regular
c. Akral : hangat, suhu 39oC
d. CRT : < 2 detik
5. Dissability
a. Kesadaran : Koma
b. GCS : E1M1V1
c. Refleks cahaya : (+/+), ukuran pupil 3 mm, isokor
6. Exposure
Jejas :-

6
Secondary Survey
1. Status Gizi
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 60 kg
IMT : 22,04 BB/TB (m)2

2. Status Generalis
a. Kepala
Mesocephal, simetris, tanda trauma (-).
b. Mata
Eksophtalmus (-/-), edema palpebra (-/-), mata cekung (+/+), sklera ikterik (-
/-), konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+)
c. Hidung
Bagian luar hidung tidak ada kelainan, krepitasi (-), mukosa hiperemis (-/-),
epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-/-).
d. Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, sekret (-/-), serumen (+/+).
e. Mulut
Bibir sianosis (-), bibir kering (-), nafas bau keton (-)
f. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), otot
bantu nafas (-), JVP tidak meningkat
g. Thorax
Paru
Dextra Sinistra
Paru Depan
Inspeksi Diameter lateral>antero Diameter lateral>antero
posterior posterior
Hemithorax simetris statis Hemithorax simetris statis
dinamis. Retraksi (-) dinamis. Retraksi (-)
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri Stem fremitus kanan = kiri
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran SIC (-) Pelebaran SIC (-)
Arcus costa normal Arcus costa normal
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru

7
Auskultasi Suara dasar paru vesikuler (+), Suara dasar paru vesikuler (+),
wheezing (-), ronkhi (-) wheezing (-), ronkhi (-)
Paru Belakang
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri Stem fremitus kanan = kiri
Hemithorax simetris Hemithorax simetris
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran SIC (-) Pelebaran SIC (-)
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar paru vesikuler (+), Suara dasar paru vesikuler (+),
wheezing (-), ronkhi (-) wheezing (-), ronkhi (-)

Paru tampak anterior Paru tampak posterior

Suara dasar: vesikuler (+) Suara dasar: vesikuler (+)


RBH (+), wheezing (-) RBH (+), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea mid clavicula sinistra dan kuat
angkat. Pulsus parasternal (-). Sternal lift (-). Pulsus epigastrium (-). Thrill (-)
Perkusi :
 Batas atas jantung : ICS II parasternalis sinistra
 Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra
 Batas kanan bawah jantung: ICS V linea parasternalis dextra
 Batas kiri bawah jantung : ICS V 2 cm lateral linea media clavicularis
sinistra
Kesan: batas jantung dbn
Auskultasi: Bunyi jantung I & II murni, bising jantung (-), gallop (-),
pericardial friction rub (-).

8
h. Abdomen
Inspeksi : Datar (-), warna kulit sama dengan sekitar (+)
Auskultasi : Bising usus (+) N, bruit hepar (-), metalic sound (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen (+), pekak sisi (-) N
Palpasi : Supel, nyeri tekan tidak bisa dinilai, hepatomegali (-) dan
splenomegali (-), ginjal tidak teraba

i. Extremitas
Extremitas Superior Extremitas Inferior
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2’’ < 2’’
Akral dingin -/- -/-
Tremor -/- -/-

3. Pemeriksaan Neurologis
a. Kesadaran
Kualitatif : Koma
Kuantitatif : GCS 3, E1M1V1
b. Pemeriksaan motorik

Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior

Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra


Gerakan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Kekuatan Otot Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Tonus Otot Normotoni Normotoni Normotoni Normotoni
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

c. Refleks fisiologis
KANAN KIRI
Biceps (+) (+)
Patella (+) (+)

d. Refleks patologis
KANAN KIRI
Babinski (-) (-)

9
Chaddock (-) (-)
Hoffman tromer (-) (-)

e. Pemeriksaan sensorik
1) Eksteroseptif : Sulit dinilai
2) Proprioseptif : Sulit dinilai
3) Diskriminatif : Sulit dinilai

f. Pemeriksaan saraf kranialis


1) N. I (Olfactorius)
KANAN KIRI
Subjektif Sulit dinilai Sulit dinilai
Objektif Sulit dinilai Sulit dinilai
2) N. II (Opticus)
Sulit dinilai
3) N. III (Okulomotorius), N. IV (Troklearis), dan N. VI (Abducens)
KANAN KIRI
Pergerakan bulbus Sulit dinilai Sulit dinilai
Sikap bulbus Sentral Sentral
Kelainan kedudukan (-) (-)
bola mata
Ukuran pupil Diameter 3mm Diameter 3 mm
Bentuk pupil Bulat, isokor Bulat isokor
Refleks direk (+) (+)
Refleks indirek (+) (+)
4) N. V (Trigeminus)
KANAN KIRI
Membuka
Sulit dinilai
mulut
Mengunyah Sulit dinilai
Menggigit Sulit dinilai
Reflek kornea Tidak dilakukan
Sensibilitas
Sulit dinilai Sulit dinilai
muka

10
5) N. VII (Facialis)
KANAN KIRI
Mengerutkan dahi Sulit dinilai
Mengangkat alis Sulit dinilai
Menutup mata + +
Menyeringai Simetris
Mencucu Simetris
Pengecapan lidah 2/3
Sulit dinilai
anterior
Sensibilitas Sulit dinilai
6) N. X (Vagus)
HASIL
Arcus faring Sulit dinilai
Berbicara Sulit dinilai
Menelan Sulit dinilai
Refleks muntah Sulit dinilai
7) N. XI (Accessorius)
KANAN KIRI
Mengangkat bahu Sulit dinilai Sulit dinilai
Memalingkan kepala Sulit dinilai Sulit dinilai
8) N. XII (Hipoglossus)
HASIL
Tremor lidah Sulit dinilai
Kedudukan lidah Sulit dinilai
Artikulasi Sulit dinilai

g. Pemeriksaan Rangsang Meningeal


Kaku Kuduk (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)

11
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (14-01-2020)
Parameter Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
- Hb 16,1 (H) 12 - 16 g/dl
- Trombosit 208.000 150.000 - 400.000 /mm3
- Eritrosit 5,24 (H) 4,0 – 5,1 jt/uL
- Hematokrit 49,8 (H) 37 – 43 %
- MCV 95,2 (H) 82 – 95 fl
- MCH 30,7 27 – 31 pg
- MCHC 32,3 32 – 37 g/dL
- Leukosit 10.900 4.500 - 11.000 /ul
Diff Count
- Neutrofil Segmen 86 (H) 50 – 70 %
- Limfosit 7 20 – 40 %
- Monosit 7 2 –10 %
Kimia Klinik
 Glukosa sewaktu 309 (H) 70-150 mg/dl
 Ureum 23 10-50 mg/dl
 Kreatinin 0,9 0,60-1,30 mg/dl

2. EKG (14-01-2020)

Kesan: Irama sinus, regular, HR: 138 x/menit, pembesaran jantung (-), ST
elevasi (-), ST depresi (-), T inverted (-)

12
D. DAFTAR ABNOMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
1. Penurunan Kesadaran 9. KU: Penurunan 15. Hb 16,1 (H)
2. Nyeri kepala Kesadaran 16. Ht 49,8 (H)
3. Lemas 10. GCS E1M1V1 17. MCV 95,2 (H)
4. Mual 11. Suhu 39,0 o C 18. Neutrofil Segmen 86
5. Muntah 12. TD 159/80 mmHg (H)
6. Banyak minum 13. SpO2 95% 19. Limfosit 7 (L)
7. Sering BAK 14. Mata cekung 20. GDS 309 (H)
8. Riwayat kejang dalam 1 bulan
terakhir

E. DIAGNOSIS
Penurunan Kesadaran (Suspek KAD, suspek SH)

F. INITIAL PLAN
Diagnosis: Penurunan kesadaran (suspek KAD, suspek SH)
Initial plan
a. Ip Dx :
1) Elektrolit
2) Analisis gas darah
3) Urin rutin
4) Keton urin
5) CT scan kepala
6) X foto thorax
b. Ip Tx
1) Non-Farmakologi
- O2 3L/menit (Nasal Canul)
- Pasang NGT
- Pasang DC
2) Farmakologi
- Infus NaCl 1000 cc, lanjut 20 tpm
- Insulin 6 IU bolus, lanjut subcutan
- Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam
- Inj. Omeprazole 40 mg/24 jam

13
- Paracetamol 500 mg/6 jam per NGT
- Valsatran 80 mg/24 jam per NGT
- Inf manitol 100 cc/6 jam
c. Ip Mx
- Keadaan umum, tanda-tanda vital, GDS, elektrolit, analisa gas
darah, residu NGT,
d. Ip Ex
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang kondisi
penyakit, pengobatan, komplikasi yang mungkin timbul

G. PROGNOSIS
- Quo Ad Vitam : dubia ad malam
- Quo Ad Sanam : dubia ad malam
- Quo Ad Fungsionam : dubia ad malam

14
BAB III
PEMBAHASAN

Laki-laki usia 41 tahun dibawa ke IGD RS PKU Muhammadiyah Mayong


dengan penurunan kesadaran. Kurang lebih 9 jam sebelum masuk rumah sakit
(SMRS) pasien tiba-tiba pingsan saat sedang disuapi makan, karena tidak segera
sadar maka pasien dibawa ke RS. Sejak 3 hari SMRS pasien mengeluhkan badannya
lemas (+), pegal-pegal (+), nafsu makan menurun, demam (-), nyeri kepala (+),
pusing (-), batuk (-), sesak nafas (-), mual (+), muntah (-), nyeri perut (-). Saat di IGD
pasien muntah 1 kali, berupa bahan makanan, warna kekuningan, darah (-).
3 bulan terakhir pasien sering minum (+), sering BAK (+), peningkatan nafsu
makan (-), penurunan berat badan (-). BAB dalam batas normal. 1 bulan terakhir
pasien kejang 5 kali, durasi 1-5 menit.
Pemeriksaan di IGD (14/1/2020) pasien mengalami penurunan kesadaraan.
Kesadaran koma, GCS E1M1V1, stridor (+), nadi 114x/menit regular, RR 24 x/menit
regular, Suhu 39,0OC, SpO2 95%. Kekuatan sulit dinilai, tonus dbn, Reflek fisiologis
dbn, reflek patologis (-), rangsang meningeal (-), pemeriksaan nervus cranialis sulit
untuk dinilai. Hasil pemeriksaan penunjang: GDS 309 (H), Leukosit 10.900 (N), Hb
16,1 (H), Ht 49,8 (H), MCV 95,2 (H), ureum dan kreatinin normal
Dilakukan tatalaksana awal meliputi:
 Pemasangan OPA: agar jalan nafas paten
 O2 3LPM nasal canul: untuk mencukupi suplai oksigen pada jaringan. Nassal canul
dipakai bila saturasi 90-95%. Setelah diberikan O2 SpO2 menjadi 99%
 Inf NaCl 0,9% 1000 cc, dilanjutkan 20 tpm: Kristaloid, sebagai terapi rehidrasi
cairan
 Insulin 6 IU bolus untuk menurunkan GDS
 Inf paracetamol 1000 mg untuk menurunkan suhu tubuh
 Pasang NGT untuk mengurangi tekanan intra abdominal, mengurangi resiko
aspirasi, dan sebagai bantuan untuk memasukkan nutrisi serta obat peroral
 Kateter DC untuk memantau output urin
Setelah di HCU pasien mendapatkan terapi tambahan berupa:

15
 Infus manitol 100 cc/6 jam untuk menurunkan tekanan intra kranial
 Inj ceftriaxone 2 gr/24 jam untuk mengurangi resiko infeksi
Tanggal 15/1/2019 di HCU pasien mengalami henti jantung, dilakukan RJP
5 siklus namun tidak ada perbaikan, dan dinyatakan meninggal pukul 08.30 WIB.
Berdasarkan Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, dapat ditegakkan
diagnosis penurunan kesadaran dengan penyebab:
1. Suspek KAD
Pada pasien ini didapatkan GDS 309, riwayat DM sebelumnya disangkal, tidak
didapatkan nafas bau keton, pernapasan cepat dan dalam / kussmaul (-). Belum
didapatkan hasil analisis gas darah dan keton urin, sehingga diagnosis KAD belum
bisa ditegakkan.
2. Suspek stroke hemoragic
3 hari sebelumnya pasien mengeluhkan nyeri kepala (tidak terlalu hebat), riwayat
hipertensi disangkal, pasien muntah 1 kali saat di IGD. Reflek fisiologis dbn,
reflek patologis (-), nervus cranialis sulit dinilai. Pada pasien ini belum dilakukan
CT scan kepala sehingga diagnosis SH belum dapat ditegakkan secara pasti.
3. Salah satu penyebab penurunan kesadaran adalah ketidakseimbangan elektrolit.
Tapi pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan elektrolit, sehingga diagnosis
ketidakseimbangan elektrolit belum dapat ditegakkan
4. Salah satu penyebab penurunan kesadaran adalah adanya tumor intra kranial.
Tapi pada pasien ini belum dilakukan CT scan kepala, sehingga diagnosis tumor
intra kranial belum dapat ditegakkan

16
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kesadaran adalah suatu keadaan di mana seorang individu sepenuhnya


sadar akan diri dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penilaian
kesadaran dapat terganggu apabila terdapat keadaan-keadaan di mana pasien
sadar namun tidak dapat merespons terhadap stimulus yang diberikan oleh
pemeriksa, seperti keadaan kerusakan input sensorik, kelumpuhan (locked in
states) atau gangguan psikiatrik1.
Penurunan kesadaran merupakan salah satu kegawatan neurologi yang
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai hasil akhir dari
gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah
kepada gagal otak dengan akibat kematian sehingga penurunan kesadaran dapat
menjadi pertanda disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan
kegagalan seluruh fungsi tubuh2.
B. Fisiologi Kesadaran
Tingkat kesadaran manusia merupakan refleksi dari tingkat arousal (bangun)
dan gabungan fungsi kognitif otak. Arousal diperankan oleh integritas
mekanisme fisiologis yang berasal dari formatio retikularis dan struktur-struktur
lainnya yang terletak di bagian atas batang otak, mulai dari pertengahan pons
hingga ke arah ventral yakni hipotalamus. Di lain pihak, tingkah laku sadar
cenderung diperankan oleh daerah-daerah fungsional hemisfer serebri yang satu
sama lain saling berinteraksi secara luas dan berkaitan dengan sistem aktivasi
yang lebih luhur dari batang otak bagian atas, hipotalamus dan talamus.
Mekanisme fisiologis kesadaran dan koma mulai memperoleh titik terang
sejak penelitian yang dilakukan oleh berger (1928) dan kemudian Bremer (1937).
Mereka minyimpulkan bahwa salah satu pusat kesadaran berlokasi di daerah
forebrain mengingat bahwa keadaan koma merupakan akibat yang terjadi secara
pasif bilamana rangsangan sensorik pada forebrain dihentikan atau diputus. Pada
masa berikutnya Morrison dan Dempsey (1942) menemukan adanya talamo-

17
tortikal difus yang tak terpengaruh oleh segala sistem sensorik primer yang
spesifik, atau dengan kata lain ternyata di samping hal diatas ada mekanisme
nonspesifik lain yang mempengaruhi kesadaran. Hal ini diperjelas oleh
penemuan Moruzzi dan Mogoun pada tahun 1949 tentang suatu daerah
tambahan pada formasio retikularis yang terletak di bagian rostral batang otak,
yang bila di rangsang akan menimbulkan aktivitas umum yang nonspesifik pada
korteks serebri, yang disebur sebagai Sistem Aktivasi Retikuler Asendens
(ARAS). Sistem ini mencakup daerah-daerah di tengah batang otak, meluas
mulai dari otak tengah sampai hipotalamus dan talamus, dan menjabarkan bahwa
struktur tersebut mengirimkan transmisi efek efek fisiologis difus ke korteks
baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam peranannya terhadap
arousal kesadaran3.
Secara singkat, pusat pengaturan kesadaran pada manusia secara anatomi
terletak pada serabut transversal retikularis dari batang otak sampai thalamus dan
dilanjutkan dengan formasio activator reticularis, yang menghubungkan
thalamus dengan korteks cerebri. Formasio reticularis terletak di substansi grisea
otak dari daerah medulla oblongata sampai midbrain dan thalamus. Neuron
formasio reticularis menunjukkan hubungan yang menyebar. Perangsangan
formasio reticularis midbrain membangkitkan gelombang beta, individu menjadi
dalam keadaan bangun dan terjaga. Lesi pada formasio reticularis midbrain
mengakibatkan orang dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang
delta. Jadi formasio reticularis midbrain bekerja merangsang ARAS (Ascending
Reticular Activating System), suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian
area di forebrain.
Formasio reticularis secara difus menerima dan menyebarkan rangsang,
menerima imput dari korteks cerebri, ganglia basalis, hipothalamus, sistem
limbik, cerebellum, medula spinalis dan semua sistem sensorik. Sedangkan
serabut efferens formasio retikularis yaitu ke medula spinalis, cerebellum,
hipothalamus, sistem limbik dan thalamus yang lalu akan berproyeksi ke korteks
cerebri dan ganglia basalis. ARAS juga mempunyai proyeksi non spesifik
dengan depolarisasi global di korteks, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi

18
spesifik dari thalamus yang mempunyai efek eksitasi korteks secara khusus
untuk tempat tertentu. Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal
spesifik ke sinyal sensori spesifik dari thalamus. Dalam keadaan normal,
sewaktu perjalanan ke korteks, sinyal sensorik dari serabut sensori aferens
menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral akson. Jika sistem aferens
terangsang seluruhna, proyeksi ARAS memicu aktivasi kortikal umum dan
terjaga.
C. Etiologi
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan
derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas,
awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi
ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan
metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.

D. Patofisiologi
Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang melibatkan hemisfer
kiri ataupun kanan atau struktur-struktur lain dalam dari otak (termasuk sistem
reticular activating, yang mengatur tidur dan bangun siklus), atau keduanya6.
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh
misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan
ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus
maupun mesensefalon7. Secara anatomik, letak lesi yang menyebabkan penurunan
kesadaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu : supratentorial (15%), infratentorial
(15%)., dan difus (70%) misalnya pada intoksikasi obat dan gangguan metabolik7.

19
Gambar 1. Patofisiologi penurunan kesadaran
E. Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif
Tingkat kesadaran yang paling tinggi adalah kompos mentis yang berarti
kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera (aware atau awas)
dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun dari
dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.
Penurunan kesadaran dapat terjadi baik secara akut maupun secara kronik9.
Terganggunya kesadaran secara akut, antara lain:
1. Clouding of consciousness (somnolen) merupakan penurunan tingkat
kesadaran yang minimal sehingga pasien terlihat mengantuk dan dapat
disertai dengan mood yang irritable serta respon yang berlebih terhadap
lingkungan sekitar. Pada umumnya keadaan mengantuk akan lebih tampak di
pagi dan siang hari, sedangkan saat malam harinya pasien akan tampak
gelisah.
2. Delirium merupakan keadaaan terganggunya kesadaran yang lebih
dikarenakan abnormalitas dari mental seseorang dimana pasien salah
menginterpretasikan stimulan sensorik dan terkadang terdapat halusinasi
pada pasien. Berdasarkan DSM-IV, delirium adalah gangguan kesadaran
yang disertai ketidakmampuan untuk fokus atau mudah terganggunya
perhatian. Pada delirium, gangguan hanya terjadi sementara dalam waktu
yang singkat (biasanya dalam hitungan jam atau hari) dan dapat timbul
fluaktif dalam 1 hari. Pasien dengan delirium biasanya mengalami
disorientasi, pertama adalah waktu, tempat, lalu lingkungan sekitar.
3. Obtundation (apatis)  kebanyakan pasien yang dalam keadaan apatis
memiliki penurunan kesadaran yang ringan sampai sedang diikuti dengan
penurunan minat terhadap lingkungan sekitar. Pasien biasanya merespon
lambat terhadap stimulan yang diberikan.
4. Sopor  kondisi dimana pasien mengalami tidur yang dalam atau tidak
merespon, respon hanya timbul pada stimulan yang kuat dan terus menerus.
Dalam keadaan ini dapat ditemukan gangguan kognitif.

20
5. Koma  keadaan dimana pasien tidak merespon sama sekali terhadap
stimulan, meskipun telah diberikan stimulan yang kuat dan terus menerus.
Pasien mungkin dapat tampak meringis atau gerakan tidak jelas pada kaki dan
tangan akibat rangsangan yang kuat, namun pasien tidak dapat melokalisir
atau menangkis daerah nyeri. Semakin dalam koma yang dialami pasien,
respon yang diberikan terhadap rangsangan yang kuat sekalipun akan
menurun.
F. Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif9
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan atau Mata (E),
Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai
terendah 3 dan nilai tertinggi 15.

G. Penegakan diagnosis penurunan kesadaran9


Pendekatan diagnostik pada penurunan kesadaran tidak berbeda dengan
kasus-kasus yang lainnya, yaitu melalui urutan anamnesa, pemeriksaan fisik
neurologik, dan pemeriksaan penunjang. Perbedaannya terletak pada tuntutan
kecepatan berpikir dan bertindak.

21
1. Pada anamnesis tanyakan pada pasien atau pada pengantar tentang
lingkungan sekeliling saat awitan terjadi serta perjalanan penyakitnya.
Beberapa poin penting yang harus ditanyakan:
a. Awitan: waktu, lingkungan sekeliling. Usia pasien merupakan bagian
penting dari anamnesis. Pada pasien yang sebelumnya sehat, usia muda,
panurunan kesadarannya terjadi tida-tiba, kemungkinan penyebabnya bisa
keracunan obat, perdarahan subarachnoid, atau trauma kepala. Sedangkan
pada usia tua, penurunan kesadaran yang tiba-tiba lebih mungkin
disebabkan oleh perdarahan serebral atau infark.
b. Gejala-gejala yang mendahului secara terperinci (bingung, nyeri kepala,
kelemahan, pusing, muntah, atau kejang), gejala-gejala fokal seperti sulit
bicara, tidak bisa membaca, perubahan memori, disorientasi, baal atau
nyeri, kelemahan motorik, berkurangnya enciuman, perubahan
penglihatan, sulit menelan, gangguan pendengaran, gangguan melangkah
atau keseimbangan, tremor.
c. Pemakaian obat-obatan atau alkohol.
d. Riwayat penyakit jantung, paru-paru, liver, ginjal, atau yang lainnya.
2. Pada pemeriksaan fisik yang perlu diperiksa adalah
a. Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya
dan perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi
dan ada tidaknya aritmia.
b. Bau nafas
Bau nafas dapat memberi petunjuk adanya proses patologik tertentu
misalnya uremia, ketoasidosis, intoksikasi obat, dan bahkan proses
kematian yang sednag berlangsung.
c. Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata
kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan.
Pada penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus
dilakukan dengan sangat berhati-hati atau tidak boleh dilakukan jikalau

22
diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka
lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk
mencari ada tidaknya bruit.
d. Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
e. Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur
servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah
muka).Toraks/ abdomen dan ekstremitas Perhatikan ada tidaknya fraktur.
3. Pemeriksaan fisik neurologis
Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara
kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan
neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik.
a. Umum
Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma, deviasi kepala dan
lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral, perhatikan mioklonus
(proses metabolik), twitching otot berirama (aktivitas seizure) atau tetani
(spontan, spasmus otot lama).
b. Level kesadaran
Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, spoor dan koma), Kuantitatif
(menggunakan GCS)
c. Pupil
Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya, Simetris/ reaktivitas cahaya normal,
petunjuk bahwa integritas mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek
kornea dan okulosefalik (-), dicurigai suatu koma metabolik, Mid posisi
(2-5 mm), ƒixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal. Pupil reaktif pint-
point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat kolinergik. Dilatasi unilateral
dan ƒixed, terjadi herniasi. Pupil bilateral ƒixed dan dilatasi, herniasi
sentral, hipoksik-iskemi global, keracunan barbiturat.
d. Pemeriksaan rangsang meningeal
e. Fungsi motorik

23
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera, ada yang bersifat
terencana. Pemeriksaan laboratorium yang bersifat segera pada umumnya
meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin,
hematokrit, dan analisis gas darah. Pada kasus tertentu (meningitis,
ensefalitis, perdarahan suabarahnoid) diperlukan tindakan pungsi lumbal
dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.
b. Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif,
dapat dikerjakan dengan mudahj, tetapi manfaat diagnostiknya terbatas.
Apabila ada CT scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu
dikerjakan. Pemeriksaan elektroensefalografi terutama dikerjakan pada
kasus mati otak (brain death).
c. Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya
mutlak perlu. CT scan akan sangat bermanfaat pada kasus-kasus GPDO,
neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma metabolik pada
umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT scan kepala.
H. Tatalaksana Penurunan Kesadaran2
Penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran secara umum harus dikelola
menurut prinsip 5 B yaitu 10,11:
1. Breathing. Jalan napas harus bebas dari obstruksi, posisi penderita miring
agar lidah tidak jatuh kebelakang, serta bila muntah tidak terjadi aspirasi. Bila
pernapasan berhenti segera lakukan resusitasi.
2. Blood. Usahakan tekanan darah cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke
otak karena tekanan darah yang rendah berbahaya untuk susunan saraf pusat.
Komposisi kimiawi darah dipertahankan semaksimal mungkin, karena
perubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusi dan metabolisme
otak.
3. Brain. Usahakan untuk mengurangi edema otak yang timbul. Bila penderita
kejang sebaiknya diberikan difenilhidantoin atau karbamezepin. Bila perlu
difenilhidantoin diberikan intravena secara perlahan.

24
4. Bladder. Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan, elektrolit, dan miksi.
Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.
5. Bowel. Makanan penderita harus cukup mengandung kalori dan vitamin.
Pada penderita tua sering terjadi kekurangan albumin yang memperburuk
edema otak, hal ini harus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelan
dipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindari terjadi obstipasi.

25
KETOASIDOSIS DIABETIK

DEFINISI

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah salah satu komplikasi akut


diabetes mellitus akibat defisiensi (absolut ataupun relative) hormone
insulin yang tidak dikenal dan bila tidak mendapat pengobatan segera akan
menyebabkan kematian.

Faktor yang dapat menjadi pencetus keadaan ini adalah infeksi yang
merupakan pencetus paling sering, karena keadaan infeksi kebutuhan tubuh
akan insulin tiba-tiba meningkat. Infeksi yang paling sering dijumpai adalah
infeksi saluran kemih dan pneumonia. Faktor pencetus lain adalah infark
miokard akut dan penghentian insulin.

Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai pasien dalam


keadaan ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam (kussmaul),
dehidrasi dan kadang disertai syok.

Kriteria diagnosis KAD dapat ditegakan dengan beberapa


pemeriksaan, dimulai dengan anamnesis yang baik dan tepat dengan
menanyakan diantaranya riwayat penyakit dahulu. Pada pemeriksaan
adanya/terciumnya napas yang khas berbau keton, tekanan darah menurun,
gula darah yang meningkat, dapat juga disertai penurunan kesadaran. KAD
harus dibedakan dengan koma hyperosmolar hiperglikemik non ketotik dan
asidosis laktat.

Pemantauan juga pada pasien dengan ulkus pada kaki yang menjadi
komplikasi akut pula pada penderita diabetes mellitus. Pengobatan pada
KAD bertujuan untuk menggantikan garam dan cairan, mengatasi stress,
menekan lipolysis psda sel lemak, pengobatan dapat diberikan cairan Nacl
0,9%, insulin baru bisa diberikan pada jam kedua, antibiotik bisa diberikan
apabila terdapat infeksi.

26
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain infark miokard akut,
edema otak. Kematian bisa terjadi walau hanya kurang 5%.

Ketoasidosis diabetic adalah keadaan dekompensasi kekacauan


metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.

KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes


mellitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
dieresis osmotic, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan
dapat sampai menyebabkan syok.

PATOFISIOLOGI KAD

adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau


relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, ketokolamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan
produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh
menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat
bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan
tanda klinis KAD dapat dkelompokkan menjad dua bagian yaitu

1. Akibat hiperglikemia
2. Akibat ketosis

27
Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem
homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam
jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin
dan penignkatan kadar hormone kontra regulator terutama epinefrin,
mengaktivas hormone lipase sensitive pada ajringan lemak.
Akibat liposis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi
benda keton dana sam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi
benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolic asidosis . benda
keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat
(3HB): dalam keadaan normal kadar 3HB meliputi 75-85% dan aseton
darah merupakan benda keton yang tidka begitu penting. Meskipun sudah
tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus
memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam
sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen,
menghambat lipolisis pada sel lemak menekan pembentukan asam lemak

28
bebas, menghambat glukoncogenesis pada sel hati serta mendorong proses
oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses
oksidadi tersebut akan dihasilkan adenine trifosfat (ATP) yang
merupakansumber energi utama sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan
defisiensi insulin relatif. Meningkatkan hormone kontra regulator insulin,
meningkatkan asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan kesembangan
elektrolit dan asam basa dapat mengganggu sensitivitas insulin.

DIAGNOSIS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Dipikirkan kemungkinan kolesistisis, iskemia usus, apendisitis,


divertikulitis atau perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukan respons
yang baik terhadap pengobatan KAD maka perlu dicari kemungkinan
infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal).

29
Pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

30
1. cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis.
Berdasarkan perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg
BB,maka pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan
1 liter dan selanjutnya sesuai protokol.
Tujuannya ialah untuk memperbaiki perfusi jaringan dan
menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang
dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan yang mengandung glukosa
(dekstrose 5% atau 10%).
2. Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD
dan dehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan hormon
glukagon sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan
asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan
otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.
Tujuan pemberian insulin ini bukan hanya untuk mencapai kadar
glukosa normal tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu
bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% insulin diteruskan dan untuk
mencegah hipoglikemia diberikan cairan yang mengandung glukosa sampai
asupan kalori oral pulih kembali.
3. Kalium
Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat.
Hiperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi
dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektro kardiogram ditemukan
gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera
mengatasi keadaan hiperkalemia tersebut.
4. Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah
akan turun, Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan
terjadipenurunan kadar glukosa sekitar 6- mg%/jam. Bila kadar glukosa
mencapai kurang dari 200mg% maka dapat dimulai infus yang

31
mengandung glukosa. Perlu ditekankan tujuan terapi KAD bukan untuk
menormalkan kadar glukosa tapi untuk menekan ketogenesis.

5. Bikarbonat
Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topik perdebatan selama
beberapa tahun. Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang
berat. Hal ini disebabkan karena pemberian bikarbonat dapat :
a. Menurunkan PH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat.
b. Menimbulkan efek negatif pada disosiasi oksigen dijaringan.
c. Hipertonis dan kelebihan natrium
d. Meningkatkan insiden hypokalemia
e. Gangguan fungsi serebral
f. Terjadi alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto.
Saat ini bikarbonat diberikan bila PH kurang dari 7,1 namun
walaupun dmeikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang
mengancam tetap meruapakan indikasi pemberian bikarbonat.
Disamping hal tersebut diata pengobattab umum tak kalah penting
adalah
a. antibiotik yang adekuat
b. oksigen bila tekanan O2 kurang dari 80 mmHg
Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (lebih dari 380mOsm/liter )

32
33
Prognosis

Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu
tinggi dan kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat

34
menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan
mencegah lemak untuk sumber energi. Pemecahan lemak tersebut akan
menghasilkan benda-benda keton dalam darah (ketosis). Ketosis
menyebabkan derajat keasaman (PH) darah menurun atau disebut sebagai
asidosis. Keduanya disebut sebagai ketoasidosis.
Oleh karena itu prognosis pada KAD masih tergolong dubia,
tergantung pada usia, adanya infark miokard akut, sepsis, syok. Pasien
membutuhkan insulin dalam jangka panjang dan kematian pada penyakit ini
dalam jumlah kecil sekitar 5 %.

35
BAB III
KESIMPULAN
Penurunan kesadaran adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh karena
adanya gangguan terhadap sistem aktivasi retikular, baik oleh penyebab mekanis
struktural seperti lesi kompresi atau oleh penyebab metabolik destruktif seperti
hipoksia dan overdosis obat. Keragaman penyebab penurunan kesadaran
memerlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai mekanisme dan gambaran
klinis yang berbeda-beda tergantung penyebabnya. Hal ini merupakan kondisi
kegawat-daruratan yang memerlukan penatalaksaan yang cepat namun akurat, oleh
karena penyebab penurunan kesadaran yang beragam, penatalaksanaan yang secara
signifikan berbeda dan dampak luas yang ditimbulkannya.
Langkah utama dalam penatalaksanaan penurunan kesadaran adalah
membedakan mekanisme penyebabnya, apakah berupa kelainan struktural atau
metabolik, dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan neurologis serta diagnostik
yang terarah. Setelah penyebabnya diketahui terapi dapat dilakukan secara terarah
sesuai dengan penyebabnya tersebut.
Pada dasarnya prognosis penurunan kesadaran bersifat luas namun lebih
mengarah ke arah yang buruk, tetapi untuk penurunan kesadaran yang mempunyai
penyebab-penyebab reversibel usaha penuh harus dilakukan untuk memulihkan
keadaan penyebabnya

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner's Diagnosis of
Stupor and Coma. New York : Oxford University Press, 2007. ISBN 978-
0-19-532131-9.
2. Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
3. Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgey. 5th ed.
Thieme. NY. Hal 119-123
4. England Department of Health. Hospital Episode Statistics 2002-2003.
2003.
5. Harsono. 2008. Koma dalam Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
6. Mardjono M, Sidharta P. 2012. Kesadaran dan fungsi luhur dalam
neurologi klinis dasar. Dian rakyat. Jakarta.
7. Dian S, Basuki A, 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung.
8. Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates
in Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7.
9. Harsono (ed.) 2005. buku ajar Neurologis klinis, cetakan ketiga. Penerbit
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
10. Priguna Sidharta. 2003. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Dian
Rakyat. Jakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai