jangka waktu yang panjang. Jika hal tersebut terjadi maka itu tidak hanya berbahaya bagi
hidung Anda namun juga bagian tubuh lain yang berkaitan.
Klasifikasi Rinitis Alergi
1. Jika dilihat berdasarkan kecenderungan berlangsungnya gejala pada rinitis alergi
maka penyakit ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
Persisten (tetap). Rinitis alergi ini terjadi jika gejalanya bertahan hingga lebih dari 4
hari dalam seminggu atau 4 minggu.
2. Jika dilihat berdasarkan tingkat keparahan dari penyakit rinitis alergi maka penyakit
ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
Ringan, penyakit ini digolongkan sebagai penyakit yang ringan apabila tidak terjadi
gangguan pada si pasien yang terdiri dari gangguan tidur, gangguan kegiatan seharihari, gangguan dalam bekerja dan gangguan lain dalam keseharian.
Berat, penyakit ini bisa dikatakan berat apabila gangguan-gangguan yang disebutkan
di atas terjadi kepada pasien rinitis alergi.
Pertama tanda yang terlihat adalah adanya frekuensi bersin-bersin pada penderita
yang terjadi secara terus menerus. Sebenarnya, bersin adalah proses alamiah tubuh,
saat tubuh dimasuki debu atau kuman maka secara otomatis tubuh Anda akan
melakukan pembersihan dengan cara mengeluarkan debu atau kuman itu melalui
bersin. Seringkali bersin juga terjadi saat pagi hari dimana tubuh Anda bereaksi
terhadap udara dingin. Namun jika bersin terjadi secara terus menerus dan berulang
barulah bisa dicurigai apakah penderita mengalami rinitis atau hanya bersin bias.
Kedua, pada penderita rinitis maka akan terjadi kecenderungan keluarnya ingus dalam
jumlah yang lebih banyak daripada saat flu atau pilek biasa.
Keempat, hidung penderita rinitis juga akan tersumbat karena adanya cairan ingus
yang banyak.
Kelima, jika sudah terlalu parah, maka kadang-kadang penderita juga akan sering
mengeluarkan air mata secara otomatis. Jika Anda atau kerabat Anda terlihat
mengalami beberapa gejala tersebut maka ada baiknya untuk segera mendapatkan
penanganan dari dokter.
3. Hubungan usia dan jenis kelamin dengan penyakit Rhinosinusitis Kronis pasien?
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24573/4/Chapter%20II.pdf
Prevalensi rinosinusitis di indonesia cukup tinggi, terbukti pada data
penelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi Departemen THT-KL FKUI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati 50% nya
dengan rinosinusitis kronis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi
operasi BSEF (Soetjipto, 2006).
Iriani dkk (1996) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis
kronis yang dilakukan tindakan BSEF di Departemen THT-KL FK UNHAS Ujung
Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur 16-30
tahun atau sebesar 55,1%.
Muyassaroh dan Supriharti (1999) pada penelitiaanya terhadap terhadap 52 pasien
rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi Semarang
mendapatkan kelompok terbanyak pada umur (20-29 tahun) atau sebesar
26,9% sedangkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 29 penderita
(55,8%) dan perempuan sebanyak 23 penderita (44,2%).
Kurnia (2002) pada penelitiannya terhadap 40 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita terbanyak pada
kelompok umur (25 -34 tahun) sebanyak 14 penderita (40%), perempuan lebih
banyak daripada laki-laki, dimana perempuan 21 penderita (52,5%) dan laki-laki
19 penderita (47,5%). Keluhan utama rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah
hidung tersumbat 38 penderita (95%).
Triolit Z (2004) pada penelitiaanya terhadap 30 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak
adalah (38-47 tahun) sebanyak 36,6%, sedangkan jumlah penderita perempuan
sebanyak 16 penderita (53,3%) dan laki-laki sebanyak 14 penderita (46,67%).
Keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 18 penderita (60%)
diikuti sakit kepala sebanyak 12 penderita (40%).
Andika (2007) dalam penelitiannya terhadap 30 penderita rinosinusitis maksila
kronis di RSUP H. Adam malik, Medan mendapatkan 12 penderita laki- laki
(40%) dan 18 penderita perempuan (60%). Keluhan utama terbanyak adalah
hidung tersumbat sebanyak 19 penderita atau sebesar (63,4%).
Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK. Universitas Hasanuddin Makassar,
jumlah kasus rinologi periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 yaitu
penderita rawat jalan sebanyak 12.557 kasus, penderita rawat inap sebanyak 1.092
kasus dengan perbandingan antara pria dan wanita hampir sama
(46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%), pada
kelompok umur 30 39 tahun (23,3%) (Sujuthi dan Punagi, 2008).
Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis
Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 2007
didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) dan perempuan
50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalah maksilaris 68
kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13
kasus (11%) etmoidalis, rinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasi dektra;
dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah
obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinorea sebanyak
34 kasus (28,8%).
Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung periode Januari
2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderita rinosinusitis kronis
atau sebesar 64,29% dari seluruh pasien yang datang ke poliklinik THT-KL.
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 82 penderita (49,08%) dan
perempuan 86 penderita (50,92%) (Bagja dan Lasminingrum, 2008).
Pada penelitian lainnya seperti Elfahmi (2001) pada penelitiannya terhadap
40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur terbanyak adalah
(35-44 tahun) sebanyak 30%. Jenis kelamin perempuan sebanyak 19 penderita
(47,5%) dan laki-laki sebanyak 21 penderita (52,5%).
Nuutien (1993) pada penelitiannya terhadap 150 pasien rinosinusitis kronis
didapatkan perempuan sebanyak 83 penderita (55,3%) dan laki-laki
sebanyak 67 penderita (44,7%). Yuhisdiarman (2004) pada penelitiannya
terhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan kelompok umur
terbanyak adalah (35-44 tahun) sebesar 34,3%, jenis kelamin terbanyak adalah
perempuan sebesar 20 penderita (57,2%) dan laki-laki 15 penderita (42,8%).
Pujiwati (2006) pada penelitiannya terhadap 80 orang, yang menderita
rinosinusitis kronis akibat kerja sebanyak 35 orang ( 43,8%.)
a. Selulitis
Dapat terjadi karena perluasan furunkel pada vestibulum
b. Vestibulitis
Merupakan infeksi pada kulit vestibulum
c. Rinithis simpleks
Penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia, sering juga disebut
selesma, common cold, flu
d. Rhinitis Hipertrofi
Perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena
proses inflamasi kronisyang disebabkan oleh infeksi bakteri primer/sekunder
e. Rhinitis Atrofi
Infeksi hidung kronik, ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan
tulang konka.
f. Rhinitis Difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, terjadi primer pda hidung dan
terjadi sekunder pada tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut/kronik
g. Rhinitis Jamur
Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif maupun non invasif
h. Rhinitis Tuberkulosa
Merupakan kejadia tuberkulosa ekstra pulmoner
i. Rhinitis Sifilis
Penyebabnya merupakan kuman treponema pallidum
j. Rinoskleroma
Infeksi granuloma kronik pada hidung karena Klebsiella rhinoscleromatis
k. Myasis Hidung
Adanya infestasi larva lalat dalam rongga hidung.
l. Rhinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibagi menjadi:
Gejala klinis
Sinusitis diklasifikasikan menjadi tiga, yakni :
1. Sinusitis akut
Hidung tersumbat.
Hidung meler, keluar lendir berwarna (bukan bening).
Nyeri pada wajah, kening atau daerah sekitar mata.
Berkurangnya penciuman.
Bau mulut
n. Rhinosinusitis kronis
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12
minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria
minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009).
Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip,
gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri
telinga, batuk, demam, halitosis. (Judith, 1996; Becker 2003; Soetjipto, 2006; Setiadi
M, 2009).
Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan
perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997).
Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi
dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu
sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung (Mangunkusumo, 2000).
Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang
merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting
dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan,
udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi
sinusitis (Mangunkusumo, 2000).
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau
hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
memperberat gangguan yang ditimbulkannya (Mangunkusumo, 2000).
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,
berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini
berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat
lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih (Mangunkusumo, 1999;
Nizar, 2000).
Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi
gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi,
maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir
yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk
tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006; Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma,
2007).
Menurut Sakakura (1997), Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya
suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya
vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek,
lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).
kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus
(Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang
berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan
kuman (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai aspek.
Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan
medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
(Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan
defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya
infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak
sempurna (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret
akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan
seterusnya (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Patologi Rinosinusitis Kronis
Perubahan patologi yang terjadi pada mukosa dan dinding tulang sinus saat
berlangsungnya peradangan supuratif adalah seperti yang biasa terjadi dalam rongga
yang dilapisi mukus (Ballenger, 1997).
Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akan
menyebabkan udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadi
polipoid, dan pada kasus yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisi oleh
membran mukosa yang edema, rongga sinus menjadi menghilang (Ronald, 1995).
Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasi epitel
akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecil yang multipel
terjadi dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari strauma submukosa yang
melapisinya. Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisa irreversibel, dan bila
penyebab infeksi telah diobati, mukosa tidak dapat kembali normal (Ronald, 1995).
Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung dan sinus; kongesti akut, purulen
akut, purulen kronis dan hiperplastik kronis (Ballenger, 1997).
Penyakit sinus supuratif kronis dapat diklasifikasikan secara mikroskopik
sebagai (1) adematous; (2) granular dan infiltrasi; (3) fibrous; atau (4) campuran dari
beberapa atau semua bentuk ini. Sering terjadi perubahan jaringan penunjang, dengan
penebalan dilapisan sub epitel. Penebalan ini didalam struktur seluler terdiri dari
timbunan sel-sel spiral, bulat, bentuk bintang, plasmosit, eosinofil, dan pigmen
(Ballenger, 1997).
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang
menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:
a. Jaringan sub mukosa diinfiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Lekosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
c. Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar melalui
epitel yang melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan bakteri, debris
epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahan kapiler, dan darah
bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian
menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
d. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan
berhentinya pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari.
e. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke
tipe purulen, lekosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi
masih mungkin, meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berheti, perubahan jaringan akan terjadi
permanen, maka akan terjadi keadaan kronis. Tulang dibawahnya dapat
terlihat tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang (Ballenger,
1997).
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi: (1) melalui
tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) perluasan langsung melalui bagian
dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) dengan terjadinya defek; dan (4) melalui
jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat
disebarkan dari sinus secara limfatik (Ballenger, 1997).
Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara
anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen
sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa,
karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini
(Ballenger, 1997).
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff
menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan
udema di ostium sinus dan sekitarnya (Ballenger, 1997).
terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus
ini bermuara ke dalam meatus medius (Ballenger, 1997).
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior
(Ballenger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan
Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi
jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa.
Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu
densitas yang paralel dengan dinding sinus (Ballenger, 1997; Mangunkusumo
dan Rifki, 2000). Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada
resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal
dari gigi atau daerah periodontal (Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki,
2000).
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat
adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak (Ballenger,
1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CTScan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah
(Ballenger, 1997).
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan,
memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek
osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya
seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada
komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas (Ballenger,
1997).
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan
menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat
sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah
(Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Beberapa macam tindakan bedah mulai dari
antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Namun dengan
berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula
modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya
mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap
berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh
kembali (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena
merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional (Nizar, 2000;
Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).Keuntungan BSEF adalah
penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat
operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dironggarongga sinus (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus
yang tersumbat diperlebar (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006). Dengan
ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan
didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri (Nizar, 2000; Soetjipto,
2000).
Komplikasi
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan
antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1.Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral (Hilger,
1997; Mangunkusumo dan Rifki ; 2000).
2.Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila (Hilger,
1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000). Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis
sinus kavernosus (Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
3.Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus (Mangunkusumo dan Rifki, 2000; Dhingra, 2007).
4.Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul
asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Dari diagnosis diatas, gejala dan tanda-tanda yang paling tepat dengan
penyakit di skenario merupakan rhinosinusitis.
yang tepat guna.Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi.
b. Test cukil kulit merupakan salah satu Tes Alergi pada Kulit
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :1
-
Puncture, prick dan scratch testbiasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh
karena alergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga
Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis
kontak
Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis
yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik
yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini
menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul
flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut.1
Kelebihan Skin Prick Test dibanding Test Kulit yang lain : 2
a
karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan
dengan zat pembawa berupa air.
Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke
kulit sangat kecil.
Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu
dilaksanakan kurang dari 1 jam.
Mengalami kelainan saluran hidung seperti kelainan septum hidung, polip hidung,
atau tumor.
https://eprints.uns.ac.id/26748/1/S921102001_pendahuluan.pdf
Faktor risiko terjadinya Rinosinusitis kronik adalah rinitis alergi, riwayat infeksi gigi rahang
atas,paparan asap rokok, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), dan kelainan anatomi
hidung. Faktor risiko tersebut dapat berperan dalam patofisiologi terjadinya rinosinusitis
kronik (Zacharisen and Casper, 2005).
Faktor risiko rinitis alergi paling banyak berpengaruh pada kejadian rinosinusitis kronik,
sebanyak 60% kasus rinitis rinitis alergi akan berkembang menjadi rinosinusitis kronik
(Rosas etal. 2011). Infeksi gigi rahang atas yang akan berkembang menjadi rinosinusitis
kronik sekitar 5-40% kasus (Lechien et al. 2014). Untuk kasus GERD yang berkembang
menjadi rinosinusitis
kronik sebesar 33% (Coelbo et al. 2009). Untuk kelainan anatomi hidung yng berhubungan
dengan rinosinusitis kronik sebesar 4 %- 17,2 % (Primantono, 2003).