Anda di halaman 1dari 45

JUDUL

Laporan Kasus

Subdural Hemorrage

Oleh :

Diah Ayu Wikan Nastiti, S.Ked


NIM. 2130912320029

Pembimbing :
dr. Musthafa Afif Wardhana, Sp.BS

DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT BEDAH


RSUD BRIGJEND H.HASAN BASRY KANDANGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN ULM
KANDANGAN
Maret 2024

Universitas Lambung Mangkurat


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... 2

A. Anatomi ...................................................................... 2

B. Definisi ....................................................................... 3

C. Epidemiologi .............................................................. 4

D. Etiologi........................................................................ 5

E. Patofisiologi ............................................................... 6

F. Manifestasi Klinis ...................................................... 7

G. Diagnosis .................................................................... 8

H. Tatalaksana ................................................................. 12

I. Komplikasi ................................................................. 18

J. Prognosis .................................................................... 18

BAB III LAPORAN KASUS ........................................................... 20

A. Identitas Pasien .......................................................... 20

B. Anamnesis .................................................................. 20

C. Pemeriksaan Fisik ...................................................... 21

D. Pemeriksaan Penunjang ............................................. 24

E. Diagnosis .................................................................... 29

F. Tatalaksana.................................................................. 29

G. Follow Up .................................................................. 30

ii
Universitas Lambung Mangkurat
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................. 31

BAB V PENUTUP........................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 40

iii
Universitas Lambung Mangkurat
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak dari keseluruhan

angka kematian yang diakibatkan trauma. Data pasien trauma akibat kecelakaan

maupun akibat tindak kekerasan yang dibawa ke instalasi gawat darurat dari tahun

ke tahun cenderung meningkat. Di Indonesia belum ada catatan nasional

mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Di Amerika Serikat

frekuensinya berbanding lurus terhadap kejadian cedera kepala. Perdarahan

subdural adalah bentuk yang paling sering terjadi dari lesi intrakranial, kira-kira

sepertiga dari kejadian cedera kepala berat.2

Angka mortalitas pada penderita – penderita dengan perdarahan subdural

yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak,

menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian.

Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian

tidaklah selalu berakhir dengan kematian. Epidemiologi dari perdarahan subdural

akut serupa dengan lesi-lesi massa intracranial traumatic lainnya. Penderita

adalah kebanyakan laki-laki dan kebanyakan umurnya lebih tua dari penderita –

penderita cedera kepala lainnya. Penyebab yang predominan pada umumnya ialah

kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dan perkelahian, merupakan cedera

terbanyak, sebagian kecil disebabkan kecelakaan olah raga dan kecelakaan

industri. Genareli dan thibault seelig dkk melaporkan bahwa pada penderita-

penderita cedera kepala berat tanpa lesi (mass lession) 89% disebabkan

kecelakaan kendaraan.4

Universitas Lambung Mangkurat


2

Universitas Lambung Mangkurat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis

superior pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis.

Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus

zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri

atas skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis

epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue (jaringan ikat

spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan scalp.

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan

luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya,

leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.

1. Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang

kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar

(periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya

bersatu, kecuali di tempat dimana keduanya berpisah untuk

menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus


venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat

dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian

otak.

2. Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura

dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu

spatium subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang

menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan

dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang

membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-

rongga yang saling berhubungan.

3. Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung tipis yang

menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus fissure

dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga

membentang ke dalam fissure transversalis di bawah corpus

callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel

tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-

pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus dan

pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus

choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di

atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di

tempat itu.

B. Definisi

Universitas Lambung Mangkurat


Subdural hematoma ialah perdarahan yang terjadi diantara

duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, parietal dan

temporal. Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami

perdarahan ialah “bridging vein”, karena tarikan ketika terjadi

pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi

pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagiandan sebagian

di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.5

Perdarahan subdural, lebih lazim dengan sebutan subdural

hematoma (SDH). Diartikan sebagai penumpukan darah di antara dura

dan arachnoid. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Dengan

mortalitas 60-70 persen. Terjadi karena 5 laserasi arteri/vena kortikal

pada saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia

lanjut sering disebabkan oleh robekan.15

C. Etiologi

Subdural hematom timbul setelah trauma kepala hebat, seperti

perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi

dalam ruangan subdural. Pergeseran otak pada akselerasi dan de

akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-vena. Pada waktu

akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke

Universitas Lambung Mangkurat


arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah

dampak primer. Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang

bersangkutan bersifat linear. Maka dari itu lesi-lesi yang bisa terjadi

dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi

kontusio “coup” di seberang dampak tidak 6 terdapat gaya kompresi,

sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu

di namakan lesi kontusio “contercoup”.14

D. Epidemiologi

Angka insiden kejadian SDH dilaporkan berbeda-beda di berbagai

waktu dan negara. Penelitian di Finlandia tahun 1967 oleh Fogelholm

menunjukan angka kejadian sebesar 1,72 per 100.000 orang per tahun,

tetapi terjadi angka kejadian kemudian naik menjadi 7,35 padapopulasi

usia antara 70 hingga 79 tahun. Sementara itu pada penelitian dari

Jepang tahun 1986 oleh Kudo, dkk. mendapatkan angka insiden kejadian

sebesar 13,1 per 100.000 orang per tahun, dimana didapatkan perbedaan

angka insiden kejadian 3,4 di populasi kurang dari 65 tahun sedangkan

pada kelompok usia tua didapatkan angka insiden kejadian sebesar

58,1.8,9 Lebih jauh lagi pada sebuah penelitian menggunakan register

data nasional di Jepang tahun 2005 ditemukan angka insiden kejadian

dari SDH adalah 20,6 per 100.000 orang per tahun dengan peningkatan

insiden di usia yang lebih tua menjadi sebesar 76,5 pada populasi usia

antara 70 hingga 79 tahun dan kemudian meningkat lagi hingga 127,1

pada populasi usia di atas 80 tahun.7 Angka kejadian adalah lebih tinggi

di Jepang dibandingkan dengan di Finlandia dan hal ini dipercaya karena

Universitas Lambung Mangkurat


disebabkan oleh angka kejadian trauma kepala yang lebih rendah di

Finlandia.

Penelitan epidemiologi terhadap SDH belum ada di Indonesia.

Namun, diperkirakan bahwa angka kejadian SDH terus meningkat

terutama pada kelompok usia tua. Oleh sebab itu di Indonesia dimana

angka kasus kejadian trauma kepala tinggi, diperkirakan juga memiliki

angka insiden kejadian SDH yang tinggi dan terus meningkat.7-9

E. Patofisiologi

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral

dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan

distribusi “bridging veins”. Karena perdarahan subdural sering

disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya

100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade

hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan

reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang

diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul

lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom

subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan

kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan

sisa darah (higroma). Kondisi-kondisi abnormal biasanya berkembang

dengan satu dari tiga mekanisme.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural

kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari

bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan

Universitas Lambung Mangkurat


protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan

menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural

hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang

mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada

kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian

didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang

ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat

mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor

angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan

subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan

peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural

hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik

dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan subdural kronik.8

F. Manifestasi Klinis

Gejala dari hematom subdural sangat bergantung pada derajat

perdarahannya:

1) Pada cedera kepala yang tiba-tiba, perdarahan hebat akan menyebabkan

hematom subdural, seseorang bisa mengalami penurunan kesadaran

hingga masuk dalam fase koma.

2) Seseorang yang menunjukkan keadaan normal setelah mengalami

cedera kepala, perlahan-lahan akan mengalami kebingungan kemudian

penurunan kesadaran selama beberapa hari. Hasil ini didapatkan dari

Universitas Lambung Mangkurat


perdarahan yang lambat. Pada hematom subdural yang sangat lambat,

biasanya tidak ditemukan gejala signifikan dalam 2 minggu setelah

trauma terjadi.3 Gejala global yang dapat muncul pada pasien dengan

hematom subdural adalah penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual,

muntah, kebingungan gangguan kognitif, perubahan perilaku, dan

kadang disertai kejang. Sedangkan gejala fokal yang ditemukan adalah

hemiparese kontralateral dengan lesi, gangguan keseimbangan atau

berjalan, parese N.III & VI ipsilateral dengan lesi, serta kesulitan dalam

berbicara.3

G. Diagnosis

Diagnosis dari subdural hematoma ditegakkan berdasarkan gejala

klinis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

1. Gejala Klinis

Gejala yang sangat menonjol pada subdural hematoma adalah

kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini

seringkali tampak memar disekitar mata dan dibelakang telinga. Sering

juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap

orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari

cedera kepala. Berdasarkan waktu perkembangan lesi ini hingga

memberikan gejala klinis, dibedakan atas:

- Akut, gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada

gambaran CT Scan, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit.

Jika penderita anemis berat atau terdapat CSS yang mengencerkan darah

di subdural, gambaran tersebut bisa isodens atau bahkan hipodens.

Universitas Lambung Mangkurat


- Subakut, gejala timbul antara hari ke-4 sampai ke-20. Gambaran

CT Scan berupa campuran hiper, iso, hipodens.

- Kronis, jika gejala timbul setelah 3 minggu. Sering timbul pada

usia lanjut, dimana terdapat atrofi otak sehingga jarak permukaan

korteks dan sinus vena semakin jauh dan rentan terhadap goncangan.

Kadang-kadang benturan ringan pada kepala sudah dapat menimbulkan

SDH kronis. Beberapa predisposisi seperti alkoholisme, epilepsi, gagal

ginjal terminal, dan koagulopati akan mempermudah terjadinya SDH

kronis. SDH kronis dapat terus berkembang karena terjadinya

perdarahan ulang (rebleeding) dan tekanan osmotik yang lebih tinggi

dalam cairan SDH kronis sebagai akibat dari darah yang lisis, akan

menarik cairan ke dalam SDH. Perdarahan ulang tersebut cenderung

tidak akan berhenti karena tingginya kadar fibrinolitik dalam cairan

SDH. Gejala lain yang timbul antara lain, penurunan kesadaran, pupil

anisokor, dan defisit neurologis, terutama gangguan motorik. Lesi

biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang dilatasi dan

kontralateral terhadap defisit motorik. Kadang-kadang disertai

abnormalitas nervus III. Jika SDH terjadi pada fossa posterior, dapat

menyebabkan penurunan kesadaran, sakit kepala, muntah, kelumpuhan

saraf cranial, dan kaku kuduk. SDH fossa posterior biasanya disebabkan

oleh laserasi sinus vena, atau perdarahan dari kontusio serebeli, dan

robeknya “bridging vein”.

2. Pemeriksaan Fisik

- Periksa Kesadaran.

10

Universitas Lambung Mangkurat


Tingkat kesadaran penderita dapat dinilai dengan cara yang biasa

dipakai (sadar, somnolent, sopor, coma) atau menggunakan:12

a) Evaluasi dengan menggunakan metode AVPU, yaitu :

 A : Alert, sadar

 V : Vocal, adanya respon terhadap stimuli vokal

 P : Painful, adanya respon hanya pada rangsang nyeri

 U: Unresponsive, tidak ada respon sama sekali.

b) Evaluasi dengan Skala Koma Glasgow (GCS)

Interpretasi :

Nilai tertinggi : E + M + V = 13 - 15 (responsiveness)

Nilai sedang : E + M + V = 9 - 12)

Nilai terendah : E + M + V = 3-8 (coma)

c) Penilaian neurologis sangat penting terutama pada aktivitas

motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran

11

Universitas Lambung Mangkurat


pupil, parese nervus kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti

hemiparesis atau hemiplegia.12

3. Pemeriksaan Penunjang

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma

kepala lebih mudah dikenali.

- Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai

SDH. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang

mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang

memotong sulcus arteria meningea media.8

- Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,

dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu

bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),

berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas

darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke

sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural

hematoma. Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),

ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.8

- Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang

menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan

duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.

12

Universitas Lambung Mangkurat


MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk

menegakkan diagnosis.8

- Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya:

1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan

hematokrit terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya

penanda infeksi untuk menyingkirkan diagnosa banding.

2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan

koagulopati.

3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa

darah juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi

metabolik perdarahan intrakranial maupun spinal.

4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa

terkait penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat

5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan

operatif darurat (Liebeskind, 2016 ; Shah, 2011 ; Abelsen, 2013).

H. Tatalaksana

Pada keadaan gawat darurat, lakukan langkah-langkah berikut,

yaitu ABCDE (airway and C-spine control, breathing, circulation and

hemorrhage control, disability, exposure/environment). Pertama harus

dinilai adalah kelancaran jalan napas, meliputi pemeriksaan adanya

sumbatan jalan napas yang dapat disebabkan benda asing, adanya fraktur

mandibula atau kerusakan trakea/laring. Harus diperhatikan pula secara

13

Universitas Lambung Mangkurat


cermat mengenai kelainan yang mungkin terdapat pada vertebra

servikalis dan apabila ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan yang

berlebihan pada tempat ini dan diberikan alat bantu. Pada penderita yang

dapat berbicara, dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian

penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.8

Telinga didekatkan ke mulut dan hidung penderita sambil menjaga

jalan napas tetap terbuka. Kemudian pada saat yang sama mengamati

dada penderita dengan cara look, listen, and feel.8

- Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya

menurun. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh

kekurangan oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan

kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas

tambahan yang apabila ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan

airway.

- Dengar (Listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang

berbunyi (napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara

mendengkur (snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing sound,

stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau

laring. Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah)

mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena

keracunan/mabuk.

-Raba (Feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan apakah trakea

ada ditengah serta merasakan adanya atau tidaknya hembusan nafas

penderita.

14

Universitas Lambung Mangkurat


Pemberian bantuan napas bisa dilakukan dengan cara :

1. Ventilasi Mouth to mouth

2. Ventilasi Mouth to nose

3. Ventilasi Mouth to mask

Beberapa penolong lebih menyukai menggunakan alat selama

ventilasi dari mulut ke mulut. Pemakaian alat pelindung harus dianjurkan

kepada penolong yang melakukan CPR yang berada di luar rumah. Dua

kategori dari alat yang tersedia: alat mulut ke sungkup dan penutup wajah

(mouth-to-mask dan face shields). Alat mulut ke sungkup umumnya

memiliki katup satu arah sehingga udara yang dihembuskan oleh

penderita tidak masuk ke dalam mulut penolong. Penutup wajah biasanya

tidak memiliki katup ekspirasi dan penderita mengeluarkan udara

diantara penutup dan wajah penderita. Peralatan ini harus memiliki

tahanan yang rendah terhadap aliran gas sehingga tidak mengganggu

ventilasi.8

- Circulation

Bila tidak ditemukan nadi selama penilaian, maka dilakukan kompresi

jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100x/menit,

dengan kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung

mengembang (pengisisan ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama,

15

Universitas Lambung Mangkurat


minimalkan terputusnya kompresi dada, dan rasio kompresi dan ventilasi

30:2.8

- Pasien dengan SDH memerlukan evaluasi bedah saraf emergensi dan

evakuasi hematoma. Prioritas dalam menangani pasien cedera kepala

terfokus pada pembatasan komplikasi sekunder. Stabilisasi saluran nafas,

pernafasan, sirkulasi, dan vertebra cervicalis harus dilakukan segera.

Setiap pasien dengan nilai skala koma glasgow (GCS, Glasgow Coma

Scale) 8 atau kurang, setiap pasien yang tidak mampu melindungi saluran

nafasnya, harus di intubasi dini dengan menggunakan tehnik secuens

cepat untuk membatasi fluktuasi TIK.8

a) Penanganan darurat :

- dekompresi dengan trepanase sederhana.

- kraniotomi untuk mengevakuasi hematom.

b) Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital. Usahakan agar jalan nafas

selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran

udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan

pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur

intravena : guna-kan cairan NaC1 0,9% atau Dextrose in saline.

2. Mengurangi edema otak. Beberapa cara dapat dicoba untuk

mengurangi edema otak:

16

Universitas Lambung Mangkurat


a. Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga

mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang

terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat

mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2

dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015%

per infus untuk “menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-

vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk

memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis

yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB

dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu

tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek

rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah

beberapa jam atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan

manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini

cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat

pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi

bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang

pernah dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis

sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga

Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan

Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

17

Universitas Lambung Mangkurat


d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme

otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga

akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih

terlindung 20 dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun

suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan

pengawasan yang ketat.8

3. Terapi operatif dilakukan apabila terdapat :

- Volume hematoma > 30 ml

- Keadaan pasien memburuk

- Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving

dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka

operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini

disebabkann oleh lesi desak ruang.8

Tatalaksana bedah umumnya lebih disukai sebagai tatalaksana

bagi pasien-pasien yang bergejala dengan hematoma yang luas yang

tidak memenuhi untuk dilakukan tatalaksna konservatif. Tatalaksana

bedah meliputi kraniotomi konvensional dan yang lebih baru adalah

managemen bedah minimal invasive seperti kraniotomi bora tau twist

drill kraniotomi.16 Prinsip dari managemen bedah adalah menyingkirkan

massa perdarahan diikuti dengan irigasi untuk melepaskan tekanan

terhadap otak dan selanjutnya meletakan drain untuk meminimalisir

resiko terjadi kekambuhan.16

18

Universitas Lambung Mangkurat


Secara umum managemen bedah menunjukan luaran yang lebih baik

atau sekitar 80%dari sampel menunjukan perbaikan klinis dan skor

Markwalder grading system (MGS).7 Namun bagaimanapun juga kendala

dari managemen tatalaksana bedah adalah rekurensi dari perdarahan.

Pada mayoritas studi menunjukan tingkat rekurensi sebesar 10 – 20 %

dan rekurensi perdarahan selanjutnya akan menyebabkan penanganan

yang lebih rumit dengan tingkat kematian dan kecacatan yang lebih

tinggi. Permasalahan selanjutnya dari tatalaksana bedah adalah tidak

semua pasien memenuhi untuk menjalani prosedur bedah yang panjang

terutama pada pasien-pasien usia tua dengan banyak penyakit penyerta

kronis seperti diabetes, gagal jantung dan penyakit- penyakit penyerta

lain. Sebagian pasien tua mungkin juga dalam pengobatan dan

mengkonsumsi preparat antiagregasi thrombosit secaara rutin misalnya

Aspilet sehingga menyebabkan kesulitan tersendiri dalam prosedur

bedah.11,15

I. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan subdural intrakranial

adalah defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena

kerusakan kortikal (biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed

effect termasuk postconccusion syndrome seperti nyeri kepala,

dizziness, vertigo, restlessness, emosi yang labil dan kertidakmampuan

untuk berkonsentrasi dan kelelahan. Sedangkan komplikasi pada

perdarahan epidural di spinal umumnya adalah spastisitas, nyeri

neuropatik dan komplikasi pada sistem berkemih.6

19

Universitas Lambung Mangkurat


J. Prognosis

Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:


- GCS awal saat operasi

- lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi

- lesi penyerta di jaringan otak

- serta usia penderita

Pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %,

makin rendah GCS makin jelek prognosisnya, makin tua pasien makin

jelek prognosisnya, adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya.6

20

Universitas Lambung Mangkurat


BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. B

Umur : 64 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Jl. Brigjend H. Hasan Basry, Kaliring, Padang Batung

MRS : 13 Maret 2024

RMK : 19-86-xx

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 14 Maret 2024 Pukul 07.00 WITA secara

heteroanamnesis dilakukan dengan keluarga pasien (14 Maret 2024 07.00 WITA)

Keluhan Utama: Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien dibawa keluarganya ke IGD RSUD H. Hasan Basry tanggal 13 Maret

2024 pukul 12.00 WITA dengan keluhan penurunan kesadaran setelah mengalami

kecelakaan akibat terserempet motor didepan rumah. Menurut keluarga, pasien

jatuh dengan kepala membentur aspal terlebih dahulu dan langsung tidak sadar.

Keluarga langsung membawa ke IGD 15 menit setelah kejadian. Keluhan mual,

muntah menyemprot, penglihatan ganda, BAK dan BAB tidak diketahui oleh

keluarga.
1. Riwayat penyakit dahulu: Asma (-), Penyakit serupa (-)

2. Riwayat penyakit keluarga: Hipertensi (+), Diabetes Mellitus (-),

keganasan (-)

3. Riwayat Kebiasaan: Merokok (-), Alkohol (-)

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Stupor

GCS : E1VxM3

Tekanan Darah : 149/95 mm Hg

Denyut nadi : 98 x/m

Respiratory rate : 20 x/m

Suhu : 36.2 °C

SpO2 : 99% on RA

2. Kepala dan leher

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema

palpebra (-/-), pupil isokor diameter 3 mm/3 mm, refleks

cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)

Mulut : Mukosa bibir lembap (+)

Leher : Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)

22

Universitas Lambung Mangkurat


3. Toraks

Pulmo : Bentuk dan gerakan dada simetris, retraksi (-), suara

napas vesikuler (+/+), Wheezing, (-/-), ronkhi (-/-),

stridor (-/-)

Cor : Bunyi jantung SI & SII tunggal, murmur (-)

4. Abdomen

Inspeksi : Distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) 6-7x/menit

Palpasi : Perut supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak

teraba, hepatomegaly (-), splenomegaly (-), defans

muscular (-).

Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

5. Ekstremitas

Inspeksi : Gerak sendi normal, deformitas (-), edema (-/-), atrofi (-/-),

ulkus (-/-)

Palpasi : Nyeri tekan (-/-), pitting edem (-),

Akral hangat + + Edema - -

+ + - -

6. Status Neurologis:

Kesadaran : Stupor
GCS : E1VxM3
Rangsang meningeal :
Kaku kuduk : sde
Kernig :-

23

Universitas Lambung Mangkurat


Laseque :-
Bruzinski I : sde
Bruzinski II : -/-
Klonus : -/-
Nervus Kranialis:
1) N. Olfaktorius : tidak dilakukan
2) N. Optikus : RCL (+/+), RCTL (+/+), pupil isokor (3 mm/3mm)
3) N. Occulomotorius : gerak bola mata(sde)
4) N. Trochlearis : gerak bola mata(sde)
5) N. Trigeminus : refleks kornea (tdl), sensitibilitas wajah (sde)
6) N. Abducens : gerak bola mata(sde)
7) N. Facialis : parese (sde)
8) N. Vestibulokoklearis : tdl
9) N. Glossopharyngeus : tdl
10) N. Vagus : tdl
11) N. Accessorius : tdl
12) N. Hipoglosus : sde
Motorik sde sde Sensoris sde sde
sde sde sde sde
Lateralisasi : sde

Refleks patologis :

- Hoffmann-Tromner : (-/-)

- Babinski : (-/-)

Refleks fisiologis:

- Biceps : +2/+2

- Triceps : +2/+2

- Patella : +2/+2

24

Universitas Lambung Mangkurat


- Achilles: +2/+2

Foto Klinis

Gambar 3.1 Foto Klinis Post-Operatif

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Lengkap

Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan 13 Maret 2024 (laboratorium RSUD Brigdjen


H.Hasan Basry)
Pemeriksaan 01/03/2024 Nilai Rujukan Satuan

25

Universitas Lambung Mangkurat


HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.7 13-18 g/dl
Leukosit 10.7 3.50 – 9.50 ribu/uL
Hematokrit 43.8 35 – 50 %
Trombosit 366 125 – 350 ribu/uL
Pemeriksaan 01/03/2024 Nilai Rujukan Satuan
KIMIA KLINIK
Ureum 21.0 10-45 mg/dl
Cretinine 0.4 0.7-1.3 mg/dl
Gula Darah Sewaktu 127 3.5 – 5.6 mg/dl
SGOT 157 0-50 u/l
SGPT 202 10-55 u/l

Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan 05 Maret 2024 (laboratorium RSUD Brigdjen


H.Hasan Basry)
Pemeriksaan 05/03/2024 Nilai Rujukan Satuan
IMUNOSEROLOGI
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif Non Reaktif
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
KIMIA KLINIK
SGOT 38 0-50 U/L
SGPT 115 10-55 U/L
HEMOSTASIS
Bleeding Time 2’ 0’’ 1-3 menit
Clotting Time 5’ 0’’ 4-7 Menit
Golongan Darah O+ A/ B/ AB/ O kualitatif

26

Universitas Lambung Mangkurat


2. Radiologis

- Chest X-Ray (04/03/2024)

Cor : Besar dan Bentuk Normal

Pulmo : Tak Tampak infiltrate

Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam

Kesimpulan: Cor dan Pulmo saat ini tak tampak kelainan radiologik

27

Universitas Lambung Mangkurat


- CT Scan kepala tanpa kontras (29/02/2024)

- Tampak lesi hypodens 20 HU luas yang memberikan gambaran cresent

sign pada hemisfer kiri yang menyebabkan midline shift ke kanan +/- 0.9

cm

- Tampak dislokasi sutura coronal

- Meningen normal

- Tampak ventrikel lateralis kiri terdesak ke kanan

- Sulcus dan gyrus obliterasi hemisfer kiri

- Tampak deviasi midline struktur ke kanan +/- 0.9 cm

- Tak tampak kalsifikasi abnormal

- Tampak perselubungan sinus maxillaris kanan kiri

- Orbita, mastoid, sinus paranasal lainnya tampak baik

Kesimpulan:
- Subdural hemorrage kronik luas hemisfer kiri yang menyebabkan midline

shift ke kanan +/- 0.9cm disertai dislokasi sutura coronal

28

Universitas Lambung Mangkurat


- Edema cerebri hemisfer kiri

- Sinusitis maxillaris bilateral

EEG

29

Universitas Lambung Mangkurat


E. Diagnosis Kerja

Subdural Hemorrhage + Status Epileptikus non convulsivus epilepsi

simptomatik

F. Tatalaksana

Craniotomy evakuasi + Ligation of Meningeal Vessel

G. Laporan Operasi

- Pasien posisi supine miring ke kanan

- Septik dan antiseptik pada daerah operasi

- Drapping

- Insisi traumaflap pada frontotemporoparietal sinistra

- Diseksi kulit lapis demi lapis

- Burrhole 2 titik  craniotomy

- Dilakukan durotomy linear multiple

- Didapatkan SDH lisis 30cc, sudah terbentuk capsule SDH

- Dilakukan duroplasty dengan fascia

- Dipasang subdural drain

- Tulang dipasang kembali dengan 2 buah miniplate dan 4 screw

- Kulit ditutup lapis demi lapis

- Operasi selesai

H. Diagnosis post op:

Post Craniotomy ec Subdural Hemorrage at left frontotemporoparietal

I. Tatalaksana post op:

30

Universitas Lambung Mangkurat


- Head Up 30 derajat

- Ventilator dan cairan sesuai TS Anestesi

- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv

- Inj. Omeprazole 2x40 mg iv

- Inj. Asam Tranexamat 3x500 mg

- Inj. Phenytoin 3x100 mg

- Inj. Manitol 4x125 cc

- Inj. Paracetamol 3x1 gr

- Aff drain POD II

- GV POD III

FOLLOW UP

Tabel 3.5 Follow up Pasien 14-15 Maret 2024

14 Maret 2024
Subjective: Objective: Assesment: Plan:
Nyeri post op (<), GCS: E4V5M6 Post craniotomy - Head up 30o
sadar penuh, mual TD: 110/79 ec SDH kronik - Inj. Ceftriaxone
(-), muntah (-) mmHg POD 1 2x1 gr iv
HR:89 /mnt - Inj. Omeprazole
RR: 19x/mnt 2x40 mg iv
T: 37.2 - Inj. Phenytoin
SpO2: 99% on 3x100 mg
RA - Inj. Manitol
4x100 cc
- Inj. Paracetamol
3x1 gr
15 Maret 2024
Subjective: Objective: Assesment: Plan:
Nyeri post op (<), GCS: E4V5M6 Post craniotomy - Head up 30o
pusing (+) sadar TD: 110/70 ec SDH kronik - Inj. Ceftriaxone
penuh, mual (-), mmHg POD 2 2x1 gr iv
muntah (-) HR:86 /mnt - Inj. Omeprazole
RR: 20x/mnt 2x40 mg iv
T: 36.8 - Inj. Phenytoin
SpO2: 99% on 3x100 mg
RA - Inj. Manitol

31

Universitas Lambung Mangkurat


4x75 cc
- Inj. Paracetamol
3x1 gr
Aff Drain
08 Maret 2024
Subjective: Objective: Assesment: Plan:
Nyeri post op (-), GCS: E4V5M6 Post Craniotomy - Rawat jalan
sadar penuh, TD: 110/70 ec SDH kronik - BLPL
nyeri kepala (-), mmHg POD3 - Cefixime 2x200
muntah (-) HR:88 /mnt mg
RR: 20x/mnt - Patral 3x1 mg
T: 36.7 - Omeprazole
SpO2: 98% RA 2x20 mg
- GV luka post op

32

Universitas Lambung Mangkurat


33

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien merupakan laki-laki berusia 17 tahun datang ke RSUD H. Hasan

Basry. Pasien memiliki riwayat kejang 6 jam SMRS dengan sebanyak 1x, kejang

dirasakan di seluruh tubuh berlangsung sekitar kurang 5 menit, saat kejang pasien

tidak sadar dengan tangan mengepal dan siku melipat.

Kejang mewakili aktivitas listrik otak yang tidak terkontrol dan tidak

normal yang dapat menyebabkan perubahan tingkat kesadaran, perilaku, ingatan,

atau perasaan. Kejang dapat diklasifikasikan menjadi parsial atau umum. Kejang

dapat diprovokasi atau tidak diprovokasi. Kejang yang diprovokasi, juga dikenal

sebagai kejang simptomatik akut, dapat disebabkan oleh gangguan elektrolit,

intoksikasi, cedera kepala, proses infeksi, anomali vaskular, tumor atau lesi massa

lainnya, dan banyak penyebab lainnya.18 Lesi yang menempati ruang otak dapat

disebabkan oleh:19

1. Keganasan: primer atau metastasis.

2. Inflamasi: Abses, Tuberkuloma, Guma sifilis, Granuloma jamur.

3. Infeksi parasit: Sistiserkosis, Kista terhidrasi, abses amuba,

Schistosoma japonicum.

4. Cedera otak traumatis: Hematoma subdural & ekstradural.

5. Penyebab kongenital :Dermoid, Epidermoid, Teratoma

Gambaran klinis kejang bergantung pada lokasi, misalnya massa pada

lobus frontal dapat menyebabkan gerakan tonik-klonik fokal yang melibatkan satu

anggota tubuh, sedangkan kejang yang berasal dari lobus oksipital dapat

menyebabkan gangguan penglihatan. Kejang lobus temporal dapat menyebabkan


34

perubahan perilaku mendadak dengan atau tanpa aura khas, seperti bau, rasa, atau

gejala gastrointestinal yang tidak normal. Untuk pasien dengan kejang fokal,

paresis postiktal (juga dikenal sebagai kelumpuhan Todd) mungkin terjadi. Tumor

otak primer dan metastatik dapat menyebabkan status epileptikus, yang dapat

terjadi pada saat diagnosis tumor atau setelahnya. 19

Fitur fokus lainnya dari SOL termasuk kelemahan. Manifestasinya

mungkin tidak kentara, terutama pada tahap awal. Kelemahan yang berhubungan

dengan tumor biasanya berespon terhadap steroid terutama pada tumor yang

berada di dekat korteks motorik. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan tersebut

disebabkan oleh edema dan bukan oleh keterlibatan tumor secara langsung. 19 Pada

pameriksaan fisik tidak ditemukan defisit neurologis.

Hematom subdural adalah akumulasi darah di dalam rongga subdural (di

antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya

vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat

vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada

permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral

hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging

vein. Bridging vein merupakan pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah. Perdarahan

subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak di

bawahnya berat. Hematom subdural bisa terjadi secara spontan atau disebabkan

oleh prosedur suatu tindakan. Tingkat mortalitas dan morbiditas bisa tinggi,

bahkan dengan perawatan terbaik.8,9,10


35

Pada kasus penurunan kesadaran terjadi 6 jam sebelum masuk rumah

sakit. Berdasarkan waktu, hematom subdural dibagi atas tiga klasifikasi: hematom

subdural akut, hematom subdural subakut dan hematom subdural kronik.11

1) Subdural akut ( < 2 hari)

Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan

serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma

otak berat, hematom ini juga mempunyai mortalitas yang tinggi.11

2) Subdural subakut ( 2-14 hari)

Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang

bermakna dalam waktu lebih 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah

cedera. Seperti hematom subdural akut, hematom ini juga disebabkan oleh

perdarahan vena dalam ruangan subdural.11

3) Subdural kronik ( > 14 hari)

Timbulnnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.11

Penurunan kesadaran merupakan tanda penting kenaikan tekanan

intrakranial yang mendadak, yang disebabkan oleh perdarahan arteri atau udem

otak akut. Tanda kelainan neurologik, seperti diplopia, pupil mata anisokor, dan

ganguan sensorik dan motorik merupakan tanda tekanan intrakranial meninggi.1

Pada kasus ini, pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah CT-Scan

Kepala. Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa untukpasien-pasien dengan

trauma kepala berat CT scan merupakan modalitas utama karena dapat membantu
36

dalam mengevaluasi perkembangan Hematom intrakranial, keberadaan benda

asing residual, dan tingkat edema serebral.

Pendarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan

gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT

window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada

pendarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline

shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus

dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. Pendarahan subdural jarang

berada di fossa posterior karena serebelum relative tidak bergerak sehingga

merupakan proteksi terhadap ‘bridging vein’ yang terdapat di sana.6,12

Terapi pada pasien ini adalah pemberian IVFD NS 1000ml/24jam, Head

up 300C, Inj. Anbacim 750 mg/8 j, Inj. Sanmol 1 g/8j, Inj. Omeprazole 40 mg/24j,

Inj. Plasminex 500 mg/8j, Inj. Kutoin 100 mg/8j dan Manitol 125 ml/6j.

Pemberian NaCL pada pasien cedera kepala bertujuan sebagai agen hiperosmolar

untuk menurunkan tekanan intrakranial, namun pemberian Saline hipertonis dapat

menyebabkan peningkatan segera kadar natrium dan penurunan segera kadar

kalium yang transien, sehingga dapat mencegah kondisi hiponatremia yang dapat

memperberat edema otak.1

Terapi non-operatif pada pasien subdural hematom dalam masa

mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada

pengobatan medikamentosa untuk menurukan tekanan intrakranial seperti

pemberian mannitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena dan

dihiperventilasikan. Pada kasus pendarahan yang kecil (volume < 30cc) dilakukan
37

tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini ada kemungkinan terjadi penyerapan

darah pada pembuluh darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang

kemudian dapat mengalami pengapuran.1

Pedoman terbaru merekomendasikan penggunaan fenitoin sebagai

profilaksis kejang pada pasien yang datang dengan subdural hematoma traumatis.

Namun tidak ada bukti fenitoin untuk menangani pasien SDH kronis pada pasien

usia lanjut. Kejang bisa dikaitkan dengan buruk hasil karena efeknya dalam

meningkatkan metabolisme dan meningkatkan tekanan intrakranial.Kejang harus

segera diatasi karena akan menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan darah

serta dapat memperberat edema otak.1,13,14 Pemberian antibiotik dalam hal ini

adalah cefuroxime selain profilaksis intubasi endotracheal, juga diberikan untuk

pasien sebagai antibiotik yang mencegah infeksi lain setelah cedera kepala. Hal ini

karena Staphylococcus aureus adalah organisme yang paling sering dikaitkan

dengan cedera kepala. Dosis cefuroxime pada pasien dewasa adalah 0,75g, tiap 8

jam. Bisa ditingkatkan menjadi 1,5 g, tiap 6-8 jam, jika infeksi serius.1

Pada pasien ini juga diberikan asam tranexamat yang merupakan obat

antifibrinolitik yang menghambat aktivasi plasminogen dan aktivitas plasmin.

Obat ini merupakan derivat asam amino lisin dan menghasilkan pengaruh

antifibrinolitik dengan cara berikatan secara reversibel pada tempat lisin di

plasminogen. Obat ini menginaktivasi plasminogen. Terlepas dari apakah operasi

dilakukan, semua pasien dengan SDH yang simptomatik atau asimptomatik

diberikan asam traneksamat 750mg setiap hari. Pemberian asam traneksamat

dilanjutkan untuk semua pasien hingga SDH sembuh sepenuhnya atau cukup

berkurang menurut hasil pemeriksaan pencitraan.1


38

Indikasi operatif yaitu SDH sedang hingga berat, subdural rekuren dan

hematom yang memiliki ketebalan >10mm atau pergeseran midline shift >5mm

pada CT-scan. Indikasi operatif cito yaitu penurunan GCS, dilatasi kedua pupil dan

postur deserebrasi. Pada kasus ini pasien memiliki GCS <9 yang memiliki indikasi

operasi dan didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed. Sehingga pada kasus ini,

dilakukan operasi Craniotomy dengan evakuasi Hematom subdural.7,15


BAB V

PENUTUP

Telah dirawat seorang pasien atas nama An. MR usia 17 tahun datang

dengan keluhan kejang. Pasien memiliki riwayat kejang 6 jam SMRS sebanyak

1x di seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan deficit neurologis

maupun kelainan lainnya. Pada pemeriksaan CT scan kepala non kontras

didapatkan subdural hemorrage kronik luas hemisfer kiri yang menyebabkan

midline shift ke kanan +/- 0.9 cm disertai dislokasi sutura coronal, edema cerebri

hemisfer kiri.. Pada pasien dilakukan pemeriksaan EEG dan didapatkan

gelombang epileptogenik (+) regio sentroparietal kanan. Pasien dilakukan

craniotomy evaluasi + ligation of meningeal vessel ai subdural hemorrage . Pasien

diberikan terapi berupa inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv, inj. Omeprazole 2x40 mg iv,

Inj. Asam tranexamat 3x500mg, inj. Phenytoin 3x100 mg, inj. Manitol 4x125cc,

inj. Paracetamol 3x1 gr.

39
Universitas Lambung Mangkurat
DAFTAR PUSTAKA

1. Winarno AN. Multiple Intracranial Tuberculomas: A Rare Case of CNS

TB. JKKI: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia. 2018 Apr 30:53-9.

2. Moore KL, Dalley AF. Clinically oriented anatomy. Wolters kluwer india

Pvt Ltd; 2018 Jul 12.

3. Khasawneh AH, Garling RJ, Harris CA. Cerebrospinal fluid circulation:

What do we know and how do we know it? Brain Circ. 2018 Jan-

Mar;4(1):14-18. doi: 10.4103/bc.bc_3_18. Epub 2018 Apr 18. PMID:

30276331; PMCID: PMC6057699.

4. Netter FH. Atlas of human anatomy, Professional Edition E-Book:

including NetterReference. com Access with full downloadable image

Bank. Elsevier health sciences; 2014 May 20.

5. Benson JC, Madhavan AA, Cutsforth-Gregory JK, Johnson DR, Carr CM.

The Monro-Kellie doctrine: a review and call for revision. American

Journal of Neuroradiology. 2023 Jan 1;44(1):2-6.

6. Wilson MH. Monro-Kellie 2.0: The dynamic vascular and venous

pathophysiological components of intracranial pressure. J Cereb Blood

Flow Metab. 2016 Aug;36(8):1338-50. doi: 10.1177/0271678X16648711.

Epub 2016 May 12. PMID: 27174995; PMCID: PMC4971608.

7. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. [Updated 2023 Jul 11]. In: StatPearls

[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/


41

8. Khusnurrokhman G, Kusmiati T. Cerebellar tuberculoma in a patient with

lung tuberculosis new case: a case report. J. Respir. 2020 Sep;6(3):75-8.

9. Perez-Malagon CD, Barrera-Rodriguez R, Lopez-Gonzalez MA, Alva-

Lopez LF, Alva-Lopez L. Diagnostic and neurological overview of brain

tuberculomas: a review of literature. Cureus. 2021 Dec 3;13(12).

10. Alharbi A, Khairy S, Al Sufiani F, Alkhani A. Intracranial tuberculomas:

A case report of clinical, radiological, and pathological characteristics.

International Journal of Surgery Case Reports. 2021 Nov 1;88:106477.

11. Vemula RC, Prasad BC, Koyalmantham V, Hanu G. Role of surgery in

intracranial tuberculomas and proposal of a novel diagnostic criteria for

diagnosis (Sri Venkateswara Institute of Medical Sciences Criteria). World

Neurosurgery. 2020 Jun 1;138:e52-65.

12. Fitriyani F, Suwanda M, Perdana AA, Mellisa S. Tuberkuloma: Sebuah

Laporan Kasus. Medical Profession Journal of Lampung. 2023 Dec

20;13(7):1212-7.

13. Huff JS, Murr N. Seizure. [Updated 2023 Feb 7]. In: StatPearls [Internet].

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/

14. Sajjad A, Naroo G, Khan Z, Ali Z, Nasim B, Sheikh A, Shah H, Mathew

L, Rehman N, Yadgir T. Space Occupying Lesions (SOL) of the Brain-

Clinical Manifestation with Subtle Neurological Symptoms in Emergency

Department. Journal of Advances in Medicine and Medical Research.

2018 Apr 25;26(3):1-8.

Universitas Lambung Mangkurat


42

15. Li S, Sun H, Liu X, Ren X, Hao S, Zeng M, Wang D, Dong J, Kan Q,

Peng Y, Han R. Mannitol improves intraoperative brain relaxation in

patients with a midline shift undergoing supratentorial tumor surgery: a

randomized controlled trial. Journal of Neurosurgical Anesthesiology.

2020 Oct 5;32(4):307-14.

16. Wong M, Siddiqi J. The Concurrent Use of Phenytoin and Levetiracetam

for Seizure Prophylaxis in ICU Patients: The "Arrowhead Rationale".

Cureus. 2023 Sep 1;15(9):e44547. doi: 10.7759/cureus.44547. PMID:

37790049; PMCID: PMC10544747.

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai