Anda di halaman 1dari 74

LAPORAN KASUS

“ANESTESI REGIONAL SUBARACHNOID BLOK PADA TINDAKAN OPEN


REDUCTION INTERNAL FIXATION PADA PASIEN DENGAN NON UNION
FRAKTUR FEMUR”
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mengikuti Ujian Akhir
Kepaniteraan Klinik Madya SMF Anestesi & Reanimasi Perawatan Intensif
Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Disusun oleh:
Grace Gabriella Mawar Sari
2019086016439

Pembimbing:
dr. Diah Widyanti, Sp.An-KIC

SMF ANESTESI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji, Laporan Kasus


dengan judul “Anestesi Regional Subarachnoid Blok Pada Tindakan Open Reduction
Internal Fixation Pada Pasien Dengan Non Union Fraktur Femur”, sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik Madya SMF Anestesi
& Reanimasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.

Yang dilaksanakan pada:


Hari/Tanggal :
Tempat :

Menyetujui,
Dosen Penguji/Pembimbing

dr. Diah Widyanti, Sp.An-KIC

2
DAFTAR ISI

LAPORAN KASUS......................................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................5

Latar Belakang...........................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................6

2.1 Anatomi Femur...............................................................................................6

2.2 Fraktur.............................................................................................................8

2.4 Anestesi.........................................................................................................29

BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................49

3.1 IDENTITAS PASIEN...................................................................................49

3.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis)...................................................................49

2. Riwayat Penyakit Sekaran............................................................................49

3.3 PEMERIKSAAN FISIK...............................................................................50

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG..................................................................53

3.5 DIAGNOSIS KERJA....................................................................................54

3.6 PENATALAKSANAAN..............................................................................54

3.7 PROGNOSIS................................................................................................54

3.8 KONSULTASI TERKAIT...........................................................................54

3.9 PENENTUAN PS ASA................................................................................54

3.10 PERSIAPAN ANESTESI.............................................................................55

3.11 LAPORAN DURANTE OPERASI..............................................................56

3.12 DIAGRAM OBSERVASI............................................................................57

3
3.12 TERAPI CAIRAN........................................................................................57

3.13 Follow Up Pasien..........................................................................................59

BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................62

4.1 Penentuan PS ASA.......................................................................................62

4.2 Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa Menggunakan Regional Anestesi


(SAB)?.....................................................................................................................63

4.3 Penentuan Obat Anestesi..............................................................................64

4.4 Critical Point.................................................................................................65

4.5 Terapi Cairan Pada Pasien............................................................................68

BAB V PENUTUP......................................................................................................72

5.1 Kesimpulan...................................................................................................72

4
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an" dan
"esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi". Para
ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara
patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali
Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846), untuk
menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu pembedahan.
Tindakan dan usaha menghilangkan rasa sakit sudah ada sejak dahulu kala
pada setiap bangsa, etnik dan suku di dunia. Cara dan bahan yang digunakan pun
beragam. Anesthesia dan ilmu kedokteran pada umumnya mengalaminn loncatan
kemajuan pada abad pertengahan yang merupakan era kejayaan islam. Ilmu bedah
fisiologi dan farmakologi berkembang pesat, demikian pula anestesiologi. Sejak itu,
dapat dikatakan kemajuan ilmu anestesi tumbuh bersama kemajuan ilmu
pembedahan. Ilmu anesthesia sendiri berkembang pesat sejak awal abad ke-20
dengan ditemukannya zat-zat anestetik, prosedur intubasi endotrakeal dan berbagai
teknik pemantauan.2
Anestesi regional (atau mungkin lebih tepat analgesi regional) seringkali
digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih menunjukkan akibat blokade saraf,
pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang di buat tidak peka. Anestesi
regional dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar
untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar.1
Fraktur adalah kerusakan pada kontinuitas struktur tulang yang dapat berupa
retakan, gumpalan, atau serpihan dari korteks. Fraktur dibagi menjadi dua, yaitu
fraktur terbuka (open fracture) dan fraktur tertutup (close fracture). Open Reduction
Interna Fixation (ORIF) adalah fiksasi interna dengan pembedahan terbuka untuk
mengistirahatkan fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukan paku,
screw, pen ke tempat fraktur untuk menguatkan/mengikat bagian-bagian tulang yang
fraktur secara bersamaan.3

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Femur
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat
untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah
tulang-tulang tertentu berisi jaringan hemapoetik, yang membentuk berbagai sel
darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur
kalsium dan fosfat.4
Tulang dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk umumnya: (a) tulang panjang, (b)
tulang pendek, (c) tulang pipih, (d) tulang iregular, dan (e) tulang sesamoid.
Tulang panjang ditemukan pada extremitas (contoh: humerus, femur, ossa
metacarpi, ossa metatarsi, dan phalanges). Panjangnya lebih besar dari lebarnya.
Tulang ini mempunyai corpus berbentuk tubular, diaphysis, dan biasanya terdapai
epiphysis pada ujung-ujungnya. Selama masa pertumbuhannya diaphysis dipisahkan
dari epiphysis oleh cartilago epiphysis. Bagian diaphysis yang terletak berdekatan
dengan cartilago epiphysis disebut metaphysis. Corpus mempunyai cavitas medullaris
di bagian tengah yang berisi medulla ossium (sumsum tulang). Bagian luar corpus
terdiri dari tulang kompakta yang diliputi oleh selubung jaringan ikat periosteum.
Ujung-ujung tulang panjang terdiri dari tulang spongiosa yang dikelilingi oleh selapis
tipis tulang kompakta. Facies articularis ujung-ujung tulang diliputi oleh cartilago
hyalin.
Femur merupakan tulang terpanjang dan terkeras yang ada pada tubuh dan
dikelompokkan ke dalam ekstremitas bagian bawah. Di sebelah atas, femur bersendi
dengan acetabulum untuk membentuk articulatio coxae dan di bawah dengan tibia
dan patella untuk membentuk articulatio genu. Ujung atas femur memiliki caput,
collum, trochanter major, dan trochanter minor.
Caput mernbentuk kira-kira dua pertiga bulatan dan bersendi dengan acetabulum
os coxae untuk membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil
yang disebut fovea capitis, yaitu untuk tempat perlekatan dari ligamentum capitis

6
femoris. Sebagian pendarahan untuk caput femoris dari arteria obturatoria
dihantarkan melalui ligamentum ini dan memasuki tulang melalui fovea capitis.
Collum, yang menghubungkan caput dengan corpus, berjalan ke bawah,
belakang, dan lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada
perempuan lebih kecil) dengan sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini
dapat berubah akibat adanya penyakit Trochanter major dan minor merupakan
tonjolan besar pada batas antara collum dan corpus. Linea intertrochanterica
menghubungkan kedua trochanter ini di anterior dan oleh crista intertrochanterica di
sebelah posterior, pada crista ini terdapat tuberculum quadratum. Corpus femoris
permukaan anteriornya licin dan bulat, sedangkan permukaan posterior mempunyai
rigi, disebut linea aspera. Pada linea ini melekat otot-otot dan septa intermuscularis.
Pinggir-pinggir linea aspera melebar ke atas dan bawah. Pinggir medial melanjutkan
diri ke distal sebagai crista supracondylaris medialis yang menuju ke tuberculum
adductorum pada condylus medialis. Pinggir lateral melanjutkan diri ke distal sebagai
crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior corpus, di bawah trochanter
major terdapat tuberositas glutea untuk tempat melekatnya musculus gluteus
maximus. Corpus melebar ke arah ujung distalnya dan membentuk daerah segitiga
datar pada permukaan posteriornya, yang disebut fossa poplitea. Ujung bawah femur
mempunyai condylus medialis dan lateralis, yang di bagian posterior dipisahkan oleh
incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus bersendi dengan facies
articularis patellae. Kedua condylus ikut serta dalam pembentukan articulatio genu.
Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorum
dilanjutkan oleh epicondylus medialis.5

7
Gambar 1. Anatomi os femur

2.2 Fraktur
Definisi Fraktur
Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.6

Jenis-jenis Fraktur
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur Tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit
4. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan
luka pada kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur
terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu:
a. Derajat I
 Luka < 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk

8
 Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan
 Kontaminasi minimal
b. Derajat II
 laserasi > 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
 Fraktur kominutif sedang
 Kontaminasi sedang
c. Derajat III
 Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot. dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat tiga terbagi atas :
 Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulse atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
 Kehilangann jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi massif. Luka pada pembuluh
arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.

Gambar 2. Klasifikasi Derajat Fraktur Terbuka Gustilo Dan Anderson

9
5. Sesuai pergeseran anatomisnya fraktur dibedakan menjadi tulang
bergeser/tidak bergeser. Jenis khusus fraktur dibagi menjadi:
a. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
b. Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang
c. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
tidak stabil dibanding transversal).
d. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
e. Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
f. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
g. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang).
h. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista
tulang, penyakit Paget, metastasi tulang, tumor).
i. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada
perlekatannya.
j. Epfiseal, fraktur melalui epifisis
k. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya

Gambar 3. Jenis Fraktur

10
Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Cedera traumatik
a. cedera langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang
patah secara spontan
b. Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari
benturan, misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2) Fraktur Patologik
Yaitu kelemahan tulang akibat proses penyakit atau osteoporosis, dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada
keadaan:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas)
b. Infeksi seperti osteomielitis
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3) Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya
pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.7

Patofisiologi

Sewaktu tulang patah (fraktur) mengakibatkan terpajannya sum-sum tulang


pengaktifan saraf simpatis yang mengakibatkan tekanan dalam sumsum tulang,
sehingga merangsang pengeluaran katekolamin yang yang akan merangsang
pembebasan asam lemak ke dalam sirkulasi yang menyuplai organ, terutama organ
paru, sehingga paru akan mengalami penyumbatan oleh lemak tersebut, maka akan
terjadi emboli dan menimbulkan distress atau kegagalan pernapasan. Trauma yang
menyebabkan fraktur (terbuka atau tertutup) yang mengakibatkan perdarahan terjadi
di sekitar tulang yang patah dan ke dalam jaring lunak disekitar tulang tersebut dan
terjadi perdarahan masif yang bila tidak segera ditangani akan menyebabkan

11
perdarahan hebat, terutama pada fraktur terbuka (syok hypopolemik). Perdarahan
masif ini (pada fraktur tertutup) akan meningkatkan tekanan dalam suatu ruang
diantara tepi tulang yang yang fraktur dibawah jaringan tulang yang membatasi
jaringan tulang yang fraktur tersebut, menyebabkan oedema sehingga akan menekan
pembuluh darah dan saraf disekitar tulang yang fraktur tersebut maka akan terjadi
sindrom kompartemen (warna jaringan pucat, sianosis, nadi lemah, mati rasa dan
nyeri hebat) dan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan neuromuskuler (4-6 jam
kerusakan yang irreversible, 24-48 jam akan mengakibatkan organ tubuh tidak
berfungsi lagi). Perdarahan masif juga dapat menyebabkan terjadinya hematoma pada
tulang yang fraktur yang akan menjadi bekuan fibrin yang berfungsi sebagai jala
untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi sel-sel tulang baru
secara perlahan mengalami remodeling (membentuk tulang sejati) tulang sejati ini
akan menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi (jadi tulang yang
matur). Secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung sendiri
setelah patah tulang.3

2.3 Fraktur Femur


Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),
kelelahan otot, atau kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis.
Ada 2 tipe dari fraktur femur, yaitu:
1) Fraktur Intrakapsuler; fraktur femur yang terjadi di dalam tulang sendi,
panggul dan kapsula.
a. Melalui kepala femur (capital fraktur)
b. Hanya di bawah kepala femur
c. Melalui leher dari femur
2) Fraktur Ekstrakapsuler
a. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang
lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.

12
b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari
2 inci di bawah trokhanter kecil.
Manifestasi klinis

Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) antara lain:
1) Deformitas yang disebabkan oleh otot-otot ekstremitas yang menarik patahan
tulang.
2) Krepitasi yaitu rasa gemeretak ketika ujung tulang bergeser
3) Bengkak
4) Ekimosis
5) Spasme otot dan spasme involunters dekat fraktur
6) Nyeri yang mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan
7) Kehilangan sensasi yang dapat terjadi akibat rusaknya saraf
8) Syok hipovolemik akibat dari kehilangan darah
9) Pergerakan abnormal dimana tempat fraktur menjadi sendi palsu
10) Gangguan fungsi dimana ekstremitas tidak dapat digerakkan8
Daerah paha yang tulangnya patah dapat sangat membengkak, ditemukan tanda
functio leisa, nyeri tekan dan nyeri gerak. Tampak adanya deformitas angulasi ke
lateral atau angulasi ke anterior. Ditemukan adanya perpendekan tungkai bawah.
Pada fraktur 1/3 tengah femur, saat pemeriksaan harus diperhatikan pula
kemungkinan adanya dislokasi sendi panggul dan robeknya ligamentum didaerah
lutut. Selain itu periksa juga nervus siatika dan arteri dorsalis pedis.7

Diagnosa

Pemeriksaan yang dilakukan dalam menegakkan diagnosis:


1) Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan adanya riwayat trauma, baik yang hebat
maupun trauma ringan diikuti dengan rasa nyeri dan ketidakmampuan untuk
menggunakan ekstremitas bawah. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat,
karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin terjadi di

13
daerah lain. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera
(posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera
tersebut. Riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi,
pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan
riwayat osteoporosis serta penyakit lain. Bila tidak ada riwayat trauma, teliti
apakah ada kemungkinan fraktur patologis
2) Pemeriksaan fisik Status generalis dan status lokalis;
a. Inspeksi (look): bengkak, deformitas, kelainan bentuk.
b. Palpasi (feel): nyeri tekan, lokal pada tempat fraktur.
c. Kekuatan otot, gerak sendi (movement): gerakan aktif sakit, gerakan
pasif sakit krepitasi.
3) Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya
fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk
menghindarkan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Tujuan
pemeriksaan radiologis:
 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
 Untuk konfirmasi adanya fraktur
 Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi
fragmen serta pergerakannya
 Untuk menentukan teknik pengobatan
 Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak
 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-
artikuler
 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
 Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru

14
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua:
 Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada
anteroposterior dan lateral
 Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas
dan di bawah sendi yang mengalami fraktur
 Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto
pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis.
 Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan
fraktur pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur
kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul
dan tulang belakang.
 Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur
tulang skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga
biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.7
b. CT-scan
Dapat melihat lebih detail mengenai bagian tulang atau sendi, dengan
membuat foto irisan lapis demi lapis.9
c. MRI
MRI dapat digunakan untuk memeriksa hampir semua tulang, sendi,
dan jaringan lunak. MRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi
cedera tendon, ligamen, otot, tulang rawan, dan tulang.7
4) Pemeriksaan laboratorium Darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, GDS,
CT/BT.9

Komplikasi Fraktur

1) Komplikasi segera
Lokal
 Kulit dan otot berbagai vulnus (abrasi, laserasi, sayatan), kontusio avulsi
 Vascular: terputus, kontusio, perdarahan

15
 Organ dalam: jantung, paru-paru, hepar, limpa (pada fraktur costa), buli-
buli pada fraktur pelvis
 Neurologis: otak, medulla spinalis, kerusakan saraf perifer.
Umum: Trauma multiple, syok
a. Komplikasi dini
Lokal: Nekrosis kulit-otot, sindrom kompartement, thrombosis, infeksi
sendi, osteomolitis
Umum: ARDS, emboli paru, tetanus.
b. Komplikasi lama
Lokal
 Tulang: malunion, nonunion, delayed union, osteomilitis, gangguan
pertumbuhan, patah tulang rekuren
 Sendi: ankilosis, penyakit degenerative sendi pasca trauma
 Myositis osifikan
 Distofi reflex
 Kerusakan saraf
Umum
 Batu ginjal (akibat imobilisasi lama di tempat tidur dan hiperkalasemia)
 Neurosis pasca trauma.7
Kompartemen Syndrome
Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap
saraf, pembuluh darah dan otot di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal
ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari
penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak yaitu
terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), di lengan bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, dan posterior). Di anggota gerak bawah, terdapat tiga
kompartemen di tungkai atas (kompartemen anterior, medial, dan kompartemen

16
posterior), empat kompartemen di tungkai bawah (kompartemen anterior, lateral,
posterior superfisial, posterior profundus). Sindrom kompartemen yang paling sering
terjadi di daerah tungkai bawah dan lengan atas.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan
penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam
ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat hingga tekanan arteriolar
intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk
ke kapiler, menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam
kompartemen semakin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan
menimbulkan nyeri hebat. Bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena
meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale).
Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan
menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.

Tatalaksana Fraktur

Recognition: diagnosis dan penilaian fraktur:


- Lokalisasi fraktur
- Bentuk fraktur
- Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
- Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.

Reduction: reduksi fraktur apabila perlu


Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat
diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat
mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti
kekakuan, deformitas serta perubahan osteoarthritis di kemudian hari.

17
Posisi yang baik adalah:
- Alignment yang sempurna
- Aposisi yang sempurna

Fraktur seperti fraktur clavikula, iga dan fraktur impaksi dari humerus tidak
memerlukan reduksi. Angulasi < 5° pada tulang panjang anggota gerak bawah
dan lengan atas dan angulasi sampai 10° pada humerus dapat diterima. Terdapat
kontak sekurang-kurangnya 50% dan over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada
fraktur femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokasi frakturnya.
Ada 3 cara reduksi yaitu: Close reduksi, traksi mekanis dan operasi terbuka

Retention

Imobilisasi fraktur untuk mencegah pergeseran, menurunkan nyeri dan


memperantarai penyembuhan. Caranya berupa: Traksi, Cast splintage, Fungsional
bracing dan Internal fiksasi (ORIF). Pada internal fiksasi, fragmen tulang difiksasi
menggunakkan sekrup, pin, plate, intramedullary nail, pita yang melingkar dan
kombinasi teknik tersebut. Pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada
fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Keuntungannya mampu
menahan fragmen dengan baik dan tidak menimbulkan kekakuan sendi dan
edema serta sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera
bisa dilakukan imobilisasi. Kerugian dapat menimbulkan infeksi. Indiksasi fiksasi
interna: (1) fraktur yang tidak bisa di reduksi tanpa operasi (2) fraktur yang tidak
sabil dan kemungkinan akanbergeser setelah reduksi (3) fraktur collum femoris
(4) fraktur patologis (5) fraktur multiple.
Rehabilitation
Lebih tepatnya memulihkan fungsi, bukan saja pada bagian yang mengalami
cedera tetapi juga pada pasien secara keseluruhan. Tujuannya adalah mengurangi
edema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot, dan
memandu pasien kembali ke aktifitas normal.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

18
Pasien yang memiliki masalah di bagian musculoskeletal memerlukan
tindakan pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi dengan
mengembalikan gerahan, stabilisasi, mengurangi nyeri, dan mencegah bertambah
parahnya gangguan musculoskeletal. Salah satu prosedur pembedahan yang sering
dilakukan yaitu dengan fiksasi interna atau disebut juga dengan pembedahan ORIF
(open reduction internal fixation).
ORIF adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fiksasi yang
dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close
reduction, untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur. Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail, biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transvers.3
Tujuan ORIF

Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan ORIF antara lain:


 Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas
 Mengurangi nyeri
 Pasien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam
lingkup keterbatasan pasien
 Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
 Tidak ada kerusakan kulit
Indikasi dan Kontraindikasi ORIF

Indikasi tindakan pembedahan ORIF:


 Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan
metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan
 Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intraartikular
disertai pergeseran
 Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot
tendon
Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:

19
 Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
 Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
 Terdapat infeksi
 Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi
 Pasien dengan penurunan kesadaran
 Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
 Pasien yang mengalami kelemahan (malaise).
Proses Penyembuhan Tulang

Penyembuhan tulang terbagi menjadi 5, yaitu :


1. Fase Hematoma
Pembuluh darah di sekitar tulang yang mengalami fraktur robek, akibatnya,
tulang disekitar fraktur akan kekurangan nutrisi dan akhirnya mati sekitar 1-2
mm

2. Fase Proliferasi Sel


Pada 8 jam pertama fraktur merupakan masa reaksi inflamasi akut dengan
proliferasi sel di bawah periosteum dan masuk ke dalam kanalis medulla.
Bekuan hematom diserap secara perlahan dan kapiler baru mulai terbentuk.

20
3. Fase Pembentukan Kalus
Sel yang berproliferasi bersifat kondrogenik dan osteogenik. Sel-sel ini akan
membentuk tulang dan juga kartilago. Selain itu sel yang berproliferasi
tersebut juga membentuk osteoklas yang memakan tulangtulang yang mati.
Massa seluler yang tebal tersebut dan garam-garam mineralnya terutama
kalsium membentuk suatu tulang imatur yang disebut woven bone. Woven
bone ini merupakan tanda pada radiologik bahwa telah terjadi proses
penyembuhan fraktur.

4. Fase Konsolidasi
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan akan
membentuk jaringan tulang yang lebih kuat oleh aktivitas osteoblas.

5. Fase Remodeling Jika proses penyatuan tulang sudah lengkap, maka tulang
yang baru akan membentuk bagian yang menyerupai dengan bulbus yang
meliputi tulang tanpa kanalis medularis. Pada fase ini resorbsi secara
osteoklastik tetap terjadi dan tetap terjadi osteoblastik pada tulang.7

21
Gambar 4. Fase Penyembuhan Fraktur

Non-union fraktur

Non union adalah suatu keadaan di mana fragmen gagal untuk menyambung
walaupun telah dilakukan immobilisasi. Dikarnakan celah yang terlalu lebar dan inter
posisi jaringan.10

Patofisiologi Non-union

Istilah nonunion mengacu pada fraktur yang tidak akan bersatu tanpa intervensi bedah
atau nonsurgical tambahan (biasanya 6-9 bulan). Non-union dapat terjadi
multifactorial. Berikut adalah beberapa factor yang menyebabkan non-union:
1. Paling umum, stabilisasi fraktur (immobilisasi) yang tidak memadai.
Mungkin salah satu penyebab paling penting dari nonunion adalah mobilitas
yang berlebihan dari fragmen.
2. Suplai darah.

22
Penyebab suplai darah berkurang yaitu, kerusakan sumsum tulang, efek pada
volume darah dan integritas vascular (diabetes dan periareritis), dan radiasi
atau pembedahan sebelumnya.
3. Infeksi (terutama osteomyelitis).
Infeksi saja menghasilkan efek prediktif pada penyembuhan. Umumnya,
tulang di sebelah garis patah yang terdapat infeksi menjadi reabsorbsi. Sel
osteogenik lebih rentan terhadap infeksi, dan menghilang, fibroblas menjadi
relatif lebih produktif.
4. Kedua ujungnya tidak sesuai (artinya, keduanya tidak bersebelahan).
Jika fragmen cenderung tumpang tindih saat penyembuhan, selubung yang
telah berkembang dari periosteum cenderung bertemu dengan selubung sisi
berlawanan dari potongan tulang yang sama, dan bukan periosteum fragmen
lainnya. Dengan demikian, tumpang tindih atau aposisi yang buruk dapat
menciptakan kondisi di mana jaringan yang diselingi akan mencegah
pertumbuhan tulang.
5. Fraktur tidak tetap (artinya, kedua ujungnya masih bergerak)
6. Pengenaan jaringan lunak (ada otot atau ligamen yang menutupi ujung yang
patah dan mencegah mereka saling bersentuhan)
7. Nutrisi tidak adekuat dan perubahan metabolik.
Kekurangan Vitamin D atau Vitamin C akan mempengaruhi pertumbuhan
tulang secara negatif. Hipovitaminosis D menekan kalsifikasi jaringan lunak
sementara hipovitaminosis C menghambat perkembangan matriks fibrosa.
Magnesium juga penting karena ini bisa dimanfaatkan dalam pembentukan
tulang sebagai tambahan hormon paratiroid dan fosfatase alkali. Status
penyakit umum juga penting. Predisposisi diabetes ke arah infeksi dan
insufisiensi vaskular. Penyakit Cushing atau pemberian glukokortikoid jangka
panjang dapat mengganggu sintesis protein sehingga mempengaruhi
penyembuhan tulang. Hiperparatiroidisme terkadang dikaitkan dengan
penyakit ginjal juga bisa mengganggu proses penyembuhan. Anemia menunda
penyembuhan pada semua luka, dan dalam hal ini dapat mempengaruhi

23
pertumbuhan mandibula. Beberapa penyakit primer yang dapat
mempengaruhi penyembuhan tulang adalah osteogenesis imperfecta,
osteoporosis idiopatik, dan fibrous clysplasia. Lokasi non-union biasanya
terjadi di skafoid, tibia distal, dasar metakarpal ke-5 memiliki risiko lebih
tinggi untuk nonunion karena suplai darah di area ini. Sedangkan pola dari
non-union yaitu, fraktur segmental dan fragmen fragmen kupu-kupu.
Meningkatnya risiko nonunion seperti karena kompromi suplai darah ke
segmen kognitif

Pemeriksaan Diagnostik Non-Union

Skrining untuk non-union dimulai dengan sejarah medis dan evaluasi gejala
(misalnya, nyeri, bengkak, ketidakstabilan atau cacat) di lokasi patah tulang
sebelumnya. Setelah itu, pemeriksaan fisik biasanya dilakukan untuk mengungkapkan
deformitas atau ketidakstabilan biasanya terkait dengan non-union, dan tes pencitraan
seperti roentgen, CT scan, MRI atau scan tulang juga biasanya akurat mendiagnosis
non-unions, karena memberikan tampilan rinci tentang struktur internal.

1) Roentgen: menilai penyatuan kalus, resorpsi kalus. 3-D CT scan juga


membantu dalam mendeteksi adanya non-union. Sinar-X fraktur dapat terlihat
dan tulang pada tiap sisinya mungkin mengalami sklerosis. Dapat dibedakan
dua macam nonunion:
a. Bersifat hipertrofik dengan ujung-ujung tulang yang membesar,
menunjukkan aktivitas osteogenik (seolah-olah akan membentuk kalus
penghubung)
b. Bersifat atrofik, tidak ada perkapuran di sekitar ujung tulang

Komplikasi Non-Union

Komplikasi terjadi biasanya setelah dilakukan penatalaksanaan (tindakan


operasi) termasuk terjadinya persisten non-unon (0% sampai 20%). Dehiscence luka
atau pembukaan lapisan luka parsial atau pun total (0% sampai 15%), dan infeksi (0%
sampai 3%). Pencakokan tulang dikaitkan dengan tingkat komplikasi utama sekitar
8.6% dan tingkat komplikasi kecil sebanyak 20.6%.

24
Anestesi pada pasien anemia
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah
merah : konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah
(hemoglobin <10 g/dl, hematokrit <30 %, dan eritrosit < 2,8juta/mm 3). Secara
fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan sehingga tubuh akan mengalami hipoksia.
Anemia merupakan gejala dan tanda penyakit tertentu yang harus dicari
penyebabnya agar dapat diterapi dengan tepat. Anemia dapat disebabkan oleh 1
atau lebih dari 3 mekanisme independen yaitu berkurangnya produksi sel darah
merah, meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan darah.
Kriteria anemia menurut WHO adalah :
1. Laki-laki dewasa                     : Hb < 13 g/dl
2. Wanita dewasa tidak hamil     : Hb < 12 g/dl
3. Wanita hamil                           : Hb < 11 g/dl
4. Anak umur 6-14 tahun            : Hb < 12 g/dl
5. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl
Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah :
1. Ringan sekali   : Hb 10 g/dl-batas normal
2. Ringan             : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
3. Sedang            : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
4. Berat               : Hb < 6 g/dl
Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh hemoglobin akan
berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan,
jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi,
murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia. Peran
anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah berlangsung.
Penentu transport oksigen termasuk di antaranya ialah pertukaran gas di pulmo,
afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac output. Seluruhnya bekerja
dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas oksigen yang adekuat. Apabila

25
ada penurunan pada satu komponen di atas, maka menyebabkan komponen lain
terpengaruh. Dari komponen tersebut, hemoglobin mempunyai kemungkinan
terbesar untuk dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan transport oksigen.
Setelah mengalami proses ventilasi, perfusi dan difusi oksigen akan
ditransportasikan dari sirkulasi pulmoner ke seluruh jaringan tubuh secara fisik
terlarut dalam plasma dan secara kimia terikat dengan haemoglobin. Satu
molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen dan bentuk ikatan
tersebut adalah reversibel dan berlangsung sangat cepat sekitar 0,01 detik.
Kebanyakan oksigen ditransportasi secara kimiawi.
Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar hemoglobin
normal saja. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan dengan cairan
bebas eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer Laktat, Dextran,
Hydroxyethyl Starch, gelatine). Selama keadaan normovolemia tercapai,
keadaan anemia dilusi dan penurunan kadar oksigen arterial (CaO2) akan
terkompensasi tanpa timbulnya risiko hipoksia jaringan, melalui peningkatan
cardiac output. Reduksi progresif dari CaO2 akan menurunkan delivery oksigen
pada jaringan (DO2).
Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati DO2 crit),
jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi tidak sesuai
dengan permintaan oksigen dari jaringan, sebagai konsekuensinya, VO2 mulai
turun. Penurunan VO2 harus diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari
manifestasi hipoksia jaringan. Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan
menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 3 jam.
Faktor yang mempengaruhi pengangkutan oksigen antara lain:
1. Volume Darah
Komponen utama untuk kompensasi efektif adalah normovolemia.
Selama hipovolemia permintaan oksigen seluruh tubuh meningkat karena
release katekolamin dan hormons stress lain dibandingakan dengan bila
normovolemia.
2. Kedalaman Anestesi

26
Pada dosis tinggi, kebanyakan anestesi menurunkan cardiac output
selama hemodilusi dan menurunkan toleransi anemia.
3. Pelemas Otot (muscle relaxant)
Otot rangka mempunyai masa tubuh ⅓ dari total, sehingga relaksasi
muscular dapat secara efektif menurunkan permintaan oksigen dan
meningkatkan toleransi anemia.
4. Temperature Tubuh
Pada studi model didapatkan hipotermia meningkatkan toleransi anemia
karena penurunan permintaan oksigen tubuh.
5. Performa Miokard
Pasien dengan coronary artery disease, gagal jantung kongestif, konsumsi
obat-obatan cardiodepresan, akan menyebabkan penurunan toleransi anemia.
Identifikasi DO2 crit dapat dilakukan dengan7:
1. Pulmonary Artery catheter
2. Metabolic monitoring
3. ECG (perubahan segmen ST) dan Trans Esophageal Echocardiography
(TEE) (perubahan pergerakan dinding regional)
Apabila didapatkan perdarahan massif, dapat dilakukan transfusi
perioperatif. Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan pada
pasien dengan Hb > 10 g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada pasien
dengan Hb < 6 g/dl. Pada pasien dengan risiko kardiovaskular, konsentrasi Hb
perioperatif harus dijaga antara 8 – 10 g/dl.
Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan:
1. Konsentrasi Hb actual
2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar
3. Penampakan keadaan anemia secara fisik
4. Dinamika perdarahan  
Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC). Dapat
meningkatkan 1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada
perdarahan akut tanpa resusitasi cairan, akan membutuhkan waktu beberapa

27
jam untuk meningkatnya Hb. Pada situasi terkontrol (cairan hilang digantikan
dengan kristalloid/ koloid sehingga dicapai keadaan normovolemia), satu unit
PRC dapat menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat (kurang dari 15
menit).
Guideline transfusi darah CBO :
1. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 6.4 g/dl :
a. Perdarahan akut pada pasien ASA 1 dengan usia < 60 tahun
b. Individu sehat dengan anemia kronis asimptomatik
2. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 8 g/dl:
a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun
b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma
c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc
d. Pasien dengan demam
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi
3. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g/dl
a. Pasien ASA 4
b. Pasien dengan penyakit gagal jantung, penyakit katup jantung
c. Pasien sepsis
d. Pasien dengan penyakit paru parah
e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskular disease
Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan anemia
adalah :
1. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit yang
menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan saat operasi.
2. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau dapat
memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi darah pre atau
post operasi.
3. Keadaan klinis pasien.
4. Kadar Hb pasien.
5. Adanya perdarahan

28
Monitoring peri operatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia7 :
1. Monitoring kardiovaskular
2. Monitoring respirasi
3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf
Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi otot
sudah cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali normal setelah
selesai anestesia.
4. Monitoring suhu
Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada bayi dan
anak kecil
5. Monitoring ginjal
Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada
bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau
distensi vesica urinaria.11
2.4 Anestesi
Anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang meliputi sensasi
sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif, sedangkan analgesia yaitu hilangnya
sensasi sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada.

Analgesia regional

Pembagian Anestesia Atau Analgesia Regional


1) Blok sentral (blok neuroaksial)
yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. Tindakan ini sering
dikerjakan.
2) Blok perifer (blok saraf)
misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional intravena, dan
lain-lainnya.

Anatomi Tulang Belakang

29
Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang, ligamen,
otot, saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar tengkorak (basis
cranii), leher, dada, pinggang bawah hingga panggul dan tulang ekor. Fungsinya
adalah sebagai penopang tubuh bagian atas serta pelindung bagi struktur saraf dan
pembuluh-pembuluh darah yang melewatinya. Tulang belakang terdiri dari 4 segmen,
yaitu segmen servikal (terdiri dari 7 ruas tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas
tulang), segmen lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen sakrococygeus
(terdiri dari 9 ruas tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari ruas tulang
servikal ke-2 (C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).

Gambar 5. Tulang Vertebra


 Peredaran Darah
Medula spinalis diperdarahi oleh a. spinalis anterior dan a. spinalis posterior.
 Lapisan Jaringan Punggung
Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan menembus:
kulit →subkutis →Iig. Supraspinosum → lig. Interspinosum → lig. flavum →
ruang epidural → duramater → ruang subaraknoid.

30
Gambar 6. Anatomi Lapisan Punggung Lumbal

 Medulla Spinalis
Berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinalis,
dibungkus meningen (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa
berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus duralis
berakhir setinggi S2.
 Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari
pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan ini
jernih tak bewarna mengisi ruang subaraknoid dengan jumlah total 100-150
ml, sedangkan yang di punggung sekitar 25-45 ml.
 Ketinggian Segmental Anatomik

C3-C4 Klavikula

T2 Ruang interkostal kedua

T4-5 Garis puting susu

T7-9 Arkus subkostalis

T10 Umbilikus

31
L1 Daerah inguinal

S1-4 Perineum

 Ketinggian Segmental Refleks Spinal


T1-8 epigastrik
T9-12 abdominal
L1-2 kremaster
L2-4 lutut (knee jerk)
S1-2 plantar, pergelangan kaki (ankle jerk)
S4-5 sfingter anus, refleks kejut (wink reflexes)

 Pembedahan ketinggian kulit


Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli prostat T10
Tungkai bawah (dengan manset) T8
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen lain T4

Analgesia spinal

Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) ialah pemberian obat


anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Teknik ini sederhana,
cukup efektif dan mudah dikerjakan.12

Fisiologi anestesi spinal

32
Larutan anestesi lokal disuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid untuk
memblok pengiriman impuls saraf-saraf yang berhubungan dengannya walaupun
beberapa saraf lebih mudah diblok daripada yang lain. Saraf tersebut digolongkan
menjadi 3 yaitu motorik, sensorik dan otonom. Saraf motorik mengantarkan pesan ke
otot untuk berkontraksi dan ketika saraf ini diblok maka otot akan mengalami
paralisis. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan rasa sakit dari medulla
spinalis menuju otak, sedangkan saraf otonom mengendalikan lebar pembuluh darah,
denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi di bawah sadar yang lain. Secara umum
saraf otonom dan sensorik akan lebih dahulu diblok daripada saraf motorik. Hal
tersebut akan menimbulkan suatu dampak yang penting. Contohnya vasodilatasi dan
turunnya tekanan darah ketika saraf otonom diblok dan pasien tidak merasakan
sentuhan dan rasa sakit ketika operasi dimulai.13

Indikasi

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum-perineum
4. Bedah obstetri-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan
anestesia umum ringan.
Indikasi kontra absolut

1. Pasien menolak.
2. Infeksi pacla tempat suntikan.
3. Hipovolemia berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan.
5. Tekanan intrakranial meninggi.

33
6. Fasilitas resusitasi minim.
7. Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesia.
Indikasi kontra relatif
1. Infeksi sisternik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis.
4. Kelainan psikis.
5. Bedah lama.
6. Penyakit jantung.
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri purlggung kronis

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada


anestesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali
sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal
dilawah ini:
1. Informed consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-
lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial
thromboplastine time).
Peralatan analgesia spinal

1. Peralatan monitor
tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG
2. Peralatan resusitasi/anestesia umum

34
3. Jarum spinal
jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, Quicke-Babcock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point, Whitacare)

Gambar 7. Jarum Spinal

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien rnisalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain
ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3; L3-4
atau L4-5. Tusukan pada L7-2 atau di atasnya berisiko trauma terhadap medula
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

35
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1.-2% 2-3
ml.
5. Cara tusukan median atau Paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau
25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G,
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoducer), yaitu jarum suntik biasa
semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak seclikit ke arah
sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan
obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau Anda yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, Putar arah jarum 90° biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6cm.

Gambar 8. Posisi Duduk Pada Anestesi Gambar 9. Posisi Lateral Pada Anestesi
Spinal Spinal

36
Anestetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37°C ialah 1.003- 1.008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anestetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal
dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.12

Tabel Anestesi lokal yang paling sering digunakan


Anestetik Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Lidokain (Xylobain, Lignokain)
2% plain 1.006 Isobarik 20 – 100mg (2 – 5 ml)
5% dalam Dextrosa 7.5% 1.033 Hiperbarik 20 – 50mg (1 – 2 ml)
Bupivakain (Markain)
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5 – 20mg (1 – 4 ml)
0.5% dalam Dekstrosa 8.25% 1.027 Hiperbarik 5 – 15mg (1 – 3 ml)

Bupivakain

Bupivakain termasuk juga golongan amida yang akhir-akhir ini mulai banyak
digunakan. Bupivakain memiliki nama kimia 1-Butyl-N-(2,6- dimethylphenyl)-2-
piperidinecarboxamide hydrochloride. Pka bupivakain 8,1, PH bupivakain 5,5.
Protein binding bupivakain adalah 95%, lipid solubility 28, dengan volume distribusi
73 liter. Tersedia dalam bentuk isobarik maupun hiperbarik, dengan lama aksi 90-180
(hiperbarik), 90-240 (isobarik). Dosis total yang bisa digunakan adalah 7,5-22,5 mg
untuk isobarik, 10-20 mg untuk hiperbarik. Metabolisme bupivakain dalam bentuk

37
aromatik hydroxylation, N-dealkylation, amide hydrolisis dan mengalami konjugasi.
Hasil metabolit N-dealkylation yaitu N-desbutylbupivakain dapat dilihat pada darah
dan urin setelah dilakukan anestesi spinal. Bupivakain termasuk golongan anestesi
lokal onset lambat, durasi panjang, dan potensi yang tinggi. Blokade sensoriknya
lebih dominan dibandingkan dengan blokade motoriknya.
Lidokain

Lidokain ialah anestetika lokal tipe amino amida. Lidokain memiliki nama
kimia acetamide, 2-(diethylamino)-N-(2,6-dimethylphenyl). Pertama kali
dikembangkan oleh Nils Lofgren dan Bengt Lundqvist pada tahun 1943 dan pertama
kali dipasarkan pada tahun 1948. Lidokain mempunyai onset lebih cepat dan durasi
lebih panjang daripada anestetika lokal tipe amino ester seperti prokain. Lidokain
dimetabolisme di hepar mendekati 90%. Obat-obat anestesi lokal setelah
penyuntikan ekstravaskuler akan mengalami tahapan absorbsi, distribusi dan
eliminasi. Di samping tahapan tersebut, faktor kadar a-glikoprotein akan
mempengaruhi kadar konsentrasi lidokain dalam darah. Lidokain mudah diserap dari
tempat suntikan dan dapat melewati sawar darah otak.13
Tabel Perbedaan Lidokain dan Bupivakain
Nama Mulai Efek
Durasi
Obat Kerja Obat Samping
Kardiovaskuler: aritmia, bradikardi, spasme arteri,
kolaps kardiovaskuler, ambang defibrilasi meningkat,
udem, flushing, blok jantung, hipotensi, supresi simpul
SA, insufisiensi vaskuler (injeksi periartikuler). SSP:
agitasi, cemas, koma, bingung, disorientasi, pusing,
10 – 20 mengantuk, eforia, halusinasi, sakit kepala,
Lidokain Cepat
menit hiperestesia, letargi, kepala terasa ringan, cemas,
psikosis, seizure, bicara tidak jelas, somnolens, tidak
sadar. Dermatologi: angioedema, memar, dermatitis
kontak, depigmintasi, udem kulit, gatal, petekia,
pruritis, ruam, urtikaria.

Bupivakain Lambat 4 – 8 jam Anxietas, gangguan pendengaran, visus turun, depresi

38
cardiovaskuler, sakit kepala, hipotensi, bradikardi,
mual dan muntah.

Penyebaran anestesik lokal

Penyebaran anestesi lokal tergantung pada:


1. Faktor utama
a. Berat jenis anestetika lokal (barisitas)
b. Posisi pasien (kecuali isobarik)
c. Dosis dan volum anestesi lokal (kecuali isobarik)
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intraabdominal

Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:


- Volume obat analgetik lokal makin besar maka makin tinggi daerah
analgesia
- Konsentrasi obat makin pekat maka makin tinggi batas daerah analgesia
- Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
- Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
- Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block), pungsi L2-3 atau L3-4 obat
cenderung menyebar ke cranial.

39
- Berat jenis larutan: hiper, iso atau hipo barik.
- Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
- Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah
dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris
dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.

Komplikasi tindakan

1. Hipotensi berat
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah terjadinya
hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal merupakan
manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena: (1) Penurunan
darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena
venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena
penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok
simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri
menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik
sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai
akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal
ini tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi
tidak adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya
pada pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri).
Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90

40
atau 100 mmhg, atau penurunan presentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan
lamanya perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit. Oleh karena itu
kejadian hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat spinal
anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat (RL)
dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin
merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric
sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi
spinal. Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi
langsung yang menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak
langsung dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung
dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah
splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot.
Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena,
dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara
bolus IV 5-10mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal. Jadi lebih
bersifat simtomatik bukan pencegahan.
2. Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk
mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat
perubahan kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang
berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang
penting mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi
penurunan tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat

41
digunakan efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang
menghasilkan respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan
vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin
meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.
3. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan

1. Nyeri tempat suntikan


2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor.
4. Retensio urin
5. Meningitis

Persiapan Analgesia Spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada


anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Informed consent
Pasien sebelumnya diberitahu informasi tentang tindakan ini meliputi
tindakan anestesi, kemungkinan yang terjadi selama operasi dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
b. Pemeriksaan fisik

42
Pemeriksaan meliputi kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan
adanya kontraindikasi seperti infeksi, kelainan struktur anatomi seperti
skoliosis atau kifosis, atau pasien yang terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spnosus tidak teraba. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka
mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Penilaian hematokrit, Hb, leukosit, masa protrombin (PT), masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga ada pembekuan
darah, radiologi, EKG.
d. Menanyakan riwayat penyakit sistemik, saluran nafas dan alergi obat
obatan. Dari hasil kunjungan maka diketahui kondisi pasien dan
dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society of
Anesthesiologist (ASA):
ASA I: Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun psikiatrik.
Proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas lokalisasinya
dan tidak akan menyebabkan gangguan sistemik.
ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang
disebabkan baik oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan
pembedahan maupun oleh proses patofisiologis.
ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik yang berat, apapun penyebabnya.
ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancamjiwa, yang
tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan. Contoh pasien
dengan dekompensasi jantung.
ASA V: Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk hidup.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat (E= Emergency), misalnya ASA IE atau IIE.
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgitasi atau muntah. Pada pembedahan elektif,
pengosongan lambung dilakukan dengan puasa: anak 4 – 6 jam, bayi 3 – 4
jam., dewasa 6-8 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat

43
dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu
menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat)
atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam
keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk
dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi
izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
a. Penilaian prabedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi.
- Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan
beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2
minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol
juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
- Pemeriksaan Laboratorium

44
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.

Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan,
elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu juga untuk tindakan
emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB,
berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 10C kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
- Ringan = 4-6ml / kgBB / jam
- Sedang = 6-8 ml / kgBB / jam
- Berat = 8-10 ml / kg BB / jam
Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di bawah
20% dari volume darah total cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi
elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan
cairan Ringer Laktat. Koloid atau plasma ekspander kalau diberikan secara intravena
dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid dapat berupa gelatin (gelofusin).
 Koreksi perdarahan selama operasi:
o Dewasa:

45
 Perdarahan > 20% dari perkiraan volume darah = transfusi
 Perdarahan < 20% dari perkiraan atau koloid yang jumlahnya
sama dengan perkiraan jumlah perdarahan atau campuran
kristaloid + koloid
o Bayi dan anak:
 Perdarahan >10% dari perkiraan volume darah = transfusi
 Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan
kristaloid sebanyak 2-3x jumlah perdarahan atau koloid yang
jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah perdarahan atau
campuran kristaloid + koloid.
 Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan:
o Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampungan
o Tambahan berat kassa yang digunakan (1 gram = 1 ml darah)
o Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% x jumlah yang terukur +
terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup
lapangan operasi14

Operasi yang invasif dan melibatkan struktur yang kaya pembuluh darah
memiliki risiko yang lebih besar terhadap terjadinya perdarahan intraoperatif,
misalnya operasi laparotomi dan operasi patah tulang paha. Maka dari itu penting
untuk mempersiapkan transfusi darah pra operatif. Pasien dengan anemia yang terjadi
sebelum operasi harus lebih diwaspadai. Pasien dikatakan anemia jika terdapat
keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara
laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung
eritrosit, dan hematokrit.
Anemia salah satunya disebabkan oleh perdarahan akut, termasuk perdarahan
intraoperatif. Transfusi darah dapat diberikan dengan tujuan mengganti volume darah
yang hilang selama operasi dan koreksi terhadap faktor pembekuan. Indikasi
diberikannya transfusi intra operatif antara lain jika volume darah yang tersisa tidak

46
cukup mengisi intra vaskular, yaitu perdarahan >20% pada orang dewasa dan >10%
pada bayi dan anak, jika oksigenasi tidak adekuat, atau terdapat defek faal
hemostasis. Satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan
hematocrit 2-3% pada orang dewasa. Darah untuk transfusi intraoperatif harus
dihangatkan sampai 37°C terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi
untuk mencegah terjadinya hipotermia.8
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan
intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska operasi atau anestesi dapat terhindar
dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Perawatan di ruang pulih bertujuan untuk mempertahankan kestabilan sistem
respirasi dan sirkulasi serta melakukan pemantauan dan penanggulangan
kedaruratan medik yang terjadi. Secara garis besar pemantauan dan penanggulangan
kedaruratan medik meliputi kesadaran, respirasi, sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran
kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, nyeri, dan posisi
pasien. Kriteria pengeluaran pasien dari ruang pulih mempergunakan Skor Aldrete.
Nilai minimal untuk pengiriman pasien adalah 7-8 dengan catatan nilai kesadaran
boleh 1 dan aktivitas bisa 1 atau 0, sedangkan yang lainnya harus 2.8
Tabel Skor Aldrete
Objek Kriteria Nilai
Aktivitas  Mampu menggerakan empat ekstremitas 2
 Mampu menggerakkan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Respirasi  Mampu nafas dan batuk 2
 Sesak atau pernafasan terbatas 1
 Henti nafas 0

47
Tekanan darah  Berubah sampai 20% dari pra bedah 2
 Berubah 20%-50% dari pra bedah 1
 Berubah >50% dari pra bedah 0
Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
Warna kulit  Kemerahan 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0

48
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


a. Nama : Tn. P.R
b. Umur : 21 tahun
c. Tempat Tanggal Lahir : 17-10-2001
d. Jenis Kelamin : laki-laki
e. Suku : Papua
f. Pendidikan : SMA
g. Alamat : Tanah Hitam
h. Pekerjaan : Pelajar
i. Status marital : Belum menikah
j. Tinggi Badan : 160 cm
k. Berat Badan : 65 kg
l. Tanggal MRS : 22 Juni 2022
m. Nomor Rekam Medik : 496946

3.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis)


1. Keluhan Utama

Nyeri pada lutut kanan


2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Dok 2 dengan membawa pengantar dari


polik orthopedi dengan diagnosa non union fraktur femur dextra dan
direncanakan untuk operasi rekonstruksi dan ORIF femur. Pasien mengaku
merasakan nyeri pada lutut kanan, saat berjalan terasa pincang pada kaki
kanan. Pada bagian paha kanan tampak tidak simetris, nyeri tekan pada paha
minimal. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Wondama dengan diagnosa
closed fracture femur middle third dextra. Pasien mengaku sebelumnya
mengalami kecelakaan lalu lintas pada bulan januari 2022 namun tidak

49
melakukan pemeriksaan di RS setelah kecelakaan karena tidak tampak luka
terbuka.
3. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat hipertensi : disangkal


- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal

- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal


(Asma, TBC)
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
- Riwayat Obat yang diminum : disangkal
- Riwayat Anestesi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat diabetes mellitus : disangkal


- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal

5. Riwayat sosioekonomi

- Kebiasaan minum alkohol (-)


- Kebiasaan merokok (-)

6. Riwayat Alergi

- Riwayat alergi makanan : disangkal


- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


1) Tanda Vital
a. Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6

50
b. Tekanan Darah : 110/80 mmHg
c. Nadi : 80 x/menit
d. Respirasi : 21 x/menit
e. Suhu : 36,5oC
2) Status Generalis
a. Kepala
 Mata : Conjungtiva Anemis (-/-); Sklera Ikterik (-/-)
Sekret (-/-) Pupil isokor 3 mm dextra = sinistra
 Mulut : Oral Candidiasis (-); Faring tidak hiperemis;
Tonsil : (T1 = T1); Gigi Geligi: Caries dentis (+), gigi
palsu (-), gigi tanggal (-)
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Toraks
 Paru
Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas,
Retraksi interkostalis (-)
Palpasi : Taktil fremitus (Dextra = Sinistra); Vocal
fremitus (Dextra = Sinistra)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Sn. Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-); Wheezing (-/-)
Pleural friction rub (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat; Thrill (-)
Palpasi : Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline
Clavicula sinistra
Perkusi : Pekak (Batas jantung dalam batas normal)
Auskultasi : BJ I=II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, Supel, Jejas (-)

51
Palpasi : Nyeri tekan regio abdomen (-)
Hepar/Lien: (tidak teraba membesar)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal 6x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik
Edema (-), Ulkus (-), Fraktur (+) femur dextra,
Deformitas (+) femur dextra
Genitalia : Tidak ada kelainan. Dalam batas normal.

3) Status Anestesi Pre Operasi


B1 Airway bebas, leher bergerak bebas, malampati score: I
Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:21 x/m, palpasi:
Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+,
ronkhi-/-, wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time< 2 detik, BJ: I-II
murni regular, murmur (-) gallop (-) Nadi : 80 x/m; TD: 110/80 mmHg
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat kejang (-),
riwayat pingsan (-)
B4 BAK (+) warna kuning jernih, DC (-)
B5 Simetris, Supel, Datar, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak
Teraba; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); BAB : (+)
GDS : -
B6 Akral hangat (+), edema (-), fraktur (+), deformitas (+)
Status Lokalis : Regio femoris dextra
Vulnus (-)

4) Status Lokalis: Regio Femoris Dextra


Look : Deformitas (+), Edema (-), Vulnus (-)
Feel : Nyeri tekan (+), krepitasi (-)

52
Movement : ROM terbatas nyeri
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil Uji Hematologi Rutin (15 Juni 2022)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
1 Hemoglobin 12,8 13.6 – 17.3 g/dL
2 Hematokrit 41,2 41.3 – 52.1 %
3 Eritrosit 6.31 4.11 – 5.55 juta/uL
6 Leukosit 7,71 4.79 – 11.34 ribu/uL
7 Trombosit 250 216 – 451 ribu/uL
8 PT (Waktu Protrombin) 10.6 10.2 – 12.1 detik
9 APTT 29.2 24.8 – 34.4 detik
10 SGOT 21.0 <= 40 U/L
11 SGPT 17.0 <= 41 U/L
12 BUN 8.4 7 – 18 mg/dL
13 Creatinin 0.79 <= 0.95 mg/dL

b. Pemeriksaan Foto Rontgen Regio femoris dextra

Gambar 10. Foto Rontgen Cruris Dextra AP/Lateral

53
3.5 DIAGNOSIS KERJA
o Non union fraktur femur dextra

3.6 PENATALAKSANAAN
o IVFD Ringer Laktat 500 mg / 8 jam = 20 tpm
o Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
o Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
o Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

3.7 PROGNOSIS
a. Quo ad Vitam : Ad Bonam
b. Quo ad Fungtionam : Dubia Ad Bonam
c. Quo ad Sanationam : Ad Bonam

3.8 KONSULTASI TERKAIT


A. Jawaban Konsul Sp.An (21/06/2022) :
 PS ASA II
 Informed consent & SIA
 Swab PCR belum ada
 Puasa mulai dari jam 24.00 WIT
 Pre Op pukul 06.00 WIT
 Pasang RL 20 tpm dengan abocath No. 18G
 Siap darah WB 3 – 4 bag

3.9 PENENTUAN PS ASA


PS ASA : II

54
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan
baik oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh
proses patofisiologis.
3.10 PERSIAPAN ANESTESI
PS. ASA II
Informed Consent Sudah dilakukan
Hari/Tanggal 21/06/2022
Diagnosa Pra Bedah Non union fraktur femur dextra
Diagnosa Pasca Bedah Malunion fraktur femur dextra
Keadaan Pra Bedah
Keadaan Umum Tampak Sakit Sedang
Makan terakhir 24:00 WIT
BB 65 kg
TTV TD: 120/80mmHg N:62x/m
RR: 20x/m SB: 36,5°C
B1 Airway bebas, leher bergerak bebas, malampati score:
I; Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:20
x/m, palpasi: Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor,
suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-, wheezing -/-,
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time< 2
detik, BJ: I-II murni regular, murmur (-) gallop (-)
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat
kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 Terpasang DC, BAK (+) warna kuning jernih
Ureum: - mg/dl; Kreatinin: - mg/dl
B5 Perut tampak datar, palpasi: nyeri tekan (-), perkusi:
tympani, BU (+) normal
B6 Akral hangat (+), edema (-), fraktur (+), deformitas (+)
Status Lokalis : Regio Femur Dextra

55
3.11 LAPORAN DURANTE OPERASI
Ahli Anestesiologi dr. D.W, Sp.An, KIC
Ahli Bedah dr. J.D.A, Sp.OT (K) Spine
Jenis Pembedahan Rekonstruksi + ORIF Femur
Lama operasi 09.35 – 12.05 WIT
Jenis Anastesi Anastesi Regional - Anastesi Blok Subarachnoid
Anastesi dengan Bupivakain HCl 0,5% 15 mg
Teknik Anastesi Pasien duduk di meja operasi dan kepala
menunduk, dilakukan septic di sekitar daerah
tusukan yaitu di region vertebra lumbal 3-4,
dilakukan block subaracahnoid (injeksi lidokain
dengan jarum spinal regio vertebra antara lumbal
3-4), cairan serebrospinal keluar (+), darah (-)
jernih, dilakukan block.
Pernafasan Spontan respirasi dengan O2 nasal 3 liter per
menit
Posisi Supine
Infus Tangan kiri terpasang IV line abocath 18 G
dengan cairan Ringer Lactat
Penyulit selama pembedahan
Obat yang digunakan
Premedikasi Ceftriaxone 1gr
Induksi dan Maintanance Bupivakain HCl 0,5% 15mg
Medikasi Durante Operasi - Efedrin 10mg i.v
- Petidine 30mg i.v
- Sedacum 1mg i.v
- Efedrin 5mg i.v
- Sedacum 2mg i.v
- Petidine 20mg i.v

56
- Sulfas atropin 0,2mg i.v
- Efedrin 10mg i.v
- Ranitidin 50mg i.v
- Ondancentron 4mg i.v
- Antrain 1gr i.v
- Asam Traneksamat 1gr i.v
- Paracetamol 1gr drip iv.v
Keadaan akhir pembedahan TD 117/55; Nadi 101x/m; RR: 20x/menit; SpO2:
100%

3.12 DIAGRAM OBSERVASI


140

120

100

80

60

40

20

0
09.15 09.25 09.35 09.45 09.55 10.05 10.15 10.25 10.35 10.45 10.55 11.05 11.15 11.25 11.35 11.45 11.55 12.05

Sistol Diastol Nadi

3.12 TERAPI CAIRAN


Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI

1. Maintenance = Input : RL 500 cc


BB x Kebutuhan cairan/24 jam
Output : Urine : 200 cc
65 kg x 40-50cc = 2600 cc – 3250 cc/24jam
Kebutuhan cairan/jam = 108-135cc/jam
2. Replacement
Puasa 10 jam:
10 jam x kebutuhan cairan/jam=

57
10 x 108-135cc/jam = 1080 cc – 1350cc

DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI


Kebutuhan cairan selama operasi 150 menit
1. Maintenance Input :
kebutuhan cairan per jam 108-135cc/jam RL 500 cc
2. Replacement Gelafusal 500 cc
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 65 kg = 4550 cc NaCl 500 cc
EBL = 10% x 4550 = 455 cc WB : 350 cc
20% x 4550 = 910cc PRC : 300 cc
30% x 4550 = 1365cc
Total perdarahan = 600cc Output :
Perdarahan >10% dan <15% EBL, sehingga Terpasang DC, Urin (+)
dapat diganti dengan cairan kristaloid 2-4 x EBL Produksi 300 cc
= 1200 – 2400cc
Total Perdarahan = 600 cc
Kasa kecil = 20 x 5 cc =100 cc
3. Pergantian kehilangan cairan karena
Suction : 500cc
penguapan selama operasi

Operasi kecil : 4-6ml x BB


Operasi sedang : 6-8ml x BB
Operasi besar : 8-10ml x BB
= BB x jenis operasi sedang
= 65kg x 6-8ml
= 390-520 cc/jam
Lama operasi 150 menit, cairan yang
hilang = 390-520cc x 2.5jam = 975-1300 cc.

Total kebutuhan cairan durante operasi :


Maintenance + Replacement + Penguapan
= (108 - 135 cc) + (1200 – 2400cc) + (975-
1300cc)

58
= 2283cc – 3835cc

POST OPERASI
1. Maintenance
BB x Kebutuhan cairan/24 jam
65 kg x 40-50cc = 2600 cc – 3250 cc/24jam
kebutuhan cairan per jam 108-135cc/jam

3.13 Follow Up Pasien


Hari/ Follow Up Planning
Tanggal (Terapi Medikamentosa)

59
05/7/2022 S : Keluhan Utama: Nyeri pada luka bekas  IVFD NaCl 0.9% 500 cc/8
operasi paha kanan jam
O:  Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang  Inj. Rantidin 50 mg/12 jam
O2, RR: 20 x/m  Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-),  Hypobach 100 mg/12 jam
CRT<2”, TD:120/70 mmHg, Nadi 85x/m
 Foto kontrol femur dextra
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat,
AP/Lateral
Isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+)
 mobilisasi
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: - mg/dl;
Kreatinin: - mg/dl
B5 : Datar, Supel, BU: 3x/15 Detik ;
Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Besar; Nyeri
Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT; - U/L; AST: -
U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (+) femur
dextra

Assessment:
Malunion fraktur femur dextra post
rekonstruksi + ORIF femur (H1)
06/6/2022 S : Keluhan Utama: Nyeri luka operasi di paha  IVFD NaCl 0.9% 500 cc/8
kanan jam
O:  Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
B1 : Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang  Inj. Rantidin 50 mg/12 jam
O2, RR: 20 x/m  Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-),  Hypobach 100 mg/12 jam
CRT<2”, TD:120/80 mmHg, Nadi 82x/m
 GV
B3 : Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat,
 mobilisasi
Isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+)

60
B4 : Buang air kecil spontan (+), Ureum: - mg/dl;
Kreatinin: - mg/dl
B5 : Datar, Supel, Bu 4x/15 Detik ;
Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Besar; Nyeri
Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT; - U/L; AST: -
U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (+) femur
dextra

Assessment:
Malunion fraktur femur dextra post
rekonstruksi + ORIF femur (H2)
07/6/2022 S : Keluhan Utama: Nyeri luka operasi di paha Obat pulang:
kanan berkurang - Cefixime 200 mg 2x1
O: - Calcitriol 0,5 mg 2x1
B1 : Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang - Meloxicam 75 mg 2x1
O2, RR: 18 x/m Instruksi:
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), BPL
CRT<2”, TD:115/60 mmHg, Nadi 83x/m
B3 : Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat,
Isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+)
B4 : Buang air kecil spontan (+)
B5 : Datar, Supel, Bu 3x/15 Detik ;
Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Besar; Nyeri
Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT; - U/L; AST: -
U/L; BAB : (+)
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (+) femur
dextra
Assessment:

61
Malunion fraktur femur dextra post
rekonstruksi + ORIF femur (H3)

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien diantar oleh keluarganya datang ke IGD RSUD Dok II Jayapura


dengan membawa pengantar dari polik orthopedi dengan diagnosa Non-union fraktur
femur dextra dan direncanakan untuk dilakukan operasi ORIF. Pasien merupakan
rujukan dari RSUD Wondama dengan diagnosa Closed fracture femur middle third
dextra. Sebelumnya pasien mengaku pernah mengalami kecelakaan sepeda motor
pada bulan januari, namun tidak dilakukan pemeriksaan hingga bulan april 2022.
Nyeri pada lutut kanan (+), pasien mengeluh merasakan tidak seimbang saat berjalan,
edema (-), demam (-), tidak tampak tanda-tanda peradangan.
Riwayat penyakit dahulu seperti DM, hipertensi, kardiovaskuler, penyakit
pernafasan disangkal. Riwayat penyakit keluarga seperti DM, asma, hipertensi

62
disangkal. Riwayat alergi makanan, dan obat-obatan disangkal. Kebiasaan merokok,
alkohol dan narkotika disangkal.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium didapatkan hasil tekanan
darah 110/80mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 21 x/menit, Suhu 36,5oC dan dari
pemeriksaan fisik status lokalis pada femur dextra tampak deformitas pada femur,
edema (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), kekuatan otot 5. Hasil laboratorium
didapatkan hasil Hb 12,8 g/dL, Eritosit 6,31 ribu/uL, Leukosit 7,71 ribu/uL, trombosit
250 ribu/uL, PT 10,6 detik, APTT 29,2 detik.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien pada
kasus ini didiagnosa dengan Non-union fraktur femur dextra.

4.1 Penentuan PS ASA


Physical Status: American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik
yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan tindakan
anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi pada pasien
tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal tersebut.

TEORI KASUS
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, PS ASA II
psikiatrik, biokimia. Berdasarkan klasifikasi dari
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik The American Society of
ringan atau sedang. Anesthesiologists (ASA)
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik pasien ini digolongkan dalam
berat, sehingga aktivitas rutin terbatas. PS ASA II karena adanya
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sitemik fraktur femur dan anemia
berat, tidak dapat melakukan aktivitas rutin ringan.
dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan
dengan atau tanpa pembedahan hidupnya

63
tidak akan lebih dari 24 jam.
Hasil : Sudah tepat

4.2 Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa Menggunakan Regional Anestesi


(SAB)?
Pada kasus ini, pasien dilakukan tindakan anestesi spinal atau anestesi block
subarachnoid. Teknik anestesi regional dapat digunakan karena prosedur
ortopedi umumnya terlokalisir dan pada ekstremitas, kecuali bila terdapat
kontraindikasi. Teknik anestesi regional lebih baik dibanding anestesi umum,
karena mempercepat rehabilitasi dan pemulihan pasien, memberikan analgesia
pascabedah yang baik, mengurangi insiden mual dan muntah, depresi respirasi
dan kardiak lebih minimal, meningkatkan perfusi melalui blok simpatis,
mengurangi perdarahan, dan mengurangi risiko tromboemboli. Anestesi
regional tidak membutuhkan manipulasi jalan napas, dan pasien yang sadar
dapat diposisikan lebih aman dan nyaman untuk pembedahan. Namun terdapat
kerugian dalam pemilihan anestesi regional yaitu tingginya kejadian hipotensi
yang sering menimbulkan kejadian muntah-muntah, kemungkinan timbulnya
post dural puncture headache (PDPH), lama kerja obat anestesi terbatas.

4.3 Penentuan Obat Anestesi


Pada kasus ini, pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu
bupivakain HCL. Berdasarkan teori bupivakain lebih kuat dan lama kerjanya 2 –
3 x lebih lama dibanding lidokain atau mepivakain, Onset anestesinya juga lebih
lambat dibanding lidokain, ikatan dengan HCl mudah larut dalam air, pada
konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Pada pasien digunakan
Bupivakain 0,5% dengan dosis 15 mg dengan durasi pembedahan 2 jam 30
menit. Efek samping: hipotensi, bradikardia, sakit kepala, blockade spinal tingkat
atau total, reaksi neurologis dan alergi: toksisitas sistemik akut, paralisis
intercostal.

64
Setelah induksi, beberapa obat anestesi juga diberikan untuk rumatan
anestesi diantaranya Sedacum, yang memberikan efek sedasi namun tidak
menekan pernapasan, serta pethidine sebagai analgetik opiate meringankan sakit
dengan cepat sehingga meningkatkan kenyamanan pasien, mengurangi ansietas,
menuju dosis total opioid yang lebih rendah serta menimbulkan analgesia, sedasi,
euforia, depresi nafas dan efek sentral lain.
Selama proses anestesi, monitoring vital sign terus dilakukan. Pada kasus ini,
pasien sempat mengalami penurunan tekanan darah 94/43 mmHg sehingga
pasien diberikan diberikan Ephedrin. Ephedrin merupakan obat golongan non
spesifik agonis adrenergik yang bekerja paling kuat pada β1 adrenoreseptor
jantung dengan meningkatkan curah jantung serta laju nadi sehingga tekanan
darah menjadi stabil.
Pada pasien ini juga diberikan asam traneksamat 1 gr secara IV. Tranexamic
acid bekerja dengan menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin
(fibrinolysin), suatu enzim yang mendegradasi gumpalan fibrin, fibrinogen,
dan protein plasma lainnya termasuk faktor procoagulan V dan VIII. Tranexamic
acid juga secara langsung menghambat aktivitas plasmin, namun dibutuhkan
dosis yang lebih tinggi. Tranexamic acid mampu menjalin ikatan yang lebih kuat
daripada aminocaproic acid untuk menuju ke reseptor kuat dan lemah.
Pada pasien juga diberikan ranitidin yang merupakan golongan obat
antihistamin reseptor 2 (AH2). Ranitide bekerja menghambat pengikatan
histamin ke reseptor H2, sehingga mengurangi sekresi asam lambung dan
meningkatkan pH lambung. Selain itu, pasien juga diberikan obat ondancetron
yaitu antagonis reseptor 5-HT3, yang memiliki sifat anti-emetik. Obat ini secara
selektif memblokir reseptor serotonin 5-HT3, yang terletak di perifer (aferen
vagal abdominal) dan sentral (zona pemicu kemoreseptor dari area postrema dan
nucleus tractus solitarius) yang berperan penting dalam inisiasi refleks muntah.
Antagonis reseptor 5-HT3 umumnya diberikan pada akhir operasi.

65
Sebelum tindakan anestesi dihentikan, pasien diberi injeksi antrain 1000 mg
(sediaan 1 ampul (2ml) 500 mg/ml) untuk meredakan nyeri akibat operasi.
Kemudian drip paracetamol 1gr sebagai analgesik.

4.4 Critical Point


Problem
Aktual Potensial Planning
List
B1 Pre Operatif
1. Hipoksia 1. Pemberian O2 yang
adekuat
2. Monitor tanda-tanda
vital
3. Evaluasi tanda klinis
depresi nafas
Airway: bebas,
Malampati score I, Durante Operatif
gigi caries (+), 1. Hipoksia 1. Pemberian O2
gigi tanggal (-), 2. Hiperkarbia adekuat dengan
gigi palsu (-)
menggunakan nasal
kanul 2-4 lpm
Breathing : thoraks 2. Monitoring tanda-
simetris, ikut gerak tanda vital
napas, RR: 20 x/m,
perkusi: sonor, 3. Aspirasi oleh 1.Pengosongan
suara napas hipersekresi saliva lambung dengan pasien
vesikuler+/+,
ronkhi-/-, wheezing dipuasakan
-/- 2. Mengurangi produksi
asam lambung
Post Operatif
1. Hipoksia 1. Pemberian O2 yang
adekuat
2. Monitoring tanda-
tanda vital
B2 Perfusi: hangat, Pre Operatif
kering, merah 1. Dehidrasi akibat 1. Pemberian cairan pre

66
CRT < 2 detik puasa operatif adekuat
2. Loading cairan
Cor: BJ I-II murni, preoperasi 500-1000cc
regular, murmur (-),
gallop (-) Durante Operatif
Konjungtiva anemis 1. Perdarahan sampai 1. Monitoring tanda-
syok hipovolemik tanda vital
(+/+) 2. Menghitung EBV-
EBL
TD 120/80mmHg 3. Observasi tanda-
Nadi 86x/menit tanda syok dan
klasifikasi derajat
syok
4. Penggantian
kehilangan darah
dengan kristaloid (2-
4 x EBL), koloid (1
x EBL), atau produk
darah (1 x EBL)
Hipotensi 1. Monitoring tanda-
tanda vital
2. Cari penyebab
hipotensi dan atasi:
- Hipotensi akibat
kurang cairan:
rehidrasi cairan
kristaloid
- Hipotensi akibat
blok spinal:
pemberian efedrin
5-10 mg yang sudah
diencerkan.
3. Bradikardia 1. Pemberian Sulfas
Atropin 0,5mg
4. Takikardia karena 1. Pemberian sedative
(contohnya
pasien cemas
midazolam)
Post Operatif 1. Periksa Hb post
1.Perdarahan pada operasi, jika Hb
luka operasi rendah lakukan
tranfusi
2. Sepsis 2. Pemberian antibiotik

67
B3 Kesadaran Compos Durante Operasi 1. Observasi kesadaran
Mentis 1. Penurunan Monitoring tanda-
Riwayat kejang (-) kesadaran tanda vital
Riwayat pingsan (-) 2. Peningkatan TIK 2. Observasi tanda-
Pupil : Bulat, akibat obat anestesi tanda TIK
isokhor, ϴ 3. Nyeri kepala 3. Berikan anti nyeri

3mm/3mm, RC +/+
B4 Produksi urine
dipantau melalui Oliguria atau retensi 1. Monitoring produksi
urin akibat hipotensi dan warna urin.
kateter 2. Pemberian cairan
atau hipovolemik
Produksi urine (+), yang adekuat untuk
mengatasi dehidrasi.
warna kuning
B5 Perut datar, supel Pre Operatif
Bising usus (+) 1. Mual, muntah
Nyeri tekan (-)
Hepar/lien tidak
teraba Pemberian Ranitidin
Mual (-) Durante Operatif dan Ondancentron
Muntah (-) 1. Risiko refluks
BAB (+) gastroesofageal saat
operasi
B6 Post Operatif 1. Observasi tanda-
1. Sindrom tanda sindroma
kompartemen kompartemen,
Akral hangat (+),
edema (-), fraktur
(+), deformitas (+), 2. Edema tungkai 1. Posisikan pasien
ulkus(-) regio
femur dextra
1. Pemberian antibiotik
2. Infeksi luka
2. Perawatan luka
operasi
operasi

68
Selama durante operasi pada fraktur femur yang perlu diperhatikan adalah
perdarahan. Femur diperdarahi oleh banyak pembuluh darah, misalnya arteri
femoralis, arteri profunda femoris dan arteri obturatoria, sehingga bisa menyebabkan
terjadinya perdearahan yang banyak. Perkiraan perdarahan yang dapat terjadi selama
durante operasi pada pasien fraktur femur bisa mencapai 5000 cc. Sehingga sangat
perlu mengevaluasi jumlah perdarahan pada pasien fraktur femur selama durante
operasi untuk mengantisipasi supaya pasien tidak jatuh ke dalam keadaan hipotensi,
takikardi, bahkan sampai mengalami syok hipovolemi akibat perdarahan. Jika
perdarahan <20% EBL maka dapat diganti dengan cairan kristaloid 2-4x EBL dan
koloid 1x EBL. Jika perdarahan >20% dapat dipertimbangakan untuk dilakuakan
transfusi darah.
4.5 Terapi Cairan Pada Pasien
Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI

1. Maintenance = Input : RL 500 cc


BB x Kebutuhan cairan/24 jam
65 kg x 40-50cc = 2600 cc – 3250 cc/24jam Output : Urine : 200
Kebutuhan cairan/jam = 108-135cc/jam cc
2. Replacement
Puasa 10 jam:
10 jam x kebutuhan cairan/jam=
10 x 108-135cc/jam = 1080 cc – 1350cc

DURANTE OPERASI DURANTE


Kebutuhan cairan selama operasi 150 menit OPERASI
1. Maintenance
kebutuhan cairan per jam 108-135cc/jam Input :
2. Replacement RL 500 cc
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 65 kg = 4550 cc Gelafusal 500 cc
EBL = 10% x 4550 = 455 cc NaCl 500 cc
20% x 4550 = 910cc WB : 350 cc
30% x 4550 = 1365cc PRC : 300 cc
Total perdarahan = 600cc
Perdarahan >10% dan <15% EBL, sehingga dapat diganti Output :
dengan cairan kristaloid 2-4 x EBL = 1200 – 2400cc Terpasang DC, Urin

69
(+)
Produksi 300 cc
3. Pergantian kehilangan cairan karena penguapan
selama operasi Total Perdarahan =
600 cc
Operasi kecil : 4-6ml x BB Kasa kecil = 20 x 5
Operasi sedang : 6-8ml x BB cc =100 cc
Operasi besar : 8-10ml x BB Suction : 500cc
= BB x jenis operasi sedang
= 65kg x 6-8ml
= 390-520 cc/jam
Lama operasi 150 menit, cairan yang hilang = 390-
520cc x 2.5jam = 975-1300 cc.

Total kebutuhan cairan durante operasi :


Maintenance + Replacement + Penguapan
= (108 - 135 cc) + (1200 – 2400cc) + (975-1300cc)
= 2283cc – 3835cc
POST OPERASI Input:
1. Maintenance RL 500cc 20tpm
BB x Kebutuhan cairan/24 jam
65 kg x 40-50cc = 2600 cc – 3250 cc/24jam
kebutuhan cairan per jam 108-135cc/jam

Selama preoperatif pasien diberikan cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) yang
merupakan larutan isotonik yang komposisinya serupa dengan cairan ekstraseluler,
mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskular sehingga
bermanfaat untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit. Pemberian kristaloid saat
dilakukan anestesi spinal lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya
hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume
intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan
curah jantung.
Pada kasus ini kebutuhan cairan preoperatif pasien sebagai pengganti puasa
selama 10 jam yaitu 1080 cc – 1350cc, aktualnya input cairan yang diberikan pada

70
pasien sebelum tindakan operasi sebanyak 500cc. Sehingga pada kasus ini kebutuhan
cairan pasien selama preoperatif belum cukup terpenuhi.
Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
maintenance cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan
replacement cairan yang hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total
estimasi kehilangan darah selama operasi.
Pada kasus ini total kebutuhan cairan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan durante operasi pasien berjumlah 2.283cc – 3.835cc, sedangkan aktualnya
pasien pada kasus diberikan 2.150cc. Jumlah tersebut belum mencukupi kebutuhan
cairan pasien selama durante operasi dengan berat badan pasien 65kg dan lama
operasi 150 menit (2 jam 30 menit).
Selama durante operasi terjadi perdarahan pada pasien ±600cc. Sesuai
perhitungan Estimate Blood Loss (EBL), perdarahan pasien termasuk <20% EBL.
Berdasarkan teori, jika jumlah perdarahan <20% EBL maka dapat diganti dengan
cairan kristaloid 2-4x EBL dan koloid 1x EBL. Jika perdarahan >20% maka
dipertimbangkan untuk dilakukan transfusi darah. Pada kasus ini pasien dilakukan
pemberian transfusi darah sebab sebelum dilakukan operasi Hb pasien yaitu 12,8g/dL
termasuk dalam anemia ringan dan dengan perdarahan pasien <20% EBL maka
dilakukan pemberian transfusi pada kasus ini.

71
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan pasien digolongkan pada PS ASA 2 karena adanya penyakit
sistemik ringan berupa fraktur femur dan anemia ringan.
2. Pada kasus ini dilakukan pembedahan ORIF (open reduction internal
fixation) pada femur dextra dengan anestesi regional blok subarachnoid
menggunakan obat anestesi lokal golongan amida (Bupivakain 0,5% 15 mg)
3. Critical point dalam tatalaksana pada kasus ini adalah hipoksia, dehidrasi
akibat puasa, perdarahan sampai syok hipovolemik, hipotensi, bradikardi,
takikardi, risiko refluks gastroesofageal, sindrom kompartemen, sepsis, dan
edema tungkai
4. Pada kasus ini kebutuhan cairan pre-operatif, durante operasi dan post-
operasi pasien belum cukup terpenuhi.

5.1 SARAN
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, serta perlu melihat
kembali perhitungan dan kebutuhan cairan harian pasien agar dapat tercukupi.

72
Daftar Pustaka

1. Soenarjo & Jatmiko, H.D. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi Dan


Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip/Rsup Dr. Kariadi Semarang
2. Erin Gottlieb dan Andropoulos.2011. Pediatrics dalam Miller’s Basic of
Anesthesia Sixth Edition. Elsevier; 546-57
3. Nayagam, Selvadurai. 2010. Principles of Fractures. Dalam: Solomon, L.,
Warwick, D. dan Nayagam, S. eds. Apley's system of orthopedics and
fractures. CRC press.
4. Michael A. Anatomi dan fisiologi tulang dan sendi.2005. Dalam: Patofisologi,
konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Editor: Sylivia.A, Lorraine M.
Jakarta: EGC, p1357-64
5. Richard S. Snell. 2002. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. EGC: Jakarta.
6. Mansjoer, dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius: Jakarta
7. Sjamsuhidajat. R, Wim De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah ed 2. Penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta
8. Rusmono. 2011. Referat Penatalaksanaan Anestesi dan Reanimasi pada
Fraktur Femur. Yogyakarta: RS Muhammadiyah
9. Rasjad C. Struktur dan Fungsi Tulang.2012. Dalam: Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi. Makassar: Bintang Lamumpatue.
10. Apley, A. Graham. 1995. Apley’s System Of Orthopaedics And Fracture 7ed.
Jakarta: Widya Medika.
11. Shander A., Lobel G.P., Mazyark J. 2016. Anesthesia for Patients with
Anemia in Journal of Anesthesiology Clinics. Dari

73
http://dx.doi.org/10.1016/j.anclin. Elsevier Inc. Anesthesiology Clin 34 (2016)
711–730.
12. Latief, Suryadi dan Dachlan. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi
Kedua. Jakarta. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif.
13. Utomo. “Anestesi Spinal”. 2009. Dari:
http://eprints.uns.ac.id/10388/1/81372207200904411.pdf
14. Mangku G. dan T. G. A. Senapathi. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks

74

Anda mungkin juga menyukai