Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

Rinosinusitis Kronik dengan Polip Nasi Bilateral

Oleh:
Nur Halisa Amalia NIM 2130912320014
Diva Aurellia Rosa NIM 2130912320128
Diah Ayu Wikan Nastiti NIM 2130912320029
Muhammad Hakim NIM 2130912310061

Pembimbing:

dr. Nur Qamariah, M.Kes., Sp.THT-KL

BAGIAN/ KSM ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/ RSUD ULIN
BANJARMASIN
Desember, 2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3

BAB III LAPORAN KASUS .......................................................................... 20

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 27

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rinosinusitis kronis adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus

paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum

bisa optimal disebabkan banyaknya faktor penyebab seperti gen, lingkungan,

infeksi, superantigen dan biofilm. Rinosinusitis kronis tidak hanya mempengaruhi

kualitas hidup pasien tetapi juga menyebabkan tingginya biaya kesehatan

disebabkan tingginya angka kegagalan pengobatan. Rinosinusitis kronis merupakan

salah satu keluhan medis paling umum ditemukan di Amerika Serikat dimana lebih

dari 13 juta kunjungan dokter/tahun dan menghabiskan dana kesehatan sekitar 6

milyar dolar/tahun. Prevalensi RSK di Amerika Serikat per tahun sekitar 13 – 16%.3

Rinosinusitis dengan infeksi jamur atau disebut juga rinosinusitis jamur

adalah kondisi patologis pada sinus paranasal disertai inflamasi sinus yang

disebabkan oleh infeksi jamur. Pada pemeriksaan kultur jamur, dijumpai 96%

jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronik. Beberapa penelitian yang

dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi

pada rinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif.4

Maka dari itu perlunya diketahui dan dibahas lebih lanjut mengenai penyakit

rinosinusitis kronis. Berikut penulis menyajikan sebuah laporan kasus seorang laki-

laki yang didapatkan gejala hidung tersumbat, nyeri area wajah dan polip pada

1
2

hidung yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan diagnosis rinosinusitis

kronis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Rinosinusitis kronis (dengan atau tanpa polip hidung) pada orang dewasa

menurut EPOS tahun 2020 adalah didefinisikan sebagai:1

• adanya dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa salah satu dari

gejala hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau keluarnya cairan dari

hidung (tetesan hidung anterior/posterior):

o ± nyeri/tekanan pada wajah;

o ± berkurang atau hilangnya penciuman;

• selama ≥12 minggu; disertai adanya gejala alergi (misalnya bersin, rinorea

encer, hidung gatal, dan mata berair gatal)

B. Epidemiologi

RSK memiliki angka kejadian yang cukup tinggi pada masyarakat dengan

prevalensi sekitar 10–15%. Meskipun RSK banyak diderita oleh masyarakat, tetapi

data penunjang untuk RSK di Indonesia sangat terbatas. Di Indonesia Belum ada

angka pasti mengenai angka kejadian RSK di Indonesia, tetapi berdasarkan

penelitian pada tahun 2019 pada periode tahun 2016–2018 di divisi Rinologi

Departemen T.H.T.K.L. RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dijumpai

proporsi RSK pada orang dewasa sebesar 33,3%. Berdasarkan data yang

dikumpulkan dari beberapa rumah sakit sentra pendidikan di Indonesia, didapati

rata-rata jumlah pasien RSK dewasa pada klinik rinologi selama 3 tahun sebagai

3
4

berikut: RSUP M. Djamil Padang sebesar 83,8%, RSUP Dr. Kariadi Semarang

83,5%, RSUD Dr. Saiful Anwar Malang 85,9%, RSUD Dr. Soetomo Surabaya

65,5%, dan RSUP Sanglah Bali 28,9%. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Kurniasih & Ratnawati di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2016

mengidentifikasi kelompok terbanyak pasien RSK pada rentang usia 46–60 tahun.5

Berdasarkan jenis kelamin, penyakit RSK lebih banyak terjadi pada

perempuan daripada laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di

RSUP Haji Adam Malik Medan, dimana dari 190 sampel yang diteliti, 103 orang

berjenis kelamin perempuan. RSK lebih sering terjadi pada usia paruh baya yaitu

35–64 tahun. Usia rata-rata pasien terdiagnosis RSK adalah 48.4 tahun.1,6,8

C. Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor etiologi dari rinosinusitis kronik antara lain:

a. Infeksi virus, bakteri, jamur

Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan

edema mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering

adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan respiratory syncytial virus

(RSV). Selain jenis virus, keparahan edema mukosa bergantung pada kerentanan

individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan edema berat.

Edema mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus

normal menjadi terganggu. Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih

mungkin dapat kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang

diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera

diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada
5

mukosa dan cairan sinus paranasal. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan

respons bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih

anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya

kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaerophilic streptococci) dan

Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan

peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektivitas antibiotik akibat

ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus. Infeksi menyebabkan 30% mukosa

kolumnar bersilia mengalami perubahan metaplastik menjadi mucus secreting

goblet cells, sehingga efusi sinus makin meningkat.9

b. Infeksi jamur (Rinosinusitis Jamur)

Rinosinusitis dengan infeksi jamur atau disebut juga rinosinusitis jamur

adalah kondisi patologis pada sinus paranasal disertai inflamasi sinus yang

disebabkan oleh infeksi jamur. Pada pemeriksaan kultur jamur, dijumpai 96%

jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronik. Beberapa penelitian yang

dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi

pada rinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif. Berdasarkan

histopatologi invasi jamur ke jaringan, rinosinusitis jamur terbagi dua yaitu

rinosinusitis jamur non-invasif dan rinosinusitis jamur invasif. Pada rinosinusitis

jamur non invasif ditemukan jamur yang tidak menginvasi ke jaringan sekitar

dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi. Terdapat 2 tipe rinosinusits jamur

non invasif yaitu sinusitis bola jamur/ fungus ball (Gambar 2.1) dan sinusitis alergi

jamur. Rinosinusitis jamur invasif terjadi pada saat hifa jamur menginvasi mukosa

sinus, pembuluh darah dan tulang.10


6

Gambar 2.1 Fungus ball pada CT-Scan

Rinosinusitis jamur mempunyai gejala klinik yang mirip dengan

rinosinusitis kronis. Apabila rinosinusitis tidak mengalami perbaikan dengan terapi

medikamentosa maksimal pada berbagai faktor risikonya, perlu dipikirkan

kemungkinan infeksi karena jamur. Keberadaan jamur bisa menyebabkan inflamasi

pada mukosa hidung dan sinus paranasal. Ada enam tahapan patogenesis

rinosinusitis alergi jamur yaitu:10

1. Terjadi sensitisasi (peka) pada host terhadap antigen jamur;

2. Spora jamur terperangkap di dalam hidung atau mukosa sinus dan berkembang

biak;

3. Pada rinitis alergi musiman dan tahunan, profil sitokin t-sel dalam jaringan

hidung sesuai dengan profil th2 klasik, dengan produksi sitokin il-3, il-4, il-5, il-

13, dan granulosit-macrofag colony-stimulating factor. Sitokin ini menimbulkan

produksi ige dengan degranulasi sel mast lokal dan akumulasi eosinofil dan sel

th2 alergen spesifik pada jaringan hidung yang alergi;

4. Eosinofil menyerang hifa jamur dan berdegranulasi;


7

5. Proses inflamasi eosinophil melepaskan beberapa sitokin dan faktor

pertumbuhan, yang dapat berkontribusi untuk remodeling saluran napas dan

pembentukan polip hidung.

Mekanisme pertahanan jamur belum dapat diuraikan sampai sekarang,

tetapi secara patofisiologi rinosinusitis jamur invasif mungkin melibatkan aliran

udara dari sinus. Karena organisme ini tidak membutuhkan cahaya untuk

memproduksi makanannya, maka jamur dapat hidup di lingkungan yang lembab

dan gelap. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya rinosinusitis jamur. Jamur yang

paling banyak menyebabkan penyakit pada manusia adalah dari Aspergillus sp dan

Mucor sp.10

c. Alergi

Rinitis alergi menjadi salah satu faktor predisposisi dari rinosinusitis kronik

karena berhubungan dengan terjadinya obstruksi ostium-ostium sinus akibat edema

mukosa. Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal

ini berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah. Histamin bekerja langsung

pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang

berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin

menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer (watery rhinorrhoe)

dan edema lokal. Reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan

allergen. Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan sinus yang menghasilkan edema

dan inflamasi di membran mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade

di muara sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan jamur, bakteri,
8

atau virus. Mukosa sinus yang edema dapat menyumbat muara sinus dan

mengganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya

menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah

pada sinusitis kronik.11

d. Infeksi gigi rahang atas

Infeksi gigi (infeksi dentogenik) pada gigi rahang atas merupakan salah satu

faktor risiko rinosinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris

tempat akar gigi rahang atas, sehingga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang

tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Biasanya

sinusitis dentogen pada rinosinusitis kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus

purulen dan nafas bau busuk.9

e. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya

rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam

kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih

rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.12

D. Patofisiologi

Patofisiologi rinosinusitis dimulai dengan inflamasi mukosa hidung

khususnya kompleks ostiomeatal (KOM) yang menyebabkan edema dan eksudasi

sehingga terjadi obstruksi dari ostium sinus. Setelah itu, terjadi gangguan ventilasi,

drainase dan resorpsi oksigen dalam rongga sinus yang menyebabkan hipoksia

(oksigen menurun, pH menurun dan tekanan negatif). Hal ini menyebabkan

permeabilitas kapiler meningkat, terjadi transudasi, peningkatan eksudasi serous,


9

penurunan fungsi silia sehingga terjadi retensi sekresi di sinus atau pertumbuhan

kuman. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A

dan respiratory syncytial virus (RSV), sedangkan bakteri yang paling sering

ditemukan pada rinosinusitis dewasa adalah Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenzae, serta pada anak Moraxella catarrhalis. Pada saat respons

inflamasi terus berlanjut dan respons bakteri mengambil alih, maka lingkungan

sinus berubah menjadi lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak

(polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes dan

Staphylococcus aureus, menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan

menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai

sinus.13

Pada pasien rinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan

memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan

mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi aktif dan

melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan eosinofil.

Kemudian melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan edema

mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya

membentuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti

halnya pada infeksi virus. Mukosa yang tidak dapat kembali normal setelah

inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten dan mengarah pada RSK.13
10

Gambar 2.2 Segitiga mekanisme patofisiologi rinosinusitis kronik

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi

saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Barnstein, terjadi perubahan

mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama

didaerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti

oleh reepitealisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan

penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga

terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor

terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang

mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan

menyebabkan adanya edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus

berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan

turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.24

Patogenesis pembentukan bola jamur belum sepenuhnya dipahami. Ada

kemungkinan bahwa operasi/cedera mukosa sebelumnya mungkin mempunyai


11

peranan. Selain itu, terdapat hubungan antara bola jamur rahang atas dengan

perawatan gigi sebelumnya, lebih khusus lagi penambalan gigi dan oroantral

iatrogenik. Hal ini karena komponen tertentu yang digunakan untuk perawatan

endodontal (misalnya Zinc Oxide) dapat mendorong pertumbuhan jamur. Namun

hal ini memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terwujud setelah intervensi awal.

Hubungan ini terbukti cukup kuat, dengan penelitian melaporkan angka sebesar

89,2% pada pasien yang pernah menjalani perawatan gigi sebelumnya. Oleh karena

itu, disarankan bahwa pencitraan gigi panoramik harus menjadi bagian wajib dalam

penatalaksanaan pasien yang diduga bola jamur. Variasi anatomi dan obstruksi pada

kompleks osteomeatal dianggap sebagai faktor penyebab pembentukan bola jamur,

namun hal ini masih diperdebatkan dalam literatur.2

E. Klasifikasi

Berdasarkan definisi dari EPOS 2012 dan 2020, RSK terbagi menjadi RSK

dengan polip nasi dan tanpa polip nasi. Dikategorikan sebagai RSK dengan polip

nasi bila saat endoskopi tampak adanya polip dalam meatus media. Sedangkan,

RSK tanpa polip nasi ditentukan bila tidak tampak adanya polip dalam meatus

media saat endoskopi.1,2

RSK dibagi menjadi primer dan sekunder. Definisi RSK primer dalam

mengacu pada kondisi sinus di mana tidak ada kejadian patoetiologi sekunder yang

jelas terjadi (yaitu bola jamur, neoplasia, odontogenik, atau imunodefisiensi). RSK

primer dibedakan menjadi fenotipe berdasarkan ciri atau gejala klinis, yakni CRS

tanpa polip nasal (CRSsNP) dan RSK dengan polip nasal (CRSwNP). Endotipe,

berbeda dengan fenotipe, adalah subtipe biologis yang ditentukan oleh mekanisme
12

patofisiologis. RSK primer dibedakan secara endotipe menjadi inflamasi tipe 2

(biasanya melibatkan sitokin IL-4, IL-5 dan IL-13, eosinofil dan IgE) dan inflamasi

non-tipe 2 (mungkin melibatkan IL-17, neutrofil).5,14

Gambar 2.3. Klasifikasi dari RSK primer2

Gambar 2.4 Klasifikasi dari CRS sekunder2

F. Manifestasi Klinis

Gejala RSK dapat bervariasi dan tumpang tindih yang dapat menyulitkan

proses diagnostik. RSK dapat ditemukan sebagai infeksi saluran pernapasan atas

akut atau sinusitis akut yang tidak terselesaikan atau dapat berkembang perlahan
13

selama berbulan-bulan dengan gejala nonspesifik. Empat tanda dan gejala utama

yang terdapat pada orang dewasa.15

1. Drainase mukopurulen anterior atau posterior

2. Nyeri wajah, perasaan sesak, atau tertekan

3. Obstruksi hidung

4. Penurunan atau hilangnya indra penciuman

Penting untuk diingat bahwa batuk adalah gejala utama keempat pada anak-

anak daripada kurangnya penciuman pada pasien dewasa. Tanda dan gejala ini

dapat dilihat pada semua subtipe penyakit di antara manifestasi lain yang menyertai

patologi yang mendasari.15

G. Diagnosis

Rinosinusitis kronis didiagnosis secara klinis dengan pemeriksaan fisik dan

anamnesis riwayat sinonasal terfokus, termasuk komorbiditas terkait rinosinusitis

kronis dan riwayat keluarga yang bersangkutan. Pedoman konsensus klinis dari

American Academy of Otolaryngology – Bedah Kepala dan Leher mendefinisikan

rinosinusitis kronis sebagai adanya setidaknya dua dari empat gejala utama (yaitu,

nyeri / tekanan wajah, hiposmia / anosmia, obstruksi hidung, dan drainase hidung)

untuk setidaknya 12 minggu berturut-turut, selain bukti obyektif pada pemeriksaan

fisik (rinoskopi anterior atau endoskopi) atau radiografi, seperti computed

tomography (CT scan).16,17

Bukti objektif rinosinusitis kronis ditambahkan sebagai kriteria diagnostik

karena meskipun adanya gejala sensitif untuk diagnosis rinosinusitis kronis, hal
14

tersebut tidak spesifik. Dari empat gejala utama yang digunakan untuk diagnosis,

obstruksi hidung adalah yang paling umum (81% hingga 95% pasien), diikuti oleh

tekanan wajah (70% hingga 85%) , drainase hidung berubah warna (51% sampai

83%), dan hiposmia (61% sampai 69%).17

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menetapkan bukti objektif dari

diagnosis dan harus mencakup pemeriksaan rongga hidung menggunakan rinoskopi

anterior dan endoskopi hidung bila tersedia. Dalam pengaturan perawatan primer,

rinoskopi anterior mudah dilakukan dengan otoskop atau spekulum hidung dan

lampu depan. Adanya drainase hidung, terutama drainase mukopurulen, harus

dinilai dengan menggunakan rinoskopi anterior. Patensi jalan napas hidung juga

harus dievaluasi dengan menilai deviasi septum dan pembesaran turbinat inferior

atau tengah; polip atau massa lain harus disingkirkan. Jika ragu, pasien harus

dirujuk ke ahli THT untuk endoskopi hidung.16,17

Pencitraan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi bukti obyektif dari

rinosinusitis kronis. Radiografi foto polos sinus tidak lagi direkomendasikan untuk

evaluasi sinus paranasal karena akurasinya yang buruk. CT tanpa kontras adalah

studi pencitraan pilihan untuk mengevaluasi sinus paranasal dalam diagnosis

rinosinusitis kronis. Studi pencitraan, termasuk CT sinus, harus dilakukan hanya

pada pasien dengan setidaknya dua kriteria subyektif untuk rinosinusitis kronis

karena ada tingkat kepositifan yang tinggi untuk mendeteksi kelainan sinonasal.

Misalnya, penebalan mukosa di dalam sinus paranasal mungkin merupakan akibat

dari infeksi saluran pernapasan atas yang mungkin terlihat pada radiografi selama

berminggu-minggu. CT scan sinus dapat berguna sebagai pengganti endoskopi. CT


15

scan sinus secara definitif menyingkirkan atau mengkonfirmasi rinosinusitis kronis,

memungkinkan untuk pengobatan yang tepat.17

H. Tatalaksana

Terdapat perbedaan batasan dalam tata laksana rinosinusitis pada pelayanan

primer, sekunder dan tersier. Hal ini berhubungan dengan fasilitas diagnostik dan

kompetensi. Dokter Umum di layanan primer diharapkan dapat membedakan

diagnosis rinosinusitis dengan rinitis. Dokter Spesialis T.H.T.K.L. di layanan

sekunder diharapkan dapat membedakan rinosinusitis berdasarkan Fenotipenya

sedangkan Dokter Spesialis T.H.T.K.L. Konsultan Rinologi di layanan tersier

diharapkan dapat membedakan rinosinusitis berdasarkan endotipenya.5

Dokter Umum di layanan primer dapat menegakkan diagnosis rinosinusitis

berdasarkan anamnesis yaitu didapatkannya dua gejala RSK yang salah satunya

harus berupa hidung tersumbat dan/atau sekret mukopurulen, dapat disertai gejala

nyeri/rasa tertekan pada wajah dan berkurangnya atau hilangnya penciuman yang

berlangsung ≥12 minggu. Pasien dengan gejala sumbatan hidung, sekret, tekanan,

nyeri, barotrauma dan berkurangnya indera penciuman yang menetap didiagnosis

banding dengan rinitis.5

Pasien yang terdiagnosis RSK oleh Dokter Umum di layanan primer

diberikan tata laksana berupa pemberian terapi dan edukasi, layanan kesehatan

dapat melalui telemedicine. Terapi yang direkomendasikan adalah cuci hidung dan

kortikosteroid intranasal, terapi antibiotik harus dihindari pada layanan primer.

Pemberian edukasi terutama pada cara pemakaian terapi obat cuci hidung, obat tetes

atau obat semprot hidung serta kepatuhan penggunaannya. Terapi medikamentosa


16

diberikan selama 6-12 minggu, dengan dilakukan evaluasi secara teratur untuk

melihat progresivitas penyakit. Apabila terdapat perbaikan maka terapi dilanjutkan,

tetapi bila tidak ada perbaikan atau terjadi perburukan maka pasien harus dirujuk

ke Dokter Spesialis T.H.T.K.L. di layanan sekunder atau tersier.5

Gejala dan tanda penting (alarm symptoms) yang harus diperhatikan sebagai

pertimbangan perlunya segera merujuk pasien adalah bila ditemukan adanya edema

periorbital, bergesernya bola mata, penglihatan ganda, ophthalmoplegia,

menurunnya ketajaman visual, nyeri kepala hebat, bengkak pada area frontal, tanda-

tanda sepsis, tanda-tanda meningitis, gangguan neurologi, gejala unilateral,

perdarahan, krusta dan cacosmia. Apabila ditemukan satu atau lebih gejala atau

tanda tersebut maka pasien harus segera dirujuk ke Dokter Spesialis T.H.T.K.L. di

layanan sekunder atau tersier untuk penatalaksanaan lanjutan.5

Dokter Spesialis T.H.T.K.L. di layanan sekunder atau tersier melakukan

evaluasi terhadap faktor risiko dan riwayat penyakit komorbid, pemeriksaan

T.H.T.K.L. serta endoskopi hidung. Berdasarkan evaluasi dapat ditegakkan

diagnosis RSK unilateral, bilateral atau bukan RSK. Pada RSK unilateral perlu

dilakukan CT scan untuk mengkonfirmasi diagnosis terutama bila terdapat tumor

atau curiga tumor. Bila ditemukan tumor ganas segera merujuk pasien dari layanan

sekunder ke layanan tersier. Bila dalam evaluasi didapatkan kesan bukan RSK

maka perlu dilakukan CT scan untuk konfirmasi diagnosis. Berikut ini merupakan

alur tata laksana non-operatif (medikamentosa dan non-medikamentosa) dan

operatif dari RSK.5


17

Gambar 2.4 Alur Pelayanan RSK5

Alur tata laksana RSK bilateral dibedakan menjadi RSK primer dan RSK

sekunder. Termasuk RSK sekunder bila dalam pemeriksaan ditemukan

perdarahan/krusta, nyeri berat, hilangnya jaringan kulit atau keterlibatan organ lain.

Tata laksana diagnosis RSK sekunder difus tergantung pada diagnosis berdasarkan

fenotipenya, meliputi pemeriksaan serologi, biopsi, CT scan dan bila diperlukan

melibatkan spesialis lain sesuai dengan penyakit yang mendasari.5


18

Gambar 2.5 Alur Manajemen RSK Difus Menurut EPOS 20205

RSK primer difus berupa pemberian TMT yang meliputi steroid nasal spray

dan irigasi hidung dengan cairan saline. Kortikosteroid oral dapat dipertimbangkan

untuk diberikan. Edukasi pemilihan teknik, cara pemakaian dan kepatuhan terapi

steroid nasal spray dan irigasi hidung sangat penting untuk keberhasilan terapi.

Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu 6-12 minggu dengan penjadwalan kontrol

sesuai kebutuhan. Bila tidak ada perbaikan dalam 6-12 minggu perlu dilakukan

pemeriksaan penunjang seperti CT scan, laboratorium ataupun tindakan lainnya.

Pasien perlu dipertimbangkan dirujuk ke layanan tersier / Dokter Spesialis

Konsultan Rinologi karena tata laksana selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan

penunjang yang menunjukkan Endotipe RSK yaitu RSK tipe 2 atau non tipe 2.5

Pada RSK non tipe 2 keluhan sering disertai hidung beringus, nyeri wajah,

tidak ada riwayat atopi dan asma, dengan hasil pemeriksaan nasoendoskopi
19

didapatkan sekret purulen, tidak ada peningkatan IgE ataupun eosinofilia. Pilihan

terapi medikamentosa berupa TMT dan dapat ditambahkan antibiotik jangka

panjang atau dilakukan operasi BSEF. RSK tipe 2 mempunyai keluhan yang

dominan berupa penurunan penciuman dan hidung tersumbat/kongesti, disertai

adanya riwayat N-ERD dan atau asma serta atopi, yang didukung dengan hasil

pemeriksaan nasoendoskopi berupa polip dan lendir eosinofilik serta peningkatan

IgE dan eosinofilia. Pada RSK tipe 2 dapat diberikan TMT dan atau kortikosteroid

oral, atau dilakukan tindakan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF).5

Evaluasi dilakukan selama 6-12 minggu baik pada RSK tipe 2 atau non tipe

2. Bila tidak ada perbaikan bisa dipertimbangkan pemberian terapi tambahan atau

operasi revisi. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan sebagai pertimbangan

kemungkinan RSK sekunder difus. Pada RSK tipe 2 perlu dicurigai AFRS bila

pasien usia muda, mempunyai atopi, tinggal di daerah yang hangat dan lembab,

asma dan hasil SPT positif terhadap jamur. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan

MRI sinus dengan kontras, konsul spesialis Mata atau Bedah Saraf dan diberikan

kortikosteroid oral sebelum operasi. Tindakan BSEF bertujuan untuk membuang

jaringan patologis sesuai, dengan teknik operasi menyesuaikan kelainan yang

ditemukan dan kadang diperlukan tindakan yang diperluas. Pemeriksaan

histopatologi dan kultur jamur diperlukan untuk mengetahui etiologi. Terapi

pascaoperasi berupa pemberian irigasi hidung dengan larutan saline, kortikosteroid

intranasal, kortikosteroid oral dan dipertimbangkan imunoterapi. Evaluasi

dilakukan selama 6-12 minggu.5


20

I. Komplikasi

Komplikasi rinosinusitis diklasifikasikan menjadi komplikasi orbita,

osseous (tulang) dan intrakranial. Kerjasama antar departemen/ multidisplin dalam

mengelola pasien dengan rinosinusitis sangat diperlukan.5

1. Komplikasi orbita

Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau

melalui sistem vena yang tidak berkatup. Kondisi sinusitis maksilaris dapat

menimbulkan komplikasi pada orbita karena batas superior dari sinus maksila

merupakan dasar dari kavum orbita. Ryan Chandler mengklasifikasikan komplikasi

orbita dari rinosinusitis menjadi 5 kelompok, yaitu: selulitis preseptal, selulitis

orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus cavernosa.18

2. Komplikasi oseus atau tulang.

Osteomielitis os frontalis sering muncul sebagai komplikasi sinusitis

frontalis, dikenal sebagai tumor Pott’s puffy. Adanya pengumpulan pus

subperiosteal menimbulkan pembengkakan yang fluktuatif di dahi. Tatalaksana

yang diberikan berupa antibiotik intravena, drainase abses, dan pengangkatan

tulang yang terinfeksi.18

3. Komplikasi intrakranial

Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid dipisahkan dengan fossa kranii

anterior hanya oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara

langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi juga terjadi melalui sistem

vena karena hubungan vena yang kompleks dan tidak berkatup yang melalui area
21

tersebut. Komplikasi rinosinusitis intrakranial meliputi meningitis, abses epidural,

abses subdural, abses intraserebral, dan trombosis sinus vena.18

Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi, antara lain abses glandula

lakrimalis, perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel,

septikemia.5,18
BAB III

LAPORAN KASUS

I. DATA PASIEN

Nama : Tn. FI

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 28 Tahun

Pekerjaan : Service HP, sebelumnya Teknisi Alat di tambang dan Service AC

Bangsa : Indonesia

Suku : Banjar

Agama : Islam

Alamat : Jl. Ir. PHM Noor Batuah, RT.9

II. ANAMNESIS

Sumber : Autoanamnesis dengan pasien (28 November 2023)

Keluhan Utama : Kedua hidung tersumbat

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien merupakan rujukan dari Klinik Kinibalu Banjarmasin dengan keluhan

hidung tersumbat sejak 3 tahun terakhir dan memberat sejak 6 bulan yang lalu,

keluhan sering muncul hampir setiap hari di hidung kanan dan kiri secara

bergantian. Keluhan hilang timbul terutama saat berada pada perubahan suhu panas

ke dingin. Keluhan hidung tersumbat dirasakan berlangsung sekitar 1–2 jam setiap

muncul. Pasien merasa ada yang mengganjal di kedua hidung bagian dalam. Hidung

berair yang muncul sejak 1 tahun terakhir dan memberat sejak 3 bulan yang lalu.

22
23

Saat hidung tersumbat, lendir berwarna kekuningan dan kental, sedangkan pada

hidung yang tidak tersumbat lendir berwarna putih. Keluhan sering muncul secara

terus menerus di kedua hidung dan lebih sering di hidung sebelah kanan. Keluhan

muncul terutama saat pasien merasa dingin, panas, terpapar debu, dan muncul

terutama saat siang hari. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada pangkal

hidung luar sebelah kanan dan kiri sejak 1 bulan terakhir, keluhan hilang timbul

disertai rasa tebal dan terasa membesar pada hidung. Penciuman berkurang sejak 3

tahun terakhir, semakin parah sejak 6 bulan terakhir, keluhan muncul mendadak

dan hilang timbul, tidak dipengaruhi oleh keluhan hidung berair, penciuman

berkurang selama 1–3 jam setiap muncul. Pasien memiliki kebiasaan memasukkan

tisu ke hidung selama setengah tahun terakhir, agar memperlancar pernapasan pada

hidung yang tersumbat. Pasien mengaku sulit tidur, tetapi aktivitas tidak terganggu.

Saat tidur pasien, 3 tahun terakhir pasien mengorok mengeluarkan suara nyaring

dari hidung dan mulutnya. Pasien sebelumnya sering pilek dan nyeri menelan sejak

3 tahun yang lalu. Hidung berbau busuk disangkal. Batuk, sesak napas, dan rasa

lendir tertelan disangkal. Kebiasaan menggaruk hidung, suka bersih-bersih rumah

disangkal. Infeksi pada gigi disangkal. Kebiasaan merokok sejak usia 12 tahun dan

berhenti sejak 5 tahun yang lalu.

Keluhan pada telinga seperti nyeri, berdengung, dan keluar cairan disangkal.

Pasien memiliki kebiasaan mengorek telinga dengan cotton bud. Keluhan pada

tenggorokan seperti gatal, serak, dan sakit disangkal. Keluhan lain seperti sakit

kepala, demam, pusing, dan mual muntah disangkal.


24

Pasien berobat ke Klinik Kinibalu 3 minggu yang lalu dan ditangani oleh

dokter Sp.THT dan dikatakan terdapat polip di kedua hidung. Diberi obat minum 2

macam namun pasien lupa nama obatnya, pasien kemudian disarankan operasi lalu

dirujuk ke RSUD Ulin 2 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat penyakit serupa (-)

• Riwayat asma (-)

• Riwayat alergi (+) cuaca dingin dan debu sejak kecil

• Riwayat diabetes mellitus (+)

• Riwayat hipertensi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

• Riwayat penyakit serupa (-)

• Riwayat asma (-)

• Riwayat alergi (+) makanan laut, timbul gatal-gatal di seluruh tubuh

• Riwayat hipertensi dan DM (-)

Riwayat Pengobatan

• Diberi obat minum 2 macam (pasien lupa nama obatnya) dari Sp. THT saat

berobat ke Klinik Kinibalu.

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum :Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis, GCS= E4V5M6


25

2. TANDA VITAL

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 85 kali/menit, reguler, kuat angkat

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 36,6 ºC

SpO2 : 98% tanpa suplementasi O2

3. STATUS LOKALIS

a. TELINGA

Inspeksi (kanan/kiri) : kelainan kongenital (-/-), fistula (-/-), hiperemis (-/-),

edema (-/-), massa (-/-), keluar cairan (-/-)

Palpasi (kanan/kiri) : nyeri tekan preaurikular (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri

tarik aurikular (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), massa (-/-)

MAE (kanan/kiri) : serumen (+/+) minimal, hiperemis (-/-), edema (-/-), sekret

(-/-), massa (-/-), perdarahan (-/-)

CAE (kanan/kiri) : Kelainan kongenital (-/-), kulit hiperemis (-/-), sekret (-/-),

serumen (minimal/minimal), edema (-/-), massa (-/-),

kolesteatoma (-/-)

MT (kanan/kiri) : intak (+/+), refleks cahaya (+/+), sekret (-/-), retraksi (-/-),

bulging (-/-), warna (-/-)

Tes Pendengaran : Test Rhinne (+/+), test Webber (tidak ada lateralisasi), test

Swabbach (sama dengan pemeriksa/sama dengan

pemeriksa)
26

b. HIDUNG

Inspeksi : deformitas (-), septum deviasi (-), hiperemsis (-), massa (-), sekret

(+) mukopurulen

Palpasi : nyeri tekan sinus frontalis (+/+), nyeri tekan sinus etmoidalis (+/+),

nyeri tekan sinus maksilaris (+/+), massa (+/+), krepitasi (-/-)

Rhinoskopi Anterior

Kavum Nasi : Mukosa (normal/normal), sekret (+/+), krusta (-/-), concha

(eutrofi/eutrofi), edema (-/-), septum deviasi (-), polip (+/+),

pasase udara (tidak efektif/tidak efektif)

Rhinoskopi Posterior : tidak dilakukan

Transluminasi : tidak dilakukan

c. TENGGOROKAN

- Rongga mulut

Bibir : Simetris, mukosa lembab, hiperemis (-), ulkus (-)

Gingiva : warna mukosa normal, pembengkakan (-), perdarahan (-)

Gigi geligi : gigi lengkap, berlubang (-), karies (+)

Lidah : Deviasi (-), massa (-), ulkus (-), pseudomembran (-)

Palatum : massa (-), ulkus (-), hiperemis (-)

Uvula : deviasi (-), ulkus (-), hiperemis (-)

- Orofaring

Faring : hiperemis (-), post nasal drip (+), edema (-), massa (-)

Tonsil : Hiperemis (-/-), ukuran (T1/T1), warna (merah muda/merah

muda), permukaan licin (+/+), pelebaran kripte (-/-), detritus (-/-)


27

- Laring : tidak dilakukan laringoskopi indirek

d. LEHER

Inspeksi : Pembesaran KGB (-), massa (-), edema (-), pembesaran tiroid (-),

terpasang kanul trakeostomi

Palpasi : nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-), massa (-), pembesaran tiroid

(-)

e. MAKSILOFASIAL: simetris, deformitas (-/-), parese (-/-), allergic shiner (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Foto Thorax (22/11/2023)

Kesimpulan : Cor dan Pulmo dalam batas normal


28

MSCT scan Kepala dan leher tanpa dan dengan kontras (14/11/2023)

Kesimpulan: Tampak lesi slide hiperdens (50 HU) yang mengisi sinus frontalis
bilateral, sinus sphenoidalis bilateral, sinus ethmoidalis bilateral, sinus maksilaris
bilateral, menempel pada middle dan inferior concha nasalis bilateral, mengisi nasal
cavity dan middle nasal meatus bilateral, menempel pada uncinate process bilateral,
mengisi maxillary infundibulum bilateral, tidak tampak destruksi tulang, pada post
contrast tidak tampak enhancement yang menyokong suatu rhinosinusitis
(pansinusitis) kronis curiga disertai infeksi jamur.
- Nasofaring-orofaring-hipofaring tak tampak kelainan
- Orbit dan Ear tak tampak kelainan
- Brain parenchyma dan sinus cavernosus tak tampak kelaina
- Tampak adanya gambaran jamur (kalsifikasi) pada sinus maxilaris bilateral
29

V. DIAGNOSIS

Rinosinusitis kronik dengan Polip nasi bilateral

VI. TATALAKSANA

1. Pro Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

2. Cuci hidung NaCl 0.9%

3. KIE pasien tentang kondisi pasien dan rencana terapi

VII. FOTO DURANTE OP

Dilakukan operasi pada tanggal 29 November 2023

VIII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam


BAB IV
PEMBAHASAN

Pada makalah ini dibahas sebuah laporan kasus seorang laki-laki atas nama

Tn. FI berusia 28 tahun, dengan keluhan hidung tersumbat sejak 3 tahun terakhir

dan memberat sejak 6 bulan yang lalu, keluhan sering muncul hampir setiap hari di

hidung kanan dan kiri secara bergantian, keluhan hilang timbul terutama saat berada

pada perubahan suhu panas ke dingin. Pasien juga merasa ada yang mengganjal di

kedua hidung bagian dalam. Hidung berair yang muncul sejak 1 tahun terakhir dan

memberat sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan sering muncul secara terus menerus di

kedua hidung dan lebih sering di hidung sebelah kanan. Keluhan muncul terutama

saat pasien merasa dingin, panas, terpapar debu dan muncul terutama saat siang

hari. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada pangkal hidung luar sebelah

kanan dan kiri sejak 1 bulan terakhir, keluhan hilang timbul disertai rasa tebal dan

terasa membesar pada hidung. Penciuman berkurang sejak 1 tahun terakhir,

semakin parah sejak 6 bulan terakhir, keluhan muncul mendadak dan hilang timbul,

tidak dipengaruhi oleh keluhan hidung berair, penciuman berkurang selama 1-3 jam

setiap muncul. Pasien mengaku sulit tidur, tetapi aktivitas tidak terganggu. Batuk

disangkal, rasa lendir tertelan disangkal.

Menurut EPOS tahun 2020, RSK pada orang dewasa didefinisikan sebagai

suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan

dua atau lebih gejala, salah satunya:1

• Hidung tersumbat (nasal blockage atau obstruction atau congestion), atau

• Sekret hidung (anterior atau posterior nasal drip)

30
31

Yang selanjutnya disertai dengan:

• ± nyeri pada wajah/rasa tekanan

• ± hipo/anosmia

Dan/atau didukung oleh pemeriksaan penunjang endoskopi, di mana

terdapat:

• Polip, dan/atau

• Sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius, dan/atau

• Edema/obstruksi mukosa primer pada meatus media

Dan/atau didukung oleh pemeriksaan penunjang CT-scan yang menunjukkan

perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan/atau sinus paranasal. Semua

gejala tersebut setidaknya berlangsung selama dua belas minggu atau lebih tanpa

adanya perbaikan gejala.1,2 Berdasarkan kriteria tadi, pasien pada laporan kasus ini

dapat didiagnosis dengan rinosinusitis kronis karena pasien memiliki gejala hidung

tersumbat, nyeri tekan pada wajah dan adanya polip yang sudah berlangsung selama

lebih dari 12 minggu, serta produksi sekret mukopurulen.

Pasien seorang laki-laki berusia 28 tahun dan memiliki kebiasaan merokok

sejak usia 12 tahun dan berhenti sejak 5 tahun yang lalu. Pasien bekerja sebagai

service HP, sebelmnya sempat bekerja sebagai teknisi di tambang dan service AC.

Pada umumnya RSK lebih banyak terjadi pada perempuan karena perempuan lebih

rentan terhadap obstruksi dan infeksi lanjutan hal ini disebabkan ukuran ostium

sinus pada perempuan lebih kecil dibandingkan pada pria. Namun, pria lebih

berisiko terkena RSK daripada wanita karena sebagian besar pria cenderung
32

memiliki kebiasaan merokok dan lebih banyak bekerja dan beraktifitas di luar

ruangan.6

Pada pemeriksaan CT scan pasien ini, didapatkan kesan adanya rinosinusitis

kronik (Pansinusitis) dengan polip pada hidung kanan dan kiri suspek rinosinusitis

jamur. Berdasarkan definisi dari EPOS, RSK terbagi menjadi RSK dengan polip

nasi dan tanpa polip nasi. Dikategorikan sebagai RSK dengan polip nasi bila saat

endoskopi tampak adanya polip dalam meatus media. Sedangkan, RSK tanpa polip

nasi ditentukan bila tidak tampak adanya polip dalam meatus media saat

endoskopi.1

Rinosinusitis dengan infeksi jamur adalah kondisi patologis pada sinus

paranasal disertai inflamasi sinus yang disebabkan oleh infeksi jamur. Pada

pemeriksaan kultur jamur, dijumpai 96% jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis

kronik. Rinosinusitis jamur terbagi dua yaitu rinosinusitis jamur non-invasif dan

rinosinusitis jamur invasif. Terdapat 2 tipe rinosinusits jamur non invasif yaitu

sinusitis bola jamur dan sinusitis alergi jamur.10 Gambar "Bola Jamur/fungus ball"

digambarkan sebagai akumulasi bentuk non-invasif dan pemadatan hifa jamur. Dan

sering mengenai satu sinus, biasanya sinus maksilaris. Bola jamur dicirikan secara

makroskopis dengan penampilan seperti keju rapuh berwarna hijau, kuning, coklat,

atau hitam yang mudah terkelupas dari mukosa. Temuan CT scan untuk bola jamur

adalah kalsifikasi atau kepadatan dengan gambaran sinus radioopak.12 Temuan CT

scan pada pasien ini yaitu terdapatnya gambaran suatu rhinosinusitis (pansinusitis)

kronis curiga disertai infeksi jamur (kalsifikasi).


33

Munculnya jamur pada pasien dikarenakan riwayat pasien yang memilki

rinitis alergi dengan riwayat pekerjaan sebagai service AC dan riwayat alergi cuaca

dingin dan debu sejak kecil.. Sesuai dengan studi tentang mikrobioma jamur pada

RSK dan asma menunjukkan bahwa jamur di saluran pernapasan kemungkinan

besar dipengaruhi kesehatan tubuh. Malassezia, yang dikenal sebagai patogen pada

kulit adalah genus jamur yang dominan di rongga sinonasal pada individu sehat,

pasien CRS, dan pasien dengan rinitis alergi.25 Ditambah pada pasien memiliki

riwayat diabetes mellitus yang mana penderita diabetes mellitus berada dalam

kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih

rentan terkena penyakit infeksi seperti rhinosinusitis.12

Pada rinoskopi anterior ditemukan adanya polip pada hidung kanan dan kiri.

Ada beberapa faktor predisposisi terjadinya polip antara lain alergi terutama rhinitis

alergi, sinusitis kronis, iritasi dan sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti

deviasi septum, septum yang tajam dan hipertrofi konka. Pada pasien ini diduga

kuat faktor predisposisi untuk terjadinya polip adalah rhinitis alergi persisten yang

ditegakkan berdasarkan klinis yaitu keluarnya cairan encer yang timbul saat udara

dingin.24

Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi dari pembuluh darah

submukosa yang diakibatkan oleh peradangan yang menahun dapat menyebabkan

edema mukosa. terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi

vaskular yang mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang

akan menyebabkan adanya edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses
34

terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian

akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.24

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan diberikan NaCl 0.9% untuk

cuci hidung. Cuci hidung NaCl 0,9% (nasal saline irigation) dengan volume tinggi

(>200 mL) sebagai tambahan untuk terapi medis lain untuk RSK sangat dianjurkan

dalam International Consensus Statement on Allergy and Rhinology: Rinosinusitis

tahun 2016. Cuci hidung akan mengeluarkan sekresi dan meningkatkan hidrasi pada

lapisan sol dan meningkatkan fungsi mukosiliar serta menghilangkan mediator

inflamasi, sehingga menghasilkan kontrol yang lebih baik dari gejala yang

merugikan. Irigasi dengan salin efeknya tidak hanya dalam menghilangkan gejala

hidung tetapi juga menahan peradangan, sehingga cuci hidung direkomendasikan

sebagai pengobatan tambahan untuk rinosinusitis, rinitis alergi, dan penyakit

sinonasal lainnya. Pemberian cuci hidung memperbaiki gambaran endoskopi dan

skoring kualitas hidup. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai efisiensi

dari cuci hidung dalam menurunkan gejala klinis RSK.22,23

Pada pasien direncanakan dilakukan tindakan operatif FESS. Berdasarkan

teori, prinsip penatalaksanaan rinosinusitis dapat melalui metode operatif. Bedah

Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery

(FESS) merupakan tehnik penanganan terkini dari rinosinusitis oleh karena

pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Pilihan utama

tindakan operasi untuk kasus sinusitis maksilaris adalah BSEF karena

mempertahankan fungsi dari mukosa sinus dan sistem drainase alami dari sinus.

Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber
35

penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi sinus dan drainase sinus dapat lancar

kembali melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi mukosilier. Intervensi

bedah secara signifikan meningkatkan hasil klinis dan kelangsungan hidup untuk

pasien dengan rinosinusitis jamur. Karena "bola jamur" tidak invasif, pengobatan

sistemik atau topikal sering tidak dianjurkan. Dengan demikian, rinosinusitis jamur

dikelola dengan operasi FESS.5,12,16

Pada pemeriksaan Ct-Scan kepala pada bagian orbita dan parenkim otak

tidak ditemukan kelainan. Rinosinusitis kronik mempunyai beberapa komplikasi

yang bisa menyebabkan terkenanya organ lain. Komplikasi rinosinusitis

diklasifikasikan menjadi komplikasi orbita, osseous (tulang) dan intrakranial.5

Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau

melalui sistem vena yang tidak berkatup. Kondisi sinusitis maksilaris dapat

menimbulkan komplikasi pada orbita karena batas superior dari sinus maksila

merupakan dasar dari kavum orbita.18

Osteomielitis os frontalis sering muncul sebagai komplikasi sinusitis

frontalis, dikenal sebagai tumor Pott’s puffy. Adanya pengumpulan pus

subperiosteal menimbulkan pembengkakan yang fluktuatif di dahi.18

Komplikasi intracranial oleh rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid.

Dipisahkan dengan fossa kranii anterior hanya oleh dinding tulang yang tipis

sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang.

Penyebaran infeksi juga terjadi melalui sistem vena karena hubungan vena yang

kompleks dan tidak berkatup yang melalui area tersebut. Komplikasi rinosinusitis
36

intrakranial meliputi meningitis, abses epidural, abses subdural, abses intraserebral,

dan trombosis sinus vena.18

Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi, antara lain abses glandula

lakrimalis, perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel,

septikemia.5,18
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus Tn. FI yang berusia 28 tahun dengan keluhan kedua

hidung tersumbat sejak 3 tahun dan memberat sejak 6 bulan yang lalu. Berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis

dengan Rinosinusitis kronik dengan polip. Pasien diberikan terapi cuci hidung

dengan NaCl 0,9% dan tindakan pembedahan dengan FESS.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, Wormald PJ.
EPOS 2020: European Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps
2020. A summary for otorhinolaryngologists. 2020; hal. 55-187.

2. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, et al. European Position Paper on


Rinosinusitis and Nasal Polyps 2020. Rhinol J. 2020; 58(Suppl S29):1-464.
doi:10.4193/Rhin20.600.

3. Stevens WW, Peters AT, Tan BK, Klingler AI. Associations Between
Inflammatory Endotypes and Clinical Presentations in Chronic Rinosinusitis.
J Allergy Clin Immunol Pract. 2019;7(8):2812-20.

4. Yu-Fang H, Liang K.L, Liang C.Y, et al. Acute Invasive Fungal


Rhinosinusitis-Related Orbital Infection: A Single Medical Center Experience.
Journal of Ophtamology;2021.

5. Kemenkes RI. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana


rinosinusitis kronik. 2022.

6. Amelia NL, Zuleika P, Utama DS. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di RSUP


Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya. 2017 Apr
2;49(2):75-82.

7. Suryani L, Siregar SM. Perbedaan skor sino nasal outcome test 22 sebelum dan
sesudah terapi larutan hipertonik dan isotonik pada pasien rinosinusitis kronis.
2021;5(2):59–65.

8. European Academy of Allergy and Clinical Immunology. Global atlas of


allergic rhinitis and chronic rhinosinusitis. in european academy of allergy and
clinical immunology. 2015.

9. Peric A, Academy MM. Etiology and pathogenesis of chronic rinosinusitis


Etiologija i patogeneza hroni č nog rinosinuzitisa. 2018.

10. Indriany S, Munir D, Rambe A, Adnan A. Proporsi karakteristik penderita


rhinosinusitis kronis dengan kultur jamur positif. Oto Rhino Laryngologica
Indonesiana. 2016; 46(1):26.

11. Lumbantobing ZR, Imanto M. Hubungan rinitis alergi dengan rinosinusitis


kronik. Medula. 2021;10(4):686.

38
39

12. Qamariah N, Punagi Q, Maulana G, Fachir Z. Unilateral maxillary sinus fungal


ball with cellulitis orbita in geriatric patient with diabetes mellitus type II: 2-
case report. NeuroQuantology. 2022; 20(6):2282-85.
13. Effianty A, et al. Buku ajar penyakit THT. Edisi 7 Cetakan ke 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.

14. Bacher C, Zhang N. Medical algorithm : Diagnosis and treatment of chronic


rhinosinusitis. Allergy. 2019;75(1):240-242.

15. Ertugay ÖÇ, Toros SZ, Zhang L. Chronic Rhinosinusitis: Adults and Children.
In: All Around the Nose. Switzerland: Springer Nature; 2020:213-220.

16. Bacher C, Zhang N. Medical algorithm : Diagnosis and treatment of chronic


rinosinusitis. Allergy. 2019;75(1):240-242. doi:10.1111/all.13823.

17. Sedaghat AR. Chronic Rinosinusitis. Am Fam Physician. 2017; 96(8): 500-6.

18. Giannoni Carla M. Complication of rhinosinusitis. In Bailey’s Head & Neck


Surgery-Otolaryngology, Edisi ke-5. Philladelphia: Lippincot Williams &
Wilkins. 2014.

19. Suharsono N. Fungus Ball Paranasal Sinuses: pattern of histopathology and


culture characteristics.ORLI; 2019:49(2).

20. Gultom JM. Gambaran Karakteristik Penderita Rinosinusitis di RSUD dr.


Pirngadi Medan pada tahun 2012. 2014;1–51.

21. Vaitkus J, Vitkauskiene A, Simuntis R, Vaitkus Z, Siupsinskiene N. Chronic


rhinosinusitis with nasal polyps: age and disease severity differences in the
levels of inflammatory markers. Medicina. 2021; 2:1-11.

22. Succar E, Justin H, Turner, Rakesh K. Nasal saline irrigation: a clinical update.
2019;9(January):4–8

23. Utomo B. Efek Irigasi Normal Saline Terhadap Skor Endoskopi dan Skor
Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca Operasi Sinus. Telaah
Sistemik dan Meta Analisis. 2020.

24. Boztepe F, Ural A, Paludetti G, De Corso E. Pathophysiology of chronic


rhinosinusitis with nasal polyps. All Around the Nose: Basic Science, Diseases
and Surgical Management. 2020:373-9.

25. Zhang I, Pletcher SD, Goldberg AN, Barker BM, Cope EK. Fungal microbiota
in chronic airway inflammatory disease and emerging relationships with the
host immune response. Frontiers in Microbiology. 2017 Dec 12;8:2477.

Anda mungkin juga menyukai