Anda di halaman 1dari 21

MASIH SKENARIO 2 BLOK THT

Penyakit Rhinosinusitis Kronis

1. Bagaimana interpretasi hasil semua pemeriksaan?


https://id.scribd.com/doc/205017080/LAPORAN-TUTORIAL-docx
Rinoskopi Anterio :
- Sekret Mukopurulen Rinosinusitis Kronik
- Masa berwarna putih mengkilat bertangkai pada 1/3 posterior Polip
- Deviasi Septum Trauma / Kelainan Kongenital,dengan konka media sinekia
Orofaring :
- Tonsil Membesar Tonsilitis
- Hiperemis Peradangan
- Kripti Melebar karena radang berulang epitel terkikis (mukosa dan limfoid) diganti
jaringan parut.
- Detritus Infiltrasi bakteri ke jaringan tonsil radang merangsang leukosit dan PMN
Eksudat
- Post Nasal Drip Rinosinusitis akut/kronik

2. Penyebab bersin-bersin lebih dari 4x/minggu?


https://pulauherbal.com/jurnal/4241-jangan-sepelekan-bersin-bersin.html
Definisi Rinitis Alergi
Rinitis adalah suatu penyakit yang menyerang bagian membrane hidung yang menyebabkan
Anda mengalami bersin-bersin, hidung terasa gatal dan hidung yang tersumbat. Jika keadaan
ini semakin parah maka sakit rinitis yang tadinya hanya terjadi pada membrane hidung bisa
menyebar ke daerah sinus dalam rongga hidung, mata, telinga dan juga tenggorokan si
pasien.
Menurut organisasi kesehatan dunia yaitu WHO, definisi dari rinitis ini adalah kelainan pada
bagian hidung manusia yang ditandai dengan hidung yang gatal, tersumbat dan kemudian
bersin-bersin. Hal ini terjadi setelah cairan mukosa dalam hidung terinfeksi allergen yang
membuat Anda menjadi mengalami gejala yang telah disebutkan sebelumnya. Jika penyebab
alergi ini tidak segera ditemukan maka Anda akan mengalami hal yang sama tersebut selama

jangka waktu yang panjang. Jika hal tersebut terjadi maka itu tidak hanya berbahaya bagi
hidung Anda namun juga bagian tubuh lain yang berkaitan.
Klasifikasi Rinitis Alergi
1. Jika dilihat berdasarkan kecenderungan berlangsungnya gejala pada rinitis alergi
maka penyakit ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:

Intermiten (tidak sering/kadang-kadang). Rinitis alergi intermiten terjadi apabila


gejala yang dialami penderita itu hanya terjadi selama kurang dari 4 hari dalam
seminggu atau paling lama dalam waktu 4 minggu.

Persisten (tetap). Rinitis alergi ini terjadi jika gejalanya bertahan hingga lebih dari 4
hari dalam seminggu atau 4 minggu.

2. Jika dilihat berdasarkan tingkat keparahan dari penyakit rinitis alergi maka penyakit
ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:

Ringan, penyakit ini digolongkan sebagai penyakit yang ringan apabila tidak terjadi
gangguan pada si pasien yang terdiri dari gangguan tidur, gangguan kegiatan seharihari, gangguan dalam bekerja dan gangguan lain dalam keseharian.

Berat, penyakit ini bisa dikatakan berat apabila gangguan-gangguan yang disebutkan
di atas terjadi kepada pasien rinitis alergi.

Tanda-Tanda Penderita Rinitis


Jika seseorang terserang penyakit rinitis maka akan terdapat beberapa tanda-tanda yang
terjadi pada si penderita yang dapat dikenali oleh orang sekitarnya.

Pertama tanda yang terlihat adalah adanya frekuensi bersin-bersin pada penderita
yang terjadi secara terus menerus. Sebenarnya, bersin adalah proses alamiah tubuh,
saat tubuh dimasuki debu atau kuman maka secara otomatis tubuh Anda akan
melakukan pembersihan dengan cara mengeluarkan debu atau kuman itu melalui
bersin. Seringkali bersin juga terjadi saat pagi hari dimana tubuh Anda bereaksi
terhadap udara dingin. Namun jika bersin terjadi secara terus menerus dan berulang
barulah bisa dicurigai apakah penderita mengalami rinitis atau hanya bersin bias.

Kedua, pada penderita rinitis maka akan terjadi kecenderungan keluarnya ingus dalam
jumlah yang lebih banyak daripada saat flu atau pilek biasa.

Ketiga, penderita akan merasakan gatal di hidungnya dan juga matanya.

Keempat, hidung penderita rinitis juga akan tersumbat karena adanya cairan ingus
yang banyak.

Kelima, jika sudah terlalu parah, maka kadang-kadang penderita juga akan sering
mengeluarkan air mata secara otomatis. Jika Anda atau kerabat Anda terlihat

mengalami beberapa gejala tersebut maka ada baiknya untuk segera mendapatkan
penanganan dari dokter.

3. Hubungan usia dan jenis kelamin dengan penyakit Rhinosinusitis Kronis pasien?
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24573/4/Chapter%20II.pdf
Prevalensi rinosinusitis di indonesia cukup tinggi, terbukti pada data
penelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi Departemen THT-KL FKUI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati 50% nya
dengan rinosinusitis kronis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi
operasi BSEF (Soetjipto, 2006).
Iriani dkk (1996) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis
kronis yang dilakukan tindakan BSEF di Departemen THT-KL FK UNHAS Ujung
Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur 16-30
tahun atau sebesar 55,1%.
Muyassaroh dan Supriharti (1999) pada penelitiaanya terhadap terhadap 52 pasien
rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi Semarang
mendapatkan kelompok terbanyak pada umur (20-29 tahun) atau sebesar
26,9% sedangkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 29 penderita
(55,8%) dan perempuan sebanyak 23 penderita (44,2%).
Kurnia (2002) pada penelitiannya terhadap 40 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita terbanyak pada
kelompok umur (25 -34 tahun) sebanyak 14 penderita (40%), perempuan lebih
banyak daripada laki-laki, dimana perempuan 21 penderita (52,5%) dan laki-laki
19 penderita (47,5%). Keluhan utama rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah
hidung tersumbat 38 penderita (95%).
Triolit Z (2004) pada penelitiaanya terhadap 30 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak
adalah (38-47 tahun) sebanyak 36,6%, sedangkan jumlah penderita perempuan
sebanyak 16 penderita (53,3%) dan laki-laki sebanyak 14 penderita (46,67%).
Keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 18 penderita (60%)
diikuti sakit kepala sebanyak 12 penderita (40%).
Andika (2007) dalam penelitiannya terhadap 30 penderita rinosinusitis maksila
kronis di RSUP H. Adam malik, Medan mendapatkan 12 penderita laki- laki
(40%) dan 18 penderita perempuan (60%). Keluhan utama terbanyak adalah
hidung tersumbat sebanyak 19 penderita atau sebesar (63,4%).
Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK. Universitas Hasanuddin Makassar,
jumlah kasus rinologi periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 yaitu

penderita rawat jalan sebanyak 12.557 kasus, penderita rawat inap sebanyak 1.092
kasus dengan perbandingan antara pria dan wanita hampir sama
(46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%), pada
kelompok umur 30 39 tahun (23,3%) (Sujuthi dan Punagi, 2008).
Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis
Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 2007
didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) dan perempuan
50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalah maksilaris 68
kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13
kasus (11%) etmoidalis, rinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasi dektra;
dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah
obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinorea sebanyak
34 kasus (28,8%).
Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung periode Januari
2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderita rinosinusitis kronis
atau sebesar 64,29% dari seluruh pasien yang datang ke poliklinik THT-KL.
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 82 penderita (49,08%) dan
perempuan 86 penderita (50,92%) (Bagja dan Lasminingrum, 2008).
Pada penelitian lainnya seperti Elfahmi (2001) pada penelitiannya terhadap
40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur terbanyak adalah
(35-44 tahun) sebanyak 30%. Jenis kelamin perempuan sebanyak 19 penderita
(47,5%) dan laki-laki sebanyak 21 penderita (52,5%).
Nuutien (1993) pada penelitiannya terhadap 150 pasien rinosinusitis kronis
didapatkan perempuan sebanyak 83 penderita (55,3%) dan laki-laki
sebanyak 67 penderita (44,7%). Yuhisdiarman (2004) pada penelitiannya
terhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan kelompok umur
terbanyak adalah (35-44 tahun) sebesar 34,3%, jenis kelamin terbanyak adalah
perempuan sebesar 20 penderita (57,2%) dan laki-laki 15 penderita (42,8%).
Pujiwati (2006) pada penelitiannya terhadap 80 orang, yang menderita
rinosinusitis kronis akibat kerja sebanyak 35 orang ( 43,8%.)

4. Diagnosis, DD, tatalaksana dan kasus?


https://id.scribd.com/doc/205017080/LAPORAN-TUTORIAL-docx
Diagnosis Kerja : Rinosinusitis kronik,Tonsilitis,Laringitis,Faringitis,Polip,Deviasi Septum.
https://id.scribd.com/doc/282163654/fix-tht-2
Terdapat beberapa diagnosis banding pada penyakit di skenario, beberapa
diantaranya adalah:

a. Selulitis
Dapat terjadi karena perluasan furunkel pada vestibulum
b. Vestibulitis
Merupakan infeksi pada kulit vestibulum
c. Rinithis simpleks
Penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia, sering juga disebut
selesma, common cold, flu
d. Rhinitis Hipertrofi
Perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena
proses inflamasi kronisyang disebabkan oleh infeksi bakteri primer/sekunder
e. Rhinitis Atrofi
Infeksi hidung kronik, ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan
tulang konka.
f. Rhinitis Difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, terjadi primer pda hidung dan
terjadi sekunder pada tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut/kronik
g. Rhinitis Jamur
Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif maupun non invasif
h. Rhinitis Tuberkulosa
Merupakan kejadia tuberkulosa ekstra pulmoner
i. Rhinitis Sifilis
Penyebabnya merupakan kuman treponema pallidum
j. Rinoskleroma
Infeksi granuloma kronik pada hidung karena Klebsiella rhinoscleromatis
k. Myasis Hidung
Adanya infestasi larva lalat dalam rongga hidung.
l. Rhinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Intermiten : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4


minggu.
2. Persisten : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi


menjadi :
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja.
2. Sedang-berat, bila terdapat gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja.

Gejala yang dialami oleh pasien rinitis alergi adalah:


1. Gatal pada hidung dan bersin yang disebabkan histamin merangsang
reseptor H1 pada ujung saraf vidianus.
2. Rinore yang disebabkan histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permebealitas kapiler meningkat.
3. Hidung tersumbat karena vasodilatasi sinusoid.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,


berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
Penatalaksanaan untuk rhinitis alergi adalah :
1. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan eliminasi
2. Medikamentosa : Antihisatamin yang dipakai adalah antagonis histamine
H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu :
a. Antihistamin generasi-1, bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak dan serta mempunyai efek
antikolinergik. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin.
b. Antihistamin generasi-2, bersifat lipofobik, sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 dan tidak mempunyai efek antikolinergik, dan

non-sedatif. Kelompok generasi-2 adalah cetirizine, loratadine,


levocetirizine.
m. Sinusitis
Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Negus adalah salah
satu pendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan
jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan
sfenoidalis. Etmokonka yang dilapisi epitel penghidu dapat ditemukan pada
beberapa binatang rendah. Pada manusia, sinus biasanya kosong dan indra
penghidu kita jauh lebih rendah dari misalnya anjing atau kucing; etmokonka
manusia jelas telah menghilang selama proses evolusi Ditemukan beberapa
pasang sinus paranasalis, yaitu; frontalis, ethmoidalis, maksilaris dan spenoidalis
Sinusitis adalah radang selaput permukaan sinus paranasal, sesuai dengan
rongga yang terkena sinusitis dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid,
sinusistis frontal dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut
sebagai multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis
etmoid.
Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 0.4% dari pasien yang datang ke
rumah sakit terdiagnosis dengan sinusitis.
Timbulnya Pembengkakan di kompleks osteomeatal, selaput permukaan
yang berhadapan akan segera menyempit hingga bertemu, sehingga silia tidak
dapat bergerak untuk mengeluarkan sekret. Gangguan penyerapan dan aliran
udaradi dalam sinus, menyebabkan juga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang
diproduksi oleh selaput permukaansinus akan menjadi lebih kental dan menjadi
mudah untuk bakteri timbul dan berkembang biak. Bila sumbatan terus-menerus
berlangsung akan terjadi kurangnya oksigen dan hambatan lendir, hal ini
menyebabkan tumbuhnya bakteri anaerob, selanjutnya terjadi perubahan jaringan
Pembengkakan menjadi lebih hipertrofi hingga pembentukan polip atau kista
Beberapa Faktor predisposisi atau faktor yang memperberat
1.
2.
3.

Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, pembesaran konka,


benda asing di hidung, polip hingga tumor di hidung
Rhinitis alergika
Lingkungan : polusi, udara dingin dan kering

Gejala klinis
Sinusitis diklasifikasikan menjadi tiga, yakni :
1. Sinusitis akut

Bila gejala berlangsung selama beberapa hari hingga 4


minggu.
2. Sinusitis subakut
Bila gejala berlangsung selama 4 minggu hingga 3 bulan
3. Sinusitis Kronis
Bila gejala berlangsung lebih dari 3 bulan
Pada pemeriksaan beberapa gejala obyektif bisa didapatkan
1. Pembengkakan di daerah muka
2. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior,selaput permukaan
konka merah dan Bengkak
3. Pada rhinoskopi posterior terdapat lendir di nasofaring dan post
nasal drip.
Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko sinus rentan terhadap
infeksi, antara lain:
1. Zat-zat yang dapat menyebakan iritasi, seperti asap, polusi udara,
bahan kimia seperti pestisida, disinfektan, dan detergen.
2. Alergi.
3. Lubang hidung yang sempit yang dapat disebabkan oleh polip
hidung atau trauma pada wajah atau hidung. Bila lendir berkumpul di
belakang daerah yang menyempit dapat menyebabkan infeksi pada
sinus.
4. Cystic fibrosis, yaitu suatu kelainan genetik yang menyebabkan
tubuh memproduksi lendir yang tebal dan kental sehingga
meningkatkan risiko infeksi.
Gejala yang ditimbulkan sinusitis, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.

Hidung tersumbat.
Hidung meler, keluar lendir berwarna (bukan bening).
Nyeri pada wajah, kening atau daerah sekitar mata.
Berkurangnya penciuman.
Bau mulut

n. Rhinosinusitis kronis
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12
minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria
minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009).

Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip,
gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri
telinga, batuk, demam, halitosis. (Judith, 1996; Becker 2003; Soetjipto, 2006; Setiadi
M, 2009).
Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan
perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997).
Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi
dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu
sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung (Mangunkusumo, 2000).
Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang
merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting
dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan,
udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi
sinusitis (Mangunkusumo, 2000).
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau
hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
memperberat gangguan yang ditimbulkannya (Mangunkusumo, 2000).
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,
berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini
berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat
lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih (Mangunkusumo, 1999;
Nizar, 2000).
Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi
gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi,
maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir
yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk
tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006; Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma,
2007).
Menurut Sakakura (1997), Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya
suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya
vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek,
lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).

Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya


menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos dan
menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan
kembali terjadi (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).
Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai.
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga
bakteri anaerob akan berkembang baik (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).
Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya
dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan
kista (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).
Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium
tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus (Massudi, 1996).
Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam
submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit,
kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zatzat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas
pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa (Massudi, 1996).
Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga
dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik (Massudi, 1996).
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka,
rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya.
Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: infeksi saluran nafas
atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak
terkontrol dan iritasi udara sekitar (Massudi, 1996).
Faktor yang lebih penting untuk diketahui dan merupakan dasar patofisiologi
terjadinya infeksi sinus adalah: adanya gangguan dari mukosa sinus, mukosa osteum
sinus dan sekitarnya (komplek ostiomeatal) (Massudi, 1996).
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan pada
mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini akan
mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah sempit dan letaknya
tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium (Massudi, 1996).
Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa
sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus.
Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa,
permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses transudasi (Facer dan
Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga akan
menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap didalam rongga
sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu fungsi sinus dimana

kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus
(Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang
berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan
kuman (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai aspek.
Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan
medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
(Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan
defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya
infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak
sempurna (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret
akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan
seterusnya (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Patologi Rinosinusitis Kronis
Perubahan patologi yang terjadi pada mukosa dan dinding tulang sinus saat
berlangsungnya peradangan supuratif adalah seperti yang biasa terjadi dalam rongga
yang dilapisi mukus (Ballenger, 1997).
Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akan
menyebabkan udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadi
polipoid, dan pada kasus yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisi oleh
membran mukosa yang edema, rongga sinus menjadi menghilang (Ronald, 1995).
Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasi epitel
akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecil yang multipel
terjadi dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari strauma submukosa yang
melapisinya. Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisa irreversibel, dan bila
penyebab infeksi telah diobati, mukosa tidak dapat kembali normal (Ronald, 1995).
Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung dan sinus; kongesti akut, purulen
akut, purulen kronis dan hiperplastik kronis (Ballenger, 1997).
Penyakit sinus supuratif kronis dapat diklasifikasikan secara mikroskopik
sebagai (1) adematous; (2) granular dan infiltrasi; (3) fibrous; atau (4) campuran dari
beberapa atau semua bentuk ini. Sering terjadi perubahan jaringan penunjang, dengan
penebalan dilapisan sub epitel. Penebalan ini didalam struktur seluler terdiri dari
timbunan sel-sel spiral, bulat, bentuk bintang, plasmosit, eosinofil, dan pigmen
(Ballenger, 1997).

Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang
menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:
a. Jaringan sub mukosa diinfiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Lekosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
c. Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar melalui
epitel yang melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan bakteri, debris
epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahan kapiler, dan darah
bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian
menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
d. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan
berhentinya pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari.
e. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke
tipe purulen, lekosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi
masih mungkin, meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berheti, perubahan jaringan akan terjadi
permanen, maka akan terjadi keadaan kronis. Tulang dibawahnya dapat
terlihat tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang (Ballenger,
1997).
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi: (1) melalui
tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) perluasan langsung melalui bagian
dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) dengan terjadinya defek; dan (4) melalui
jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat
disebarkan dari sinus secara limfatik (Ballenger, 1997).
Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara
anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen
sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa,
karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini
(Ballenger, 1997).
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff
menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan
udema di ostium sinus dan sekitarnya (Ballenger, 1997).

Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu


tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat
kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari,
sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi
lainnya (Ballenger, 1997).
Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan
badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap
saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap (Ballenger,
1997).
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,
tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga
hidung dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah (Ballenger,
1997).
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak
tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu
(anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah
konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung terhalang,
sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997). Pada kasus
kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang (Ballenger, 1997).
Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru
(Ballenger, 1997).
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinussinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini (Ballenger, 1997).
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya
suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda

terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus
ini bermuara ke dalam meatus medius (Ballenger, 1997).
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior
(Ballenger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan
Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi
jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa.
Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu
densitas yang paralel dengan dinding sinus (Ballenger, 1997; Mangunkusumo
dan Rifki, 2000). Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada
resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal
dari gigi atau daerah periodontal (Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki,
2000).
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat
adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak (Ballenger,
1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CTScan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah
(Ballenger, 1997).
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan,
memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek
osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya
seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada
komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas (Ballenger,
1997).
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan
menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat
sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil

gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari


lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan
sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada
kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit
(Mackay IS dan Lund VJ, 1997).
c.Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan
karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan
faktor lokal penyebab sinusitis (Ballenger, 1997).
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum
nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya
polip atau tumor (Ballenger, 1997).
Diagnosis
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala
mayor disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).
Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor skor diberi
skor 2 dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai
berikut; Gejala Mayor: Nyeri sinus = skor 2, Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen =
skor 2, Post nasal drip = skor 2, Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala
Minor: Nyeri kepala = skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk
= skor 1, Demam = skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16
Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu; sedang-berat
(skor 8), dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik: skala nominal (Setiadi
M, 2009).
Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan
yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Waguespack, 1994; Soetjipto, 2000;
Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto, 2000).
Medikamentosa (Antibiotika)
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai
terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada terapi
sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam,

sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik


diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan (Weir, 1997; Soetjipto, 2000;
Ahmed, 2003; Kennedy, 2006; Dubin MG dan Liu C, 2007).
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol (Soetjipto, 2000).
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali
apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan
nasoendoskopi maupun CT-Scan (Soetjipto, 2000).
Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik
dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan
sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi
(Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C, 2007). Preparat yang umum adalah
pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah
tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati (Soetjipto, 2000).
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung,
namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih
dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa (Soetjipto, 2000).
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih
dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian
juga kemungkinan imunoterapi (Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C, 2007; Yuan
LJ dan Fang SY, 2008). Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek
antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine,
acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine (Soetjipto, 2000).
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan
kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin,
sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan
perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis (Soetjipto, 2000).
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi.
Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien
berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang (Soetjipto,
2000; Yuan LJ dan Fang SY, 2008).
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi
singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat
oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan
hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata (Soetjipto, 2000).
Penatalaksanaan Operatif

Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah
(Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Beberapa macam tindakan bedah mulai dari
antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Namun dengan
berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula
modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya
mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap
berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh
kembali (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000). Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena
merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional (Nizar, 2000;
Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).Keuntungan BSEF adalah
penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat
operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dironggarongga sinus (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus
yang tersumbat diperlebar (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006). Dengan
ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan
didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri (Nizar, 2000; Soetjipto,
2000).
Komplikasi
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan
antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1.Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral (Hilger,
1997; Mangunkusumo dan Rifki ; 2000).
2.Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila (Hilger,
1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000). Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis
sinus kavernosus (Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
3.Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus (Mangunkusumo dan Rifki, 2000; Dhingra, 2007).

4.Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul
asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Dari diagnosis diatas, gejala dan tanda-tanda yang paling tepat dengan
penyakit di skenario merupakan rhinosinusitis.

5. Pemeriksaan penunjang penyakit Rhinosinusitis Kronis?


https://id.scribd.com/doc/205017080/LAPORAN-TUTORIAL-docx
Polip tidak hilang & masif,tonsilitis yang menyumbat total,keluhan tidak membaik
Indikasi Rujuk.
Tatalaksana Lanjut :
- Bedah
Pemeriksaan :
- CT-Scan
-Rontgen ( Waters Position & Lateral )
- Kultur bakteri
- Anak-anak Uji mengedan dan Uji adrenalin
https://id.scribd.com/doc/282163654/fix-tht-2
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan.
Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan fronta. Kelainan akan
terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) atau penebalan
mukosa.
CT scan sinus merupakan gold standarddiagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung
dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan opersai sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus mesius/superior, untuk mendapat antibiotik

yang tepat guna.Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi.
b. Test cukil kulit merupakan salah satu Tes Alergi pada Kulit
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :1
-

Puncture, prick dan scratch testbiasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh
karena alergen inhalan, makanan atau bisa serangga.

Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga

Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis
kontak
Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis
yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik
yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini
menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul
flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut.1
Kelebihan Skin Prick Test dibanding Test Kulit yang lain : 2
a

karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan
dengan zat pembawa berupa air.

Mudah dialaksanakan dan bisa diulang bila perlu.

Tidak terlalu sakit dibandingkan suntik intra dermal

Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke
kulit sangat kecil.

Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu
dilaksanakan kurang dari 1 jam.

Tujuan Tes Kulit pada alergi:


Tes kulit pada alergi ini untuk menentukan macam alergen sehingga di
kemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.1
Indikasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ) : 4
o Rinitis alergi : Apabila gejala tidak dapat dikontrol dengan medikamentosa
sehingga diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen maka di
kemudian hari alergen tsb bisa dihindari.

o Asthma : Asthma yang persisten pada penderita yang terpapar alergen


(perenial).
o Kecurigaan alergi terhadap makanan. Dapat diketahui makanan yang
menimbulkan reaksi alergi sehingga bisa dihindari.
o Kecurigaan reaksi alergi terhadap sengatan serangga.

6. Faktor Resiko keluhan pasien?


http://www.amazine.co/25390/gejala-penyebab-faktor-resiko-sinusitis-akut/
Faktor Risiko
Anda mungkin memiliki risiko lebih tinggi terkena sinusitis jika:

Menderita alergi yang mempengaruhi sinus.

Mengalami kelainan saluran hidung seperti kelainan septum hidung, polip hidung,
atau tumor.

Mengalami berbagai kondisi medis seperti cystic fibrosis, gastroesophageal reflux


disease (GERD), dan gangguan sistem kekebalan tubuh seperti immunoglobulin atau
kekurangan antibodi.

Paparan rutin terhadap polutan seperti asap rokok.[]

https://eprints.uns.ac.id/26748/1/S921102001_pendahuluan.pdf

Faktor risiko terjadinya Rinosinusitis kronik adalah rinitis alergi, riwayat infeksi gigi rahang
atas,paparan asap rokok, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), dan kelainan anatomi
hidung. Faktor risiko tersebut dapat berperan dalam patofisiologi terjadinya rinosinusitis
kronik (Zacharisen and Casper, 2005).
Faktor risiko rinitis alergi paling banyak berpengaruh pada kejadian rinosinusitis kronik,
sebanyak 60% kasus rinitis rinitis alergi akan berkembang menjadi rinosinusitis kronik
(Rosas etal. 2011). Infeksi gigi rahang atas yang akan berkembang menjadi rinosinusitis
kronik sekitar 5-40% kasus (Lechien et al. 2014). Untuk kasus GERD yang berkembang
menjadi rinosinusitis
kronik sebesar 33% (Coelbo et al. 2009). Untuk kelainan anatomi hidung yng berhubungan
dengan rinosinusitis kronik sebesar 4 %- 17,2 % (Primantono, 2003).

Anda mungkin juga menyukai