Oleh:
Zahra Dzakiyatin Nisa G991902062
Pembimbing Residen
Disusun Oleh:
Pembimbing
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. BP
Usia : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Karangsari, Ngawi, Jawa Tengah
Nomor Rekam Medis : 01 47 8x xx
Status : Menikah
Pekerjaan : Polisi
Suku : Jawa
Masuk Bangsal : 29 September 2019
Tanggal Pemeriksaan : 02 Oktober 2019
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Badan kuning
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr Moewardi dengan keluhan badan
kuning sejak 10 hari SMRS. Kuning muncul secara perlahan dan tampak di
kedua mata serta di seluruh kulit di badan. Keluhan tersebut dirasakan terus
menerus. Pasien sempat dirawat inap di Ngawi selama 5 hari namun belum
membaik. Keluhan nyeri perut dan demam disangkal.
Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki yang muncul sejak 10 hari
SMRS. Bengkak muncul tiba-tiba, tidak disertai nyeri atau demam. Keluhan
bengkak di kaki dirasakan terus menerus dan pada saat bagian yang bengkak
ditekan, permukaanya tidak langsung kembali seperti semula dengan cepat.
Bengkak sudah agak mengecil ketika pasien dirawat inap di Ngawi.
Keluhan bengkak juga dirasakan di bagian perut. Keluhan sesak nafas
disangkal.
Pasien mengeluh lemas sejak 11 hari SMRS. Lemas dirasakan terus
menerus, tidak membaik dengan istirahat dan memberat saat beraktivitas.
Lemas tidak membaik dengan pemberian makanan ataupun minuman.
Keluhan pusing dan pandangan berkunang diakui, keluhan sesak nafas
disangkal.
Pasien juga mengalami BAB hitam pada 10 hari SMRS. BAB 3-4
kali sehari. BAB berwarna hitam, agak lembek, dan berbau amis. BAB
hitam dialami selama kurang lebih 3 hari. Sejak tanggal 27 September 2019,
pasien belum BAB. BAB hitam tidak disertai muntah darah. Pasien juga
mengatakan BAK menjadi keruh seperti teh sejak 10 hari SMRS. BAK 2-3
kali sehari. BAK sebanyak ¼ - ½ gelas belimbing sehari.
Pasien memliki riwayat muntah darah pada 3 tahun yang lalu. Saat
itu dilakukan transfusi 2 kantong darah. Saat di Ngawi pasien ditatalaksana
dengan pemberian 3 kantong darah. Di RSDM pasien menerima transfusi 2
kantong darah. Pasien sering meminum obat pegal linu dan jamu-jamuan
karena merasa punya asam urat. Riwayat darah tinggi dan kencing manis
disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat muntah darah : Diakui, 3 tahun lalu
Riwayat mondok : Diakui, di Ngawi selama 5 hari
Riwayat operasi : Disangkal
Riwayat sakit keganasan : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat makan : Makan 3 kali sehari dengan nasi, sayuran,
dan lauk pauk.
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat minum jamu : Diakui, sering minum jamu seduh
Riwayat minum obat bebas : Diakui, sering minum obat pegal linu
d. Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)
2. Kiri : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)
14. Abdomen
a. Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
jejas (-), sikatriks (-), venektasi (-), striae (-),
caput medusa (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit
c. Perkusi : Timpani, pekak alih (+), undulasi (-)
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar
dan lien tidak teraba
15. Ekstremitas : Akral dingin Edema
- - - -
- - + +
Superior ka/ki : Edema (-/-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-),
ikterus (-/-), luka (-/-), akral dingin (-/-), kuku
pucat (-/-), spoon nail (-/-), flat nail (-/-),
clubbing finger (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak
(-/-), deformitas (-/-)
Inferior ka/ki : Edema (+/+), sianosis (-/-), akral dingin (-/-),
ikterus (-/-), luka (-/-), akral dingin (-/-), kuku
pucat (-/-), spoon nail (-/-), flat nail (-/-),
clubbing finger (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak
(-/-), deformitas (-/-).
16 Rectal Touche : Tonus musculus sphincter ani (+), Ampulla recti
tidak kolaps, dinding rectum teraba lengket,
massa(-), STLD (+) warna hitam, feses (+)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Elektrokardiografi tanggal 29 September 2019 (RSDM)
Kesimpulan
Sinus ritmis, HR 107 bpm, normoaxis, RVH (-), LVH (-), zona transisi di
V1-V2
B. Foto Thorax PA 29 September 2019 (RSDM)
Hasil :
a. Cor: CTR tak valid diukur, batas kanan kiri jantung tertutup
perselubungan
b. Pulmo: tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskuler normal
c. Sinus costophrenicus kanan tumpul kiri tajam
d. Hemidiaphragma kanan kiri normal
e. Trakhea di tengah
f. Sistema tulang baik
Kesimpulan :
1) Pulmo tak tampak kelainan
2) Cor tak valid dinilai (inspirasi kurang)
C. Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 30 September 2019
(RSDM)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.2 gram/dL 13.5 – 17.5
Hematokrit 32 % 33 – 45
Leukosit 11.8 ribu/L 4.5 – 11.0
Trombosit 90 ribu/L 150 – 450
Eritrosit 4.02 juta/L 4.50 – 5.90
Indeks Eritrosit
MCV 79.9 /um 80.0-96.0
MCH 25.4 Pg 28.0-33.0
MCHC 31.8 g/dl 33.0-36.0
Hitung Jenis
Eosinofil 1.00 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.70 % 0.00 – 2.00
Netrofil 71.00 % 55.00 – 80.00
Limfosit 16.90 % 22.00 – 44.00
Monosit 10.40 % 0.00 – 7.00
Homeostasis
PT 17.5 detik 10.0-15.0
APTT 38.8 detik 20.0-40.0
INR 1.460
Kimia Klinik
GDS 103 mg/dL 60 – 140
SGOT 125 u/L <31
SGPT 86 u/L <34
Bilirubin Total 9.42 mg/dL 0.00 – 1.00
Bilirubin Direk 6.53 mg/dL 0.00-0.30
Bilirubin Indirek 2.89 mg/dL 0.00-0.70
Gamma GT 132 u/l <55
Alkali Fosfatase 199 u/l 53-128
Albumin 2.3 g/dL 3.5-5.2
Kreatinin 1.3 mg/dL 0.9 – 1.3
Ureum 99 mg/dL < 50
Elektrolit
Natrium darah 128 mmol/L 132 – 146
Kalium darah 4.0 mmol/L 3.7 – 5.4
Calsium ion 1.12 mmol/L 1.17 – 1.29
Serologi
HBsAg Nonreactive Nonreactive
IV. RESUME
1. Keluhan Utama
Badan kuning.
2. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr Moewardi dengan keluhan badan
kuning sejak 10 hari SMRS.
Kuning muncul secara perlahan dan tampak di kedua mata serta
diseluruh kulit di badan.
Keluhan tersebut dirasakan terus menerus.
Pasien sempat dirawat inap di Ngawi selama 5 hari namun belum
membaik.
Keluhan nyeri perut dan demam disangkal
Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki sejak 10 hari SMRS.
Bengkak muncul tiba-tiba, tidak disertai nyeri atau demam.
Keluhan bengkak di kaki dirasakan terus menerus dan pada saat
bagian yang bengkak ditekan, permukaanya tidak langsung kembali
seperti semula dengan cepat.
Bengkaknya sudah agak mengecil ketika pasien dirawat inap di
Ngawi.
Keluhan bengkak juga dirasakan di bagian perut
Pasien mengeluh lemas sejak 11 hari SMRS.
Lemas dirasakan terus menerus, tidak membaik dengan istirahat dan
memberat saat beraktivitas.
Lemas tidak membaik dengan pemberian makanan ataupun
minuman.
Keluhan pusing dan pandangan berkunang diakui, keluhan sesak
nafas disangkal.
Pasien juga mengalami BAB hitam pada 10 hari SMRS.
BAB berwarna hitam, agak lembek, dan berbau amis. BAB hitam
dialami selama kurang lebih 3 hari.
Sejak tanggal 27 September 2019, pasien belum BAB.
BAB hitam tidak disertai muntah darah.
Pasien juga mengalami BAK menjadi keruh seperti teh sejak 10 hari
SMRS.
BAK 2-3 kali sehari. BAK sebanyak ¼ - ½ gelas belimbing sehari.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat muntah darah diakui, 3 tahun lalu
Riwayat mondok diakui, di Ngawi selama 5 hari
3. Pemeriksaan Fisik
KU : lemas, compos mentis, GCS E4V5M6
Tanda vital : TD 140/80 mmHg, HR 88 kali/menit, RR 20 kali/menit,
T 36,60C
IMT: 26.12 kg/m2 (Overweight)
Kulit ikterik (+)
Konjunctiva anemis (+/+)
Sklera ikterik (+/+)
Cor: batas jantung kesan melebar ke arah caudolateral.
Abdomen: Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
Ekstremitas inferior: Edema (+/+)
RT: dinding rectum teraba lengket, STLD (+) warna hitam.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
Anemia Mikrositik Hipokromik
Trombositopenia
Limfopenia
Monositosis
PT memanjang
Peningkatan Enzim transaminase
Peningkatan Gamma GT
Peningkatan Alkali fosfatase
Hiperbilirubinemua
Hipoalbuminemia
Peningkatan ureum darah
Hiponatremia sedang
b. EKG
Sinus ritmis, HR 107 bpm, normoaxis, RVH (-), LVH (-), zona transisi
di V1-V2.
c. Foto Thorax
Kesimpulan : Pulmo tak tampak kelainan, Cor tak valid dinilai.
V. Diagnosis
1. Ikterik ec hepatal dd post hepatal.
2. Peningkatan enzim transaminase.
3. Anemia hipokromik mikrositik.
4. Hiponatremia sedang.
5. Hipoalbumin berat.
6. Hipertensi stage I.
VI. TATALAKSANA
1. Bed rest tidak total
2. Diet hepar 2400 kkal / hari
3. Inf. NaCl 0.9% 20 tpm.
4. Inf albumin 20% 300 cc
5. Curcuma 3x1
6. Lactulac syr, 3x1 cth
7. Spironolactone 100 mg – 0 – 0 p.o
8. Propanolol tab 20 mg / 12 jam
9. Lisonipril tab 5 mg / 24 jam
VII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam: dubia
Pada kasus ini, seorang pria datang dengan keluhan badan kuning sejak
10 hari SMRS. Kuning muncul secara perlahan dan tampak di kedua mata serta
diseluruh kulit di badan. Keluhan tersebut dirasakan terus menerus. Pasien
sempat dirawat inap di Ngawi selama 5 hari namun belum membaik. Keluhan
nyeri perut dan demam disangkal. Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki
sejak 10 hari SMRS. Bengkak muncul tiba-tiba, tidak disertai nyeri atau
demam. Keluhan bengkak di kaki dirasakan terus menerus dan pada saat bagian
yang bengkak ditekan, permukaanya tidak langsung kembali seperti semula
dengan cepat. Bengkaknya sudah agak mengecil ketika pasien dirawat inap di
Ngawi. Keluhan bengkak juga dirasakan di bagian perut. Pasien mengeluh
lemas sejak 11 hari SMRS. Lemas dirasakan terus menerus, tidak membaik
dengan istirahat dan memberat saat beraktivitas. Lemas tidak membaik dengan
pemberian makanan ataupun minuman. Keluhan pusing dan pandangan
berkunang diakui, keluhan sesak nafas disangkal. Pasien juga mengalami BAB
hitam pada 10 hari SMRS. BAB berwarna hitam, agak lembek, dan berbau
amis. BAB hitam dialami selama kurang lebih 3 hari. BAB hitam tidak disertai
muntah darah. Sejak tanggal 27 September 2019, pasien belum BAB. Pasien
juga mengeluhkan BAK menjadi keruh seperti teh sejak 10 hari SMRS. BAK
2-3 kali sehari. BAK sebanyak ¼ - ½ gelas belimbing sehari.
Bilirubin dibentuk dari lisis sel darah merah (komponen heme) pada
sistem retikuloendotelial. Bilirubin tidak terkonjugasi ditransport ke hepar
dengan diikat oleh protein albumin. Bilirubin ini bersifat tidak larut dalam air
dan tidak dapat diekskresikan pada urin. Di hati, terjadi proses konjugasi
bilirubin dengan bilirubin glucoronide kemudian bilirubin yang telah
terkonjugasi disekresikan ke empedu dan pencernaan. Flora intestinal akan
memecah bilirubin menjadi urobilinogen. Urobilinogen sebagian akan di
reabsorbsi, dan sebagian diekskresikan melalui renal ke dalam urin atau
diekskresikan oleh hati ke traktus gastrointestinal. Ekskresi pada feses dalan
bentuk stercobilinogen memberikan warna kecoklatan pada feses.
Alkaline Phosphatase (ALP) berasal dari dua sumber yaitu hepar dan
tulang. Peningkatan kadar ALP dapat bermakna fisioligis (pada trimester tiga
kehamilan, adolescents, familial) atau patologis (obstruksi duktus bilier,
kelainan pada tulang, kelainan pada hepar). Pada pasien dengan peningkatan
kadar ALP maka dilakukan evaluasi kadar dari GGT.
1. Ikterik
a. Definisi
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin
yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah (Sulaiman, 2014).
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti
kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan
melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sclera
mata dan jika ini terjadi konsentrasi bilirubin sekitar 2-3 mg/dL. Jika ikterus
sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya
sudah mencapai angka 7mg/dL (Sulaiman, 2014).
Produksi dan Metabolisme Bilirubin
Biliverdine reductase
Unconjugated
Endoplasmic Liver
Reticulum
bilirubine (UCB)
UCB Conjugated
bilirubin (CB) Hepatocyte
Bind with
Circulate and Albumin in blood
Glucuronosyl reach
transferase
UCB Albumin
Small intestines
Urobilinogen and
urobilin that go out
Direct excretion Urobilinogen Enterohepatic with urine
circulation
Converted to
stercobilinogen and
stercobilin that go
out with stool
Liver
Reexcreted to bile
1. Pembentukan bilirubin
Sekitar 250-300mg bilirubin atau sekitar 4 mg/kgBB terbentuk
setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein hem lainnya
yang terutama berada di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari
protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan
perantara enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase,
mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi
dalam sistem retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan
hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan
pembentukan bilirubin (Sulaiman, 2014).
2. Transport plasma
Bilirubin tidak larut air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membrane glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa
bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan
dengan albumin (Sulaiman, 2014).
Fase Intrahepatik
1. Liver Uptake
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci
dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum
jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin (Sulaiman, 2014).
2. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronidase membentuk bilirubin
diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini
yang dikatalisasi oleh enzim microsomal glukoroniltransferase
menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapan keadaan reaksi
ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian
asam glukoronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui
system enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik
(Sulaiman, 2014).
Fase Pascahepatik
1. Ekskresi Bilirubin
Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama
bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi
proses yang kompleks ini. Dalam usus, flora bakteri mendekonjugasi
dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya
sebagaian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian
diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah
kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat
mengeluarkan bilirubin diglukoronida tetapi tidak bilirubin
unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni gelap yang khas pada
gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatic. Bilirubin tak
terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak,
karenanya dapat melewati barrier darah-otak atau masuk ke dalam
plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalai proses
konjugasi dengan gula melalui enzim glukoroniltranseferase dan larut
dalam empedu cair (Sulaiman, 2014).
c. Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin
Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah mengenali
(1) apakah hiperbilirubinemia dominan tidak terkonjugasi atau terkonjugasi
dan (2) adakah tes biokimiawi hati yang abnormal (Pratt & Kaplan, 2012)
(Gambar 1).
1. Isolated elevation of the bilirubin
a. Unconjugated hyperbilirubinemia
Penyakit hemolitik yang mengakibatkan penbentukan hem yang
berlebihan dapat merupakan kelainan didapat maupun keturunan.
Penyakit hemolitik yang diturunkan contohnya sferositosis, talasemia,
anemia sel sabit, dan defisiensi G6PD.
Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan
bilirubin, namun peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan
hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada keadaan hemolisis
yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL, kecuali
jika diikuti kerusakan hati. Namun demikian kombinasi hemolisis yang
sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan
ikterus yang lebih berat; dalam keadaan ini hiperbilirubinemia
bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu (Pratt &
Kaplan, 2012).
Gambar 1: Pendekatan Klinis Pada Pasien dengan
Selain tes enzim, semua pasien kuning harus memiliki tes darah
tambahan, khususnya tingkat albumin dan waktu protrombin untuk menilai
fungsi hati. Tingkat albumin rendah menunjukkan proses kronis seperti
sirosis atau kanker. Tingkat albumin normal adalah sugestif dari proses yang
lebih akut seperti hepatitis virus atau koledokolitiasis. Waktu protrombin
tinggi menunjukkan adanya kekurangan vitamin K karena ikterus
berkepanjangan dan malabsorpsi vitamin K atau disfungsi hepatoseluler
yang signifikan. Kegagalan waktu protrombin untuk memperbaiki dengan
pemberian parenteral vitamin K menunjukkan cedera hepatoseluler parah.
Hasil bilirubin, tes enzim, albumin, dan tes waktu protrombin biasanya
akan menunjukkan apakah pasien kuning memiliki kelainan hepatoseluler
atau penyakit kolestatik, serta beberapa indikasi durasi dan keparahan
penyakit. Penyebab dan evaluasi penyakit hepatoseluler dan kolestasis
sangat berbeda (Pratt & Kaplan, 2012).
e. Pengobatan
Pengobatan icterus sangat bergantung pada penyakit dasarnya.
a. Definisi
d. Klasifikasi Anemia
- Anemia sideroblastik
- Anemia aplastik
- Anemia mieloptisik
- Anemia diseritropoietik
3. Anemia hemolitik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab anemia
ini adalah:
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
d. Anemia sideroblastik
b. Anemia aplastik
3. Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan
pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia
makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
a. Bentuk megaloblastic
e. Diagnosis anemia
a. Pengertian Hipertensi
b. Etiologi Hipertensi
1) Hipertensi esensial
2) Hipertensi sekunder
d. Krisis Hipertensi
e. Diagnosis Hipertensi
g. Penatalaksanaan Hipertensi
2) Terapi Farmakologis
3. Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti
pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur. (Perki, 2015)
b) Golongan Tiazid
e) Penghambat Adrenergik
h) Vasodilator
Chobanian, AV., Bakris, GL., Black, HR., Cushman, WC., Green, LA., Izzo, JL. et al.
2003. The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure : The JNC 7
Report. JAMA, 289 : 2560-72
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta
Depkes RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.
Guyton, A.C., John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC.
Jakarta.
Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Pathogenesis of Hypertension, Ann
Intern Med 2003.
Pratt & Kaplan. 2012. Jaundice. Dalam Longo, Fauci, Kasper, Jameson, Loscalzo
(Ed.). Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th Ed (volume I), 324-29.
United States of America: The McGraw-Hill Companies.
Roche & Kobos. 2004. Jaundice in Adult Patient. Am Fam Physician (69), 299-304.
Retrieved on May 18, 2015, from http://www.aafp.org/afp/2004/0115/p299.html
Sulaiman. 2014. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Sri Setiati, Idrus
Alwi, Aru W.S., Marcellus S.K., Bambang setiyohadi, Ari Fahrial Syam (Ed.).
53
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (jilid 2, edisi IV), 1935-40. Jakarta: Internal
Publishing.
54