Oleh:
Aprilya Restu Surya Wirananda G99162012
Gyanita Windy Herfina G99162013
Romzi Humam Muhammad G99171036
Rumaisha Azka G99172145
Ryan Ausrin G99172146
Pembimbing
dr. Didik Prasetyo, Sp. PD, M.kes
Oleh:
Aprilya Restu Surya Wirananda G99162012
Gyanita Windy Herfina G99162013
Romzi Humam Muhammad G99171036
Rumaisha Azka G99172145
Ryan Ausrin G99172146
I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
Nama : Ny.S
Umur : 85 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jebres, Surakarta
No RM : 014248xx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 9 Juli 2018
Tanggal Periksa : 17 Juli 2018
B. Data dasar
Autoanamnesis dan aloanamnesis pada keluarganya dilakukan
saat hari ke-7 perawatan di Bangsal Penyakit Dalam Wing Melati 3
bed 2C RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2
Keluhan utama:
Nyeri Ulu Hati sejak 2 hari SMRS
3
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Pasien
Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 1-2 kali sehari
dengan ½ porsi nasi, lauk-pauk, dan sayur.
Namun jam makan tidak teratur.
Merokok (+) sejak pasien berusia muda , berhenti ± 5
tahun yang lalu
Alkohol Disangkal
4
Minum jamu Disangkal
Obat bebas Disangkal
Riwayat gizi
Pasien makan 1-2 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan +
6-8 sendok makan dengan dengan lauk tahu, tempe, telur dan sayur.
5
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna putih, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),
konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan
subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3
mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),
strabismus (-/-), eksoftalmus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Sianosis (-), papil lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka
pada sudut bibir (-), oral thrush (-), lidah kotor (-)
10. Leher : JVP R+2 cm H2O, trakea ditengah, simetris, pembesaran
kelenjar getah bening (-), kelenjar tiroid teraba
membesar (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar(-), pembesaran
kelenjar getah bening axilla (-/-)
12. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba tetapi tidak kuat angkat. Iktus
kordis berada di SIC VI 1 cm ke lateral LMCS
Perkusi : Batas jantung kiri atas di SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah di SIC VI 1 cm ke
lateral LMCS
Batas jantung kanan atas di SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah di SIC V LPSD
6
Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler, bising (-), gallop
(-).
Kesan : Membesar ke caudolateral
13. Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-)
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan = kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-
hepar pada SIC VI linea
medioclavicularis dextra, pekak pada
batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada
SIC V linea medioclavicularis sinistra
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler meningkat, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler meningkat, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
7
kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
b. Belakang
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris
kanan=kiri, sela iga tidak melebar,
retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan =kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler meningkat, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler meningkat, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
13. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding thorak, asites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), ikterik (-),
8
Auskultasi : Bising usus (+) 12 x / menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-)
Palpasi : supel (+), distended (-), nyeri tekan(+) epigastrium,
defans muskuler (-). Hepar dan lien tidak teraba,
undulasi (-).
14. Ekstremitas
Akral dingin _ _ Edema _ _
_ _ + +
9
HITUNG JENIS
10
Foto thorax PA
RESUME
1. Keluhan utama
Nyeri ulu hati
2. Anamnesis:
a. Nyeri Ulu Hati
- sejak 2 hari SMRS.
- Dirasakan hilang timbul, perih
- Keluhan seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Keluhan membaik dengan pemberian makanan.
- Pasien belum memeriksakan keluhannya di fasyankes.
b. Perut Kembung
- Dirasakan terus menerus
- Pasien juga merasa cepat kenyang
- Perut teasa penuh setelah makan
c. Mual dan muntah sejak 1 hari SMRS
11
- Muntah 1-2x
- Muntah sebanyak 1 gelas belimbing
- Muntah air dan makanan, berawarna putih kekuningan
e. Buang Air Kecil (BAK)
- ± 3-4 kali perhari masing- masing sebanyak 1 gelas
belimbing
- BAK berwarna kuning
- Terasa nyeri
- Terasa anyang-anyangan
f. Riwayat darah tinggi sejak ± 2 tahun yang lalu.
- Tekanan darah pasien 170/90
- Obat rutin amlodipine
- Tidak pernah kontrol sejak 1 tahun
3. Pemeriksaan fisik:
a Suhu 37.50 C
b VAS 2 (nyeri epigastrium)
c Iktus kordis berada di SIC VI 1 cm ke lateral LMCS, kesan
melebar ke caudolateral
d Didapatkan nyeri tekan pada epigastrium
4. Pemeriksaan tambahan:
- Laboratorium darah (9 Juli 2018) : AL 13.5 ribu/ L, SGOT
48 u/l, SGPT 71 u/l
- Foto thorax (9 Juli 2018): Cardiomegaly dengan
Aortoschlerosis
12
V. PROGNOSIS
1. Ad vitam : bonam
2. Ad Sanam : bonam
3. Ad fungsionam : bonam
13
RENCANA AWAL
2
Pasien memiliki riwayat darah tinggi gr/hari kondisi, prosedur
tinggi sejak ± 2 tahun yang lalu. Candesartan diagnosis dan
Tekanan darah pasien pernah 16mg/24 jam PO tatalaksana beserta
mencapai 170/90 mmHg. Biasanya komplikasi yang
kontrol di Puskesmas dan mendapat dapat terjadi.
obat amlodipine. Namun, 1 tahun
terakhir pasien sudah tidak pernah
kontrol.
Pemeriksaan Fisik:
TD 140/90 mmHg
Jantung kesan melebar ke
caudolateral
Pemeriksaan Penunjang:
Foto Thorax: Cardiomegaly dengan
Aortoschlerosis
3. Anamnesis: Inj. Ampicilin Penjelasan kepada
Infeksi RPS: Sulbactam 1.5g/8 pasien mengenai
Urin Rutin
Saluran BAK pasien 7-8 kali sehari sebanyak jam kondisi, prosedur -
Kultur Urin
Kencing ± 1 gelas belimbing, terasa panas dan Inj. Metamizole 1 diagnosis dan
sakit saat kencing. ampul/8 jam IV tatalaksana beserta
3
(k/p) komplikasi yang
Pemeriksaan Fisik: dapat terjadi.
-
Pemeriksaan Penunjang:
AL : 13.5 ribu/ul
4
FOLLOW UP
5
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheezing (-/-) ronchi tambahan wheezing (-/-) ronchi
basah kasar (-/-) ronchi basah basah kasar (-/-) ronchi basah
halus (-/-) halus (-/-)
Abdomen Abdomen
I : dinding perut sejajar dinding I : dinding perut sejajar dinding
dada dada
A : Bising usus (+) 11x/menit A : Bising usus (+) 12x/menit
P : Timpani, pekak alih (-),area P : Timpani, pekak alih (-), area
troube timpani troube timpani
P : Supel, nyeri tekan epigastrium, P : Supel, nyeri tekan epigastrium,
hepar dan lien tidak teraba hepar dan lien tidak teraba
Oedem - - Oedem - -
- - - -
Px. Kimia Urin: berat jenis: 1.011, Kimia Urin: berat jenis: 1.011,
Penunjang leukosit: 500/ul, nitrit: ++, epitel leukosit: 500/ul, nitrit: ++, epitel
squamous: 2-4/LPB, granulated squamous: 2-4/LPB, granulated
silinder: 0-2/LPK, bakteri: (++) silinder: 0-2/LPK, bakteri: (++)
Assessment 1. Dispepsia organik dd fungsional 1. Dispepsia organik dd fungsional
2. ISK 2. ISK
3. HT stg II 3. HT stg II
Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total
2. Diet lunak tidak merangsang 2. Diet lunak tidak merangsang
lambung1700 kkal lambung1700 kkal
3. Infus RL : D5% = 2: 1 20 tpm 3. Infus RL : D5% = 2: 1 16 tpm
4. Inj omeprazole 40 mg/12 jam 4. Inj omeprazole 40 mg/12 jam
5. Inj. Metoclopramid 10 mg/8 jam 5. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5
6. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5 gram/8 jam
6
gram/8 jam 6. Inj. Metoclopramide 10 mg/8
7. Sucralfat syr CI/8 jam jam
8. Candesartan 16 mg/24 jam 7. Candesartan 16 mg/24 jam
8. Sucralfat syr CI/8 jam
Planning -Konsul geriatri - Kultur urin
-Raber : geriatri
7
A : BJ I-II intensitas normal, A : BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-) reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheezing (-/-) ronchi tambahan wheezing (-/-) ronchi
basah kasar (-/-) ronchi basah basah kasar (-/-) ronchi basah
halus (-/-) halus (-/-)
Abdomen Abdomen
I : dinding perut sejajar dinding I : dinding perut sejajar dinding
dada dada
A : Bising usus (+) 12x/menit A : Bising usus (+) 12x/menit
P : Timpani, pekak alih (-),area P : Timpani, pekak alih (-),area
troube timpani troube timpani
P : Supel, nyeri tekan epigastrium, P : Supel, nyeri tekan epigastrium,
hepar dan lien tidak teraba hepar dan lien tidak teraba
Oedem - - Oedem - -
- - - -
Px. Kultur urin: no growth Kultur urin: no growth
Penunjang
Assessment 1. Dispepsia organik dd fungsional 1. Dispepsia organik dd fungsional
2. ISK 2. ISK
3. HT stg II 3. HT stage II
Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total
2. Diet lunak tidak merangsang 2. Diet lunak tidak merangsang
lambung1700 kkal lambung1700 kkal
3. Infus RL : D5% = 2: 1 20 tpm 3. Infus RL : D5% = 2: 1 20 tpm
8
4. Inj omeprazole 40 mg/12 jam 4. Inj omeprazole 40 mg/12 jam
5. Inj. Metoclopramid 10 mg/8 jam 5. Inj. Metoclopramid 10 mg/8 jam
6. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5 6. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5
gram/8 jam gram/8 jam
7. Sucralfat syr CI/8 jam 7. Sucralfat syr CI/8 jam
8. Candesartan 16 mg/24 jam 8. Candesartan 16 mg/24 jam
Planning - Perbaikan KU - Perbaikan KU
9
caudolateral caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, A : BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-) reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheezing (-/-) ronchi tambahan wheezing (-/-) ronchi
basah kasar (-/-) ronchi basah basah kasar (-/-) ronchi basah
halus (-/-) halus (-/-)
Abdomen Abdomen
I : dinding perut sejajar dinding I : dinding perut sejajar dinding
dada dada
A : Bising usus (+) 12x/menit A : Bising usus (+) 12x/menit
P : Timpani, pekak alih (-),area P : Timpani, pekak alih (-),area
troube timpani troube timpani
P : Supel, nyeri tekan epigastrium, P : Supel, nyeri tekan epigastrium,
hepar dan lien tidak teraba hepar dan lien tidak teraba
Oedem - - Oedem - -
- - - -
10
4. Inj omeprazole 40 mg/12 jam 4. Inj omeprazole 40 mg/12 jam
5. Inj. Metoclopramid 10 mg/8 jam 5. Inj. Metoclopramid 10 mg/8 jam
6. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5 6. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5
gram/8 jam gram/8 jam
7. Sucralfat syr CI/8 jam 7. Sucralfat syr CI/8 jam
8. Candesartan 16 mg/24 jam 8. Candesartan 16 mg/24 jam
Planning - Perbaikan KU - Perbaikan KU
11
A : BJ I-II intensitas normal, caudolateral
reguler, bising (-), gallop (-) A : BJ I-II intensitas normal,
Pulmo reguler, bising (-), gallop (-)
I : Pengembangan dada kanan=kiri Pulmo
P : Fremitus raba kanan=kiri I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : sonor/ sonor P : Fremitus raba kanan=kiri
A : Suara dasar vesikuler, suara P : sonor/ sonor
tambahan wheezing (-/-) ronchi A : Suara dasar vesikuler, suara
basah kasar (-/-) ronchi basah tambahan wheezing (-/-) ronchi
halus (-/-) basah kasar (-/-) ronchi basah
Abdomen halus (-/-)
I : dinding perut sejajar dinding Abdomen
dada I : dinding perut sejajar dinding
A : Bising usus (+) 12x/menit dada
P : Timpani, pekak alih (-),area A : Bising usus (+) 12x/menit
troube timpani P : Timpani, pekak alih (-),area
P : Supel, nyeri tekan epigastrium, troube timpani
hepar dan lien tidak teraba P : Supel, nyeri tekan epigastrium,
hepar dan lien tidak teraba
Akral dingin - -
- - Akraldingin - -
- -
Oedem - -
Oedem - -
- -
- -
Px. Kimia Urin: berat jenis: 1.015, Kimia Urin: berat jenis: 1.015,
Penunjang leukosit: -, nitrit: -, epitel squamous: leukosit: -, nitrit: -, epitel squamous:
2-4/LPB, granulated silinder: -/LPK, 2-4/LPB, granulated silinder: -/LPK,
bakteri: (-) bakteri: (-)
Hematologi: leukosit: 27.4 ribu/ul, Hematologi: leukosit: 27.4 ribu/ul,
eosinophil 7.85%, limfosit: 18.51% eosinophil 7.85%, limfosit: 18.51%
Kultur sputum: ditemukan Kultur sputum: ditemukan
12
Staphylococcus capitis (kemungkinan Staphylococcus capitis (kemungkinan
hanya kolonisasi, bukan penyebab hanya kolonisasi, bukan penyebab
ISK) ISK)
Assessment 1. Dispepsia fungsional dd organic 1. Dispepsia organik dd fungsional
2. ISK 2. ISK (perbaikan)
3. HT stage II (terkontrol) 3. HT stage II
Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total
2. Diet lunak tidak merangsang 2. Diet lunak 1700 kkal
lambung 1700 kkal 3. Infus RL : NS = 2: 1 20 tpm
3. Infus RL : D5 = 2: 1 20 tpm 4. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5
4. Inj omeprazole 40 mg/12 jam gram/8 jam (VIII)
5. Inj. Amphicilin sulbactam 1,5 5. Inj. Omeprazol 40mg/8 jam
gram/8 jam 6. Candesartan 16 mg/24 jam
6. Sucralfat syr CI/8 jam 7. Sucralfat syr CI/8 jam
7. Candesartan 16 mg/24 jam 8. Candesartan 16 mg/24 jam
Planning -Perbaikan KU - usul BLPL
13
14
BAB II
ANALISA KASUS
Nyeri yang dirasakan pasien hilang timbul perih dan seperti ditusuk-tusuk
jarum, dan keluhan membaik dengan pemberian makanan. Nyeri yang terasa perih
dan membaik dengan pemberian makanan menunjukan adanya kemungkinan
nyeri disebabkan iritasi oleh asam lambung (Djojoningrat, 2009; Jacobs & Silen,
2015).
Pasien merasa cepat kenyang dan perut terasa penuh setelah makan. Dua
gejala tersebut, ditambah gejala utama berupa nyeri epigastrium dapat mendukung
diagnosis dispepsia pada pasien (Chang, 2006).
15
Pasien mempunyai riwayat darah tinggi sejak ± 2 tahun yang lalu.
Biasanya kontrol di Puskesmas dan mendapat obat amlodipine. Namun, 1 tahun
terakhir pasien sudah tidak pernah kontrol. Hipertensi merupakan gangguan
kardiovaskuler yang sering ditemukan pada lansia. Semakin bertambahnya umur,
semakin tinggi resiko terkena hipertensi (Yundini, 2006; Nurkhalida, 2003).
Hipertensi pada usia lanjut, berkaitan dengan berkurangnya elastisitas pembuluh
darah, dan termasuk hipertensi primer yang tidak dapat disembuhkan, namun
dapat di kontrol, baik dengan perubahan gaya hidup, diet, dan obat-obatan
(Ismarina et al., 2015; Yulanda &, Lisiswanti, 2017)
16
Pada pemeriksaan radiologis ditemukan cardiomegaly, yang mengonfirmasi hasil
temuan pemeriksaan jantung berupa adanya pembesaran jantung.
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Dispepsia
A. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau
beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium,
rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna
atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk dispepsia fungsional, keluhan
tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan
(Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2014).
B. Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30%
dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis
gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum
diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional.
Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong,
Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional.
Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum
(tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS)
bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak
2040% dengan berbagai metode diagnostic (pemeriksaan serologi, kultur, dan
histopatologi).
Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani
pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di
Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup
18
tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%),
Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi
terendah di Jakarta (8%) (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2014).
C. Fisiologi
1. Fungsi motorik lambung
Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan, pencampuran,
dan pengosongan kimus (makanan yang masuk dihaluskan dan dicampur
dengan sekresi lambung) ke dalam duodenum (Lindseth, 2012). Dalam
keadaan kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml. Organ ini dapat
mengembang sampai kapasitasnya mencapai sekitar 1000 ml atau 1 liter.
Akomodasi perubahan volume hingga 20 kali lipat disebabakan oleh 2 hal
yaitu plastisitas otot lambung dan relaksasi reseptif (Sherwood, 2011).
Apabila makanan masuk ke lambung, fundus dan bagian atas
korpus akan melemas dan mengakomodasi makanan dengan sedikit
peningkatan tekanan (relaksasi reseptif). Peristaltik dimulai dari bagian
bawah korpus yang mencampur dan menghaluskan makanan serta
memungkinkan makanan dalam bentuk setengah cair mengalir sedikit
demi sedikit melalui pilorus dan memasuki duodenum.
Relaksasi reseptif diperantai oleh nervus vagus dan dipengaruhi
oleh pergerakkan faring dan esofagus. Gelombang peristaltis yang diatur
oleh sfingter esofagus bawah (SEB) lambung segera timbul dan menyapu
ke arah pilorus. Kontraksi lambung yang ditimbulkan oleh setiap
gelombang disebut sistol antrum dan dapat berlangsung selama 10 detik.
Gelombang-gelombang ini timbul tiga sampai empat kali setiap menit
(Ganong, 2008).
Pola gelombang ini disebut sebagai irama listrik atau BER (basic
electrical rythm) lambung. Bagian fundus dan korpus memiliki lapisan
otot yang tipis sehingga kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut
lemah. Gelombang peristaltik akan lebih kuat pada bagian antrum karena
antrum memiliki lapisan otot yang kuat dibandingkan dengan bagian
19
fundus dan korpus. Daerah fundus biasanya tidak menjadi tempat
penyimpanan makanan tetapi hanya berisikan sejumlah gas (Sherwood,
2011).
Pada proses pencampuran di lambung, kontraksi peristaltik yang
kuat akan menyebabkan makanan bercampur dengan sekresi lambung dan
menghasilkan kimus. Gelombang peristaltik di antrum akan mendorong
makanan ke depan ke arah sfingter pilorus. Dalam keadaan normal,
kontraksi otot sfingter pilorus akan menjaga sfingter hampir tertutup rapat.
Lubang yang tersedia cukup besar untuk air dan cairan yang lewat tetapi
terlalu kecil untuk kimus yang kental melewati lubang tersebut (Sherwood,
2011).
Kontraksi pada antrum dan sfingter memiliki arah yang
berlawanan. Kontraksi antrum akan bergerak ke arah sfingter dan
kontraksi sfingter ke arah antrum. Gerakan yang terjadi pada antrum dan
sfingter ini dinamakan retropulsi sehingga membuat kimus menyebar
secara merata (Sherwood, 2011).
Pada pengaturan pengosongan lambung, kontraksi peristaltik
antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung, juga menghasilkan
suatu gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah kimus yang
lolos ke duodenum pada setiap gelombang peristaltik sebelum sfingter
bergantung pada kekuatan peristaltik. Intensitas peristaltik antrum
ditentukan oleh pengaruh dari sinyal lambung dan duodenum (Sherwood,
2011).
2. Sekresi Getah Lambung
Pada bagian pilorus dan kardia lambung, kelenjar tersebut
mensekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar juga
mengandung sel parietal (oksintik). Sel parietal akan mensekresikan asam
hidroklorida dan faktor intrinsik. Pada bagian korpus lambung ini juga
terdapat chief cell (sel zimogen dan sel peptik) yang fungsinya adalah
mensekresikan pepsinogen. Sekret-sekret ini akan bercampur dengan
mukus yang disekresikan oleh sel-sel bagian leher kelenjar atau mukosa
20
neck. Mukus ini juga akan disekresikan bersama dengan HCO3- (asam
bikarbonat) oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara kelenjar-
kelenjar.
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah
lambung setiap hari. Getah lambung ini mengandung bermacam-macam
zat, diantaranya adalah HCl, pepsinogen dan lain-lain. Bagian korpus
lambung yang mensekresikan HCl berfungsi untuk membunuh sebagian
besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan
pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang
aliran empedu dan cairan pancreas (Ganong, 2008).
Konsentrasi asam dalam getah lambung cukup pekat untuk dapat
menyebabkan jaringan mengalami suatu kerusakan, tetapi pada orang
normal, mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena adanya mukus
dan HCO3 sebagai sawar atau pelindung mukosa lambung. Prostaglandin
dalam lambung juga berfungsi untuk merangsang sekresi mukus dan
HCO3 karena itu, mukus dan HCO3 yang disekresikan oleh sel mukosa
sangat berperan penting dalam melindungi lambung dari kerusakan ketika
getah lambung yang sangat asam disekresikan ke dalam lambung.
Mekanisme persarafan dan humoral sangat berperan penting dalam
pengaturan motalitas dan sekresi lambung. Komponen saraf yaitu refleks
otonom lokal, yang melibatkan neuron-neuron kolinergik dan impuls-
impuls dari SSP melalui nervus vagus. Rangsang vagus meningkatkan
sekresi gastrin melalui pelepasan gastrin - releasingpeptide. Serat-serat
vagus lain melepaskan asetilkolin, yang bekerja langsung pada sel-sel
kelenjar di korpus dan fundus untuk meningkatkan sekresi asam dan
pepsin. Rangsang nervus vagus di dada atau leher meningkatkan sekresi
asam dan pepsin, tetapi vagotomi tidak menghilangkan respons sekresi
terhadap rangsang lokal.
Dalam memudahkan pengaturan fisiologik sekresi lambung
biasanya dibahas berdasarkan pengaruh otak (sefalik), lambung, dan usus.
Pengaruh atau fase sefalik adalah respons yang diperantarai oleh nervus
21
vagus yang diinduksi oleh aktivitas di SSP. Pengaruh lambung terutama
adalah respons-respons refleks lokal dan respons terhadap gastrin.
Pengaruh usus adalah efek umpan balik hormonal dan refleks pada sekresi
lambung yang dicetuskan dari mukosa usus halus (Ganong, 2008).
Fase sefalik sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk
lambung, yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan atau mengecap
makanan. Fase sefalik atau pengaruh otak diperantarai seluruhnya oleh
nervus vagus. Sinyal neurogenik yang menyebabkan fase sefalik, berasal
dari korteks serebri atau pusat nafsu makan. Impuls eferen kemudian
dihantarkan melalui saraf vagus ke lambung. Hal ini mengakibatkan
kelenjar gastrik terangsang untuk mensekresi HCl, pepsinogen, dan
menambah mukus. Fase sefalik akan menghasilkan sekitar 10% dari
sekresi lambung normal yang berhubungan dengan makanan (Lindseth,
2012). Pengaruh otak (fase sefalik) menentukan sepertiga sampai separuh
dari jumlah asam yang disekresikan sebagai respon terhadap makanan
normal (Ganong, 2008).
Pada saat makanan mencapai antrum pilorus, fase tersebut
dinamakan fase gastrik. Antrum akan mengalami distensi dan dapat
menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor-reseptor pada
dinding lambung. Impuls tersebut akan berjalan menuju medula melalui
aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus; impuls ini
merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung juga
merangsang kelenjar-kelenjar lambung. Antrum akan mengeluarkan
hormon gastrin dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar
lambung, untuk merangsang sekresi. Pelepasan gastrin juga dirangsang
oleh pH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama oleh protein
makanan dan alkohol. Membran sel parietal yang terdapat di fundus dan
korpus lambung mengandung reseptor untuk gastrin, histamin, dan
asetilkolin, yang merangsang sekresi asam. Setelah makan, gastrin dapat
beraksi pada sel parietal secara langsung untuk sekresi asam dan juga
dapat merangsang pelepasan histamin dari sel enterokromafin dari mukosa
22
untuk sekresi asam. Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari dua
pertiga sekresi lambung total setelah makan sehingga merupakan bagian
terbesar dari total sekresi lambung harian yang berjumlah sekitar 2.000 ml.
Fase gastrik dapat terpengaruh oleh reseksi bedah pada antrum pilorus
karena letak pembentukan gastrin terjadi pada antrum pylorus (Lindseth,
2012).
Gerakan kimus dari lambung ke duodenum disebut dengan fase
intestinal. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal.
Adanya protein yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya
merangsang pelepasan gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan
lambung terus-menerus mensekresikan sejumlah kecil cairan lambung.
Meskipun demikian, peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi
lambung jauh lebih besar.
Pleksus mienterikus, saraf simpatis, dan saraf vagus memperantarai
adanya refleks entero-gastrik pada saat terjadinya distensi usus halus.
Distensi usus halus dapat menghambat sekresi dan pengosongan lambung.
Adanya asam (pH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-hasil pemecahan
protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin,
kolesitokinin, dan peptida penghambat gastrik (Gastric-inhibiting peptide,
GIP), semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi lambung.
Pada periode interdigestif (antar dua waktu pencernaan) sewaktu
tidak ada pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung
dalam kecepatan lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut
pengeluaran asam basal (basic acid output, BAO) dan dapat diukur dengan
pemeriksaan sekresi cairan lambung selama puasa 12 jam. Sekresi
lambung normal selama periode ini terutama terdiri dari mukus dan hanya
sedikit pepsin dan asam. Tetapi rangsangan emosional kuat dapat
meningkatkan BAO melalui saraf parasimpatis (vagus) dan diduga
merupakan salah satu penyebab ulkus peptikum (Lindseth, 2012).
23
D. Klasifikasi
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural) dan
fungsional (nonorganik). Pada dispepsia organik terdapat penyebab yang
mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum (Peptic Ulcer Disease/PUD),
GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease), kanker, Penggunaan alcohol
Atau obat kronis. Non-organik (fungsional) ditandai dengan nyeri atau tidak
nyaman perut bagian atas yang kronis atau berulang, tanpa abnormalitas pada
pemeriksaan fisik dan endoskopi (Shellack et al., 2014; Lee et al., 2014).
E. Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga
kombinasi hipersensitivitas viseral, disfungsi motilitas lambung, dan faktor
psikologis. Dispepsia fungsional berkaitan dengan depresi. Studi di Pakistan
pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah endoskopi) dengan rerata usia
35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien memiliki depresi (evaluasi depresi
dengan Hamilton depression rating scale): depresi ringan 23 (22,8%), sedang
34 (33,7%), berat 32 (31,7%), dan sangat berat 11 (10,9%). Dispepsia
berkaitan juga dengan tidur. Hubungan antara gangguan tidur dan gejala
dispepsia fungsional cukup kompleks. Gejala dispepsia dapat mengganggu
tidur baik saat akan tidur maupun kelanjutan tidur. Sebaliknya, kurang tidur
juga berpotensi meningkatkan gejala pasien dispepsia fungsional (Chen et al.,
2014).
Faktor risiko dispepsia organik antara lain usia >50 tahun, riwayat
keluarga kanker lambung, riwayat ulkus peptikum, kegagalan terapi, riwayat
perdarahan saluran cerna, anemia, penurunan berat badan, muntah persisten,
perubahan kebiasaan buang air besar, penggunaan NSAID dosis tinggi atau
jangka panjang, alkohol kronis, dan lain-lain. Studi di Taiwan pada 2.062
penderita dispepsia etnis Cina mendapatkan hasil endoskopi normal sebanyak
1174 (56,9%), gastritis sebanyak 215 (10,4%), ulkus lambung sebanyak 254
(12,3%), ulkus duodenum sebanyak 194 (9,4%), refluks esofagitis sebanyak
182 (8,8%), dan kanker esofagus/lambung sebanyak 43 (2,1%). Pasien
24
dispepsia organik pada studi tersebut cenderung ditemukan pada usia lebih
tua, lebih mungkin terinfeksi H. pylori, dan pengguna obat (aspirin, NSAID)
dibandingkan dispepsia fungsional. Dominasi laki-laki terutama pada
dispepsia organik 1,8 (pria/wanita: 56,8%/43,2%) dan dominasi perempuan
pada dispepsia fungsional (pria/wanita: 40,3%/59,7%) (Lee et al., 2014).
F. Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum,
gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional
mengacu kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III belum divalidasi di
Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti
konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa
kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala
dispepsia fungsional. Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu
penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di
gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni
epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi,
bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam
dua pertiga pasien dispepsia (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2014)
25
Tabel 3.1. Kriteria Dispepsia Fungsional tipe epigatric pain (Drossman et al.,
2006; Otero et al., 2014).
Diagnosis Harus Mencakup semua hal Kriteria pendukung
berikut :
Nyeri/ terbakar di epigastrium, minimal Nyeri dapat terbakar, tapi tanpa
intensitas sedang, setidaknya sekali retrosternal.
seminggu
Nyeri tidak boleh generalisasi ke daerah Nyeri biasanya diinduksi atau reda
perut atau dada, atau di daerah perut oleh konsumsi makan
lainnya.
Nyeri tidak hilang dengan buang air besar Gejala tipe distress postprandial
atau flatus dapat terjadi bersama
Rasa penuh pasca-makan dalam porsi Sensasi perut kembung atau mual
biasa, beberapa kali seminggu pasca-makan
Cepat kenyang sehingga berkurang porsi Gejala tipe nyeri epigastrium dapat
makan biasa, beberapa kali seminggu terjadi bersama
26
G. Tatalaksana
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi
patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah
dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum
diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.
1. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemeriksaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien
dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung
(PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-
Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya
rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan
dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu
pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton
pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari
PPI, yaitu DLBS 2411.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.
2. Dispepsia terinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi
empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan
endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani
sebagai dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak menyingkirkan
kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD
sebagai kelainannya.
a) Dispepsia Organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil
endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.
Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara
27
lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus
duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster
dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi
PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan
mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.
b) Dispepsia Fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional
yang ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon,
cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan
gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini
terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu
patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan
pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi
kardiovaskular (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2014).
H. Prognosis
Sebagian besar penderita dispepsia fungsional kronis dan kambuhan,
dengan periode asimptomatik diikuti episode relaps (Otero et al., 2014; Chen
et al., 2016). Pada studi di Cina, prognosis dispepsia fungsional mungkin
dipengaruhi beberapa hal; kurang tidur dan status pernikahan buruk memiliki
prognosis negatif, sedangkan personalitas ekstrovert memiliki prognosis
positif. Meskipun dispepsia fungsional berlangsung kronis dan mempengaruhi
kualitas hidup, tetapi tak terbukti menurunkan harapan hidup (Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia, 2014; Chen et al., 2016).
28
Infeksi Saluran Kemih
A. Definisi
Haryono (2012) menjelaskan bahwa Istilah ‘Infesi Saluran Kemih’
(ISK) biasanya digunakan untuk menggambarkan adanya invasi
mikroorganisme pada saluran kemih. ISK adalah suatu keadaan dimana
kuman atau mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih
dalam jumlah bermakna, baik yang menimbulkan gejala maupun yang tidak
(asimptomatik) (Pardede et al., 2011; Gupta & Trautner, 2015)
B. Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit infeksi yang
banyak terjadi di masyarakat, dan secara finansial menimbulkan beban biaya
yang cukup besar (IAUI, 2015). Di Amerika Serikat, setiap tahunnya leboh
dari 7 juta kunjungan dokter. Di Amerika Serikat dan Eropa, sekitar 15% dari
semua antibiotik yang diresepkan untuk tatalaksana pasien ISK (IAUI, 2015).
Secara global, diperkirakan tedapat 150 juta pasien ISK pertahun dan
menghabiskan biaya lebih dari 6 milyar dollar (Karjono, 2009).
Secara Epidemiologi, insidensi ISK lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki karena uretra wanita lebih pendek
dibandingkan laki-laki (Purnomo, 2014). Sekitar 40% wanita pernah terkena
ISK, setidaknya sekali selama hidupnya, dan sebagian besar diantaranya
mengalami ISK berulang (Gradwohl, 2011).
Data yang diungkapkan oleh National Kidney and Urology Disease
Information Clearinghouse (NKUDIC) juga menyatakan bahwa pria lebih
jarang terkena ISK dibanding wanita, namun apabila terkena dapat menjadi
masalah serius (NKUDIC, 2012).
Dari segi usia, ISK dapat terjadi pada semua usia (Purnomo, 2014).
Pada lanjut usia, prevalensi berkisar antara 15 sampai 60%. Pada usia muda
sampai dewasa, prevalensi kasus pada wanita kurang dari 5% dan pada laki-
laki kurang dari 0,1% (Karjono, 2009).
29
C. Etiologi
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri,
meskipun dapat pula akibat virus dan jamur. (Purnomo, 2014). Organisme
penyebab ISK bervariasi, bergantung pada sindrom klinis dan geografi (Gupta
& Trautner, 2015). Pada ISK akut tanpa komplikasi, organisme penyebab
yang paling sering ditemukan adalah E. coli (75 - 90%), Staphylococcus
saprophyticus (5 - 15%), serta bakteri lainnya, Klebsiella, Proteus,
Enterococcus, dan Citrobacter (5 - 10%). Pada pyelonefritis tanpa
kompliaksi juga serupa, dimana organisme penyebab tersering adalah E. coli.
Pada ISK dengan komplikasi, E. coli masih merupakan organsme predominan,
akan tetapi bakteri Gram negatif aerob lain, seperti Pseudomonas aeruginosa,
Acinetobacter, dan Morganella juga sering ditemukan. Bakteri Gram positif,
(enterococcus dan Staphylococcus aureus) dan jamur juga memiliki
pathogenesis yang penting pada ISK dengan komplikasi (Gupta & Trautner,
2015).
D. Patogenesis
Mikroorganisme yang menginvasi saluran kemih, biasanya berasal dari
flora normal usus, flora normal pada introitus vagina, preposium, penis, kulit
perinium, dan sekitar anus. Organime tersebut masuk ke dalam saluran kemih
melalui uretra, kemudian naik ke kandung kemih dan dapat sampai ke ginjal
(Fitriani, 2013).
Selain dengan cara ascending, patogen juga dapat menginfeksi saluran
kemih secara hematogen seperti penularan M. tuberculosis atau S.aureus dan
secara limfogen (Purnomo,2014)
Secara garis besar, sebagaimana penyakit infeksi pada umumnya,
patogenesis ISK dipengaruhi oleh 3 faktor (Gupta & Trautner, 2015):
1. Organisme
- Tipe organisme
- Adanya faktor virulensi
30
Beberapa patogen, seperti E. coli mengekspresiakn adhesin pada
permukaanselnya, yang membantu bakteri menempel pada epitel
saluran kemih. Salah satu adhesin yang banyak dikenal adalah P-
fimbriae, suatu proten berbentuk seperti rambut yang berikatan secara
spesifik dengan reseptor sel epitel ginjal. Adanya P-fimbriae
bertanggung bertanggung jawab atas terjadinya pyelonephritis.
2. Host
- Genetik
Faktor genetik mempengaruhi kecenderungan individuuntuk terkena
ISK, terutama pada wanita. Wanita yang mengalami ISK berulang,
biasanya pertama kali terkena ISK sebelum usia 15 tahun, dan
memiliki riwayat ISK yang diturunkan secara maternal.
- Perilaku
3. Lingkungan
- Ekologi Vagina
Koloniasasi patogen pada introitus vagina berperan penting terhadap
terjadinya ISK. Penggunaan spermicide dapat membunuh flora normal,
sehingga orgaanisme patogen lebih mudah berkembang biak. Pada
wanita menopause, terjadi perubahan lingkungan vagina, sehingga
flora normal banyak digantikan oleh baktei Gram positif.
- Kelainan anatomis dan fungsional
Adanya statis urin, baik akibat stenosis saluran maupun obstruksi,
dapat memicu terjadinya ISK, karena menjadi tempat yang baik untuk
berkembangnya bakteri. Adanya reflux vesicoureter juga menjadi
faktor penting terjadinya Pyelonefritis. Selain itu, adanya fistula
urorectal dapat menyebabkan perpindaha bakteri dari rectum ke
saluran kemih
- Benda asing
Adanya benda asing pada saluran kemih, seperti kateter, dan batu,
dapat menjadi tempat kolonisasi yang biak bagi patogen dan dapat
membantu pembentukan biofilm bakteri
31
E. Klasifikasi
Secara Anatomis, berdasarkan organ pada saluran kemih yang terkena
infeksi, ISK diklasifikasikan menjadi (IAUI, 2015):
- Uretra: Uretritis
- Kandung kencing: Sistitis
- Ginjal: Pyelonefritis
- Darah: Urosepsis
Uretritis dan sistitis disebut ISK bawah, sedangkan pyelonephritis
disebut ISK atas (Purnomo, 2014). Pendapat lain menyatakan bahwa uretritis
tidak termasuk ISK, karena lebih sering berkaitan dengan penyakit menular
seksual (PMS). Selain itu, infeksi padaorgangenitalia pria, seperti orkitis,
epididimitis dan prostatitis juga tidak dimasukan ke dalam klasifikasi ISK
(IAUI, 2015).
Berdasarkan tingkat keparahan, ISK dikelompokkan menjadi (IAUI,
2015):
- Ringan: tanpa gejala
- Sedang: dengan gejala lokal (disuria, inkontinensia urin, nyeri)
- Berat: dengan gejala sistemik (demam, mual, muntah)
- SIRS
- Disfungsi organ
- Gagal organ
32
gejala akut berupa demam tinggi, kekakuan, mual, muntah, nyeri flank. Gajala
pada pyelonefritis kadang muncul tanpa disertai gejala sistitis. Adanya demam
dapat membedakan antara sistitis dan pyelonefritis (Gupta & Trautner, 2015).
Pada pemeriksaan dipstik urin, dapat ditemukan adanya leukosituria
dan kadang hematuria serta nitrit (IAUI, 2015).
Pada beberapa pasien dapat ditemukan adanya bakteriuria tanpa diserta
gejala, baik lokal maupun sistemik. Adanya bakteriuria seringkali ditemukan
secara tidak sengaja saat skrining urin. Kondisi ini disebut asymptomatic
bacteriuria (Gupta & Trautner, 2015).
G. Diagnosis
Diagnosis ISK dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Pada anamnesis dapat ditemukan gejala seperti demam, disuria,
sering buang air kecil, sulit menahan kencing, dan nokturia. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan nyeri tekan suprapubik dan nyeri ketok kostovertebral
(Gupta & Trautner, 2015).
Pada pemeriksaan penunjang, baku emas untuk diagnosis ISK adalah dengan
kultur urin. Dikatakan ISK jika ditemukan ≥100.000 CFU/mL pada kultur
(IAUI, 2015). Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
dengan dipstik. Adanya leucocyte esterase postif menunjukan leukosituria.
Sedangkan adanya nitrit (sebagai hasil perubahan nitrat oleh enzim nitrate
reductase pada bakteri) menunjukan adanya bakteriuria. Penentuan ISK
dengan indicator nitrit sering memberikan hasil negatif palsu karena tidak
semua bakteri patogen memiliki kemampuan mengubah nitrat atau kadar nitrat
dalam urin menurun akibat obat diuretik (IAUI, 2015).
H. Tatalaksana
Secara umum, penatalaksaan ISK adalah dengan pemberian obat-obatan
antimikroba yang disesuiakan dengan hasil kultur dan pola resistensi setempat
(IAUI, 2015).
33
Tabel 3.3. Terapi antimikroba pada Sistitis (Cunha, et al., 2015)
atau
fluconazole-refractory
disease
34
Tabel 3.4. Terapi antimikroba pada Pyelonefritis (Cunha, et al., 2015)
Patogen Terapi IV Utama Terapi IV Alternatif Terapi Oral
Enterobacteriaceae Ceftriaxone 1 gm (IV) per 24 Meropenem 1 gm (IV) per 8 jam × 2 Levofloxacin 500 mg (PO) per 24
jam × 2 minggu minggu jam × 2 minggu
atau atau atau
Levofloxacin 500 mg (IV) per Aztreonam 2 gm (IV) per 8 jam × 2
Amoxicillin 1 gm (PO) per 8 jam ×
24 jam × 2 minggu minggu
2 minggu
atau
Gentamicin 240 mg (IV) per 24 jam
× 2 minggu
Enterococcus Ampicillin 1 mg (IV) q4h × 2 Quinolone (IV) × 2 minggu Amoxicillin 1 gm (PO) per 8 jam ×
minggu 2 minggu
faecalis (VSE)
atau atau
Linezolid 600 mg (IV) per 12
Linezolid 600 mg (PO) per 12 jam
jam × 2 minggu
× 2 minggu
atau
atau
Meropenem 1 gm (IV) per 8
jam × 2 minggu Levofloxacin 500 mg (PO) per 24
jam × 2 minggu
35
Enterococcus Linezolid 600 mg (IV) per 12 Quinupristin/ dalfopristin 7.5 mg/kg Linezolid 600 mg (PO) per 12 jam
faecium jam × 2 minggu (IV) per 8 jam × 2 minggu × 2 minggu
atau
Colistin 5 mg/kg (IV) per 8 jam × 2
minggu
36
Tabel 3.5. Terapi antimikroba pada Urosepsis (Cunha, et al., 2015)
Subset Patogen Terapi IV Utama Terapi IV Alternatif Terapi Oral
E. faecalis (VSE) Ampicillin 2 gm (IV) q4h Meropenem 1 gm (IV) per 8 Amoxicillin 1 gm (PO) per 8
× 7 hari jam × 7 hari jam × 7 hari
Group B
atau
Streptococci
Levofloxacin 500 mg (PO)
per 24 jam × 7 hari
Jika tidak Enterobacteriaceae Meropenem 1 gm (IV) per Piperacillin/ tazobactam Levofloxacin 500 mg (PO)
terdapat 8 jam × 7 hari 3.375 mg (IV) per 6 jam × 7 per 24 jam × 7 hari
hasil stain
37
urin E. faecalis (VSE) hari
Group B Streptococci
P. aeruginosa Meropenem 1 gm (IV) per Doripenem 1 gm (IV) per 8 Ciprofloxacin 750 mg (PO)
8 jam × 7 hari jam × 7 hari per 12 jam × 7 hari
Enterobacter
atau atau atau
Klebsiella
Levofloxacin 750 mg (IV) Aztreonam 2 gm (IV) per 8 Levofloxacin 750 mg (PO)
Serratia per 24 jam × 7 hari jam × 7 hari per 24 jam × 7 hari
atau atau
Ceftolozane/ tazobactam
38
1.5 gm (IV) per 8 jam × 2
minggu
atau
39
Hipertensi
40
Sedangkan menurut JNC VII, klasifikasi tekanan darah dibagi menjadi
normal, pre hipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2 seperti
pada Tabel 3.7
Tabel 3.7. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (Chobanian et al.,
2003)
Klasifikasi Tekanan darah Tekanan Darah
Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
B. Epidemiologi
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi
pada penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 adalah sebesar 31,7%.
Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan
(39,6%) dan terendah di Papua barat (20,1%). Tahun 2013 terjadi
penurunan prevalensi hipertensi pada penduduk di atas 18 tahun sebesar
5,9% menjadi 25,8%. Prevalensi tertinggi di Provinsi Bangka Belitung
(30,9%) dan terendah di Papua (16,8%).
Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi pada
perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Prevalensi hipertensi pada
perempuan adalah 28.8% sedangkan pada laki-laki adalah 22.8%.
41
C. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi hipertensi
primer atau esensial dan hipertensi sekunder atau non esensial. Hipertensi
primer tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), walaupun dikaitkan
dengan kombinasi factor gaya hidup dan pola makan. Hipertensi primer
terjadi pada 90% penderita hipertensi. Sementara hipertensi sekunder
disebabkan oleh adanya penyakit lain, pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi disebabkan oleh penyakit ginjal, 1-2% disebabkan oleh kelainan
hormonal atau pemakaian obat tertentu misalnya pil KB.
D. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluhdarah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari
pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah
ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan
dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
42
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi (Guyton dan Hall, 2008)
E. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa
tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau
tatalaksana yang akan diambil. Algoritma diagnosis ini diadaptasi dari
Canadian Hypertension Program (2014)
43
Gambar 3.2. Algoritma Diagnosis Hipertensi menurut Canadian
Hypertension Program (2014)
F. Tatalaksana Hipertensi
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat
menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan
dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien
dengan hipertensi derajat 1, tanpa factor risiko kardiovaskuler lain, maka
strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus
dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Apabila setelah jangka waktu
tersebut tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau
didapatkan factor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan
untuk memulai terapi farmakologis (PERKI, 2015).
44
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines
adalah :
1. Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti
menghindari diabetes dan dyslipidemia.
2. Mengurangi asupan garam. Di Indonesia, makanan tinggi garam dan
lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak
jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan
cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak
jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis
obat antihipertensi pada hipertensi derajat ≥ 2. Tianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gram/hari.
3. Olah raga. Olah raga yang dilakuakn secara teratur sebanyak 30 – 60
menit per hari, minimal 3 hari per miggu, dapat menolong penurunan
tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu khusus
untuk berolah raga, sebaiknya tetap harus dianjurkan untuk berjalan
kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktivitas rutin
mereka di tempat kerja.
4. Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol bukan pola
hidup yang umum di Indonesia, namun konsumsi alcohol semakin hari
semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya
hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alkoohol lebih dari 2 gelas per
hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan
tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan
konsumsi alcohol sangat membantu dalampenurunan tekanan darah.
5. Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok
merupakan salah satu factor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan
pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.
45
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai apabila
pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan
darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan
hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang
perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalkan efek
samping menurut PERKI (2015) yaitu :
46
Gambar 3.3. Pedoman Tatalaksana Hipertensi menurut JNC VIII (James, et al., 2014)
47
1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida
sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya
terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. (Nafrialdi, 2009).
a. Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain
yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus
distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi,
2009).
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henleasenden bagian epitel tebal
dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek
diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu
diuretik ini jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi,
2009).
c. Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain
untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).
2. Penghambat Adrenergik
a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1
terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak
ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik.
Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat
48
ditemukan di otak Efek akhirnya adalah peningkatan cardiacoutput,
peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantai
aldosteron dan retensi air (Nafrialdi, 2009).
b. Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α 1)
yang digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif
kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2
(α 2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan
penglepasannorefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis
(Nafrialdi, 2009).
Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan
venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu,
venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang
selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis
awal (fenomena dosis pertama) yang menyebabkan refleks
takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian
jangka penjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek
antihipertensinya akan bertahan (Nafrialdi, 2009).
3. Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot
polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu
mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi
refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard
yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat
menimbulkan angina pectoris, infarkmiokard atau gagal jantung pada
orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga
meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air.
Efek samping yang tidak 34 diharapkan ini dapat dihambat oleh
penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β (Nafrialdi, 2009).
4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
49
Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat
secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusorangitensin I
yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung,
kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin juga
dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan
berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara
langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya
aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi,
2009).
5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker,
ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1
(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat
terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu
terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1
memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang berperan
dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula
adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas
(Nafrialdi, 2009).
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan
hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas
renin yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis ARB perlu
diturunkan (Nafrialdi, 2009).
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi
frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi
lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2009).
6. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)
Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke
dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel
50
otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas
jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam
jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan
kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses
yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).
7. Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis
(saraf yang bekerja saat kita beraktivitas)
51
DAFTAR PUSTAKA
Chang L (2006). ‘The Rome III Criteria For The Functional GI Disorders’
Medscape, https://www.medscape.org/viewarticle/533460 diakses pada
Juli 2018
Chobanian et al. (2003) ‘JNC 7 – Complete Version Seventh Report Of The Joint
National Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And Treatment
Of High Blood Pressure’, Hypertension
Fitriani (2013) Faktor-Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Kemih pada Pasien
yang Terpasang Kateter Menetap Di ruang Rawat Inap RSUD Tarakan,
52
Makasar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Hassanudin
Ganong, WF (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-22, Jakarta: EGC
Guyton AC, Hall JE (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11 Jakarta:
EGC
Hasler WL (2015). ‘Nausea, Vomiting, and Indigestion’ dalam: Kasper DL, Fauci
AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, Harrison’s Priciples
of Internal Medicine 19th Edition, New York: McGraw-Hi11 Education
Ismayadi. (2004). ‘Proses Menua (Aging Proses)’. [Skripsi]. Program Studi Ilmu
Keperawatan. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.
Jacobs DO, Silen W (2015). ‘Abdominal Pain’ dalam: Kasper DL, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, Harrison’s Priciples of
Internal Medicine 19th Edition, New York: McGraw-Hi11 Education
53
James PA, Ortiz E, et al. (2014) ‘evidence-based guideline for the management of
high blood pressure in adults: (JNC8)’, JAMA. No. 5, Vol. 311, p:507-20
Lee SW, Lien HC, Lee TY, Yang SS, Yeh HZ, Chang CS (2014). ‘Etiologies of
dispepsia among a Chinese population: One hospital-based study’, Open
Journal of Gastroenterology, Vol. 4, p: 249-54.
54
Schellack N, Schellack G, Sandt N, Masuku B (2015). ‘Gastric pain’, S Afr Fam
Pract, 57(4): 13-9
Sheerwood, L (2011). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi Ke-2, Jakarta.:
EGC
55