Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL

BLOK SISTEM THT


SKENARIO 1

KELOMPOK XVIII
ANING HANA FANIYA G 0015022
DAMAR ILHAM NURSETA G 0015050
DESTYA PUTRI AMALIA G 0015054
FABIANUS ANUGRAH PRATAMA G 0015072
GHINA HARISA AMALIA G 0015096
HEINRICH GELUK PURBO G 0015106
KARLA MONICA PRAENTA G 0015124
MUHAMMAD AFIF MURAD G 0015162
NADYA LUPITASARI G 0015180
RANI AGMARIDA MANURA G 0015198
TAUFIK RIDWWAN HADI K G 0015202
VIRA KHAIRUNISA NOVI G 0015228

TUTOR :
Ratna Kusumadewi, dr., M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
ADUH, TELINGAKU SAKIT!
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun dibawa ibunya ke praktek dokter umum karena dari
liang telinganya keluar cairan. Hal ini diketahui sejak 1 hari yang lalu.Sebelum timbul keluhan
tersebut, pasien demam dan menangis serta mengeluh telinga kanannya sakit.Pasien juga
mengalami batuk pilek sejak 7 hari yang lalu.Sejak satu tahun terakhir pasien sering batuk pilek
minimal sebulan seali.Riwayat keluar cairan dari telinga sebelumnya disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: kesadaran kompos mentis, tanda vital dalam batas
normal. Pada pemeriksaan telinga dengan otoskopi didapatkan telinga kanan liang telinga
lapang, tampak sekret mukopurulen, dan tampak perforasi membran timpani sentral (pulsating
point(+). Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan sekret seromukous, concha inferior
oedema, hiperemis, septum nasi deviasi(-), palatal phenomena(-/-). Pada pemeriksaan tenggorok
didapatkan tonsil T3-T3, hiperemis, kripta melebar, detritus(+). Pada pemeriksaan kelenjar getah
bening leher tidak didapatkan lymphadenopathy.
Pemeriksaan penunjang dengan rontgen Kepala Lateral Fokus Adenoid, tampak
gambaran soft tissue mass di regio nasofaring, dicurigai hipertrofi adenoid, dengan A/N ratio 0.8
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam scenario
1. Palatal phenomenon: pemeriksaan palatum molle dengan rhinoskopi anterior. Fenomena
palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien mengucapkan iii
dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang
nasofaring berubah menjadi lebih gelap.
2. Detritus: jaringan rusak (leukosit,, sel epitel) yang terlepas dari tempat asalnya. Biasanya
berwarna putih atau kekuningan.
3. Otoskopi: pemeriksaan membran timpani dengan menggunakan alat bantu otoskop.
4. Rhinoskopi anterior: pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan menggunakan
spekulum.
5. Pulsating point: denyutan yang terlihat di membran timpani
6. Tonsil T3-T3: pembesaran tonsil sudah mencapai 3/4 bagian. Berukuran 50-70% dari
nnasofaring.
7. Adenoid: tonsilla pharyngealis yang berfungsi untuk kekbalan tubuh
8. A/N ratio 0,8: ratio antara adenoid dan nasofaring.
<0,52 : tidak terjadi pembesaran
0,52-0,7: membesar sedang
>0,8: membesar hebat

Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan


1. Adakah hubungan batuk pilek dengan telinga yang keluar cairan?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari telinga?
3. Apakah terdapat hubungan antara usia dengan keluhan pasien?
4. Apakah yang menyebabkan pasien sering batuk dan pilek?
5. Bagaimana hubungan antara pembesaran adenoid dengan keluhan pada telinga?
6. Bagaimana proses terjadinya perforasi membrane timpani sentral?
7. Bagaimana intepretasi dari hasil pemeriksaan fisik ( keadaan umum, tanda vital,
rhinoskopi, otoskopi, pemeriksaan tenggorok, dan pemeriksaan getah bening) dan
penunjang (rongent kepala) pasien?
8. Bagaimana tatalaksana dari keluhan pasien?
9. Mengapa tidak ditemukan lymphadenopaty?
10. Apa saja etiologi dan factor resiko dari penyakit pada scenario?
11. Mengapa adenoid pasien bisa membesar?
12. Apa saja diagnosis banding dari keluhan pasien?
13. Apa saja komplikasi dari keluhan pasien?

LangkahIII: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan


sementaramengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)

1. Adakah hubungan batuk pilek dengan telinga yang keluar cairan?


Hubungan pilek dengan keluarnya cairan pada telinga dimulai dari seperti yang
banyak diketahui bahwa pilek / flu banyak disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Virus
atau bakteri yang masuk melalui udara dan dapat masuk ke dalam Porus Auditiva,
dimana Porus tersebut tempat beradanya Tuba Auditiva yang menghubungkan antara
Rongga Hidung dengan Telinga bagian tengah. Dapat kita ketahui bahwa Telinga bagian
tengah bersifat steril akan bakteri ataupun virus yang bersifat patogen. Pada saat virus/
bakteri itu masuk ke dalam Tuba Auditiva, mereka menempel pada silia-silia yang berada
di membrane mukosa Tuba Auditiva, lalu merusak silia-silia tersebut sehingga, silia-silia
tersebut kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan sekret yang berfungsi untuk
mengalirkan patogen untuk dibuang di rongga hidung. Karena silia-silia ini kehilangan
kemampuannya, maka virus/bakteri dapat dengan bebasnya berkembang biak sehingga
dapat sampai di Cavum Timpani. Sekalinya sudah sampai di Cavum Timpani,
bakteri/virus ini dapat dengan leluasa menginvasi daerah sekitarnya. Pada Kasus ini
membrane timpani yang secara karakteristik sangat tipis menjadi sasarannya, sehingga
membrane timpani mengalami inflamasi lalu inflamasi yang berjalan begitu lama
menyebabkan perforasi/lubang pada membrane timpani. Cairan pus yang keluar dari
perforasi membrane timpani ini merupakan hasil inflamasi virus atau bakteri selama
berada di cavum timpani.
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari telinga?
Fisiologi pendengaran :
Energi bunyi ditangkap daun telinga dalam bentuk gelombang > getarkan membran
timpani > melewati tulang pendengaran MIS (maleus, inkus, stapes) > energi
diamplifikasi > diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap jorong sehingga
perilimfe pada skala vestibuli bergerak > getaran diteruskan ke membrana reissner yang
mendorong endolimfe > timbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran
tektoria > terjadi defleksi stereosilia sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel > terjadi depolarisasi rambut > lepaskan
neurotransmiter ke dalam sinaps yang akan timbulkan potensial aksi pada saraf auditorius
> lanjut ke nukleus auditorius > korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.
3. Apakah terdapat hubungan antara usia dengan keluhan pasien?
Dikatakan infeksi berulang pada anak bila infeksi sering dialami oleh seorang
anak. Kondisi ini diakibatkan karena rendahnya kerentanan seseorang terhadap terhadap
terkenanya infeksi. Pada infeksi berulang ini terjadi yang berbeda dengan anak yang
normal dalam hal kekerapan penyakit, berat ringan gejala, jenis penyakit yang timbul dan
komplikasi yang diakibatkan. Kekerapan penyakit adalah frekuensi terjadinya penyakit
dalam periode tertentu. Pada infeksi berulang terjadi bila terjadi infeksi lebih dari 8 kali
dalam setahun atau bila terjadi infeksi 1-2 kali tiap bulan selama 6 bulan berturut-turut.
Penelitian yang telah dilakukan Cleveland Clinic Amerika Serikat, bahwa pada
anak normal usia < 1 tahun rata-rata mengalami infeksi 6 kali pertahun, usia 1-5 tahun
mengalami 7-8 kali pertahun, anak usia 5-12 tahun mengalami 5-7 kali pertahun dan anak
usia 13-16 tahun mengalami 4-5 kali pertahun. Pada infeksi berulang biasanya didapatkan
kerentanan dalam timbulnya gejala klinis suatu penyakit, khususnya demam.Biasanya
penderita lebih beresiko mengalami pnemoni, mastoiditis, spesis, ensefalitis dan
meningitis.Selain itu, factor yang membuat pasien anak dalam scenario mudah terinfeksi
karena dilihat dari posisi anatominya, antara lain :
a) Tuba Eustachius pada anak lebih lurus, horizontal, pendek, dan lebar sehingga ISPA
mudah menyebar
b) Adenoid pada anak relative lebih besar disbanding orang dewasa dan posisinya dekat
dengan muara Tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu
terbukanya saluran Eustachius
4. Apakah yang menyebabkan pasien sering batuk dan pilek?
Batuk dan pilek adalah salah satu tanda adanya infeksi pada anak terutama infeksi
saluran pernafasan atas.Apabila infeksi itu terlalu sering maka dapat dikatakan anak
mengalami infeksi berulang. Terdapat empat penyebab utama dari infeksi berulang pada
anak, diantaranya adalah paparan dengan lingkungan, struktur dan anatomi organ tubuh,
masalah sistem kekebalan tubuh (mekanisme system imun yang berlebihan(alergi) atau
kekurangan) atau penyakit infeksi yang tidak pernah diobati dengan tuntas. Faktor
genetik diduga ikut berperanan dalam gangguan ini.Pada genetik tertentu didapatkan
perbedaan pada kerentanan terhadap infeksi.Anak laki-laki lebih sering mengalami
gangguan ini.Faktor lingkungan seperti kontak dengan sumber infeksi sangat
berpengaruh. Kelompok anak yang mengikuti sekolah prasekolah lebih sering mengalami
infeksi 1,5-3 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah. Perokok pasif
kemungkinan dua kali lipat untuk terkena infeksi.Jumlah anggota keluarga dirumah
meningkatkan terjadinya infeksi.Keluarga dengan jumlah 3 orang hanya didapatkan 4
kali infeksi pertahun sedangkan jumlah keluarga lebih dari 8 didapatkan lebih 8 kali
infeksi pertahun.
5. Bagaimana hubungan antara pembesaran adenoid dengan keluhan pada telinga?
. Belum terjawab di jump 3.
6. Bagaimana proses terjadinya perforasi membrane timpani sentral?
Perforasi timpani dapat terjadi karena :
a. Akibat trauma
Umumnya akan sembuh spontan dalam 6 minggu. Bila terjadi infeksi
dalam proses penyembuhan biasanya disebabkan oleh obat tetes telinga atau
kemasukan air. Penyebabnya umumnya adalah kebiasaan mengorek telinga
(dengan peniti atau jepit rambut), peluru senapan angin, ledakan, tiupan keran di
telinga.Kasus ini dapat disertai dislokasi tulang pendengaran yang biasanya
menyebabkan vertigo dan tuli sensoneural (Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 2005).
b. Akibat otitis media yang sangat akut dan otitis medai kronis.
Hal ini disebabkan karena adanya eksudat purulen di cavum timpani yang
menyebabkan membran timpani bulging ke arah luar. Dan pada kasus lebih lanjut
apabila terlambat dalam pemberian antibiotik, maka akan terjadi ruptut membran
timoani dan nanah akan keluar lewat lubang perforasi membran timpani
(Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 2005).
7. Bagaimana intepretasi dari hasil pemeriksaan fisik ( keadaan umum, tanda vital,
rhinoskopi, otoskopi, pemeriksaan tenggorok, dan pemeriksaan getah bening) dan
penunjang (rongent kepala) pasien?
Belum terjawab di jump 3.
8. Bagaimana tatalaksana dari keluhan pasien?
Belum terjawab di jump 3
9. Mengapa tidak ditemukan lymphadenopaty?
Pada pemeriksaan fisik pasien tidak ditemukan adanya lymphadenopaty ini menunjukkan
pasien terinfeksi secara lokal di bagian telinga dan tonsil , tidak melibatkan sistemik
sehingga tidak ditemukan adanya lymphadenopati.
10. Apa saja etiologi dan factor resiko dari penyakit pada scenario?
Etiologi tersering dari keluarnya cairan dari telinga yaitu karena adanya bakteri
ekstaseluler, dimana bakteri tersebut akan menimbulkan proses peradangan yang
melibatkan sel sel PMN (organisme ekstraseluler). Bakteri tersebut adalah
Pseudomonas sp dan Streptococcus sp
Sedangkan faktor resiko dari penyakit pasien antara lain :
a. Infeksi saluran nafas berulang
b. Adanya paparan bakteri ekstraseluler
c. Usia anak anak
d. Genetik
e. Lingkungan : paparan asap rokok
11. Mengapa adenoid pasien bisa membesar?
Adenoid telah ada sejak lahir. Adenoid atau tonsil faringealis adalah suatu
jaringan limfoid yang berperan dalam pertahanan tubuh dari infeksi. Ketika terjadi
infeksi berulang, adenoid akan mengalami pembesaran.Adenoid akan membesar sampai
anak berusia antara 3 dan 5, dikarenakan pada usia tersebut sistem pertahanan tubuh anak
belum sempurna. Biasanya, adenoid mulai menyusut setelah sekitar usia 7.
Adenoid berada di bagian yang menghubungkan bagian belakang rongga hidung
ke tenggorokan (nasofaring).Adenoid menghasilkan antibodi untuk membantu tubuh
melawan infeksi. Adenoid yang terinfeksi biasanya membesar, namun kembali normal
ukurannya saat infeksi mereda. Namun, dalam beberapa kasus, tetap membesar bahkan
setelah infeksi hilang.Adenoid membesar telah banyak dilaporkan sebagai salah satu
faktor penyebab terjadinya disfungsi tuba.Disfungsi tuba dapat menyebabkan perubahan
tekanan telinga tengah yang berujung pada gangguan telinga tengah. Rasio adenoid-
nasofaring >0,71 dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menentukan gangguan telinga
tengah. (Amar, 2013).
Pada kasus diketahui pasien sering mengalami infeksi yang berulang, ditilik dari
riwayat batuk pilek pasien minimal sebulan sekali dalam satu tahun terakhir.
Kemungkinan itulah yang dapat menyebabkan adenoid pasien membesar
12. Apa saja diagnosis banding dari keluhan pasien?
Belum terjawab di jump 3
13. Apa saja komplikasi dari keluhan pasien?
Belum terjawab di jump 3

Langkah IV : Menginventarisasi Permasalahan Secara Sistematis Dan Pernyataan


Sementara Mengenai Permasalahan Pada Langkah III
Langkah V: Merumuskan Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Anatomi Telinga
2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Fisiologi Telinga
3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Faktor Resiko Keluar Cairan
4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Epidemiologi
5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Etiologi
6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Patofisiologi
7. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Pemeriksaan Fisik
8. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Diagnosis Banding
9. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang
10. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Diagnosis Penyakit Pasien
11. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Komplikasi
12. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tatalaksana
13. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Perbedaan Sekret yang Dihasilkan pada Otitis Externa
dan Otitis Media
14. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Perbedaan Tonsilitis Akut dan Kronis
15. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Perbedaan Otitis Media Akut dan Kronis
16. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Perbedaan 2 Anak yang Berdeda dalam Menerima
Penularan Infeksi
17. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Keberadaan Bakteri dalam Nasopharynx
Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh

Anatomi Telinga
A.

1) Telinga Luar (Auris Externa)


a. Auricula
Berfungsi untuk mengumpulkan gelombang suara untuk disalurkan ke
dalam meatus acusticus externus.Berbentuk tidak teratur, terdiri atas
cartilago dan jaringan fibrosa kecuali bagian lobulus auricularis (cuping
telinga), yang terutama terdiri atas lemak.
b. Meatus Acusticus Externus (MAE)
Berfungsi menghantarkan gelombang suara ke membrana
tympani.Berbentuk tabung melengkung, mulai dari porus acusticus externus
sampai membrane tympani. Pada bagian luar kulit telinga terdapat banyak
banyak glandula ceruminous (modifikasi kelenjar keringat) yang akan
menghasilkan sekret berupa serumen dan rambut. Fungsi dari serumen
adalah untuk mencegah kotoran masuk ke telinga.
c. Membran Tympani
Berupa selapis membrane tipis semitransparan berbentuk
kerucut.Ditutupi kulit pada permukaan eksternalnya dan lapisan membran
mukosa pada permukaan internalnya.Membatasi auris externa dan auris
media.

2) Telinga Tengah (Auris Media)


Fungsinya adalah membawa getaran suara ke fenestra ovale.Terdapat
ruangan berisi udara didalamnya yang disebut dengan cavum tympani.Auris
media dipisah dari auris interna oleh fenestra ovale dan fenestra
rotundum.Fenestra ovale nantinya dilekati oleh basis stapedis, sementara fenestra
rotundum ditutupi oleh membrane tympani secundaria.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.Tulang pendengaran di dalam
telinga tengah saling berhubungan.Prosesus longus maleus (tonjolan panjang
tulang meleus) melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea.Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian.Ketiga tulang ini berfungsi untuk menghantarkan vibrasi dari
membrana tympani menuju foramen ovale, yang memisahkan auris media dan
auris interna.
Tuba auditiva eustachii menghubungkan cavum tympani dengan
nasopharynx, berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan udara.Biasanya
menutup, dapat membuka pada saat menelan,menguap dan mengunyah. Saluran
ini dapat memungkinkan masuknya mikrooragnisme dari nasopharynx ke cavum
tympani sehingga menyebabkan peradangan otitis media
3) Telinga Dalam (Auris Interna)
Terdapat di dalam os temporalis, di sebelah medial auris media, berisi
cairan. Terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Labyrinthus osseus
Berupa ruangan yang berkelok-kelok yang berisi cairan perilimfe
(mirip LCS).Terdiri dari tiga bagian :
- Vestibulum
Bagian tengah labyrinthus osseus yang menghubungkan canalis
semicircularis dengan cochlea.Dinding lateral vestibulum terdapat fenestra
ovale dan fenestra rotundum yang berhubungan dengan auris media.
- Canalis semicircularis
Berupa rongga tulang, berproyeksi dari bagian posterior vestibulum.
Canalis semicircularis anterior dan posterior terletak pada bidang vertikal,
tegak lurus satu sama lain. Sedangkan canalis semicircularis lateralis
terletak horizontal dan tegak lurus terhadap kedua lainnya.Reseptor di
canalis semicircularis ini distimulasi karena rotasi kepala.Kombinasi
vestibulum dan canalis semicircularis ini disebut kompleks vestibular.
- Cochlea
Terdapat 3 ruang yaitu skala vestibuli,skala media dan skala
timpani.Dasar skala vestibuli disebut membran vestibuli (membran
Reissner).Sedangkan dasar skala media adalah membran basalis, pada
membran ini terletak organ corti.Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibuli.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang
membentuk organ corti.Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa.Ion dan garam yang terdapat di
perilimfa berbeda dengan endolimfa.Hal ini penting sebagai reseptor
pendengaran.
b. Labyrinthus membranaceus
Berupa tabung berongga dan kantong yang terdapat di dalam
labyrinthus osseus .Berisi cairan endolimfe (mirip cairan interselular).Di
daerah vestibulum terdiri dari dua kantong yaitu utriculus dan
sacculus.Ductus semicircularis terisi cairan endolimfe terdapat di dalam
canalis semicircularis yang terisi cairan perilimfe.
Tiap ductus semicircularis, utriculus dan sacculus mengandung
reseptorequilibrium statis(berhubungan dengan gravitasi) dan equilibrium
dinamis (berhubungan dengan gerakan kepala).

Fisiologi Telinga
Masing-masing telinga terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga
tengah, dan telinga dalam.Bagian luar dan tengah menyalurkan gelombang suara ke
telinga dalam.Telinga dalam memiliki dua macam sensorik, yaitu koklea, yang
mengandung reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf
sehingga kita dapat mendengar, dan apparatus vestibularis, yang penting bagi sensasi
keseimbangan.
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan saluran telinga luar.Daun telinga
berfungsi menangkap dan megumpulkan gelonbang suara dan menyalurkannya ke
saluran telinga luar.Pintu masuk saluran telinga dijaga oleh rambut-rambut halus yang
berfungsi mencegah partikel asing masuk ke dalam telinga. Kulit yang melapisi
saluran mengandung kelenjar keringat modifikasi yang menghasilkan serumen , suatu
sekret yang merupakan salah satu mekanisme pertahanan terhadap benda asing.
Membran timpani terletak di perbatasan antara telinga tengah dan telinga
luar.Bagian luar mebran timpani terpajan oleh tekanan atmosfer dari luar, sedangkan
bagian dsalamny aterpapar oleh tekanan penyeimbang dari tuba eustachius, yang
meghubungkan telinga tengah dengan nasopharynx.Tuba eustachius dalam keadaan
normal tertutup, tetapi membuka oleh menguap, menelan, dan mengunyah.Tulang
telinga terdiri dari malleus, incus, dan stapes. Sistem osikulus ini memperkuat tekanan
yang ditimbulkan oleh gelobang suara di udara melalui dua keistimewaan . Pertama,
luas permukaan jendela oval lebih kecil daripada luas permukaan membran timpani,
sehingga tekanan yang disalurkan ke jendela oval akan lebih besar. Kedua, sistem
osikulus ini merupakan sistem pengungkit yang akan mengamplifikasi gaya yang
berkerja pada jendela oval sebesar 20 kali.
Koklea merupakan bagian dari telinga dalam yanng mengandung organ
indera pendengaran, yaitu organ Corti.Organ Corti terletak di atas mebran basilaris,
mengadung sel rambut, yang merupakan reseptor suara.Sel rambut menghasilkan
sinyal saraf jika terjadi perubahan gerakan mekanis dari rambut permukaaannya
akibat gerakan cairan limfe di telinga dalam.Peran sel rambut dalam dan luar berbeda.
Sel rambut dalam adalah sel ynang mengubah gaya mekanis suara menjadi impuls
listrik pendengaran. Sementara sel rambut luar adalah mengirim sinyal auditorik ke
otak melalui sel saraf aferen.Diskriminasi nada bergantung oada bagian membran
basilaris yang bergetar.Diskriminasi kekuatan suara bergantung pada amplitudo
getaran.
Untuk keseimbangan dan posisi, di dalam kanalis semisirkularis terdapat sel-sel
rambut reseptif yang terbenam di dalam lapisan gelatinosa di atasnya, kupula, yang
menonjol ke dalam endolimfe di dalam ampula.Rambut-rambut di sel rambut
vestibularis terdiri dari kinosilium bersama 20-50 stereosilia.Stereosilia berhubungan
di ujung-ujungnya oleh tautan ujung, yaitu jembatan molecular halus antara
stereosilia-stereosilia yang berdekatan. Jika tautan ini tegang, maka saluran ion
berpintu mekanis di sel rambut akan tertarik yang menyebabkan terjadinya
depolarisasi atau hiperpolarisasi bergantung pada apakah saluran ion terbuka atau
tertutup. Pada saat depolarisasi neurotransmitter dilepaskan, menyebabkan
peningkatan frekuensi lepas muatan serat aferen; sebaliknya, hiperpolarisasi
mengurangi pelepasan neurotransmitter dari sel rambut, pada gilirannya mengurangi
frekuensi potensial aksi di saraf aferen.
Organ otolit pada telinga juga membantu memberikan informasi tentang
posisi kepala relative terhadap gravitasi dan perubahan kecepatan gerakan
lurus.Organ otolit berupa utrikulus dan sakulus.Pada utrikulus terdapat otolit atau batu
keseimbangan di lapisan gelatinosa yang terletak di atas rambut. Pada posisi tegak
rambut utrikulus akan vertical dan rambut sakulus akan horizontal. Sakulus berfungsi
untuk memberikan informasi pada gerakan miring menjauhi posisi horizontal,
misalnya bangun tidur, dan linier vertical, misalnya loncat naik turun dan naik tangga
berjalan. Fungsi organ otolit ini adalah:
1. Mempertahankan keseimbangan dan postur yang diinginkan
2. Mengontrol otot mata eksternal sehingga terfiksasi ke satu titik meskipun
kepala bergerak
3. Mempersepsikan gerakan dan orientasi.
Adanya ketidakseimbangan cairan di dalam telinga khususnya di kanalis
semisirkuklaris atau sering disebut Meniere bisa menyebabkan vertigo, tinnitus,
dan tidak dapat berdiri tegak (Sherwood, 2011)

Faktor resiko keluar cairan pada otitis media


Faktor resiko keluar cairan dari telinga (otitis media) :
a. Infeksi saluran nafas yang berulang
b. Infeksi tonsil dan adenoid
c. Riwayat sinusitis dan rhinitis kronis
d. Alergi (rhinitis allergica)
e. Ca Nasofaring
f. Cleft palate (bibir sumbing)

Epidemiologi anak terkena ISPA

Penelitian yang telah dilakukan Cleveland Clinic Amerika Serikat, bahwa pada
anak normal usia < 1 tahun rata-rata mengalami infeksi 6 kali pertahun, usia 1-5 tahun
mengalami 7-8 kali pertahun, anak usia 5-12 tahun mengalami 5-7 kali pertahun dan anak
usia 13-16 tahun mengalami 4-5 kali pertahun. Pada infeksi berulang biasanya didapatkan
kerentanan dalam timbulnya gejala klinis suatu penyakit, khususnya demam.Biasanya
penderita lebih beresiko mengalami pnemoni, mastoiditis, spesis, ensefalitis dan
meningitis.

Etiologi infeksi pada telinga


Infeksi dapat terjadi pada telinga melalui beberapa jalur yaitu
a. Tuba auditiva ( eustachius)
Jalur ini merupakan jalur paling sering menjadi penyebab infeksi pada telinga, terutama
telinga bagian tengah.Patogen penyebab infeksi berjalan melalui lumen tuba dan jaringan
limfatik di sekitarnya. Infeksi melalui tuba auditiva juga lebih sering pada bayi dan anak-
anak, karena pada bayi/anak tuba auditiva lebih pendek lebar, dan posisinya lebih
horizontal
b. Melalui liang telinga (dari luar)
Patogen dari luar dapat masuk menginfeksi telinga melalui liang telinga. Adanya trauma
yang menyebabkan perforasi membran timpani dapat membuka jalur infeksi dari telinga
bagian luar ke telinga bagian tengah
c. Melalui darah
Patogen penyebab infeksi juga dapat masuk ke dalam telinga melalui peredaran darah,
namun hal ini cukup jarang

Patofisiologi keluarnya cairan dari telinga


Anak mengeluh keluar cairan dari liang telinganya sejak satu hari yang lalu. Pada
kasus yang sangat akut, nanah keluar lewat lubang perforasi membran timpani pada
pasien dengan penyakit otitis media.Sedangkan riwayat keluar cairan dari telinga
sebelumnya disangkal, sehingga otitis media kronis tidak tepat untuk dijadikan diagnosis
karena pada kasus yang kronis telinga bernanah terus menerus atau berkambuh.
Temuan lainnya yaitu adanya infeksi saluran napas (berupa batuk dan pilek berulang),
demam, dan telinga kanannya sakit. Otitis media akut sendiri merupakan akibat sekunder
dari infeksi saluran napas yang ditandai dengan nyeri telinga disertai demam dan
penderita nampak kesakitan.
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya
sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri
dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam
telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel -sel di telinga tengah terkumpul di belakang
gendang telinga(Mansjoer A,2001). Jika lendir dan nanah bertambah banyak,
pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang tulang kecil penghubung
gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak
bebas.Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus).Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran
hingga 45db (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan
yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang
telinga karena tekanan
Interpretasi Pemeriksaan Fisik
Interpretasi pemeriksaan vital :
a. Compose mentis, menunjukkan tidak adanya komplikasi seperti meningitis yang
mempengaruhi kesadaran
b. Mukopurulen: adanya infeksi yang membuat adanya secret pus atau nanah dan
secret yang keluar ini menunjukkan adanya perforasi pada membrana tymphani.
c. Pulsating point: menunjukkan adanya infeksi pada telinga bagian tengah, dimana
pulsating point juga menandakan terjadinya infeksi yang masih berlangsung.
Interpretasi pemeriksaan rhinoskopi :
a. Sekret seromukous : dimungkinkan adanya bakteri atau alergen yangmemicu
pengeluaran mukosa. Sekret bersifat seromukous kare berasaldari epitel silindris
kompleks dengan atau tanpa sel goblet.
b. Konka inferior edema : konka inferior merupakan bagian terbesar dicavum nasi,
sehingga apda pemeriksaan rhinoskopi, konka inferioradalah bagian yang paling
terlihat. Adanya edema pada konka inferiormenunjukkan adanya mukosa yang
menumpuk dalam jumlah banyaksehingga menjadikan bagian ini mengalami
hpertrofi. Hipertrofi inidisebabkan oleh adanya alergen yang memicu pengeluaran
mukosadalam jumlah banyak sebagai reaksi pertahanan tubuh.
c. Hiperemis : terjadi karena adanya pelebaran pembuluh dara(vasodilatasi).
d. Septum nasi deviasi (-) : terjadinya deviasi pada septum nasi adalahkarena
terjadinya hipotrofi pada salah satu sisi deviasi, sedangkan sisiyang lain akan
mengkompensasi dengan mengalami hipertrofi. Hal initerjadi akibat dipicu oleh
adanya alergen. Tidak adanya deviasimenunjukkan septum nasi masih dalam
posisi lurus, tidak bengkok kesalah satu sisi.
Interpretasi pemeriksaan tenggorok :
a. Tonsil T3 T3 :Terjadi pembesaran tonsil yang besarnya jarak arcus anterior
dan uvula.Pembesaran tonsil dapat terjadi oleh karena jaringan tonsil dan
adenoidmemiliki peranan penting sebagai organ yang khusus dalam
responhumoral maupun seluler, seperti pada bagian epitelium, kripte,
folikellimfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi
jaringantonsil ini merupakan respon terhadap kolonisasi flora normal
danmikroorganisme patogen.
b. Hiperemis :Terjadi karena adanya pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi).
c. Kripta melebar: Adanya kolonisasi flora normal dan atau mikroorganisme
patogen memicupembesaran folikel limfoid pada jaringan tonsil sehingga kripta
tonsilarispun terlihat melebar.
d. Detritus (+)
Menunjukkan adanya sisa-sisa makanan atau bakteri yang masuk ke kripteyang
melebar karena proses inflamasi sehingga terjadi pendesakan,kemudian terdorong
keluar.
Diagnosis banding dari keluhan pasien
A. Otitis Media
o Gejala Otitis Media
- Neonatus: Ketidakmampuan atau kesulitan makan mungkin merupakan satu-satunya
indikasi adanya fokus septic
- Anak yang lebih tua: Kelompok usia ini mulai menunjukkan adanya demam dan otalgia
yang konsisten, atau penarikan telinga
- Anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua: Gangguan pendengaran menjadi ciri
konstan AOM dan otitis media dengan efusi (OME); Kekakuan telinga tercatat sebelum
pendeteksian cairan telinga tengah.
o Pemeriksaan Fisik
Otocopy Pneumatik adalah standar perawatan dalam diagnosis media otitis akut
dan kronis. Pada AOM, membran timpani biasanya menunjukkan tanda-tanda
peradangan, dimulai dengan kemerahan mukosa dan berlanjut ke pembentukan efusi
telinga tengah purulen dan mobilitas timpani yang kurang. Membran timpani dapat
menonjol di kuadran posterior, dan lapisan epitel superfisial mungkin menunjukkan
warna merah.
B. Otitis Externa
o Gejala Otitis Eksterna
Onset Inflamasi dari Liang Telinga yang cepat, Nyeri Telinga, Gatal, Liang
Telinga Edema, Liang Telinga Erythema, Otorrhea, tenderness with movement of the
tragus
o Penegakkan Diagnosis Otitis Eksterna
Onset dari simptom dalam 48 jam dalam 3 minggu belakang dan simptom dari
inflamasi liang telinga seperti nyeri telinga, gatal dengan atau tanpa kemampuan
mendengar menghilang atau nyeri rahang dan tanda-tanda inflamasi liang telinga seperti
tenderness of tragus/pinna atau ear canal edema/erythema, dengan atau tanpa otorrhea,
tympanic membrane erythema.
o Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik utama Otitis Externa adalah nyeri pada palpasi tragus (anterior
kanal telinga) atau penerapan traksi pada pinna (ciri khas Otitis Eksterna).Pemeriksaan
menunjukkan eritema, edema, dan penyempitan saluran pendengaran eksternal (EAC),
dan dikeluarkannya cairan purulen atau serosa.Gangguan pendengaran konduktif bisa jadi
nyata.Selulitis pada wajah atau leher atau limfadenopati leher ipsilateral terjadi pada
beberapa pasien.
C. Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring /
Gerlachs tonsil).Penyebaran infeksi melalui udara (air bornedroplets), tangan dan
ciuman.Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
Tonsilitis dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa,
dan tonsillitis kronis.
Tonsilitis akut
Dapat dibedakan menjadi tonsillitis viral dan tonsillitis bacterial.
o Tonsilitis Viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok.Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.Hemofilus
influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil
pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi berupa istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan
jika gejala berat.
o Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan
tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas.Secara klinis detritus ini
mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi
tonsil
Masa inkubasinya 2-4 hari.Gejala dan tanda yang sering ditemukan ialah
nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi,
rasa lesu, rasa nyeri di telinga (otalgia).Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih
(referred pain) melalui saraf N. Glossofaringeus (N. IX).Pada pemeriksaan
tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lacuna, atau tertutup oleh membran semu.Kelenjar submandibula membengkak
dan nyeri tekan.
Terapi berupa antibiotika spectrum lebar penisilin, eritromisin.Antipiretik
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Komplikasi pada anak sering berupa otitis media akut, sinusitis, abses
peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis akut,
miokarditis, arthritis serta septicemia akibat infeksi v. Jugularis interna (sindrom
Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui
mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).
Tonsilitis membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa ialah:
o Tonsilitis difteri
Penyebabnya ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk
gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini
tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03
satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang
dipakai pada tes Schick. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari
10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun, walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu, gejala umum, gejala lokal dan
gejala akibat eksotoksin.
i. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subferis, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan
nyeri menelan
ii. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan
dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikan
besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeesters hals.
iii. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf cranial menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan membran semu dan
didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.
Terapi dapat diberikan Anti Difteri Serum (ADS) segera tanpa menunggu hasil
kultur, dengan dosis 20.000 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Antibiotika penisilin atau eritromisin 25 50 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis selama 14
hari. Kortikosteroid 1,2 mg/kg BB per hari. Antipiretik untuk simtomatis.Karena penyakit
ini menular, pasien harus diisolasi.Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2 3
minggu.
Komplikasi dapat berupa laryngitis difteri, miokarditis yang dapat mengakibatkan
payah jantung atau dekompensasio cordis, kelumpuhan otot palatum mole, otot mata
untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, dan albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
o Tonsillitis septic (septic sore throat)
Penyebab dari tonsillitis septic ialah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak
dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.
o Angina Plaut Vincent
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan
pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
Gejala berupa demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang
terdapat gangguan pencernaan.Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah
berdarah.Pada pemeriksaan didapatkan mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak
membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
Terapi yang diberikan adalah antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu,
memperbaiki hygiene mulut, dan vitamin C dan B kompleks.

o Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia


maligna serta infeksi mono-nukleosis
Pada leukemia akut, gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di
mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.Tonsil
membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang
hebat di tenggorok.
Angina agranulositosis disebabkan oleh keracunan obat dari golongan amidopirin,
sulfa dan arsen.Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta
disekitar ulkus tampak gejala radang.Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan
saluran cerna.
Pada infeksi mononucleosis terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa
bilateral.Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul
perdarahan.Terdapat pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan regio
inguinal.Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah
besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi
terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel)
o Proses spesifik lues dan tuberculosis
o Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis
o Infeksi virus morbili, pertusis, dan skarlatina
Tonsilitis kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisi dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang kuman berubah menjadi
kuman golongan Gram negatif.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinis, kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus.Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.Terapi lokal dapat
diberikan, ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuatum.Komplikasi
jauh terjadi secara hematogen, atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis,
miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan
furunkulosis.Tonsilektomi dapat dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma. Menurut The American Academy
of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun
1995 menetapkan indiasi tonsilektomi sebagai berikut:
i. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat
ii. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
iii. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas,sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor
pulmonale
iv. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan
v. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
vi. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus
hemoliticus
vii. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
D. Rhinitis Alergi
Pada tahun 1998 Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and
Immunology mendefinisikan rinitis sebagai peradangan pada membran yang melapisi
hidung, dengan ciri adanya sumbatan hidung, rinore, bersin, gatal pada hidung dan/atau
postnasal drainage. Klasifikasi rhinitis di klasifikasikan menjadi, yaitu :
1. Rhinitis Alergika
Rinitis alergi secara klinis merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E yang
spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung.
2. Rhinitis Vasomotor
3. Rhinitis Infeksi
Pembahasan :
1. Rhinitis Alergika
a. Epidemiologi Klasifikasi
1.) Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan terdapatnya gejala:
a.) Intermitten, bila gejala terdapat:
- Kurang dari 4 hari per minggu
- Atau bila kurang dari 4 minggu
b.) Persisten, bila gejala terdapat:
- Lebih dari 4 hari per minggu
- Dan bila lebih dari 4 minggu
2.) Berdasarkan beratnya gejala:
a. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut:
- Gangguan tidur
- Gangguan aktivitas harian
- Gangguan pekerjaan atau sekolah
3.) Sedang-berat, bila didapatkan salah satu atau lebih gejala-gejala tersebut
diatas.
b. Diagnosis
1.) Anamnesis
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya
rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi
lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau
hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata
gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau
hilangnya ketajaman penciuman) dan batuk kronik. Ditanyakan juga apakah
ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada pagi hari sampai siang hari
dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan dan pengaruh terhadap
kualitas hidup perlu ditanyakan. Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau
bersamaan dengan rinitis, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya
gejala, riwayat pengobatan dan hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh
terlupakan.
2.) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema dari
konka media atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat dan
edema. Perhatikan juga keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi
dan kemungkinan adanya polip nasi
3.) Pemeriksaan penunjang
a. Uji kulit cukit (Skin Prick Test).
Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi.
Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-
anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil
pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal
Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia.
b. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan
75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi.
Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun
pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan
penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.
c. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis
rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi
dengan gejala klinis yang positif.
d. Pemeriksaan sitologis atau histologis
Bila diperlukan untuk menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat
perubahan morfologik dari mukosa hidung.
e. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
f. Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis
alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu
negatif.
g. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi. Dilakukan bila ada indikasi
keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis,
menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi.

Intepretasi pemeriksaan penunjang


Interpretasi pemeriksaan rontgen kepala lateral :
a. Gambaran soft tissue : merupakan suatu gambaran adanya penambahanjaringan,
biasanya ditemukan pada Ca nasofaring.
b. Hipertrofi adenoid : adanya pembesaran pada jaringan limfoid padadinding posterior
nasofaring. Keadaan ini terjadi akibat ISPA, dimanapembesaran adenoid cenderung
sebagai respon multi antgen seperti virus,bakteri, makanan dan iritasi lingkungan
(pada masa anak-anak). Infeksikronik atau pembesaran adenoid cenderung akibat
peningkatan proporsiepitel skuamus berlapis, yang mana pada kondisi normal secara
histologist adenoid terdiri dari tiga epitel, yakni epitel kolumner kompleks
dengansilia, epitel skuamus kompleks, dan epitel transisional.

Diagnosis Penyakit Pasien


. Kemungkinan penyakit yang diderita pasien adalah : Otitis Media Akut
1. Dari hasil anamnesis :
Anak mengeluh keluar cairan dari liang telinganya sejak satu hari yang lalu. Pada
kasus yang sangat akut, nanah keluar lewat lubang perforasi membran timpani pada
pasien dengan penyakit otitis media.Sedangkan riwayat keluar cairan dari telinga
sebelumnya disangkal, sehingga otitis media kronis tidak tepat untuk dijadikan
diagnosis karena pada kasus yang kronis telinga bernanah terus menerus atau
berkambuh. Temuan lainnya yaitu adanya infeksi saluran napas (berupa batuk dan
pilek berulang), demam, dan telinga kanannya sakit. Otitis media akut sendiri
merupakan akibat sekunder dari infeksi saluran napas yang ditandai dengan nyeri
telinga disertai demam dan penderita nampak kesakitan (Sjamsuhidayat, Wim De
Jong, 2005).
2. Dari hasil pemeriksaan fisik :
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA (Otitis Media Akut) harus
memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
a. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
- Pada skenario, Anak mengeluh keluar cairan dari liang telinganya sejak
satu hari yang lalu dan riwayat keluar cairan dari telinga sebelumnya
disangkal.
b. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga
tengah.Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan
pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani,
dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
- Pada skenario, tampak adanya sekret mukopurulen, tampak perforasi
membran timpani sentral, dan ada cairan yang keluar dari liang telinga.
c. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada
membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
- Pada seknario, pasien mengalami demam, dimana hal ini merupakan tanda
atau gejala perangan. Selain itu, pasien mengeluh telinga kanannya sakit.

Komplikasi dari diagnostic pasien ( Otitis Media Akut )


Paparella dan Shumrick (1980) membagi komplikasi OMA dalam :
A. Komplikasi otologik
Mastoiditis koalesen
Petrositis
Paresis fasialis
Labirinitis
B. Komplikasi Intrakranial
Abses ekstradural
Trombosis sinus lateralis
Abses subdural
Meningitis
Abses otak
Hidrosefalus otitis
a. Meningitis.
Infeksi otak yang menyebabkan peradangan di dalam meningen (selaput
otak).Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan peningkatan suhu tubuh, gelisah,
penurunan kesadaran disertai adanya tanda rangsang meningeal (kaku kuduk).Hal ini
akibat invasi kuman melalui sawar darah otak dan susunan saraf pusat menyebabkan
inflamasi di lapisan meningen, subarakhnoid hingga otak.Kuman menyebarkan toksinnya
masuk ke dalam cairan serebrospinal.
b. Mastoiditis.
Mastoiditis adalah infeksi bakteri pada tulang mastoid.Tanpa pengobatan yang
adekuat, dapat menyebabkan meningitis dan abses otak.Biasanya didahului oleh OMA
yang tidak mendapatkan pengobatan adekuat.Mastoiditis akut ditegakkan melalui adanya
demam tinggi dan pembengkakan di mastoid.
c. Abses otak (Abses Serebri Otogenik).
Biasanya terjadi setelah peradangan pada telinga tengah atau mastoid, dimana
dura mudah rusak karena infeksi. Dapat melalui berbagai jalur penyebaran baik secara
langsung malalui berbagai jalur seperti tegmen timpani yang akan membentuk abses
dilobus temporal, melalui sinus sigmoid menuju fosa kranialis posterior membentuk
abses serebelar dan bisa melalui labirin ke sakus endolimfatikus membentuk abses
serebelar. Abses juga dapat menyebar secara tak langsung melalui vena-vena (vena
diploic menyebabkan tromboangitis dari vena-vena serebral) atau melalui meatus
akustikus interna akibat labirintitis. Gejala klinis dini yang patut dicurigai ASO antara
lain adanya riwayat OMKS disertai demam, nyeri kepala, mual dan muntah.
Kesulitan dalam memahami kata-kata (kelainan bicara umumnya sensoris dan tak pernah
motorik),gangguan pendengaran sentralyang umumnya dapat identifikasi,halusinasi
akustik, gangguan penciuman, gangguan penglihatan seperti hemianopsia,
neuropati saraf-saraf kranial mulai dari N.III s/d N.VII, lesi silang pada traktus
piramidalis.Gejala-gejala serebritisyang dapat ditemukan antara lain gangguan
okulomotor, sistem postural, adanya nistagmus spontan pada sisi lesi.
d. Labirinitis
Labirinitis adalah infeksi pada telinga dalam (labirin).Labirinitis dapat disebabkan
oleh bakteri atau virus. Labirinitis bakteri (supuratif) mungkin terjadi sebagai perluasan
infeksi dari rongga telinga tengah melalui fistula tulang labirin oleh kolesteatom atau
melalui foramen rotundum dan foramen ovale tapi dapat juga timbul sebagai perluasan
infeksi dari meningitis bakteri melalui cairan yang menghubungkan ruang subaraknoid
denganruang perilimfe di koklea, melalui akuaduktus koklearis atau melalui daerah
kribrosa pada dasar modiolus koklea. Penderita otitis media kronik yang kemudian tiba-
tiba vertigo, muntah dan hilangnya pendengaran harus waspada terhadap timbulnya
labirinitis supuratif.Gambaran klinik dengan adanya gangguan vestibular dan kurangnya
pendengaran.Gangguan fungsi pendengaran pada labirinitis adalah suatu sensorineural
hearing loss, didapati juga pada abses serebellum, miringitis bulosa dan miringitis
hemoragika.

Tatalaksana dari Otitis Media Akut


Berikan pengobatan rawat jalan kepada anak:
1) Berhubung penyebab tersering adalah Streptococus pneumonia, Hemophilus
influenzae dan Moraxella catharrhalis, diberikan Amoksisilin (15 mg/kgBB/kali 3
kali sehari) atau Kotrimoksazol oral (24 mg/kgBB/kali dua kali sehari) selama 710
hari.
2) Jika ada nanah mengalir dari dalam telinga, tunjukkan pada ibu cara mengeringkannya
dengan wicking (membuat sumbu dari kain atau tisyu kering yang dipluntir lancip).
Nasihati ibu untuk membersihkan telinga 3 kali sehari hingga tidak ada lagi nanah
yang keluar.
3) Nasihati ibu untuk tidak memasukkan apa pun ke dalam telinga anak, kecuali jika
terjadi penggumpalan cairan di liang telinga, yang dapat dilunakkan dengan
meneteskan larutan garam normal. Larang anak untuk berenang atau memasukkan air
ke dalam telinga.
4) Jika anak mengalami nyeri telinga atau demam tinggi ( 38,5C) yang menyebabkan
anak gelisah, berikan parasetamol.
5) Antihistamin tidak diperlukan untuk pengobatan OMA, kecuali jika terdapat juga
rinosinusitis alergi.

Tindak lanjut : Minta ibu untuk kunjungan ulang setelah 5 hari

1) Jika keadaan anak memburuk yaitu MT menonjol keluar karena tekanan pus,
mastoiditis akut, sebaiknya anak dirujuk ke spesialis THT.
2) Jika masih terdapat nyeri telinga atau nanah, lanjutkan pengobatan dengan antibiotik
yang sama sampai seluruhnya 10 hari dan teruskan membersihkan telinga anak.
Kunjungan ulang setelah 5 hari.
OMA sembuh bila tidak ada lagi cairan di kavum timpani dan fungsi tuba
Eustakius sudah normal (cek dengan timpanometer). Kesembuhan yang tidak sempurna,
dapat menyebabkan berulangnya penyakit atau meninggalkan otitis media efusi kronis
dengan ketulian ringan sampai berat.

Perbedaan sekret yang dihasilkan pada otitis externa dan otitis media
1. Otitis Media
Tuba Auditiva atau tuba Eustachian adalah saluran yang menghubungkan
antara nasofaring denga auris media, yang berfungsi untuk mempertahankan agar
tekanan didalam auris media tetap sama dengan tekanan yang berada diluar. Tuba
auditiva juga berfunsi untung menghalau pathogen yang akan masuk ke auris
media, sehingga auris media tetap steril.
Secara garis beras penyebab terjadinya Otitis Media yaitu karena adanya
gangguan pada tuba auditiva.Gangguan pada tuba auditiva bisa disebabkan oleh
beberapa hal, seperti perubahan tekanan udara yang tiba-tiba, alergi, infeksi
ataupun adanya suatu sumbatan.Hal tersebut dapat menyebabkan tertutupnya
OPTE, sehingga menyebabkan tekanan yang ada dalam auris media lebih
negative.Hal ini menyebabkan terjadfinya transudasi plasma dr pembeluh darah
ke cavum timpani.Pada keadaan inilah yang disebut dengan Otitis Media Serosa /
Otitis Media Non Supuratif, karena sekret yang dihasilkan bersifat encer dan
serosa.
Gangguan pada OPTE dapat juga mengakibatkan gangguan pencegahan
invasi pathogen oleh tuba auditiva.Hal itu dapat menyebabkan pathogen (bakteri)
dapat masuk ke dalam auris media.Karena itu muncul reaksi imun tubuh untuk
menghalau pathogen tersebut sehingga timbul inflamasi dan terbentuklah eksudat
yang purulent. Pada keadaan inilah disebut Otitis Media supuratif karena sekret
yang dihasilkan purulent

2. Otitis Eksterna
Yang dimaksud otitis eksterna ialah radang telinga akut maupun kronis
yang disebabkan infeksi bakteri, jamur dan virus. Factor yang mempermudah
radang pada telinga luar adalah perubahan pH liang telinga, yang harusnya normal
atau asam menjadi basa. Hal ini yang mempermudah invasi dari pathogen ke auris
eksterna.
Otomikosis adalah otitis eksterna yang disebabkan oleh
jamur.Dipengaruhi oleh tingkat kelembaban yang tinggi.Jamur yang tersering
ditemukan adalah pityrosporum. Pityrosporum menyebabkan terbentukanya sisik
yang menyerupai ketombe
Pada infeksi telinga luar pada sekret juga sering didapatkan epidermis
karena pada liang telinga sepertiga telinga luar masih tertutupi oleh epidermis
kulit, sehingga bila terjadi infeksi bias dimungkinkan terjadi pengelupasan
epidermis kulit.
Perbedaan Otitis Media Akut dan Otitis Media Kronis
1. Dari etiologinya :
a. Otitis media akut
Dimulai oleh adanya infeksi virus yang merusak mukosa siliar pada saluran nafas
atas sehingga bakteri patogen masuk dari nasofaring ke telinga tengah melalui
tuba Eustachius dengan gerakan mundur (retrograde movement). Bakteri-bakteri
ini memperoleh respon inflamasi yang kuat dari mukosa telinga tengah sama
seperti infiltrasi leukosit (Chole dan Nasun, 2009).
b. Otitis media kronis
Hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang di mulai
setelah dewasa (Chole dan Nasun, 2009). Selain itu juga bisa disebabkan oleh
perforasi ttraumatik membran timpani, gangguan faal tuba eustachius,
kolesteatoma (Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 2005).
2. Dari sekretnya :
a. Otitis media akut
Terbentuk eksudat yang purulen di cavum timpani (Djaafar, Z.A., 2007).
b. Otitis media kronis
Sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul, sekret berupa serous,
mukoid atau purulen lebih dari 8 minggu (Bluestone, Klein, 2007).
3. Kondisi umum :
a. Otitis media akut
Adanya nyeri telingan, namun belum tentu ada gangguan pendengaran
(Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 2005).
b. Otitis media kronis
Pendengaran umumnya terganggu (Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 2005).

Perbedaan tonsillitis akut dan kronis


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
Mikrobiologi : Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogendan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil.
Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian
pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotikayang inadekuat (Hammoudaet
al,2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita. Tonsilitis Kronis
yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang
dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akuratterhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga
valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus
diukuti Staflokokusaureus.
Histopatologi : Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di
Turkey terhadap 480spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga
kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya
Ugras abses dan infitrasi limfosit yang difus.Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelasmenegakkan diagnosa
Tonsilitis Kronik.
Sedangkan tonsilitis akut :
o Tes Laboratorium : Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah
bakteri yang ada dalamtubuh pasien merupkan akteri gru A, karena grup ini
disertai dengan demam renmatik,glomerulnefritis, dan demam jengkering.
o Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
Perbedaan 2 orang anak dalam merespon penularan infeksi dari teman sekolahnya
Setiap anak memiliki riwayat reaksi alergi yang berbeda beda. Apabila anak yg
terkena alergi sudah tersensititasi, ia akan lebih cepat & mudah bagi alergen (bahan yg
ditularkan temannya) untuk mempengaruhi kondisi kesehatan anak tersebut sehingga
anak mudah terpapar allergen. Ditambah lagi, ada factor factor lain seperti asap rokok,
kelembapan udara, dan lain lain yang bisa memperparah gejala dari alergen tersebut
mudah untuk masuk ke dalam tubuh seorang anak. Namun apabila lingkungan anak
tersebut tidak sehat, allergen bisa lebih parah dalam menyerang tubuh. Sehingga apabila
anak X berada pada lingkungan rumah yang sehat, kemungkinan ia mendapat penularan
infeksi dari temannya kecil. Faktor factor itulah yang menyebabkan antara anak satu
dengan yang lain tidak sama dalam merespon penularan infeksi dari teman sekelasnya.

Keberadaan bakteri dalam faring


Nasopharying dalam keadaan normal ada bakterinya. Bakteri tersebut tidak bisa
masuk dan menginfeksi telinga tengah dikarenakan di dalam tuba auditiva terdapat sistem
pertahanan yg terdisi dari silia, enzim, dan antibody sehingga dapat menghalangi bakteri
tersebut untuk masuk kedalam telinga tengah. Namun apabila jumlah bakteri yang dari
luar sudah banyak dan terus menginfeksi maka pertahanan yang ada dalam telinga tidak
mampu mencegahnya sehingga bakteri yang ada di dalam nasopharing bisa menembus ke
telinga tengah.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Pasien mengeluh telinga kanan keluar cairan kental dan tidak berbau busuk sejak 3 hari
yang lalu disebabkan pecahnya gendang telinga karena tekanan dalam rongga telinga tengah
akibat proses infeksi yang biasanya disebabkan infeksi saluran pernafasan atas yang berulang.
Setelah gendang telinga pecah, cairan mengalir keluar ke lubang telinga.Adanya demam
menandakan adanya infeksi, sementara telinga sakit disebabkan cairan yang mendesak
membrana timpani. Akhirnya terjadi perforasi yang menyebabkan keluarnya cairan dari liang
telinga.
Pada skenario disebutkan bahwa pasien sering menderita batuk pilek selama setahun
belakangan.Terlalu sering mengidap infeksi saluran pernafasan bagain atas (ISPA) dapat
menyebabkan bakteri menyebar sampai ke tuba Eustachius.Saat bakteri masuk ke tuba
Eustachius, dapat memicu infeksi di tuba dan menimbulkan inflamasi sehingga tuba
tersumbat.Adanya inflamasi pada tuba Eustachius menyebabkan akumulasi lendir telinga tengah
(sekret) di belakang gendang telinga (membrana timpani).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis dan tanda vital dalam batas
normal. Pada pemeriksaan otoskopi, Telinga kanan liang telinga lapang menandakan tidak
adanya sumbatan pada telinga, maka dari itu dapat menghilangkan diagnosis banding yaitu otitis
eksterna. Adanya sekret mukopurulen menunjukkan bahwa terjadi proses peradangan yang
melibatkan sel-sel PMN, misal pada mikroorganisme ekstraseluler. Hal ini biasanya terjadi pada
otitis media akut (OMA), etiologi tersering adalah bakteri ekstraseluler seperti Pseudomonas sp.
dan Streptococus sp. Ditemukannya perforasi membran timpani sentral merujuk pada diagnosis
banding OMA, yaitu memasuki stadium IV resolusi disertai perforasi. Sentral merujuk pada letak
perforasi di pars tensa dari membran timpani. Pulsating point (+) menandakan sekret tersebut
masih tersekresi aktif.Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan sekret seromukous
menunjukkan adanya respon inflamasi di epitel traktus respiratorius dengan sel goblet yang
mengeluarkan sekret seromukous.Kerja epitel traktus respiratorius dengan sel goblet yang
berlebihan ini membuat konka nasalis inferior menjadi udema, hiperemis.Septum deviasi (-)
menandakan tidak ada faktor predisposisi terjadinya sinusitis, sehingga diagnosis banding
sinusitis dapat dihilangkan.Palatal phenomena (-/-) berarti palatum mole tidak bergerak sehingga
tidak tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring tetap
terang benderang.Pada pemeriksaan kelenjar getah bening tidak didapatkan lymphadenopathy
menandakan tidak adanya keganasan maupun penyebaran secara limfogen.
Pada anak kecil lebih mudah terkena penyakit dikarenakan sistem imunitas tubuh masih
berkembang, tuba Eustachius pada anak lebih lurus horizontal, lebih pendek dan lebar sehingga
ISPA mudah menyebar, serta adenoid pada anak relatif besar dibanding organ dewasa dan
posisinya dekat dengan muara tuba Eustachius sehingga hipertrofi adenoid dapat mengganggu
terbukanya saluran Eustachius. Tonsil dan amandel merupakan jaringan limfoid yang merupakan
bagian dari sistem imunitas tubuh utama pada anak. Infeksi yang berulang akan menyebabkan
tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga
ukurannya membesar. Hipertrofi adenoid telah banyak dilaporkan sebagai salah satu faktor
penyebab terjadinya disfungsi tuba.Disfungsi tuba dapat menyebabkan perubahan tekanan
telinga tengah yang berujung pada gangguan telinga tengah. Rasio adenoid-nasofaring >0,71
dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menentukan gangguan telinga tengah.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, kami menyimpulkan beberapa
diagnosis banding pasien yaitu otitis media akut, otitis media efusi, hipertrofi adenoid, tonsillitis,
dan rhinitis alergi. Diagnosis yang paling mendekati yaitu otitis media akut (OMA).OMA terjadi
karena faktor pertahanan tubuh terganggu.Faktor utama penyebabnya ialah sumbatan tuba
Eustachius yang menyebabkan pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu
sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan.Dapat juga OMA disebabkan oleh ISPA.Pada
anak semakin sering terkena ISPA makin besar kemungkinan terjadinya OMA.Pengobatan OMA
sendiri tergantung pada stadium penyakitnya.

SARAN
Untuk mahasiswa:
Mahasiswa masih kurang mencari data yang bersumber pada data yang valid dan hanya
menguasai satu diagnosis, dikarenakan skenario yang selalu berulang ditahun sebelumnya
sehingga mahasiswa menjadi kurang kreatif dan inovasi untuk belajar lebih jauh, sehingga
banyak sekali tugas-tugas tambahan yang harus ditemukan di pertemuan kedua. Diharapkan
mahasiswa lebih kreatif dan inovasi dalam belajar, sehingga tidak terpaku pada satu diagnosis
tapi belajar akan diagnosis yang lain sehingga hasilnya dapat menguasai banyak diagnosis tidak
hanya menguasai satu diagnosis saja.

Untuk tutor pembimbing:


Tutor pembimbing sudah sangat baik dan berkompeten, serta dapat mengarahkan mahasiswa
untuk belajar secara komprehensif, tidak terpaku hanya terhadap satu diagnosis tapi harus
menyadari akan diagnosis lain yang mungkin terjadi. Tutor pembimbing juga memberi banyak
pertanyaan yang sangat mengasah logika mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA

Amar MA, Djamin R, Punagi AQ (2013). Rasio adenoid-nasofaring dan gangguan telinga
tengah pada penderita hipertrofi adenoid. J Indon Med Assoc, 63 (1): 21-26

Bluestone, C.D., dan Klein, J.O. (2007).Otitis Media in Infants and Children.4th ed. London :
BC. Decker Inc

Chole R.A., Nasun R. (2009). Chronic Otitis Media with Cholesteatoma in Balleengers
Otorhinolaryngology head and neck surgery. BC Decker Inc. USA

Dhingra, P. (2010). Diseases of ear, nose and throat. 6th ed. New Delhi: Elsevier, pp.62-63.

Djaafar, Z.A. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Donaldson JD (2015). Acute Otitis Media. http://emedicine.medscape.com/article/859316-


overview Diakses September 2015.

Kerschner, J.E. (2007). Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th
ed. USA: Saunders.

Klarisa, C. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.

Rusmarjono. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sjamsuhidayat, Wim De Jong. (2005). Buku Ajara Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.

Winther B, Doyle WJ, Alper CM. (2006). A high prevalence of new onset otitis media during
parent diagnosed common colds. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.

http://emedicine.medscape.com/article/994550-clinical#b2

http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview

Anda mungkin juga menyukai