SINUSITIS
Disusun oleh :
Syifa Ramadhani
NIM : 2013730182
Pembimbing :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya pada penulis sehingga dapat menyelesaikan Referat dengan tema “Sinusitis” ini
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian
kegiatan kepaniteraan klinik stase THT tahun 2018. Dan juga untuk memperdalam
pemahaman tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan laporan kasus ini. Untuk itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan
selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing referat ini dr. Frita, Sp.
THT-KL yang telah membimbing penyusunan Referat ini. Terima kasih juga pada
semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi
dan penyusunan Laporan Kasus ini.
Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
instansi kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RSUD BLUD Sekarwangi pada umumnya.
Penulis
PENDAHULUAN
2
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi sinus paranasalis. Penyebab utamanya
ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi
yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksilla. . Sinusitis bisa terjadi
pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau
sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)
maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1,2
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis ethmoid,
sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang ditemukan. Pada anak
hanya sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan
sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun.
Sinus maxilla merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena (1)
merupakan sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar
sehingga sekret dari sinus maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus
maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi pada gigi dapat
menyebabkan sinusitis maxilla, (4) ostium sinus maxilla terletak di meatus medius, di
sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
ETIOLOGI
3
Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu
penyakit timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang menurun
akibat defisiensi gizi yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti penyakit dan faktor
eksternal seperti perubahan musim yang ekstrim, terpapar lingkungan yang tinggi zat
kimiawi, debu, asap tembakau dan lain-lain.
Jamur
4
EPIDEMIOLOGI
KLASIFIKASI
Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam VAS
jawaban dari pertanyaan:
Akut
< 12 minggu
Resolusi komplit gejala
5
Kronik
12 minggu
Tanpa resolusi gejala komplit
Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut
PATOFISIOLOGI
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan
menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi
manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana
6
stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi
polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar
dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terjadilah polip.7
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang
menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya kering.
Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan
epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui
epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris,
epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah
bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian
menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya
pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe
purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih
mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum
menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi
permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat
memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi melalui :
- tromboflebitis dari vena yang perforasi
- Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau
nekrotik
- terjadinya defek
- melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.
Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara
limfatik.
7
GEJALA KLINIS
Wald mencatat bahwa gejala flu biasa membaik dalam 5 sampai 7 hari, dan
jika gejala menetap lebih dari 10 hari, gejala cenderung menjadi sekunder ke salah
satu sinusitis akut atau gejala persisten dari sinusitis kronis. Gejala sinusitis kronis
berlangsung lebih dari 3 minggu. American Academy of Otolaryngology membagi
kategori gejala untuk menegakan rinosinusitis, yaitu kategori gejala mayor dan minor.
Menurut durasi gejala, rinosinusitis didefinisikan sebagai akut bila gejala berlangsung
4 minggu atau kurang, subakut bila gejala hadir selama 4 sampai 12 minggu, atau
kronis untuk gejala yang berlangsung lebih dari 12 minggu.
Sinusitis akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh virus
yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut termasuk
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis.
Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh
virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari.
Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan
interval bebas penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan sebagai
memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis secara tiba-
tiba, dengan kembali ke gejala awal setelah perawatan. Untuk mendiagnosis
rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor mayor 2 faktor minor. Jika
hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam diagnosis
diferensial.
8
SIGNS AND SYMPTOMS ASSOCIATED WITH DIAGNOSIS OF RHINOSINUSITIS (1996
RHINOSINUSITIS TASK FORCE)
Kebas atau rasa penuh pada muka Demam (pada sinusitis kronik)
Sinusitis kronik
9
memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting dalam patogenesis
rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang umum terisolasi pada
sinusitis kronik termasuk Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan gram negatif
seperti Pseudomonas aeruginosa.
> 12 minggu Satu atau lebih dari 1. perubahan pada hidung, polip,
gejala terus gejala tersebut atau polypoid pembengkakan
menerus pada rhinoskopi anterior (dengan
decongestion) atau hidung
endoskopi
2. Edema atau eritema di meatus
tengah pada hidung endoskopi
3. Generalized atau lokal edema,
eritema, atau jaringan granulasi
di cavum hidung. Jika tidak
melibatkan meatus tengah,foto
diperlukan untuk diagnosis
4. Foto untuk memperjelas
diagnosis (foto polos atau
computerized tomography)
10
Stadium Area
I kelainan anatomi Semua penyakit sinus unilateral Penyakit
Bilateral terbatas pada sinus ethmoid
II ethmoid bilateral dengan keterlibatan satu sinus lainnya
III ethmoid bilateral dengan keterlibatan 2 atau lebih sinus lainnya
IV Poliposis sinonasal Diffuse
DIAGNOSIS
Gejala subyektif : Gejala sistemik yaitu : demam dan rasa lesu, serta gejala lokal
yaitu :hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring
(postnasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagihari, nyeri di
daerahsinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.
1. Sinusitis Maksilaris
2. Sinusitis Etmoidalis
11
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin
terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada
palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda
patognomonik pada sinusitis frontalis.
4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena
itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
Gejala Obyektif : Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata
atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan kecuali jika terdapat
komplikasi.
Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema, pada
sinusitismaksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak nanah
di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan dansinusitis
sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior.( Pada sinusitis akut tidak
ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita
harusmelakukan penatalaksanaan yang sesuai).
Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada
posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5
menit, dan provokasi test, yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa
memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludan dan menutup
mulut dengan rapat. Jika positif sinusitis maksilaris, maka akan keluar pus dari
hidung.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan berbagai
posisi yang khas, pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-Scan. Dengan
12
pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan
gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus
paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan
diagnosis yang lebih dini.
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital
kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang
petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal
ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan
membentuk 1500 kaudal.
Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus
maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut
13
b. Foto kepala lateral
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan
sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus
maksilaris berhimpit satu sama lain.15
14
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala
pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan
film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella
turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan
dinding posterior sinus maxillaris.
Pemeriksaan Tomogram
15
Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan
multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan
tomogram sudah jarang digunakan. Tetapi pada fraktur daerah sinus
paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik untuk
menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan pemeriksaan axial
dan coronal CT-Scan. Pada Pemeriksaan Tomogram biasanya dilakukan pada
kepala dengan posisi AP atau Waters.
Pemeriksaan Ct Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat
unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan
baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak, irisan axial
merupakan standar pemeriksaan paling baik yang dilakukan dalam bidang
inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan
penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan palatum, terrmasuk ekstensi
intrakranial dari sinus frontalis.
Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis maxilla dengan penebalan
dinding mukosa di sinus maxilla kanan
Pemeriksaan MRI
16
MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan
struktur jaringan lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus suspek
tumor dan sinusitis fungal. Sebaliknya, MRI tidak mempunyai keuntungan
dibandingkan dengan CT Scan dalam mengevaluasi sinusitis. MRI memberi
hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran tulang yang kurang, dan biaya
yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya
dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat dan sulit dilakukan
pada pasien klaustrofobia. 16
MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan
mengenali mukokel. MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik untuk
mendeteksi empiema subdural atau epidural. (11)
PENATALAKSANAAN
Acute Chronic
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae Streptococcus pneumonia
Moraxella catarrhalis Anaerobes
Anaerobes Enteric gram-negative bacilli
Staphylococcus aureus Coagulase-negative staphylococcus
Other streptococci Haemophilus influenzae
Pseudomonas aeruginosa
Alpha streptococcus
Moraxella catarrhalii
17
yang terlibat, perlu mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat bila tidak,
mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase
dan pembersihan secret dari sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan pungsi dan
irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sphenoidalis
dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam
seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak
secret purulen, maka perlu dilakukan bedah radikal.
Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang)
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa
adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek
Dekongestan topikal
Phenylephrine Hcl 0 , 5 % d a n oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat
vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan
mengurangi oedema mukosa.
18
AntiHistamin dan Kortikosteroid
Antihistamin serta kortikosteroid diberikan lebih khusus untuk penderita
sinusitis yang dicetuskan karena keadaan rhinitis alergi.
Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II
mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi rhinore,
dan menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping menembus
sawar darah otak
Kortikosteroid
bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid oral
yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat minimal,
begitupula dengan efek terhadap lambung juga minimal.
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah nasoantrostomi atau
pembentukan fenestra nasoantral. Ekmoidektomi dilakukan pada sinusitis etmoidalis.
Frontoetmoidektomi eksternal dilakukan pada sinusitis frontalis. Eksplorasi sfenoid dilakukan
pada sinusitis sfenoidalis. Pembedahan sinus endoskopik merupakan suatu teknik yang
memungkinkan visualisasi yang baik dan magnifikasi anatomi hidung dan ostium sinus
normal bagi ahli bedah, teknik ini menjadi populer akhir-akhir ini.
KOMPLIKASI
19
yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya. Penyebaraan yang tersering adalah
penyebaran secara langsung terhadap area yang mengalami kontaminasi.
Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain20
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
Osteomielitis
20
subperiosteal berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itu disebut dengan
Pott`s puffy tumor. Pasien dengan Pott`s puffy tumor selalu muncul pada usia lebih
dari 6 tahun karena sinus frontalis belum terbentuk pada usia di bawah 6 tahun.
a) Etiologi
b) Gejala klinis
Gejala klinis antara lain nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat,
gejala sistemik berupa sakit kepala, malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan
diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses
subperiosteal, terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul
fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Jika disertai dengan Pott`s puffy
tumor juga ditemukan penonjolan pada dahi.
c) Diagnosis
21
darah rutin seperti hitung sel memiliki nilai yang rendah dan tidak spesifik, tapi
peningkatan laju endap darah mungkin mengindikasikan adanya osteomielitis.
d) Penatalaksanaan
Infeksi orbital
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau trauma,
kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yang terinfeksi. Oleh
karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinus frontalis, etmoid, dan
maksilari, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar hingga ruang orbita. Sinus
etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi ke ruang orbita. Hal ini dipengaruhi
karena sangat eratnya hubungan antara dinding sinus dengan orbita. Dinding yang tipis
menyebabkan infeksi lebih mudah menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding yang
paling tipis, disebut lamina papyracea yang batas lateral dan medialnya adalah orbita.
Sehingga infeksi pada orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang
terjadi dinding sinus yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali
infeksi menyebar melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan
sebagai barrier tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika
terbentuk abses di antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika
periosteum rusak maka akan terbentuk abses orbita.
a) Etiologi
22
Banyak organisme yang dapat diisolasi dari penderita infeksi orbita. Dapat
berupa organisme tunggal maupun organisme campuran, anaerob maupun aerob, atau
gabungan keduanya. Biasanya, hasil isolasi sama dengan yang ditemukan pada sinus
terinfeksi.
b) Diagnosis
1. Selulitis preseptal (selulitis periorbita), yaitu simple cellulitis dari kelopak mata
yang menyebabkan pembengkakan kelopak mata. Infeksi terbatas pada kulit di
depan septum orbita. Terjadi peradangan atau reaksi edema yang ringan akibat
infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak,
karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali
merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, terlihat sebagai edema difus dari garis batas orbita dan bakteri
telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. Selulitis ini
menyebabkan kelopak mata bengkak dan nyeri ketika otot ekstra okular bergerak.
3. Abses subperiosteal, ditandai oleh edema dari garis batas orbita dengan
pengumpulan pus diantara periorbita dan dinding tulang orbita. Secara klinis
pasien dengan kondisi ini mirip dengan grup dua, tetapi terdapat proptosis yang
menonjol dan kemosis.
4. Abses orbita, ditandai adanya abses pada rongga orbita, pus telah menembus
periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Pada tahap ini disertai gejala sisa
23
neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokuler mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas
abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya terbentuk
suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik trombosis sinus kavernosus
terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat,
kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus
yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV, dan VI, serta berdekatan juga
dengan otak.
Keputusan yang paling penting dalam menghadapi pasien dengan mata yang
bengkak bergantung kepada apakah ada keterlibatan preseptal atau proses orbita.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat menjadi
dasar diagnosis. Selulitis preseptal paling banyak disebabkan oleh trauma lokal.
Anamnesa dapat berhubungan dengan gigitan serangga atau trauma lain pada kulit
disekeliling mata yang menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi ini biasanya terjadi
secara tiba-tiba. H. influenzae tipe B menyebabkan infeksi pada kelopak mata
sehingga kelopak mata bengkak dan menutup dalam hitungan jam. Pada proses
inflamasi selulitis preseptal terdapat inflamasi lokal pada mata, ditemukannya panas,
kemerahan, indurasi dan nyeri pada penekanan. Pasien dengan kelopak mata bengkak,
24
merah, tidak nyeri pada palpasi, tidak indurasi merupakan suatu reaksi alergi atau
pembendungan vena karena terdapatnya sinusitis harus diperhatikan.20
Infeksi orbita (grup dua sampai empat) lebih sulit untuk diidentifikasi dan tidak
khas waktu kejadiannya. Pasien biasanya memiliki riwayat keluar cairan dari hidung,
sakit kepala atau terasa berat dan demam. Jika infeksi terjadi pada orbita,
kemungkinan dapat tejadi hilangnya penglihatan. Infeksi orbita dapat menyerupai
infeksi preseptal. Pasien datang dengan inflamasi orbita. Kelopak mata yang bengkak
tidak mengindikasikan adanya inflamasi. Karena terbatasnya ruang pada orbita, massa
inflamasi dapat mengenai sekeliling struktur. Infeksi orbita yang simple menyebabkan
tekanan pada otot okular dan menyebabkan nyeri bila mata bergerak. Jika terdapat
abses subperiosteal atau bentuk abses lainnya, penekanan orbita menyebabkan
proptosis. Jika proses inflamasi menekan nervus optikus dapat menyebabkan
kebutaan. Pada keadaan awal ditemukannya infeksi orbita mungkin minimal, tetapi
akan banyak ditemukan bila infeksi terus berlanjut.
PROGNOSIS
Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70%
penderita sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki prognosis
yang bervariasi. Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah diterapi dengan
bedah, maka prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien membaik dengan intervensi
bedah, namun pasien ini kadang mengalami kekambuhan.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto, & Mangunkusumo. (2007). Sinus paranasal, dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. A.Marissa, Noerjanto, B., & Savitri, Y. (2011). Infeksi odontogen pada
sinusitis maxillaris ditinjau dari radiografik panoramik. Retrieved December
23, 2012, from http://www.scribd.com/doc/94801918/Infeksi-Odontogen-
Pada-Sinusitis-Maxillaris-Ditinjau-Dari-Radiografik Panoramik.
3. Farhat. (2006). Peran infeksi gigi rahang atas pada kejadian sinusitis maksilaris
di RSUP H.Adam Malik Medan. Retrieved December 22, 2012, from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15640/1/mkn-des2006-
%20(2).pdf.
4. Primartono, S. (2003). Hubungan faktor-faktor predisposisi dengan sinusitis
maksila kronis, kumpulan abstrak kongres nasional XIII. Bali.
5. S., H., & S., R. (2003). Penyakit telinga hidung tenggorok dalam buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk mahasiswa fakultas kedokteran
gigi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
6. Soepardi, Arsyad, Iskandar, Nurbaiti, dkk.2011. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FK UI.
7. Balaji. (2007). text book of oral & maxillofacial surgery. India: Elsevier.
8. Bassam. (2009). Oral & Maxillofacial Surgery - Balaji. Retrieved December
22, 2012, from http://dentalbooks-drbassam.blogspot.com/2009/12/oral-
maxillofacial-surgery-balaji.html
9. HMD, B., AL, T., & WestessonPL. (2004). Maxillary sinus pathology of
odontogenic origin. Retrieved December 22, 2012, from
http://www.urmc.rochester.edu/smd/rad/neuroimages/photos/ASHNR06_Huan
g.p df.
26
10. Cilmiaty, R. (2009). Infeksi Odontogen. Retrieved December 23, 2012, from
http://cilmiaty.blogspot.com/2009/04/infeksi-odontogen-by-risya-cilmiaty-
ar.html
11. Ibnu, M. (2010). Sinusitis. Retrieved December 22, 2012, from
http://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2010/11/sinusitis.html
12. Lewis, K., Salyers, A. A., Taber, H. W., & Wax, R. G. (2002). Bacterial
resistance to antimicrobials. New York: Marcel Decker.
27