Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

SEORANG PRIA USIA 50 TAHUN DENGAN HIV STADIUM IV,


PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA DD TB PARU, KANDIDIASIS
ORAL, DAN DISPEPSIA FUNGSIONAL DD ORGANIK

Disusun Oleh:
Bias Ayu Rentang Sukma G99172053

Residen Pembimbing

dr. Mas Aditya dr. Sienny Linawati, M.Kes., Sp.PK

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RUMAT SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
SURAKARVA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul

SEORANG PRIA USIA 50 TAHUN DENGAN HIV STADIUM IV,


PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA DD TB PARU, KANDIDIASIS
ORAL, DAN DISPEPSIA FUNGSIONAL DD ORGANIK

Oleh:
Bias Ayu Rentang Sukma G99172053

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal: November 2020

dr. Sienny Linawati, M.Kes., Sp.PK

2
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. N
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gunung Cilik, Wonogiri
No RM : 0142xxxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 15 Juli 2018
B. Data Dasar
Autoanamnesis dilakukan saat hari ke-3 perawatan di Bangsal Penyakit
Dalam Flamboyan 8 kamar 803B RSUD Dr. Moewardi SurakARVa.
Keluhan utama:
Sesak napas
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 1
minggu SMRS. Sesak napas sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Pada
awalnya, sesak napas dirasakan hilang timbul tanpa pencetus makan dan
minum, serta aktivitas, namun biasanya memberat saat malam hari dan pagi
hari. Terkadang pasien terbangun dari tidur malam karena sesak napas.
Selain sesak napas pasien juga mengeluhkan batuk berdahak warna putih
kekuningan dan tidak ada darah. Batuk dirasakan sejak 1 bulan SMRS, terus-
menerus dan mengganggu aktivitas, dan tidak membaik dengan istirahat dan
minum obat. Keringat malam dan penurunan berat badan beberapa bulan
terakhir disangkal.

3
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 1 bulan SMRS. Demam naik-turun
dan mengganggu aktivitas. Demam turun dengan minum obat penurun panas,
namun demam naik lagi.
Pasien mengeluhkan sariawan yang menetap sejak 3 bulan SMRS.
Sariawan sebelumnya sudah ada sejak 7 tahun SMRS namun hilang-timbul
tanpa sakit dan perih pada mulut. Sariawan tidak membaik dengan pemberian
obat kumur.
Terdapat pula nyeri ulu hati sejak 6 hari SMRS, terasa seperti terbakar dan
dirasakan hilang timbul. Nyeri membaik dengan pemberian sucralfat.
BAB sekali dalam 3 hari, feses warna coklat kehitaman. Keluhan diare
disangkal. BAK 3-4 kali sehari berwarna kuning jernih, tidak ada rasa
berpasir, bau, nyeri dan anyang-anyangan.
Pasien telah didiagnosa HIV sejak 7 tahun yang lalu dan kontrol rutin di
VCT RSDM menggunakan duviral dan neviral, CD4 dan jumlah virus
terakhir pasien tidak mengetahui hasilnya. Pasien mengaku dalam beberapa
pekan terakhir berhenti minum obat karena merasa sudah tidak ada gejala
HIV.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat keluhan serupa : (+), 7 tahun SMRS saat awal pertama pasien
didiagnosa HIV
Riwayat mondok : (+), 7 tahun SMRS di JakARVa. Didiagnosa
dengan HIV
Riwayat OAT : disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal

4
Pohon keluarga pasien:

Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 3 kali sehari
dengan nasi, lauk-pauk, dan sayur.
Namun jam makan tidak teratur.
Merokok Sejak SD, dalam sehari ±12 batang,
berhenti sejak 1 tahun SMRS
Alkohol Pernah, >7 tahun SMRS
Obat bebas Pernah menggunakan obat suntik >7
tahun SMRS
Seks Bebas 7 tahun SMRS pasien beberapa kali
berganti-ganti pasangan di luar nikah
Riwayat gizi
Pasien biasanya makan 3 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan + 8-10
sendok makan dengan dengan lauk bervariasi: tahu, tempe, telur, daging dan
sayur. Sejak sakit, makan hanya setengah porsi.
Riwayat sosial ekonomi
Pasien merupakan seorang pedagang. Pasien tinggal di rumah bersama ibu.
Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.

5
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 18 Juli 2018 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum:
Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
2. Tanda vital
 Tensi : 130/70 mmHg
 Nadi :120 kali /menit, reguler
 Frekuensi napas : 22 kali /menit
 Suhu : 38,70 C
 VAS : 3 (nyeri epigastrium)
3. Status gizi
 Berat badan : 50 kg
 Tinggi badan : 170 cm
 IMT : 17.30 kg/m2 (Underweight)
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),
konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan
subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3
mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),
strabismus (-/-), eksoftalmus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Sianosis (-), papil lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka

6
pada sudut bibir (-), oral thrush (+), lidah kotor (-)
10. Leher : JVP R+2 cm H2O, trakea ditengah, simetris, pembesaran
kelenjar getah bening (-), kelenjar tiroid teraba
membesar (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi intercostal (-), pernapasan
abdominothorakal, sela iga melebar(-), pembesaran
kelenjar getah bening axilla (-/-)
12. Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
 Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V LMCS
 Perkusi : Batas jantung kiri atas di SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah di SIC V LMCS
Batas jantung kanan atas di SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah di SIC V LPSD
Batas jantung normal
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler, bising (-), gallop (-).
 Kesan : Normal
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri

7
 Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas
absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V linea
medioclavicularis sinistra
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, terdengar di semua
lapang paru, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (+), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, terdengar di semua
lapang paru, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (+), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan=kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, terdengar di semua
lapang paru, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (+), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)

8
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, terdengar di semua
lapang paru, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (+), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
14. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding thorak, asites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-),
 Auskultasi : Bising usus (+) 12 x / menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
 Perkusi : timpani (+), pekak alih (-)
 Palpasi : supel (+), distended (-), nyeri tekan(+)
epigastrium, defans muskuler (-). Hepar dan lien tidak teraba,
undulasi (-).
15. Ekstremitas
CRT < 2 detik

Akral dingin _ _ Edema _ _


_ _ - -
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah (15 Juli 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 9.3 g/dl 13.5 – 17.5
Hct 28 % 33 – 45
AL 4.0 103 /  L 4.5 – 11.0

AT 185 103 /  L 150 – 450

AE 2.49 106/  L 4.50 – 5.90


INDEX ERITROSIT
MCV 114.1 /um 80.0 – 96.0
MCH 37.3 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 32.7 g/dl 33.0 – 36.0

9
RDW 12.6 % 11.6 – 14.6
MPV 8.0 fl 7.2 – 11.1
PDW 17 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.00 % 0.00 – 4/00

Basofil 0.00 % 0.00 – 2.00

Netrofil 65.10 % 55.00 – 80.00

Limfosit 21.00 % 22.00 – 44.00

Monosit 7.00 % 0.00 – 7.00

ELEKTROLIT
Natrium darah 130 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.3 – 5.1
Calsium Ion 1.11 mmol/L 1.17– 1.29
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 94 mg/dl 60 – 140
SGOT 20 u/l <35
SGPT 13 u/l <45
Bilirubin Total 3.4 mg/dl 0.00 – 1.00
Creatinine 1.0 mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 22 mg/dl <50

10
2. Pemeriksaan Foto Thoraks (15 Juli 2018)

Cor : Besar dan bentuk normal


Paru : Tak tampak infiltrate di kedua lapang paru
Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan : cor dan paru dalam batas normal
E. Resume

1. Keluhan utama
Sesak napas
2. Anamnesis:
1) Sesak napas sejak 1 bulan SMRS
- Sesak napas dirasakan hilang timbul, sesak napas terutama pada
malam dan pagi hari
- Sesak napas memberat sejak 1 minggu SMRS dan mengganggu
aktivitas
- Sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas, perubahan cuaca, udara
dingin maupun debu
- Sesak napas tidak berkurang dengan istirahat, membaik setelah
minum Sucralfat

11
2) Batuk sejak 1 bulan SMRS
- Batuk terus menerus sepanjang hari dan mengganggu aktivitas
- Batuk berdahak, dahak warna putih kekuningan, tidak disertai
darah
- Tidak membaik dengan istirahat dan minum obat
- Tidak ada keringat malam dan penurunan berat badan
3) Demam sejak 1 bulan SMRS
- Demam dirasakan hilang timbul, mengganggu aktivitas
- Demam dirasakan naik turun
- Demam turun setelah minum obat penurun demam, namun naik
kembali
4) Sariawan sejak 3 bulan SMRS
- Dirasakan hilang timbul sejak 7 tahun SMRS, lama sembuh dan
mengganggu aktivitas
- Tidak ada perih dan nyeri
- Tidak membaik dengan obat kumur
5) Nyeri ulu hati sejak 6 hari SMRS
- Keluhan dirasakan hilang timbul
- Keluhan berupa rasa terbakar di ulu hati
- Memberat pada pagi hari
- Membaik setelah minum Sucralfat
6) Buang Air Kecil (BAK)
- ± 3-4 kali perhari masing- masing sebanyak 1 gelasbelimbing
- BAK berwarna kuning jernih
- Pasir, batu, darah, nyeri dan anyang- anyangan disangkal.
7) Buang Air Besar (BAB)
- BAB sekali dalam 3 hari
- BAB padat, warna coklat kehitaman
- Riwayat diare disangkal
8) Penurunan berat badan 20 kg dalam 3 bulan

12
9) Pasien merupakan perokok aktif sejak SD, dalam sehari merokok
±12 batang, berhenti merokok sejak 1 tahun SMRS
10) Pasien pernah mengkonsumsi alcohol > 7 tahun SMRS
11) Pasien memiliki tattoo di tungkai kanan/kiri
12) Pasien pernah menggunakan obat-obatan suntik > 7 tahun SMRS
13) Pasien pernah melakukan hubungan sex di luar nikah > 7 tahun
SMRS
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6,
kesan gizi cukup. Tekanan darah 150/70 mmHg, RR 22x/ menit, HR
90x/menit, suhu 38.7, VAS 3 (nyeri epigastrium). Pemeriksaan kepala,
mata, telinga dan hidung dalam batas normal. Oral trush (+). Iktus cordis
tak tampak, Iktus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V LMCS, batas
jantung normal. Dinding dada simetris (+/+), fremitus raba kanan = kiri,
perkusi (sonor/sonor), SDV (+/+) normal, terdapat RBK, namun tidak
terdapat RBH maupun wheezing. Didapatkan nyeri tekan pada
epigastrium. Oedem ekstremitas (-/-), akral dingin (-/-)
4. Pemeriksaan tambahan:
1) Laboratorium darah (15 Juli 2018) : Hb 9.3 g/dl, AL 4.0 ribu/  L,
AE 2.49 juta/µL, Hct 28%, Limfosit 21.00%, Ca 1.11 mmol/L,
Bilirubin total 3.4 mg/dl
2) Foto thorax AP (15 Juli 2018) : Cor dan pulmo tak tampak kelainan
F. Diagnosis Klinis
a. HIV stadium IV
b. Pneumocystis carinii pneumonia dd TB paru
c. Kandidiasis oral
d. Dispepsia fungsional dd organik
G. Diagnosis Laboratoris
Anemia makrositer, leukopenia, limfositopenia, hipokalsemia,
hiperbilirubinemia

13
H. Tatalaksana
a. O2 3 lpm NK jika perlu
b. Diet lunak 1700 kkal tidak merangsang lambung
c. Inf RL:Clinmix 1:1 20 tpm
d. Injeksi omeprazole 40 mg/12 jam IV
e. Paracetamol 500mg/8 jam p.o.
f. Cotrimoxazole 960mg/24 jam p.o.
g. Sucralfate syr CI/8 jam po
h. Duviral (1 tab/12 jam)
i. Neviral (1 tab/12 jam)
I. Usul Pemeriksaan Laboratorium
a. Evaluasi darah lengkap
b. Feses rutin
c. LDH
d. Bilirubin direk dan indirek
e. Pemeriksaan viral load (HIV RNA kuantitatif)
f. Pemeriksaan CD4
g. Pemeriksaan Pneumocystis carinii
h. TCM TB

14
BAB II
ANALISA KASUS
Dari hasil anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas sejak 1 bulan yang
lalu yang memberat sejak 1 minggu SMRS. Sesak napas dirasakan hilang timbul
tanpa pencetus makan dan minum, serta aktivitas, namun biasanya memberat saat
malam hari dan pagi hari. Terkadang pasien terbangun dari tidur malam karena
sesak napas. Selain sesak napas pasien juga mengeluhkan batuk berdahak warna
putih kekuningan dan tidak ada darah. Batuk dirasakan sejak 1 bulan SMRS,
terus-menerus dan mengganggu aktivitas, dan tidak membaik dengan istirahat dan
minum obat. Pasien mengeluhkan sariawan yang menetap sejak 3 bulan SMRS.
Sariawan sebelumnya sudah ada sejak 7 tahun SMRS namun hilang-timbul tanpa
sakit dan perih pada mulut. Sariawan tidak membaik dengan pemberian obat
kumur. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 1 bulan SMRS. Demam naik-turun
dan mengganggu aktivitas. Demam turun dengan minum obat penurun panas,
namun demam naik lagi. Pasien telah didiagnosa HIV sejak 7 tahun yang lalu dan
kontrol rutin di VCT RSDM menggunakan duviral dan neviral, CD4 terakhir
pasien tidak mengetahui hasilnya. Pasien mengaku dalam beberapa pekan terakhir
berhenti minum obat karena merasa sudah tidak ada gejala HIV.
Keluhan sesak napas, batuk, sariawan, dan demam pada pasien perlu
dicurigai sebagai tanda infeksi oportunistik pada infeksi HIV/AIDS. Komplikasi
pulmonologis pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru sehingga
terpapar secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius maupun noninfeksius dari
luar (eksogen), disisi lain juga terjadi paparan secara hematogen terhadap virus
HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun.
Hampir 65% penderita AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana
70-80% diantaranya terjangkit pneumonia karena P carinii (PCP), diikuti oleh
infeksi M tuberculosis, pneumonia bacterial dan jamur, sedangkan pneumonia
viral lebih jarang terjadi. Pada pasien dengan HIV jika terdapat keluhan demam,
sesak dan/atau batuk yang tidak produktif perlu dicurigai adanya PCP. Namun,
gambaran klinis dapat bervariasi (Tasaka, 2015). Pada pasien ini terdapat keluhan
utama sesak napas, disertai demam dan batuk produktif. Selain gejala,

15
pemeriksaan fisik untuk PCP juga tidak spesifik. Pasien dapat menunjukan gejala
distres pernapasan seperti takipneu, takikardia, dan sianosis. Pada auskultasi paru
mungkin terdapat krepitasi saat inspirasi hingga tidak ditemukan kelainan berarti
pada kasus ringan (Agustriadi dan Sutha, 2008). Pasien ini mengalami takipneu
(22 kali per menit) dan takikardi (120 kali per menit) yang sesuai dengan gejala
distress pernapasan. Sementara pada pemeriksaan paru, didapatkan ronki basah
kasar di kedua lapang paru yang masih mendukung kecurigaan ke arah PCP.
Peningkatan lactate dehydrogenase (LDH) menjadi >500 mg/dL cukup
sensitif untuk diagnosis PCP, namun tidak spesifik karena penyakit paru lain juga
dapat mengakibatkan peningkatan tersebut (Klatt, 2004). Peningkatan LDH yang
mendukung adanya inflamasi paru (Sokulska, et al., 2015). Pada pasien ini belum
dilakukan pemeriksaan LDH. Pemeriksaan radiologi juga dapat mengarahkan
penegakan diagnosis PCP selain berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukan adanya
pola interstisial bilateral yang homogen serta diffuse dapat juga disertai dengan
pneumotoraks spontan. Namun, pada 1/3 kasus juga dapat ditemukan kondisi
normal (Agustina, et al., 2017). Pada kasus ini, foto toraks tampak kesan normal.
Pemeriksaan CT scan lebih sensitif dibandingkan Rontgen toraks dalam
mendeteksi PCP. Pada pemeriksaan CT scan thoraks akan ditemukan gambaran
ground-glass appearance (crazy paving) dengan distribusi yang tidak merata
(Tasaka, 2015). Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) tidak dapat dikultur,
diagnosis definitifnya adalah sitologi atau gambaran mikroskopik
imunofluoresens dari sputum terinduksi atau bilasan bronkoalveolar atau
histopatologi jaringan paru (Agustina, et al., 2017; Kemenkes RI, 2014).
Selain PCP, keluhan batuk kronik pada ODHA juga perlu
mempertimbangkan infeksi oportunistik tuberkulosis. Diagnosis TB pada ODHA
berbeda dengan diagnosis TB umumnya. Gejala TB secara umum pada bukan
ODHA adalah diduga TB apabila batuk 2 minggu atau lebih, sedangkan pada
ODHA diduga TB apabila terdapat salah satu gejala berikut : batuk saat ini
walaupun kurang dari 2 minggu, berat badan turun secara drastis, demam atau
keringat malam (Kemenkes RI, 2019). Pasien ini mengeluhkan batuk produktif

16
selama 1 bulan yang memberat pada 1 minggu terakhir meskipun keringat malam
dan berat badan menurun dalam beberapa bulan terakhir disangkal. Tes cepat
molekular harus digunakan sebagai tes diagnostik awal pada pasien yang dicurigai
dengan HIV ko-infeksi TB atau TB-MDR dibandingkan mikroskop konvensional,
kultur, dan uji tuberkulin (Kemenkes RI, 2019).
Adanya gambaran klinis PCP pada pasien menunjukkan pasien berada pada
kondisi HIV stadium 4 jika PCP dapat ditegakkan. Namun, jika ternyata hasil
TCM menunjukkan adanya TB paru maka pasien berada pada stadium 3. Namun,
jika keduanya didapatkan hasil negatif, pasien berada pada kondisi klinik stadium
3 karena adanya kandidiasis oral. Diagnosis definitifnya cukup dengan diagnosis
klinis berupa didapatkannya oral trush yang persisten atau berulang.
Pada pasien ini diberikan profilaksis primer kotrimoksazol 960 mg/hari.
Obat tersebut diberikan pada ODHA dengan stadium 3 atau 4 dan/atau jumlah
CD4 ≤200 sel/uL, semua ODHA dengan TB berapapun jumlah CD4, CD4 <100
sel/uL disertai bukti serologis toksoplasma positif, dan PCP (Kemenkes RI, 2019).
Beberapa pemeriksaan diperlukan untuk pemantauan respons terapi dan
penentuan kegagalan terapi ARV. Pemeriksaan CD4 pada pasien ini diperlukan
untuk mengetahui penghentian profilaksis kotrimoksazol. Pemberian profilaksis
dapat dihentikan pada pasien dewasa yang telah menerima ARV dan CD4 >200
sel/uL selama 3 bulan berturut-turut. Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai
kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis, dan klinis. Kriteria terbaik adalah
kriteria virologis dengan menggunakan pemeriksaan viral load Jika kepatuhannya
tidak baik atau berhenti minum obat seperti pada pasien ini, penilaian kegagalan
dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan
(Kemenkes RI, 2019).
Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 6 hari SMRS, terasa
seperti terbakar dan dirasakan hilang timbul. Nyeri membaik dengan pemberian
sucralfat. BAB sekali dalam 3 hari, feses warna coklat kehitaman. Keluhan diare
disangkal. BAK 3-4 kali sehari berwarna kuning jernih, tidak ada rasa berpasir,
bau, nyeri dan anyang-anyangan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
pada epigastrium.

17
Keluhan pencernaan pada pasien HIV/AIDS terjadi pada 50-93% pasien
dengan imun rendah (jumlah CD4 <200 sel/mm 3) (Zulkhairi, et al., 2013). Infeksi
Helicobacter pilory dapat menyebabkan iritasi pada lambung. Perilaku pola
makan yang tidak sehat akan meningkatkan asam lambung memecah mukosa
sehingga menyebabkan iritasi dan pembengkakan, hal ini memicu rasa tidak
nyaman pada sistem pencernaan (Nurohmawati, 2017). Hal ini didukung dengan
kebiasaan makan pasien yang mulai berkurang sejak sakit HIV/AIDS. Adanya
keluhan feses warna coklat kehitaman perlu dicurigai adanya perdarahan saluran
cerna sehingga diperlukan pemeriksaan darah lengkap (anemia karena
perdarahan) dan feses rutin (ditemukannya eritrosit pada feses dan darah samar
positif).
Keluhan-keluhan yang terjadi pada pasien HIV/AIDS selain
mempertimbangkan infeksi oportunistik kita juga perlu mempertimbangkan efek
samping ARV. Penelitian yang dilakukan oleh Barus et al. (2017) menunjukkan
bahwa 38 (58,47%) pasien yang ditelitinya mengalami kejadian efek samping
akibat konsumsi regimen ARV Duviral+Neviral dimana efek samping
terbanyaknya adalah mual/muntah. Duviral adalah kaplet yang terdiri dari dua
ARV yaitu AZT (Zidovudine) dan 3TC (Lamivudine). AZT memiliki tipe
toksisitas berupa anemia, neutropenia berat, intoleransi saluran cerna berat,
asidosis laktat, hepatomegali dengan steatosis miopati, ataupun
lipoatrofi/lipodistrofi. Neviral yang kandungan aktifnya berupa Nevirapin (NVP)
memiliki tipe toksisitas berupa hepatotoksisitas maupun hipersensitivitas obat
(Kemenkes RI, 2019). Oleh karena itu, perlu pemeriksaan lanjutan setelah
pemberian terapi seperti pemeriksaan darah lengkap (Hb, hematokrit, leukosit,
trombosit, eritrosit, index eritrosit, hitung jenis leukosit), pemeriksaan fungsi hati
(bilirubin total, bilirubin indirek, bilirubin direk, SGOT, SGPT), pemeriksaan faal
ginjal (ureum, kreatinin).
Pemeriksaan laboratorium darah hematologi rutin dan index eritrosit
didapatkan anemia (Hb 9,3 g/dL), hematokrit turun 28%, jumlah eritrosit menurun
2,49 106/uL, MCV naik 114,1 /um, MCH naik 37,3 pg, MCHC turun 32,7 g/dL.
Mekanisme terjadinya anemia pada infeksi HIV diklasifikasikan secara luas

18
menjadi suatu proses hematopoeisis yang inefisien, yang disebakan oleh:
malnutrisi, koinfeksi, neoplasma, penurunan produksi eritropoeitin dan
penggunaan obat antiretroviral (terutama AZT). Mekanisme lainnya dapat
berhubungan dengan peningkatan aktivitas destruksi eritrosit dan kehilangan
darah akibat perdarahan pada saluran gastrointestinal atau genitourinaria
(Fransiska dan Kurniawaty, 2015). Beberapa ODHA menunjukkan makrositosis
persisten dengan atau tanpa anemia setelah pemberhentian AZT. AZT
berkompetisi dengan natural deoxynucleoside triphosphates untuk berikatan
dengan HIV reverse transcriptase sehingga HIV RNA berubah menjadi DNA.
Kompetisi tersebut mengganggu sintesis prekursor eritrosit di sumsum tulang
berupa perubahan biosintetik DNA, disfungsi mitokondria, ataupun perubahan
membran plasma, eritrosit, kolesterol, dan asam lemak (Yu, et al., 2017).
Pasien mengalami hiperbilirubinemia sebesar 3,4 mg/dL. Gangguan fungsi
hati dapat memicu peningkatan bilirubin karena terjadi kesulitan dalam
pengangkutan bilirubin akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan
melalui duktus hepaikus karena terjadi retenasi, dengan demikian pemeriksaan
bilirubin dapat digunakan sebagai tolak ukur adanya gangguan pada organ hati
(Smeltzer dan Bare, 2002). Selain efek samping obat, infeksi oportunistik
juga dapat mempengaruhi organ hati, adanya virus, bakteri dan jamur yang
masuk kedalam tubuh akan menginfeksi melalui aliran darah yang terbawa sampai
ke hati. Virus akan melekat pada reseptor spesifik dimembran sel hati dan
melepaskan nukleokapsid sehinga mengalami perkembangan dalam sitoplasma.
Nukleokapsid akan menembus dinding sel hati yang kemudian akan
mengeluarkan asam nukleat dari inti virus pada DNA hospes. DNA virus akan
membentuk protein yang kemudian akan terbentuk virus baru. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan pada sel-sel dan peradangan hati karena fungsi hati
terganggu,seperti gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hati yang
menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hati (Baradero, 2008). Obat NVP
dan AZT yang dikonsumsi pasien dapat menyebabkan hiperbilirubinemia mixed
melalui mekanisme yang berbeda. AZT dapat mengakibatkan hepatoksisitas
melalui kerusakan mitokondria dengan steatosis dan asidosis laktat. NVP dapat

19
mengakibatkan hepatotoksisitas melalui reaksi hipersensitivitas dan dose-related
drug toxicity (Korenblat dan Berk, 2005).

20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma penyakit
defisiensi imunitas seluler yang didapat, disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang merusak sel yang berfungsi untuk sistem
kekebalan tubuh yaitu CD4 (Lymphocyte T-helper). AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV (Murtiastutik, 2008 dan Nasronudin, 2008).
B. Struktur HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA:
Famili : Retroviridae
Sub famili : Lentivirinae
Genus : Lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1)
Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)
HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya.
Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan
filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada
deretan gen env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M
(main), N (New atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang
dominan terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6
subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-F (Jawetz et al., 2005).

Gambar 1. Struktur Human Immunodeficiency Virus (HIV)

21
C. Patogenesis
Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar
satu dekade. Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke
organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan
kematian. Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi penyakit klinis
rata-rata sekitar 10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati, kematian biasanya
terjadi dalam 2 tahun setelah onset gejala.
Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu.
Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ
limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4 yang beredar
secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai
3 bulan setelah terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali
meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna, dan sel- sel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid.
Masa laten klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini
banyak terjadi replikasi virus. Siklus hidup virus dari saat infeksi sel ke saat
produksi keturunan baru yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari.
Limfosit T-CD4, merupakan target utama yang bertanggung jawab
memproduksi virus.
Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang
nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih
tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut.
HIV yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh
lebih virulen dan sitopatik dari pada strain virus yang ditemukan pada awal
infeksi (Jawetz et al., 2005).
D. Penularan
HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks genital-oral),
melalui paparan parenteral (pada transfusi darah yang terkontaminasi dan
pemakaian bersama jarum suntik / injecting drugs use (IDU)) dan dari ibu
kepada bayinya selama masa perinatal.

22
Seseorang yang positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya
penyakit seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe meningkatkan resiko
penularan seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar, karena peradangan
membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak pertama kali
HIV ditemukan, aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor resiko
utama tertularnya penyakit ini. Risiko bertambah dengan bertambahnya
jumlah pertemual seksual dengan pasangan yang berbeda.
Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan cara
penularan yang paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang dengan
seringkali terinfeksi melalui pemak aian jarum suntik yang terkontaminasi.
Paramedis dapat terinfeksi HIV oleh goresan jarum yang terkontaminasi
darah, tetapi jumlah infeksi relatif lebih sedikit.
Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada
wanita yang tidak diobati. Bayi bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses
persalinan atau yang lebih sering melalui air susu ibu (ASI). Tanpa penularan
melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat
kelahiran. Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV
perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya
terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran (Jawetz et al., 2005).
E. Gejala Klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan,
ruam kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai
dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi
oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum
(terutama sarcoma Kaposi).
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh
gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan,
malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah
(kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran
pencernaan, dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama
kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan

23
timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang,
rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet et al., 2005).
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS, sebagai berikut :
Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular
eruption))
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV

24
Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas,
histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis
dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

F. Diagnosis Laboratoris
1. Pemeriksaan HIV
Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode
pemeriksaan, yaitu pemeriksaan serologis dan virologis (Kemenkes RI,
2019).
a. Metode pemeriksaan serologis
Pemeriksaan yang paling sering dipakai untuk menentukan adanya
infeksi HIV saat ini adalah pemeriksaan serologik untuk mendeteksi
adanya antibodi terhadap HIV dalam darah penderita. Berbagai teknik
dapat dipakai untuk pemeriksaan ini, diantaranya :

25
1) Rapid test (aglutinasi, imunokromatografi)
Rapid test HIV memegang peranan penting dalam membantu
diagnosis dini secara cepat seseorang yang terinfeksi HIV dan
tidak membutuhkan sarana yang rumit dan mahal. Rapid test
adalah tes cepat (kurang dari 30 menit), sederhana, tidak invasif
dan digunakan untuk mendeteksi antibodi. Rapid test digunakan
untuk menentukan status infeksi dengan cepat untuk mendeteksi
antibodi, sehingga terapi dapat segera dilakukan dan mempunyai
keuntungan sebagai berikut:
a) Menentukan status infeksi dengan cepat, sehingga terapi dapat
segera dilakukan
b) Tes ini mendeteksi antibodi
c) Bermanfaat pada kunjungan konseling pasien, karena dapat
segera dilakukan terapi
d) Mudah penggunaannya dan tidak memerlukan peralatan yang
canggih, waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan relatif
cepat sekitar 10-20 menit (misal: aglutinasi, imunodot,
imunokromatografi)
e) Hasil reaktif atau nonreaktif
2) Enzyme immunoassay (EIA)
Reagensia berprinsip EIA hanya bisa dilakukan pada
laboratorium yang mempunyai fasilitas untuk melakukan
pemeriksaan tersebut, karena menggunakan alat EIA reader untuk
membaca hasil dan peralatan mikropipet. Demikian pula untuk
pemeriksaan western blot (WB) dan infeksi oportunistik hanya
dapat dilakukan pada laboratorium dengan fasilitas yang cukup.
Untuk penggunaan reagensia di Indonesia telah disepakati bahwa
reagensia ini harus sudah dievaluasi oleh Laboratorium Rujukan
Nasional.

26
27
Gambar 2. Alur Diagnosis HIV dan Interpretasinya (Kemenkes RI, 2015).
b. Metode pemeriksaan virologis
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA
HIV dan RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif
di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi.
Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV,
untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA
HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang

28
mempunyai sarana pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes
darah kering (dried blood spot [DBS]). Pemeriksaan virologis
digunakan untuk mendiagnosis HIV pada :
1) Bayi berusia dibawah 18 bulan.
2) Infeksi HIV primer.
3) Kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun
gejala klinis sangat mendukung ke arah AIDS.
4) Konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil
laboratorium yang berbeda.
2. Tes Pemantauan HIV
a. Pemeriksaan jumlah limfosit CD4
Pemeriksaan gold standar untuk penghitungan sel limfosit CD4
adalah dengan menggunakan flowcytometry. Flowcytometry bekerja
berdasarkan prinsip persebaran cahaya karena perbedaan ukuran dan
granularitas sel yang melewati pancaran sinar laser dan juga oleh
pancaran fluorensens yang dihasilkan oleh sel setelah diwarnai dengan
antibodi monoklonal yang berikatan dengan penanda permukaan sel.

b. Pemeriksaan viral load (HIV RNA kuantitatif)


Pemeriksaan viral load merupakan pemeriksaan yang terbaik
untuk menentukan saat mulai pemberian dan monitor terapi ARV dan
dilakukan sebelum pemberian ARV dan dilanjutkan dengan
monitoring secara berkala setiap 6 (enam) bulan sampai satu tahun.
Pemeriksaan viral load HIV tidak direkomendasikan untuk memonitor
pasien dengan ARV di daerah dengan keterbatasan sumber daya. Pada
dewasa dan adolesen, pemeriksaan viral load dapat membantu
mendeteksi kegagalan ARV lebih dini dibandingkan bila

29
menggunakan monitoring secara klinis atau pemeriksaan jumlah
limfosit CD4 atau bila ditemukan ketidaksesuaian respon klinis dan
imunologis.

c. Pemeriksaan untuk monitor keberhasilan dan deteksi efek samping


ARV
Pada keadaan yang terbatas, WHO merekomendasikan penilaian
klinis sebagai alat primer untuk memonitor pasien, baik sebelum
memulai ARV maupun sesudah terapi. Tetapi pengembangan
laboratorium untuk memonitor pemakaian ARV dirasakan sangat
dibutuhkan untuk memperbaiki efikasi intervensi terapi dan untuk
memastikan keamanan ARV ketika digunakan.
1) Monitoring pasien yang belum memenuhi kriteria menerima ARV
Pasien yang belum memenuhi syarat untuk menerima ARV
harus dimonitor perkembangan penyakitnya secara klinis dan
melalui penilaian jumlah limfosit CD4 setiap 6 bulan.
2) Monitoring laboratorium untuk pasien dengan ARV
Hitung limfosit total (total lymphocyte count = TLC) tidak dapat
dipakai untuk memonitor terapi. Untuk pasien yang sudah memulai
regimen yang mengandung AZT, hemoglobin harus diperiksa
sebelum mulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sesudah
terapi atau bila ada gejala. Pemeriksaan ALT dan pemeriksaan
kimia darah lain harus dikerjakan bila terdapat tanda/gejala klinis
dan tidak direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Tetapi,
bila NVP diberikan pada wanita dengan jumlah limfosit CD4
antara 250 dan 350 sel/mikroliter, monitoring enzim hati
direkomendasikan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 8 dan 12

30
sesudah mulai terapi, diikuti oleh monitoring berdasarkan gejala
klinis.
Sebelum memulai terapi dengan Tenofir (TDF) dan setiap 6
bulan pada pemberian terapi TDF evaluasi fungsi ginjal dapat
dipertimbangkan

Protease inhibitor dapat memberi efek samping yang


berpengaruh pada metabolism glukosa dan lipid. Beberapa ahli
menyarankan monitoring rutin panel kimia pada pasien yang
menerima regimen PI. Monitoring lipid dan glukosa secara umum
disarankan bila terdapat tanda dan gejala klinis.

Tabel 1. Pemeriksaan penunjang awal memulai terapi ARV


(Kemenkes RI, 2019)

31
Tabel 2. Rekomendasi tes laboratorium setelah pemberian terapi
(Kemenkes RI, 2019)

Tabel 3. Rekomendasi frekuensi minimal monitoring pemeriksaan


laboratorium di resource-limited settings (Kemenkes RI, 2015).

32
d. Pemeriksaan Resistensi ARV
Pemeriksaan resistensi obat HIV di Indonesia, pada saat ini
direkomendasikan untuk dilakukan pada kondisi kegagalan virologik
yang tidak responsif terhadap ARV lini dua, misalnya sebelum
dilaksanakan terapi lini 3. Uji resistensi obat HIV hanya dilakukan
untuk mengarahkan pemilihan regimen ARV pada ODHA yang
mendapatkan ARV dengan kegagalan virologik, dimana jumlah RNA
dalam plasma >1000 kopi/mL. Uji resistensi obat HIV juga dapat
dipertimbangkan pada jumlah RNA >500 tetapi <1000 kopi/mL
plasma, namun dapat terjadi kegagalan mendapatkan hasil
pemeriksaan pada kondisi ini.
3. Pemeriksaan infeksi oportunistik
Pemeriksaan infeksi oportunistik bertujuan untuk :
a. Menentukan adanya penyebab infeksi dalam darah (bakteremia),
infeksi sistimik/ sepsis dengan atau tanpa demam pada pasien HIV-
AIDS.
b. Menentukan adanya penyebab infeksi pada saluran cerna atau tinja
pada pasien HIV- AIDS.
c. Pemeriksaan spesimen pus, aspirat dan jaringan bertujuan untuk :
1) Menentukan adanya penyebab infeksi pada kulit dan jaringan
lunak pada pasien HIV- AIDS
2) Menentukan adanya penyebab infeksi pada susunan saraf pusat/
cairan serebrospinal pada pasien HIV-AIDS
d. Pemeriksaan spesimen sputum bertujuan untuk :
menentukan adanya penyebab infeksi pada saluran nafas bawah/
sputum pada pasien HIV-AIDS
e. Menentukan adanya infeksi saluran kemih pada pasien HIV-AIDS
G. Konseling Pengobatan
Walaupun terapi ARV saat ini diindikasikan pada semua ODHA tanpa
melihat jumlah CD4-nya, pemeriksaan jumlah CD4 awal tetap dianggap
penting, apalagi di Indonesia di mana masih banyak ODHA yang

33
didiagnosis HIV pada kondisi lanjut. Jumlah CD4 diperlukan untuk
menentukan indikasi pemberian profilaksis infeksi oportunistik. Stadium
klinis juga tidak selalu sesuai dengan jumlah CD4 seseorang. Pada ODHA
yang datang tanpa gejala infeksi oportunistik, ARV dimulai segera dalam 7
hari setelah diagnosis dan penilaian klinis. Pada ODHA yang sudah siap
untuk memulai ARV, dapat ditawarkan untuk memulai ARV pada hari yang
sama, terutama pada ibu hamil. Pada ODHA dengan TB, pengobatan TB
dimulai terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pengobatan ARV
sesegera mungkin dalam 8 minggu pertama pengobatan TB. ODHA dengan
TB yang dalam keadaan imunosupresi berat (CD4 <50 sel/μL) harus
mendapat terapi ARV dalam 2 minggu pertama pengobatan TB. Terapi ARV
dini pada meningitis kriptokokus tidak direkomendasikan pada pasien
dewasa, remaja, anak-anak dengan HIV dan meningitis kriptokokus
karena dapat meningkatkan mortalitas. Terapi ARV sebaiknya ditunda hingga
4-6 minggu pasca-pemberian terapi antijamur.
Tabel 4. Panduan terapi ARV lini pertama pada orang dewasa
(Kemenkes RI, 2019).

34
Tabel 5. Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat substitusi
(Kemenkes RI, 2019).

35
36
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, et al. 2017. Diagnosis dan tata laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia
(PCP)/Pneumocystis Jirovecii Pneumonia pada pasien HIV: Sebuah laporan
kasus. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 4(4): 209-213.
Agustriadi O dan Sutha IB. 2008. Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada
Infeksi HIV/AIDS. J Peny Dalam, 9(3):233-244.
Baradero M. 2009. Klien Gangguan Hati. Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Barus, et al. 2017. Evaluasi efek samping obat antiretroviral dan
penatalaksanaannya pada pasien HIV/AIDS di Puskesmas Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara periode tahun 2013-2015. Social Clinical
Pharmacy Indonesia Journal, 2(1): 29-37.
Fransiska YY dan Kurniawaty E. 2015. Anemia pada Infeksi HIV. Majority,
4(9):123-128.
Jawetz, E., Melnick, J.L. dan Adelberg, E.A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi XXII. Jakarta : Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2015 Tentang Pelayanan Laboratorium Pemeriksa HIV dan Infeksi
Oportunistik.
Kemenkes RI. 2019. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/90/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana HIV.
Kemenkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87
Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral.
Korenblat dan Berk. 2005. Hyperbilirubinemia in the setting of antiviral therapy.
Clinical Gastroenterology and Hepatology, 3:303–310.
Murtiastutik D. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Edisi 1. Surabaya:
Airlangga University Press.

37
Nasronudin. 2008. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler Klinis dan Sosial.
Edisi 1. Surabaya: Airlangga University Press.
Nurohmawati W. 2017. Pola Penggunaan Ranitidine pada Pasien HIV dan AIDS
di UPIPI RSUD dr Soetomo Surabaya. http://repository.wima.ac.id/11486/ -
Diakses Oktober 2020.
Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedag Brunner &
Suddart. Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC.
Sokulska M, Kicia M, Wesolowska M, Hendrich AB. 2015. Pneumocystis
jirovecii-from a commensal to pathogen: clinical and diagnostic review.
Parasitol Res., 114(10):3577-85.
Tasaka S. 2015. Pneumocystis pneumonia in human immunodeficiency virus-
infected adults and adolescents: current concepts and future directions. Clin
Med insights Circ Respir Pulm Med.: 9(Suppl 1):19-28.
Yu, et al. 2017. Persistence of macrocytosis after discontinuation of zidovudine in
HIV-infected patients. Journal of the International Association of Providers
of AIDS Care XX(X): 1-4.
Zulkhairi, et al. 2013. Gastrointestinal problems in HIV/AIDS patients. The
Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and Digestive
Endocology, 4(3):150-153.

38

Anda mungkin juga menyukai