Anda di halaman 1dari 54

LAKI-LAKI 55 TAHUN DENGAN IKTERIK HEPATAL dd POST

HEPATAL, PENINGKATAN ENZIM TRANSAMINASE, ANEMIA


MIKROSITIK HIPOKROMIK, HIPONATREMIA SEDANG,
HIPOALBUMIN BERAT, HIPERTENSI STAGE I

Oleh:
Zahra Dzakiyatin Nisa G991902062

Pembimbing Residen

dr. Maria Immakulata Diah P, Sp.PK(K), M.Sc dr. Anne Marrya

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul:

LAKI-LAKI 55 TAHUN DENGAN IKTERIK HEPATAL dd POST


HEPATAL, PENINGKATAN ENZIM TRANSAMINASE, ANEMIA
MIKROSITIK HIPOKROMIK, HIPONATREMIA SEDANG,
HIPOALBUMIN BERAT, HIPERTENSI STAGE I

Disusun Oleh:

Zahra Dzakiyatin Nisa G991902062

Telah dipresentasikan pada


Hari, tanggal: Kamis, 31 Desember 2020

Pembimbing

dr. Maria Immakulata Diah P, Sp.PK(K), M.Sc


STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. BP
Usia : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Karangsari, Ngawi, Jawa Tengah
Nomor Rekam Medis : 01 47 8x xx
Status : Menikah
Pekerjaan : Polisi
Suku : Jawa
Masuk Bangsal : 29 September 2019
Tanggal Pemeriksaan : 02 Oktober 2019
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Badan kuning
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr Moewardi dengan keluhan badan
kuning sejak 10 hari SMRS. Kuning muncul secara perlahan dan tampak di
kedua mata serta di seluruh kulit di badan. Keluhan tersebut dirasakan terus
menerus. Pasien sempat dirawat inap di Ngawi selama 5 hari namun belum
membaik. Keluhan nyeri perut dan demam disangkal.
Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki yang muncul sejak 10 hari
SMRS. Bengkak muncul tiba-tiba, tidak disertai nyeri atau demam. Keluhan
bengkak di kaki dirasakan terus menerus dan pada saat bagian yang bengkak
ditekan, permukaanya tidak langsung kembali seperti semula dengan cepat.
Bengkak sudah agak mengecil ketika pasien dirawat inap di Ngawi.
Keluhan bengkak juga dirasakan di bagian perut. Keluhan sesak nafas
disangkal.
Pasien mengeluh lemas sejak 11 hari SMRS. Lemas dirasakan terus
menerus, tidak membaik dengan istirahat dan memberat saat beraktivitas.
Lemas tidak membaik dengan pemberian makanan ataupun minuman.
Keluhan pusing dan pandangan berkunang diakui, keluhan sesak nafas
disangkal.
Pasien juga mengalami BAB hitam pada 10 hari SMRS. BAB 3-4
kali sehari. BAB berwarna hitam, agak lembek, dan berbau amis. BAB
hitam dialami selama kurang lebih 3 hari. Sejak tanggal 27 September 2019,
pasien belum BAB. BAB hitam tidak disertai muntah darah. Pasien juga
mengatakan BAK menjadi keruh seperti teh sejak 10 hari SMRS. BAK 2-3
kali sehari. BAK sebanyak ¼ - ½ gelas belimbing sehari.
Pasien memliki riwayat muntah darah pada 3 tahun yang lalu. Saat
itu dilakukan transfusi 2 kantong darah. Saat di Ngawi pasien ditatalaksana
dengan pemberian 3 kantong darah. Di RSDM pasien menerima transfusi 2
kantong darah. Pasien sering meminum obat pegal linu dan jamu-jamuan
karena merasa punya asam urat. Riwayat darah tinggi dan kencing manis
disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat muntah darah : Diakui, 3 tahun lalu
Riwayat mondok : Diakui, di Ngawi selama 5 hari
Riwayat operasi : Disangkal
Riwayat sakit keganasan : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat hepatitis : Disangkal
Riwayat keganasan : Disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat makan : Makan 3 kali sehari dengan nasi, sayuran,
dan lauk pauk.
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat minum jamu : Diakui, sering minum jamu seduh
Riwayat minum obat bebas : Diakui, sering minum obat pegal linu

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang polisi berusia 55 tahun. Pasien tinggal bersama
keluarganya di rumah sendiri. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS
Kesehatan.

II. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : Tampak lemas, GCS E4V5M6, compos
mentis
2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 140/80 mmHg lengan kiri, posisi supine
b. Denyut nadi : 88 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup
c. Frekuensi napas : 20 kali/menit pernapasan thorakoabdominal
d. Suhu : 36,6°C per aksila
e. VAS : 0
3. Status Gizi
a. Berat Badan : 80 kg
b. Tinggi Badan : 175 cm
c. IMT : 26.12 kg/m2
d. Kesan : Overweight
4. Kulit : Warna sawo matang, turgor menurun (-), hiperpigmentasi
(-), ikterik (+).
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, rambut rontok
(-), jejas (-), atrofi m. temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), edema palpebrae (-/-), konjungtiva
anemis (+/+), konjungtiva hiperemis (-/-), sklera ikterik
(+/+), pendarahan subkonjunctiva (-/-), pupil isokor 3
mm/3 mm, refleks cahaya (+/+), strabismus (-/-),
eksoftalmus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan pada tragus (-/-), nyeri
tekan mastoid (-/-), Chvostek sign (-)
8. Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
9. Mulut : Sianosis (-), bibir pucat (-), mukosa basah (+), atrofi papil
lidah (-), luka sudut bibir (-), lidah kotor tepi hiperemis (-
), lidah tremor (-), oral thrush (-), karies gigi (-), gusi
berdarah (-), stomatitis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-),
faring hiperemis (-)
10. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP R + 3 cm,
jejas (-), nyeri tekan (-), trakea di tengah dan simetris,
kelenjar tiroid membesar (-), distensi vena leher (-)
11. Thoraks : Normochest, pengembangan dada kanan-kiri simetris,
retraksi (-), pernapasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), spider nevi (-)
12. Jantung
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V
linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi :
Batas Jantung
Kanan : SIC IV linea parasternalis dekstra
Pinggang : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri : SIC VI linea midclavicularis sinistra 3 jari
kearah linea aksilaris sinistra
Kesan : Batas jantung kesan melebar ke arah
caudolateral
d. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, intensitas normal,
regular, bising (-), gallop (-)
13. Pulmo
a. Inspeksi
Statis : Normochest, simetris, SIC tidak melebar, iga
tidak mendatar
Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
b. Palpasi
Statis : Simetris
Dinamis : Gerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
taktil kanan = kiri, nyeri tekan (-)
c. Perkusi
Kanan : Sonor
Kiri : Sonor

d. Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)
2. Kiri : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)
14. Abdomen
a. Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
jejas (-), sikatriks (-), venektasi (-), striae (-),
caput medusa (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit
c. Perkusi : Timpani, pekak alih (+), undulasi (-)
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar
dan lien tidak teraba
15. Ekstremitas : Akral dingin Edema
- - - -
- - + +
Superior ka/ki : Edema (-/-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-),
ikterus (-/-), luka (-/-), akral dingin (-/-), kuku
pucat (-/-), spoon nail (-/-), flat nail (-/-),
clubbing finger (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak
(-/-), deformitas (-/-)
Inferior ka/ki : Edema (+/+), sianosis (-/-), akral dingin (-/-),
ikterus (-/-), luka (-/-), akral dingin (-/-), kuku
pucat (-/-), spoon nail (-/-), flat nail (-/-),
clubbing finger (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak
(-/-), deformitas (-/-).
16 Rectal Touche : Tonus musculus sphincter ani (+), Ampulla recti
tidak kolaps, dinding rectum teraba lengket,
massa(-), STLD (+) warna hitam, feses (+)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Elektrokardiografi tanggal 29 September 2019 (RSDM)

Kesimpulan
Sinus ritmis, HR 107 bpm, normoaxis, RVH (-), LVH (-), zona transisi di
V1-V2
B. Foto Thorax PA 29 September 2019 (RSDM)

Hasil :
a. Cor: CTR tak valid diukur, batas kanan kiri jantung tertutup
perselubungan
b. Pulmo: tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskuler normal
c. Sinus costophrenicus kanan tumpul kiri tajam
d. Hemidiaphragma kanan kiri normal
e. Trakhea di tengah
f. Sistema tulang baik
Kesimpulan :
1) Pulmo tak tampak kelainan
2) Cor tak valid dinilai (inspirasi kurang)
C. Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 30 September 2019
(RSDM)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.2 gram/dL 13.5 – 17.5
Hematokrit 32 % 33 – 45
Leukosit 11.8 ribu/L 4.5 – 11.0
Trombosit 90 ribu/L 150 – 450
Eritrosit 4.02 juta/L 4.50 – 5.90
Indeks Eritrosit
MCV 79.9 /um 80.0-96.0
MCH 25.4 Pg 28.0-33.0
MCHC 31.8 g/dl 33.0-36.0
Hitung Jenis
Eosinofil 1.00 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.70 % 0.00 – 2.00
Netrofil 71.00 % 55.00 – 80.00
Limfosit 16.90 % 22.00 – 44.00
Monosit 10.40 % 0.00 – 7.00
Homeostasis
PT 17.5 detik 10.0-15.0
APTT 38.8 detik 20.0-40.0
INR 1.460
Kimia Klinik
GDS 103 mg/dL 60 – 140
SGOT 125 u/L <31
SGPT 86 u/L <34
Bilirubin Total 9.42 mg/dL 0.00 – 1.00
Bilirubin Direk 6.53 mg/dL 0.00-0.30
Bilirubin Indirek 2.89 mg/dL 0.00-0.70
Gamma GT 132 u/l <55
Alkali Fosfatase 199 u/l 53-128
Albumin 2.3 g/dL 3.5-5.2
Kreatinin 1.3 mg/dL 0.9 – 1.3
Ureum 99 mg/dL < 50
Elektrolit
Natrium darah 128 mmol/L 132 – 146
Kalium darah 4.0 mmol/L 3.7 – 5.4
Calsium ion 1.12 mmol/L 1.17 – 1.29
Serologi
HBsAg Nonreactive Nonreactive

Child Pugh Score


Faktor Nilai Poin
Encephalopathy Tidak ada 1
Hepatic
Asites Ada, Ringan 2
Total Bilirubin 9.42 mg/dL 3
Albumin 2.3 g/dL 3
PT 17.5
1
INR 1.460

Hasil: Kelas C (10 poin)

IV. RESUME
1. Keluhan Utama
Badan kuning.
2. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
 Pasien datang ke IGD RSUD Dr Moewardi dengan keluhan badan
kuning sejak 10 hari SMRS.
 Kuning muncul secara perlahan dan tampak di kedua mata serta
diseluruh kulit di badan.
 Keluhan tersebut dirasakan terus menerus.
 Pasien sempat dirawat inap di Ngawi selama 5 hari namun belum
membaik.
 Keluhan nyeri perut dan demam disangkal
 Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki sejak 10 hari SMRS.
 Bengkak muncul tiba-tiba, tidak disertai nyeri atau demam.
 Keluhan bengkak di kaki dirasakan terus menerus dan pada saat
bagian yang bengkak ditekan, permukaanya tidak langsung kembali
seperti semula dengan cepat.
 Bengkaknya sudah agak mengecil ketika pasien dirawat inap di
Ngawi.
 Keluhan bengkak juga dirasakan di bagian perut
 Pasien mengeluh lemas sejak 11 hari SMRS.
 Lemas dirasakan terus menerus, tidak membaik dengan istirahat dan
memberat saat beraktivitas.
 Lemas tidak membaik dengan pemberian makanan ataupun
minuman.
 Keluhan pusing dan pandangan berkunang diakui, keluhan sesak
nafas disangkal.
 Pasien juga mengalami BAB hitam pada 10 hari SMRS.
 BAB berwarna hitam, agak lembek, dan berbau amis. BAB hitam
dialami selama kurang lebih 3 hari.
 Sejak tanggal 27 September 2019, pasien belum BAB.
 BAB hitam tidak disertai muntah darah.
 Pasien juga mengalami BAK menjadi keruh seperti teh sejak 10 hari
SMRS.
 BAK 2-3 kali sehari. BAK sebanyak ¼ - ½ gelas belimbing sehari.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat muntah darah diakui, 3 tahun lalu
 Riwayat mondok diakui, di Ngawi selama 5 hari

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada riwayat
Riwayat Kebiasaan
 Riwayat makan: Makan 3 kali sehari dengan nasi, sayuran, dan lauk
pauk.
 Riwayat minum jamu: Diakui, sering minum jamu seduh
 Riwayat minum obat bebas: Diakui, sering minum obat pegal linu.
Riwayat Sosial Ekonomi
 Pasien adalah seorang polisi berusia 55 tahun. Pasien tinggal bersama
keluarganya di rumah sendiri. Pasien berobat menggunakan fasilitas
BPJS Kesehatan.

3. Pemeriksaan Fisik
 KU : lemas, compos mentis, GCS E4V5M6
 Tanda vital : TD 140/80 mmHg, HR 88 kali/menit, RR 20 kali/menit,
T 36,60C
 IMT: 26.12 kg/m2 (Overweight)
 Kulit ikterik (+)
 Konjunctiva anemis (+/+)
 Sklera ikterik (+/+)
 Cor: batas jantung kesan melebar ke arah caudolateral.
 Abdomen: Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
 Ekstremitas inferior: Edema (+/+)
 RT: dinding rectum teraba lengket, STLD (+) warna hitam.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
 Anemia Mikrositik Hipokromik
 Trombositopenia
 Limfopenia
 Monositosis
 PT memanjang
 Peningkatan Enzim transaminase
 Peningkatan Gamma GT
 Peningkatan Alkali fosfatase
 Hiperbilirubinemua
 Hipoalbuminemia
 Peningkatan ureum darah
 Hiponatremia sedang
b. EKG
Sinus ritmis, HR 107 bpm, normoaxis, RVH (-), LVH (-), zona transisi
di V1-V2.
c. Foto Thorax
Kesimpulan : Pulmo tak tampak kelainan, Cor tak valid dinilai.

V. Diagnosis
1. Ikterik ec hepatal dd post hepatal.
2. Peningkatan enzim transaminase.
3. Anemia hipokromik mikrositik.
4. Hiponatremia sedang.
5. Hipoalbumin berat.
6. Hipertensi stage I.

VI. TATALAKSANA
1. Bed rest tidak total
2. Diet hepar 2400 kkal / hari
3. Inf. NaCl 0.9% 20 tpm.
4. Inf albumin 20% 300 cc
5. Curcuma 3x1
6. Lactulac syr, 3x1 cth
7. Spironolactone 100 mg – 0 – 0 p.o
8. Propanolol tab 20 mg / 12 jam
9. Lisonipril tab 5 mg / 24 jam

VII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam: dubia

VIII. USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. Evaluasi darah lengkap, SGOT, SGPT, bilirubin total, bilirubin direk,
bilirubin indirek
2. Evaluasi elektrolit post koreksi
3. Anti HCV, AFP
4. Pemeriksaan urinalisis, feses rutin
5. GDT, Retikulosit, SI, TIBC, Serum ferritin
TIMELINE
Lab 30 September:

 Anemia mikrositik hipokromik

Kuning seluruh tubuh,  Trombositopenia

Kuning seluruh bengkak berkurang,  Limfopenia


tubuh, bengkak pada perut membesar
minimal, pasien dirawat  Monositosis
kaki dan perut,
lemas, BAB hitam, di RS Ngawi dan  PT memanjang
BAK keruh seperti mendapat transfusi 2
teh kantong darah  Peningkatan Enzim transaminase
 Peningkatan Gamma GT

5 Hari Saat di IGD Masuk RSDM Bangsal


10 Hari 29/9/2019 02/10/2020
SMRS
SMRS
Pasien merasa sangat lemas, • Lemas (+) berkurang
Lab 30 September: • Ikterik (+)
belum BAB selama 3 hari,
BAK seperti teh, didapatkan • Oedema berkurang
 Hiperbilirubinemua • RT: STLD (+) warna hitam,
ikterik pada wajah dan sklera,
ascites minimal, serta oedema  Hipoalbuminemia feses (+)
pada ekstremitas
 Peningkatan ureum darah
 Hiponatremia sedang
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, seorang pria datang dengan keluhan badan kuning sejak
10 hari SMRS. Kuning muncul secara perlahan dan tampak di kedua mata serta
diseluruh kulit di badan. Keluhan tersebut dirasakan terus menerus. Pasien
sempat dirawat inap di Ngawi selama 5 hari namun belum membaik. Keluhan
nyeri perut dan demam disangkal. Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki
sejak 10 hari SMRS. Bengkak muncul tiba-tiba, tidak disertai nyeri atau
demam. Keluhan bengkak di kaki dirasakan terus menerus dan pada saat bagian
yang bengkak ditekan, permukaanya tidak langsung kembali seperti semula
dengan cepat. Bengkaknya sudah agak mengecil ketika pasien dirawat inap di
Ngawi. Keluhan bengkak juga dirasakan di bagian perut. Pasien mengeluh
lemas sejak 11 hari SMRS. Lemas dirasakan terus menerus, tidak membaik
dengan istirahat dan memberat saat beraktivitas. Lemas tidak membaik dengan
pemberian makanan ataupun minuman. Keluhan pusing dan pandangan
berkunang diakui, keluhan sesak nafas disangkal. Pasien juga mengalami BAB
hitam pada 10 hari SMRS. BAB berwarna hitam, agak lembek, dan berbau
amis. BAB hitam dialami selama kurang lebih 3 hari. BAB hitam tidak disertai
muntah darah. Sejak tanggal 27 September 2019, pasien belum BAB. Pasien
juga mengeluhkan BAK menjadi keruh seperti teh sejak 10 hari SMRS. BAK
2-3 kali sehari. BAK sebanyak ¼ - ½ gelas belimbing sehari.

Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum pasien lemas, compos


mentis dengan GCS E4V5M6. Tekanan darah pasien 140/80 mmHg dengan
heart rate 88 kali/menit, RR 20 kali/menit, suhu 36,60C dengan IMT: 26.12
kg/m2 (Overweight). Ikterik didapatkan pada kulit dan sklera. Konjungtiva
anemis. Batas jantung melebar ke arah caudolateral, dinding perut lebih tinggi
dari dinding dada, serta oedema pada kedua kaki. Hasil rectal toucher
didapatkan dinding rectum teraba lengket, STLD (+) warna hitam.
Pasien datang mengeluhkan tubuh berwarna kuning, hasil anamnesis
didapatkan pasien mengaku kencing berwarna keruh seperti teh. Hasil
pemeriksaan didapatkan warna kuning pada kulit dan sklera, hal ini
menunjukkan kondisi ikterik pada pasien. Ikterus merupakan perubahan warna
kulit, sklera mata, atau jaringan lainnya seperti membran mukosa menjadi
berwarna kuning oleh karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Munculnya kondisi ini pada pasien dapat
merupakan akibat dari suatu proses yang terjadi pada pre-hepatik, intra-hepatik
dan post-hepatik. Ketika bertemu dengan pasien ikterik, terdapat serangkaian
tes yang dapat membantu dalam evaluasi awal, antara lain serum bilirubin total
dan langsung dengan fraksinasi, aminotransferase, alkali fosfatase, albumin,
dan tes waktu protrombin. Tes enzim (alanine aminotransferase (ALT),
aspartat aminotransferase (AST), dan alkali fosfatase (ALP) membantu dalam
membedakan antara proses hepatoseluler dan proses kolestatik

Bilirubin dibentuk dari lisis sel darah merah (komponen heme) pada
sistem retikuloendotelial. Bilirubin tidak terkonjugasi ditransport ke hepar
dengan diikat oleh protein albumin. Bilirubin ini bersifat tidak larut dalam air
dan tidak dapat diekskresikan pada urin. Di hati, terjadi proses konjugasi
bilirubin dengan bilirubin glucoronide kemudian bilirubin yang telah
terkonjugasi disekresikan ke empedu dan pencernaan. Flora intestinal akan
memecah bilirubin menjadi urobilinogen. Urobilinogen sebagian akan di
reabsorbsi, dan sebagian diekskresikan melalui renal ke dalam urin atau
diekskresikan oleh hati ke traktus gastrointestinal. Ekskresi pada feses dalan
bentuk stercobilinogen memberikan warna kecoklatan pada feses.

Pada pasien terjadi peningkatan kadar bilirubin pada darah dengan


dominansi bilirubin terkonjugasi (69.32%). Conjugated hiperbilirubinemia
(kadar bilirubin direk >50% bilirubin total) dapat terjadi karena kelainan
kongenital atau ketika terdapat defek pada ekskresi hepatik. Kadar bilirubin
dapat dijadikan penentu prognosis dari hepatitis alkoholik, sirosis atau acute
liver failure.
Aminotransferase meliputi AST dan ALT. Kedua enzim ini merupakan
marker dari kerusakan hepar. Aminotransferase berperan dalam
glukoneogenesis dengan mengkatalisasi transfer amino groups dari asam
aspartat atau alanin menjadi asam ketoglutarat untuk memproduksi asam
piruvat serta asam oksaloasetat. AST banyak terdapat pada sitosol dan isoenzim
mitokondria yang ditemukan pada hepar, otot jantung, otot skelet, ginjal, otak,
pankreas, pulmo, leukosit, serta eritrosit. AST kurang spesifik untuk
pemeriksaan hepar. ALT merupakan enzim sitosolik yang banyak ditemukan
pada hepar. ALT merupakan pemeriksaan spesifik untuk hepar. Ketika terdapat
kerusakan hepar misalnya pada penyakit hati alkoholik, hepatitis B kronik,
hepatitis C kronik akan terjadi release enzim ini ke dalam sirkulasi. Tingkat
kenaikan dari aminotransferase dapat membantu dalam membedakan proses
hepatoselular dan kolestasis. Nilai ALT dan AST kurang dari 8 kali normal
dapat menunjukkan proses hepatoselular maupun kolestasis, namun nilai lebih
dari 25 kali normal secara primer merupakan tanda penyakit hepatoselular akut.
Pasien dengan kuning karena sirosis dapat memiliki nilai aminotransferase yang
meningkat atau normal.

Alkaline Phosphatase (ALP) berasal dari dua sumber yaitu hepar dan
tulang. Peningkatan kadar ALP dapat bermakna fisioligis (pada trimester tiga
kehamilan, adolescents, familial) atau patologis (obstruksi duktus bilier,
kelainan pada tulang, kelainan pada hepar). Pada pasien dengan peningkatan
kadar ALP maka dilakukan evaluasi kadar dari GGT.

Gamma-Glutamyl Transferase (GGT) merupakan enzim yang


ditemukan pada hepatosit dan sel epitel bilier. GGT merupakan pemeriksaan
yang sensitif untuk penyakit hepatobilier tetapi tidak spesifik. Peningkatan
kadar GGT dapat ditemukan pada penyakit pankreas, infakr miokard, gagal
ginjal, COPD, diabetes dan alcoholism. Beberapa obat seperti fenitoin,
karbamazepin, serta barbiturat juga dapat menyebabkan peningkatan pada
kadar GGT. Peningkatan GGT yang disertai dengan abnormalitas enzim lainnya
seperti peningkatan ALP dapat digunakan untuk konfirmasi bahwa terdapat
kelainan pada hepar.

Sintesis albumin merupakan salah satu fungsi penting dari hepar.


Kurang lebih sebanyak 10 gram albumin disintesis dan disekresikan setiap hari.
Penurunan kadar albumin menunjukkan terdapat ganguan sintesis albumin pada
hepar. Kadar albumin bergantung pada beberapa faktor seperti status nutrisi,
katabolisme, faktor hormonal, serta ekskresi pada urin dan gastrointestinal.
Tingkat albumin rendah menunjukkan proses kronis pada hepar seperti sirosis
atau kanker. Tingkat albumin normal adalah sugestif dari proses yang lebih akut
seperti hepatitis virus atau koledokolitiasis. Albumin memiliki peran dalam
mempertahankan tekanan onkotik plasma. Kekurangan albumin menyebabkan
cairan keluar dari intravaskuler menyebabkan oedema. Oedema yang terjadi
pada pasien merupakan pitting oedema serta central oedema (ascites) khas pada
hipoalbuminemia.

Sintesis faktor koagulasi (kecuali faktor VIII) merupakan fungsi dari


hepar. Waktu protrombin (PT) merupakan pengukuran waktu konversi
prothrombin menjadi thrombin (membutuhkan peran faktor II, V, VII, dan X).
Vitamin K diperlukan dalam karboksilasi gamma faktor-faktor tersebut. PT
memanjang ditemukan pada defisiensi vitamin K karena ikterus
berkepanjangan dan malabsorpsi vitamin K atau disfungsi hepatoseluler yang
signifikan, pasien dengan terapi warfarin, atau koagulopati konsumtif.

Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium


mengarah pada terdapatnya gangguan pada hepar. Pemeriksaan HBsAg pasien
menunjukkan hasil non reaktif. Diperlukan pemeriksaan tambahan seperti anti
HCV dan AFP untuk menegakkan diagnosis.

Pasien mengeluhkan merasa lemas, dari hasil pemeriksaan fisik


menunjukkan bahwa didapatkan konjungtiva anemis. Hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan penurunan kadar hemoglobin, penurunan
hematokrit, serta penurunan kadar eritrosit. Pada indeks eritrosit didapatkan
penurunan MCV, MCH, dan MCHC. Hal ini menunjukkan adanya anemia
mikrositik hipokromik. Anemia mikrositik hipokromik dapat disebabkan oleh
beberapa sebab seperti anemia defisiensi besi, anemia pada penyakit kronik,
anemia sideroblastik, maupun thalassemia beta. Diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut (kadar besi serum, TIBC serta feritin) untuk menegakkan diagnosis.

Trombositopenia merupakan abnormalitas hematologi yang paling


sering ditemukan pada pasien dengan penyakit hati kronik. Depresi kadar
thrombopoietin pada pasien dengan penyakit hati kronik disertai dengan supresi
sumsum tulang menyebabkan reduksi kadar trombosit. Thrombopoietin
berfungsi meregulasi produksi serta maturasi dari platelet. Fungsi ini terganggu
pada pasien dengan penyakit hati kronik. Supresi sumsum tulang dapat
disebabkan oleh virus, alkohol, serta beberapa obat-obatan. Sekuestrasi serta
peningkatan laju destruksi platelet pada pasien sirosis juga berperan dalam
trombositopenia. Peningkatan laju destruksi ini terjadi melalui beberapa
mekanisme yaitu peningkatan shear stress, peningkatan agregasi platelet,
translokaso bakteri serta proses infeksi

Hasil pemeriksaan hitung darah lengkap pada pasien menunjukkan


leukositosis dengan limfopenia dan monositosis. Hal ini menunjukkan proses
infeksi virus yang terjadi pada pasien.

Hiponatremia sedang yang terjadi merupakan komplikasi dari penyakit


hati kronik. Hiponatremia umum ditemukan pada pasien dengan asites karena
sirosis dan hipertensi portal. Hipertensi portal serta vasodilatasi sistemik
menyebabkan aktivasi dari mekanisme neurohormonal yang melibatkan sisten
RAAS (renin-angiotensin-aldosteron system), sistem syaraf simpatis, serta
antidiuretik hormon. Hal ini akan menyebabkan retensi sodium dan air untuk
mengkompensasi volume sirkulasi yang rendah dan menyebabkan munculnya
asites. Retensi natrium ini menyebabkan kehilangan kemampuan untuk
membuang air secara reguler yang menyebabkan hiponatremia dilusional
karena ketidakseimbangan relatif antara peningkatan jumlah total air dalam
tubuh dengan total natrium.
Peningkatan ureum pada pasien mungkin disebabkan akibat perdarahan
saluran cerna.

Pada pasien juga didapatkan adanya hipertensi stage I dengan tekanan


darah 140/80, yang masuk ke dalam hipertensi stage I menurut JNC yakni
adanya peningkatan tekanan darah sistol 140-159 atau diastol 90-99. Untuk
tatalaksana hipertensi menurut guideline ESC, pasien dapat langsung diberikan
terapi kombinasi 2 jenis obat, seperti ACE inhibitor/ARB dan CCB. Pada pasien
ini diterapi dengan lisinopril dan propanolol , sehingga dapat menurunkan
tekanan darah – dan dengan begitu menurunkan tekanan hidrostatik plasma
untuk membantu mengurangi edema pada pasien. Selain itu pasien juga
mendapatkan spironolakton, yakni diuretik hemat kalium yang berefek pada
menurunnya cardiac output dengan begitu juga mengurangi cairan dalam tubuh
dan menurunkan tekanan darah.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Ikterik
a. Definisi
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin
yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah (Sulaiman, 2014).
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti
kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan
melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sclera
mata dan jika ini terjadi konsentrasi bilirubin sekitar 2-3 mg/dL. Jika ikterus
sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya
sudah mencapai angka 7mg/dL (Sulaiman, 2014).
Produksi dan Metabolisme Bilirubin

Senescent RBC Ineffective Non-Hb but haem containing


erythropoesis pigments (myoglobin, catalase,
cytochromes)

RES (bone marrow, Heme Biliverdine


liver, spleen) Hemeoxygenase

Biliverdine reductase

Unconjugated
Endoplasmic Liver
Reticulum
bilirubine (UCB)

UCB Conjugated
bilirubin (CB) Hepatocyte
Bind with
Circulate and Albumin in blood
Glucuronosyl reach
transferase
UCB Albumin

Binds with Glutathione-S-


Transferase

Small intestines

Small intestines Metabolized


Kidney

Urobilinogen and
urobilin that go out
Direct excretion Urobilinogen Enterohepatic with urine
circulation
Converted to
stercobilinogen and
stercobilin that go
out with stool
Liver

Reexcreted to bile

Skema 1: Proses Produksi dan Metabolisme Bilirubin


(Pratt & Kaplan, 2012)
b. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang
berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih
relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam
tahapan metabolisme bilirubin. Pembagian yang baru menambahkan 2 fase
lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu:
(Sulaiman, 2014).
1. Pembentukan bilirubin
2. Transport plasma
3. Liver uptake
4. Konjugasi
5. Ekskresi bilier
Fase Prahepatik

1. Pembentukan bilirubin
Sekitar 250-300mg bilirubin atau sekitar 4 mg/kgBB terbentuk
setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein hem lainnya
yang terutama berada di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari
protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan
perantara enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase,
mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi
dalam sistem retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan
hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan
pembentukan bilirubin (Sulaiman, 2014).
2. Transport plasma
Bilirubin tidak larut air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membrane glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa
bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan
dengan albumin (Sulaiman, 2014).
Fase Intrahepatik

1. Liver Uptake
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci
dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum
jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin (Sulaiman, 2014).
2. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronidase membentuk bilirubin
diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini
yang dikatalisasi oleh enzim microsomal glukoroniltransferase
menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapan keadaan reaksi
ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian
asam glukoronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui
system enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik
(Sulaiman, 2014).

Fase Pascahepatik

1. Ekskresi Bilirubin
Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama
bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi
proses yang kompleks ini. Dalam usus, flora bakteri mendekonjugasi
dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya
sebagaian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian
diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah
kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat
mengeluarkan bilirubin diglukoronida tetapi tidak bilirubin
unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni gelap yang khas pada
gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatic. Bilirubin tak
terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak,
karenanya dapat melewati barrier darah-otak atau masuk ke dalam
plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalai proses
konjugasi dengan gula melalui enzim glukoroniltranseferase dan larut
dalam empedu cair (Sulaiman, 2014).
c. Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin
Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah mengenali
(1) apakah hiperbilirubinemia dominan tidak terkonjugasi atau terkonjugasi
dan (2) adakah tes biokimiawi hati yang abnormal (Pratt & Kaplan, 2012)
(Gambar 1).
1. Isolated elevation of the bilirubin
a. Unconjugated hyperbilirubinemia
Penyakit hemolitik yang mengakibatkan penbentukan hem yang
berlebihan dapat merupakan kelainan didapat maupun keturunan.
Penyakit hemolitik yang diturunkan contohnya sferositosis, talasemia,
anemia sel sabit, dan defisiensi G6PD.
Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan
bilirubin, namun peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan
hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada keadaan hemolisis
yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL, kecuali
jika diikuti kerusakan hati. Namun demikian kombinasi hemolisis yang
sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan
ikterus yang lebih berat; dalam keadaan ini hiperbilirubinemia
bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu (Pratt &
Kaplan, 2012).
Gambar 1: Pendekatan Klinis Pada Pasien dengan

Gambar 2. Ikterus (Pratt & Kaplan, 2012)


Penyakit hemolitik yang didapat termasuk anemia hemolitik
mikroangiopati (hemolytic-uremic syndrome), paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria, spur cell anemia, dan hemolysis imun dan infeksi
parasit yaitu malaria dan babesiosis. Eritropoesis yang tidak efektif
terjadi pada defisiensi kobalamin, folat, dan besi (Pratt & Kaplan,
2012).
Dalam keadaan tidak adanya hemolisis, harus dipikirkan adanya
masalah pada ambilan atau konjugasi bilirubin. Beberapa obat seperti
rifarmpisin dan probenesid dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi dengan berkurangnya ambilan bilirubin oleh hepar (Pratt
& Kaplan, 2012). Gangguan pada konjugasi bilirubin terjadi pada 3
kondisi genetik: (1) Crigler-Najjar Syndrome types I (2) Crigler-Najjar
Syndrome types II (3) Gilbert’s Syndrome.
b. Conjugated hyperbilitubinemia
Sindrom Dubin-Johnson adalah penyakit autosom resesif ditandai
dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar
terjadinya pada mutasi gen multiple drug resistance protein 2 pada
pasien ini terjadi gangguan ekskresi berbagai anion organik seperti juga
bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda
dengan Sindrom Gilbert, hiperbilirubinemia yang terjadi adalah
bilirubin konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati mengandung
pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran
histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai
aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Oleh karena sebab yang
belum jelas, gangguan ekskresi korpoforpirin urin dengan rasio reversal
isomer I dan III menyertai gangguan ini. Rotor’s Syndrome terjadi
gangguan pada penyimpanan bilirubin di hati (Pratt & Kaplan, 2012).
Gambar 3. Penyebab Isolated Hyperbilirubinemia
(Pratt & Kaplan, 2012)

2. Hyperbilirubinemia with other liver test abnormalities


a. Hepatocellular pattern
Terdiri dari hepatitis virus, toksisitas obat dan lingkungan, alcohol,
dan sirosis stadium akhir dari berbagai penyebab. Penyakit Wilson
perlu dicurigai jika ikterus terjadi pada usia muda dan tidak ditemukan
penyebab lain dari ikterus. Autoimun hepatitis terutama terjadi pada
umur dewasa muda, wanita namun dapat mengenai pria dan wanita
pada berbagai usia. Alkoholik hepatitis dapat dibedakan dengan
hepatitis virus dan toksin dari aminotransferase. Pasien dengan hepatitis
alkoholik umumnya memiliki rasio AST:ALT minimal 2:1. AST jarang
melebihi 300U/L. Pasien dengan hepatitis virus dan toksin cukup parah
menyebabkan kuning dengan aminotransferase > 500 U/L, dengan ALT
≥ AST. Tingkat kenaikan dari aminotransferase dapat membantu dalam
membedakan proses hepatoselular dan kolestasis. Nilai ALT dan AST
kurang dari 8 kali normal dapat menunjukkan baik proses hepatoselular
maupun kolestasis, namun nilai lebih dari 25 kali normal secara primer
merupakan penyakit hepatoselular akut. Pasien dengan kuning karena
sirosis dapat memiliki peningkatan maupun normal dari
aminotransferase (Pratt & Kaplan, 2012).
Kerusakan hepatoseluler diinduksi obat dapat diklasifikasikan
sebagai terduga maupun tak terduga. Reaksi obat yang terduga
berkaitan dengan dosis dan mengenai semua pasien yang menerima
dosis toksik tersebut. Contoh klasiknya dalah hepatotoksisitas
asetaminofen. Reaksi obat yang tidak terduga adalah tidak bergantung
dosis dan terjadi pada minoritas pasien (Pratt & Kaplan, 2012).

Gambar 4. Keadaan Hepatoseluler yang Dapat Menyebabkan


Ikterus (Pratt & Kaplan, 2012)
b. Cholestatic pattern
Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian icterus obstruktif
sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalua ada. Aliran
empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati
(kanalikulus), sampai ampula vater. Secara klinis, membedakan
kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik sangat penting. Penyebab
paling sering kolestasis intrahepatic adalah hepatitis, keracunan obat,
penyakit hati akibat alcohol, dan penyakt hati autoimun. Penyebab yang
kurang sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada
kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit-penyakit lain yang
jarang (Sulaiman, 2014).

Virus hepatitis, keracunan obat (drug induced), alcohol, dan


kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan
intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi dan
menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan
dimanifestasikan dengan icterus yang timbul secara akut. Hepatitis B
dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut),
tetapi bisa berjalan kronik dan menahun, mengakibatkan gejala
hepatitis menahun atau bahkan sampai sirosis hati. Tidak jarang
penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadang-
kadang didiagnosis salah sebagai hepatitis akut (Roche & Kobos,
2004).

Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan


sekresinya sehingga terjadi kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus
menerus bisa menimbulkan perlemakan hati (steatosis), hepatitis, dan
sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati merupakan
penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa
ikterus, tetapi kadang-kadang menjurus ke sirosis. Hepatitis karena
alcohol biasanya memberi gejala ikterus yang akut dengan keluhan dan
gejala yang berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan
peningkatan transaminase yang tinggi (Sulaiman, 2014).

Hepatitis autoimun biasanya mengenai kelompok muda terutama


perempuan. Data terakhir menyebutkan juga bahwa kelompok tua juga
dapat terkena. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada sistem
bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier
primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan
penyakit hati bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan
paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang
sering merupakan gejala awal, sedangkan ikterus adalah gejala yang
timbul kemudian. Kolangitis sclerosis primer lebih sering dijumpai
pada laki-laki dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus.
Penyakit ini dapat mengarah ke kolangiokarsinoma. Banyak obat
mempunyai efek dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti
asetaminofen, penisilin, obat estrogenik atau anabolik (Sulaiman,
2014).

Kolestasis Ekstrahepatik penyebab tersering adalah batu duktus


koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relative lebih
jarang adalah striktur jinak (pada operasi terdahulu) pada duktus
koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudokista
pankreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan
kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan
juga terdapat obstruksi mekanis empedu (Sulaiman, 2014).

Patofisiologinya mencerminkan efek backup konstituen empedu


(yang terpending bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi
sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus halus pada proses
ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia
dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering
berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna
usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu
diperikirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun
sebenarnya hubungannya belum jelas, sehingga patogenesis terjadinya
gatal belum bisa diketahui dengan pasti (Sulaiman, 2014).
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K,
gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan
hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasi yang berlangsung lama
(Primary Biliary Cirrhosis), gangguan penyerapan kalsium, vitamin D,
dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan mengakibatkan
osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid
mengakibatkan hyperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan
esterifkasi yang berkurang dalam darah turut berperan; konsentrasi
trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai
lipoprotein densistas rendah tang unik dan abnormal yang disebut
lipoprotein X (Sulaiman, 2014).

d. Pendekatan Diagnosis Klinis


1. Riwayat Penyakit
Sebuah riwayat medis lengkap adalah bagian terpenting dari evaluasi
pasien dengan penyakit kuning yang tidak dapat dijelaskan. Pertimbangan
penting termasuk penggunaan obat atau paparan bahan kimia, baik yang
dokter resepkan maupun over-the-counter, obat komplementer atau
alternatif seperti herbal dan sedian vitamin, atau obat-obatan lain seperti
steroid anabolik. Pasien harus hati-hati ditanyakan tentang kemungkinan
paparan parenteral, termasuk transfusi, penggunaan obat intravena dan
intranasal, tato, dan aktivitas seksual. Pertanyaan penting lainnya termasuk
riwayat perjalanan terakhir; paparan orang dengan penyakit kuning; paparan
makanan yang terkontaminasi; pajanan hepatotoxins; konsumsi alkohol;
durasi penyakit kuning; dan adanya gejala yang menyertai seperti arthralgia,
mialgia, ruam, anoreksia, penurunan berat badan, sakit perut, demam,
pruritus, dan perubahan dalam urin dan feses. Sementara tidak satupun dari
gejala terakhir adalah spesifik untuk setiap satu syarat, mereka dapat
menyarankan diagnosis tertentu. Adanya artralgia dan mialgia mendahului
penyakit kuning menunjukkan hepatitis, baik virus atau terkait obat.
Penyakit kuning dengan nyeri yang parah pada kuadran kanan dan
menggigil menunjukkan koledokolitiasis dan ascending cholangitis (Pratt
& Kaplan, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik
Penilaian umum harus mencakup penilaian status gizi pasien.
Pengecilan otot temporal dan proksimal menunjukkan penyakit lama seperti
kanker pankreas atau sirosis. Stigmata penyakit hati kronis, termasuk Spider
Nevi, eritema palmaris, ginekomastia, caput medusa, kontraktur Dupuytren,
pembesaran kelenjar parotis, dan atrofi testis yang biasa terlihat dalam
alkohol sirosis tahap lanjut (Laennec’s) dan kadang-kadang dalam jenis lain
dari sirosis (Roche & Kobos, 2004). Pembesaran kelenjar supraklavikula
kiri (Virchow’s node) atau nodul periumbilikalis (Sister Mary Joseph’s
nodule) menunjukkan keganasan perut. Distensi vena jugularis, tanda gagal
jantung sisi kanan, menunjukkan kongesti hati. Efusi pleura kanan, dengan
tidak adanya asites yang jelas, dapat dilihat pada sirosis tahap lanjut (Pratt
& Kaplan, 2012).
Pemeriksaan abdomen harus fokus pada ukuran dan konsistensi hati,
apakah limpa teraba dan karenanya membesar, dan apakah terdapat asites.
Pasien dengan sirosis mungkin memiliki lobus kiri yang membesar dan
teraba di bawah xifoideus, dan pembesaran limpa. Sebuah nodul hati
nodular atau massa abdomen yang jelas menunjukkan keganasan.
Pembesaran hati yang lunak dapat disebabkan hepatitis virus atau alkoholik;
proses infiltratif seperti amiloid; atau lebih jarang, kongest hati yang akut
sekunder dari gagal jantung sisi kanan. Nyeri hebat pada kuadran kanan atas
dengan pernapasan terhenti saat inspirasi (tanda Murphy) menunjukkan
kolesistitis atau terkadang ascending cholangitis. Asites dengan adanya
penyakit kuning menunjukkan baik sirosis atau keganasan dengan
penyebaran peritoneal (Pratt & Kaplan, 2012).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Ketika dokter bertemu dengan pasien dengan penyakit kuning, ada
serangkaian tes yang dapat membantu dalam evaluasi awal. Ini termasuk
serum bilirubin total dan langsung dengan fraksinasi, aminotransferase,
alkali fosfatase, albumin, dan tes waktu protrombin. Tes enzim [alanine
aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan alkali
fosfatase (ALP)] membantu dalam membedakan antara proses hepatoseluler
dan proses kolestatik merupakan langkah penting dalam menentukan apa
hasil pemeriksaan tambahan diindikasikan. Pasien dengan proses
hepatoseluler umumnya memiliki kenaikan yang tidak proporsional dalam
aminotransferases dibandingkan dengan ALP. Pasien dengan proses
kolestatik memiliki kenaikan yang tidak proporsional dalam ALP
dibandingkan dengan aminotransferase. Bilirubin dapat secara jelas
meningkat pada kedua kondisi hepatoseluler dan kolestasis dan karena itu
tidak selalu membantu dalam membedakan antara keduanya.

Selain tes enzim, semua pasien kuning harus memiliki tes darah
tambahan, khususnya tingkat albumin dan waktu protrombin untuk menilai
fungsi hati. Tingkat albumin rendah menunjukkan proses kronis seperti
sirosis atau kanker. Tingkat albumin normal adalah sugestif dari proses yang
lebih akut seperti hepatitis virus atau koledokolitiasis. Waktu protrombin
tinggi menunjukkan adanya kekurangan vitamin K karena ikterus
berkepanjangan dan malabsorpsi vitamin K atau disfungsi hepatoseluler
yang signifikan. Kegagalan waktu protrombin untuk memperbaiki dengan
pemberian parenteral vitamin K menunjukkan cedera hepatoseluler parah.

Hasil bilirubin, tes enzim, albumin, dan tes waktu protrombin biasanya
akan menunjukkan apakah pasien kuning memiliki kelainan hepatoseluler
atau penyakit kolestatik, serta beberapa indikasi durasi dan keparahan
penyakit. Penyebab dan evaluasi penyakit hepatoseluler dan kolestasis
sangat berbeda (Pratt & Kaplan, 2012).

e. Pengobatan
Pengobatan icterus sangat bergantung pada penyakit dasarnya.

2. Peningkatan Enzim Transaminase


a. SGOT
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga dinamakan
AST (Aspartat Aminotransferase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot
jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot
rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali
jika terjadi cedera seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam
sirkulasi.
Menurut Riswnato (2009) kodisi yang dapat meningkatkan SGOT
dibedakan menjadi tiga, yaitu
 Peningkatan tinggi (> 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut,
infark miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa.
 Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal) : obstruksi saluran empedu,
aritmia jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer),
distrophia muscularis.
 Peningkatan ringan (sampai 3 kali normal) : perikarditis, sirosis, infark paru,
delirium tremeus, cerebrovascular accident (CVA).
b. SGPT
SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau juga dinamakan ALT
(Alanin Aminotransferase) merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel
hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam
jumlah yang kecil dijum pai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada
umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan
parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya.
Menurut Riswnato (2009) kodisi yang dapat meningkatkan SGPT dibedakan
menjadi tiga, yaitu :
 Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati
(toksisitas obat atau kimia).
 Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif,
sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard
(SGOT>SGPT).
 Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec,
sirosis biliaris.
c. Patofisiologi SGOT/SGPT
SGOT-SGPT yang berada sedikit di atas normal tidak selalu menunjukkan
seseorang sedang sakit. Pada sirosis hati yang sudah lanjut sering kita
mendapatkan kadar SGPT/SGOT normal, hal ini terjadi karena jumlah sel hati
pada sirosis berat sudah sangat kurang sehingga kerusakan sel hati relatif sedikit.
Tapi kadar bilirubin akan terlihat meninggi dan perbandingan albumin/globulin
akan terbalik.
3. Anemia

a. Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit


(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen
carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (Bakta, 2009).
b. Etiologi

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit


oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
(Bakta,2009).
c. Kriteria Anemia

Kriteria Anemia menurut WHO:

1. Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL

2. Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL

3. Wanita hamil Hb < 11 gr/dl

d. Klasifikasi Anemia

Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)

1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang


a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

- Anemia defisiensi besi

- Anemia defisiensi asam folat

- Anemia defisiensi vitamin B12

b. Gangguan penggunaan besi

- Anemia akibat penyakit kronik

- Anemia sideroblastik

c. Kerusakan sumsum tulang

- Anemia aplastik

- Anemia mieloptisik

- Anemia pada keganasan hematologi

- Anemia diseritropoietik

- Anemia pada sindrom mielodisplastik

2. Anemia akibat perdarahan

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia akibat perdarahan kronik

3. Anemia hemolitik

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)

1. Anemia hipokromik mikrositik

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab anemia
ini adalah:
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major

c. Anemia akibat penyakit kronik

d. Anemia sideroblastik

2. Anemia normokromik normositer

Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,


hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31
pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit. Contoh anemia dengan
morfologi ini adalah:
a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia aplastik

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia akibat penyakit kronik

e. Anemia pada gagal ginjal kronik

f. Anemia pada sindrom mielodisplastik

g. Anemia pada keganasan hematologik

3. Anemia makrositik

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan
pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia
makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
a. Bentuk megaloblastic

- Anemia defisiensi asam folat

- Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa


b. Bentuk non-megaloblastik

- Anemia pada penyakit hati kronik

- Anemia pada hipotiroidisme

- Anemia pada sindrom mielodisplastik

e. Diagnosis anemia

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia


sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang : sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar
lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena
atritis rheumatoid.
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying
disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia.
1. Menentukan adanya anemia

2. Menentukan jenis anemia

3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia

4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi


hasil pengobatan.
4. Hipertensi

a. Pengertian Hipertensi

Menurut WHO (2013), hipertensi adalah kondisi dimana pembuluh


darah mengalami peningkatan tekanan secara persisten. Berdasarkan The
Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), hipertensi
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobanian et al, 2003). Tekanan
darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan
diagnosis hipertensi (PERKI, 2015). Dikatakan hipertensi primer bila tidak
ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan
hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma
Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat. Pada
populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005).

b. Etiologi Hipertensi

1) Hipertensi esensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan


dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi
essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan
terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor,
resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor
lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan
lain-lain (Nafrialdi, 2009).

2) Hipertensi sekunder

Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder


dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003). Hipertensi yang penyebabnya
dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya
ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi,
2000).
c. Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa


berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau
lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4
kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mmHg dan
tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap
sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasikan pasien-pasien yang
tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang
akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada
kategori ini harus diterapi obat (JNC VII, 2003).
Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-VII 2003
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan
Darah Sistolik (TDS) Darah
Diastolik
(TDD)
Normal <120 mmHg dan <80 mmHg
Prehipertensi 120-139 mmHg atau 80-90
mmHg
Hipertensi Stage I 140-159 mmHg atau 90-99
mmHg
Hipertensi Stage II ≥ 160 mmHg atau ≥ 100
mmHg

d. Krisis Hipertensi

Krisis hipertensi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan


kenaikan tekanan darah yang sangat tinggi >180/120 mmHg dengan
kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target (Joint
National Committee VII, 2003). Menurut The Seventh Report of the Joint
National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VII), krisis hipertensi ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat) dan hipertensi urgensi
(hipertensi darurat).

Hipertensi urgensi adalah keadaan di mana tekanan darah sistolik >


180 mmHg dan diastolik > 120 mmHg tanpa adanya tanda dan gejala
kerusakan organ. Sedangkan hipertensi emergensi adalah keadaan di mana
tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan diastolik > 120 mmHg yang disertai
dengan tanda dan gejala kerusakan organ. Pada pasien dengan hipertensi
urgensi, tekanan darah perlu diturunkan dalam waktu 24-48 jam, sementara
pada hipertensi emergensi tekanan darah diturunkan secepatnya, walaupun
tidak sampai kondisi normal (25% MAP dalam 1 jam) (Joint National
Committee VII, 2003). Tabel di bawah ini menunjukkan prevalensi
kerusakan masing-masing target organ.
Tabel 2. Prevalensi Kerusakan Organ Target
Kerusakan Organ Target Prevalensi kasus (%)
Infark cerebral 24.5
Pendarahan intraserebral/subaraknoid 4.5
Ensefalopati hipertensi 16.3
Edema pulmo akut 22.5
Gagal jantung kongestif 14.3
Akut miokard infark/angina pectoris 12.0
Diseksi aorta 2.0
Eklampsia 2.0

e. Diagnosis Hipertensi

Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan


pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana
yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadian
Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation for The
Management of Hypertension 2014
Gambar 5. Algoritma Diagnosis Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain


tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada
retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada
kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus optikus).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi
maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu
sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak
nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan
sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang
pernah dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal
dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan
pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).
f. Komplikasi Hipertensi

Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari stroke,


infarkmiokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan
pregnancyincludedhypertension (PIH) (Corwin, 2005).

g. Penatalaksanaan Hipertensi

1) Pengendalian faktor risiko

Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat


saling berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada
faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :
a) Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan
b) Mengurangi asupan garam didalam tubuh
c) Melakukan olahraga teratur
d) Berhenti merokok
e) Mengurangi konsumsi alkohol

2) Terapi Farmakologis

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada


pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah
setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan
hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu
diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,
yaitu :
1. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal

2. Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi


biaya

3. Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti
pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur. (Perki, 2015)

Gambar 6. Tatalaksana Hipertensi


a) Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan


klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.
Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
(Nafrialdi, 2009).

b) Golongan Tiazid

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara


lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain
yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus
distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi,
2009).

c) Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

Diuretik kuat bekerja di ansa Henleasenden bagian epitel tebal


dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek
diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu
diuretik ini jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi,
2009).

d) Diuretik Hemat Kalium

Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik


lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik
lain untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).

e) Penghambat Adrenergik

f) Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)

Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini


diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1
terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak
ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik.
Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat
ditemukan di otak (Nafrialdi, 2009). Efek akhirnya adalah
peningkatan cardiacoutput, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air
(Nafrialdi, 2009).

g) Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)

Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1


(α 1) yang digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif
kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2
(α 2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan
penglepasannorefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis
(Nafrialdi, 2009).

Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol


dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu,
venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang
selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis
awal (fenomena dosis pertama) yang menyebabkan refleks takikardia
dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka
penjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek
antihipertensinya akan bertahan (Nafrialdi, 2009).

h) Vasodilator

Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan


relaksasi otot polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan
resistensi dan karena itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini
menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu
dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen.
Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris, infarkmiokard atau
gagal jantung pada orang-orang yang mempunyai predisposisi.
Vasodilator juga meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi
natrium dan air. Efek samping yang tidak 34 diharapkan ini dapat
dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β
(Myceketal, 2001).

i) Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor)


menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari
prekusorangitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh
darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah
meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor.
Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air
dan natrium (Nafrialdi, 2009).
j) Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker,
ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu


AT1 (Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1
terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung.
Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor
AT1 memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang
berperan dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat
di medula adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya
belum jelas (Nafrialdi, 2009). ARB sangat efektif menurunkan
tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi
seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang
efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada
pasien hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan (Nafrialdi, 2009).
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi
frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi
lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2009).
k) Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)

Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion


kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung
dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan
kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls
elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi
dengan kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah
proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).
l) Penghambat Simpatis

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf


simpatis (saraf yang bekerja saat kita beraktivitas) (Depkes, 2006b).

Terapi kombinasi antara lain :

1. Penghambat ACE dengan diuretik

2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik

3. Diuretik dan agen penahan kalium

4. Penghambat ACE dengan penghambat kalsium

5. Penghambat reseptor beta dengan diuretik

6. Agonis reseptor α-2 dengan diuretik

7. Penyekat α-1 dengan diuretik


DAFTAR PUSTAKA

Chobanian, AV., Bakris, GL., Black, HR., Cushman, WC., Green, LA., Izzo, JL. et al.
2003. The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure : The JNC 7
Report. JAMA, 289 : 2560-72
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta

Depkes RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.

Guyton, A.C., John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC.
Jakarta.

Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Pathogenesis of Hypertension, Ann
Intern Med 2003.

Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. 2015 Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).

Pratt & Kaplan. 2012. Jaundice. Dalam Longo, Fauci, Kasper, Jameson, Loscalzo
(Ed.). Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th Ed (volume I), 324-29.
United States of America: The McGraw-Hill Companies.

Roche & Kobos. 2004. Jaundice in Adult Patient. Am Fam Physician (69), 299-304.
Retrieved on May 18, 2015, from http://www.aafp.org/afp/2004/0115/p299.html

Sulaiman. 2014. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Sri Setiati, Idrus
Alwi, Aru W.S., Marcellus S.K., Bambang setiyohadi, Ari Fahrial Syam (Ed.).

53
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (jilid 2, edisi IV), 1935-40. Jakarta: Internal
Publishing.

54

Anda mungkin juga menyukai