Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

“ANASTESI REGIONAL PADA PASIEN HERNIA”

Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior


Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh:

Beta Gustilawati (20360066)


Fenta Loka Tata (20360031)
Nabella Putri Munggaran (20360088)
Nabilah Tarisa (20360089)

Pembimbing:

dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANASTESI


RSU HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Anestesi Regional pada Pasien Hernia”. Penyusunan tugas ini
dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang diberikan
pembimbing.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An,
KAP, KMN selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ilmu anestesi
serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan maupun
materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Medan, 8 Februari 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................. i


Kata Pengantar............................................................................................... 2
Daftar Isi........................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 4
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 5
2.1 Anatomi dan Fisiologi.............................................................................. 5
2.2 Definisi..................................................................................................... 11
2.3 Epidemiologi............................................................................................ 12
2.4 Etiologi..................................................................................................... 13
2.5 Bagian Klasifikasi Hernia........................................................................ 14
2.6 Patofisiologi............................................................................................. 16
2.7 Diagnosis.................................................................................................. 17
2.8 Komplikasi............................................................................................... 21
2.9.Diagnosis Banding................................................................................... 22
2.10.Penatalaksanaan..................................................................................... 22
2.11.Prognosis................................................................................................ 23
2.12. Pencegahan........................................................................................... 24
2.13. Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi................................................... 24
2.14. Konsep Spinal Anestesi........................................................................ 26
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................... 31
BAB IV KESIMPULAN............................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hernia didefinisikan adalah suatu penonjolan abnormal organ atau jaringan
melalui daerah yang lemah (defek) yang diliputi oleh dinding. Meskipun hernia dapat
terjadi di berbagai tempat dari tubuh kebanyakan defek melibatkan dinding abdomen
pada umumnya.6 Penyebaran hernia paling banyak berada di negara berkembang seperti
negara- negara di Afrika dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan pada tahun 2017
terdapat sekitar 50 juta kasus degenerative salah satunya adalah hernia, dengan insiden
di negara maju sebanyak 17% dari 1000 populasi penduduk, sedangkan beberapa negara
di Asia menderita penyakit Hernia berkisar 59%.7
Penyebab terjadinya hernia :10,11 Lemahnya dinding rongga perut yang
didapatkan sejak lahir atau didapat kemudian dalam hidup. Akibat dari pembedahan
sebelumnya. Diagnosis dari hernia meliputi anamnesis pasien dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan lab, pemeriksaan radiologis dan
pemeriksaan ultrasound. Komplikasi hernia inguinalis lateralis bergantung pada keadaan
yang dialami oleh isi hernia. Penatalaksanaan meliputi pengobatan konservatif (reposisi
dan bantalan penyangga) dan operatif (herniotomy, hernioplasty, hernioraphy).
Prognosis meliputi jika perbaikan hernia inguinalis bilateral secara bersamaan tidak
meningkatkan tegangan jahitan dan bukan merupakan penyebab kekambuhan seperti
yang dipercaya sebelumnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

A. Regio Inguinalis
Regio Inguinalis adalah area pertemuan antara dinding anterior abdomen dan
regio femoralis. Di daerah ini, dinding abdomen lemah karena perubahan selama masa
perkembangan dan saccus atau diverticulum peritonealis, dengan atau tanpa isi
abdomen, dan karenanya dapat menyebabkan penonjolan yang di sebut denga hernia
inguinalis. Regio inguinalis terdiri dari beberapa lapisan diantaranya1 :
1. Kulit (kutis)
2. Jaringan sub kutis (Camper’s dan Scarpa’s) yang berisikan lemak. Fasia ini terbagi
dua bagian, superfisial (Camper) dan profundus (Scarpa). Bagian superfisial meluas
ke depan dinding abdomen dan turun ke sekitar penis, skrotum, perineum, paha,
bokong. Bagian yang profundus meluas dari dinding abdomen ke arah penis (Fasia
Buck).
3. Innominate fasia (Gallaudet) lapisan ini merupakan lapisan superfisial atau lapisan
luar dari fasia muskulus obliqus eksternus. Sulit dikenal dan jarang ditemui.
4. Apponeurosis muskulus obliqus eksternus, termasuk ligamentum inguinale
merupakan penebalan bagian bawah aponeurosis muskulus obliqus eksternus.
Terletak mulai dari SIAS sampai ke ramus superior tulang publis. Lakunar
Merupakan paling bawah dari ligamentum inguinale dan dibentuk dari serabut
tendon obliqus eksternus yang berasal dari daerah Sias. Ligamentum ini membentuk
sudut kurang dari 45 derajat sebelum melekat pada ligamentum pektineal.
Ligamentum ini membentuk pinggir medial canalis femoralis. Ligamentum ini
dibentuk dari serabut aponeurosis yang berasal dari crus inferior cincin externa yang
meluas ke linea alba.
5. Muskulus transversus abdominis dan aponeurosis muskulus obliqus internus, falx
inguinalis (Henle) dan konjoin tendon.

5
6. Fasia transversalis dan aponeurosis yang berhubungan dengan ligamentum pectinea
(Cooper), iliopubic tract, falx inguinalis dan fasia transversalis.
7. Preperitoneal connective tissue dengan lemak.
8. Peritoneum.
9. Superfisial dan deep inguinal ring.2

Gambar 1. Dinding Canalis Inguinalis

6
Gambar 2. Spermatic Cord

Kelemahan yang ada di dinding anterior abdomen pada regio inguinalis ini
dikarenakan oleh perubahan-perubahan yang terjadi selama perkembangan gonad.
Sebelum testis dan ovarium turun dari posisi asalnya yang tinggi di dinding posterior
abdomen, terbentuklah kantong keluar peritoneum (prosesus vaginalis). Yang dilapisi
oleh beberapa lapisan dinding anterior abdomen. Selanjutnya prosesus vaginalis
membentuk struktur tabung tubuler dengan penutup berlapis dari lapisan dinding
anterior abdomen yang membentuk struktur dasar canalis inguinalis. Peristiwa akhir
pada perkembangan ini adalah turunnya testis kedalam cavitas pelvis. Proses ini
tergantung pada perkembangan gubernaculum, yang terbentang dari batas inferior gonad
yang sedang berkembang sampai ke tonjol labioscrotalis di dalam perineum yang juga
sedang berkembang.1

Prosesus vaginalis berada tepat di anterior gubernaculum di dalam canalis


inguinalis. Pada pria, ketika testis turun, testis dan vas deferen, ductus, dan nervi yang
menyertainya melewati canalis inguinalis dan karenanya dikelilingi oleh lapisan-lapisan
fascia yang sama dari dinding abdomen. Turunnya testis menyempurnakan
pembentukan funiculus spermaticus pada pria. Pada wanita, ovarium turun ke dalam
cavitas pelvis dan terkait dengan perkembangan uterus. Oleh karenannya, struktur yang
melewati canalis inguinalis hanyalah ligamentum teres uteri, yang merupakan sisa
gubernaculum. Pada kedua jenis kelamin rangkaian perkembangan ini diakhiri saat
prosesus vaginalis menutup. Jika tidak menutup atau tidak sempurna menutup.
Kelemahan dapat terjadi di dinding anterior abdomen dan hernia inguinalis dapat
terjadi.1

B. Canalis Inguinalis
Canalis inguinalis adalah suatu saluran sempit yang terbentang dengan arah ke
bawah dan ke medial, tepat di atas dan pararel dengan separuh bagian bawah
ligamentum inguinale. Struktur ini dimulai pada annulus inguinalis profundus dan
berlanjut sampai kira-kira 4 cm, berakhir di annulus inguinalis superficialis. Isi canalis
inguinalis adalah ramus genitalis nervus genitofemoralis, funiculus spermaticus pada

7
pria, dan ligamentum teres uteri pada wanita. Selain itu, pada pria dan wanita, nervus
ilioinguinalis berjalan melewati bagian canalis inguinalis, keluar melalui annulus
inguinalis superficialis dengan isi yang lain.3

Gambar 3. Regio Inguinalis

1. Annulus inguinalis profundus ( internal ring)


Annulus inguialis profundus adalah pintu permulaan canalis inguinalis dan berada
pada titik pertengahan antara SIAS dan simphysis pubica. Struktur ini merupakan
defek yang berbentuk ‘U’ pada fasia transversalis yang membentuk dinding posterior
canalis inguinalis. Annulus inguinalis terletak 1,25 cm di atas titik-tengah
ligamentum inguinalis dan tepat di lateral vasa epigastrica inferior. Meskipun
terkadang disebut sebagai lubang atau suatu kelemahan fascia transversalis,
sesungguhnya struktur ini dimulai dengan evaginasi tubuler/atau tabung fascia

8
transversalis yang membentuk salah satu penutup. (fasci spermatica interna)
funiculus spermaticus pada pria atau ligamentum teres uteri pada wanita.4
2. Annulus inguinalis superficialis ( superficial ring)
Annulus Inguinalis adalah suatu defek triangularis pada aponeurosis oblikus
eksternus abdominis. Struktur ini dibatasi oleh krura lateral dan medial yang
dibentuk oleh aponeurosis oblikus eksternus abdominis dan basis segitiga yang
dibentuk oleh krista pubik.rajgopal Seperti dengan annulus inguinalis profundus,
annulus inguinalis superficialis sebenarnya merupakan permulaan evaginasi tubuler
aponeurosis musculus obliquus externus abdominis ke dalam struktur - struktur yang
melewati canalis inguinalis dan muncul dari annulus inguinalis superficialis.terusan
jaringan yang lewat di atas funiculus spermaticus ini adalah fascia spermaticus
externa.1
3. Dinding anterior canalis inguinalis
Seluruh dinding anterior canalis inguinalis terbentuk oleh aponeurosis musculus
obliquus externus abdominis. Struktur ini juga di perkuat di lateral oleh sabut-sabut
bagian bawah musculus obliquus internus abdominis yang berasal dari 2/3 lateral
ligamentum inguinale. Hal ini menambah penutup tambahan di atas annulus
ingunalis, yang merupakan suatu daerah potensi lemah pada dinding anterior
abdomen. Terlebih lagi, selain musculus obliquus internus abdominis menutup
annulus inguinalis profundus, struktur ini juga menyumbangkan suatu lapisan (fascia
cremasterica yang berisi musculus cremaster) untuk menutupi struktur-struktur yang
melewati canalis inguinalis.1
4. Dinding posterior canalis inguinalis
Dinding posterior canalis inguinalis terbentuk di sepanjang fascia transversalis.
Dinding ini di perkuat di 1/3 medialnya oleh tenso conjuntivus. Tendo ini adalah
insersi gabungan musculus transversus abdominis dan musculus obliquus internus
abdominis kedalam crista pubicum dan linea pectinea. Seperti dengan penguatan
musculus obliquus internus abdominis terhadap daerah annulus inguinalis profundus,
posisi tendo conjunctivus di sebelah posterior terhadap annulus inguinalis
superficialis menyediakan tambahan penopang bagi daerah potensi lemah dinding
anterior abdomen.1
5. Atap/dinding superior canalis inguinalis
Atap canalis inguinalis dibentuk oleh sabut-sabut melengkung musculus transversus
abdominis dan musculus obliquus internus abdominis. Struktur ini berjalan dari titik
lateral origonya dari ligamentum inguinale menuju perlekatan bersama di
medial/conjoint tendo/tendo conjunctivus.1
6. Dasar/dinding inferior canalis inguinalis
Dasar (dinding inferior) canalis inguinalis dibentuk oleh separuh bagian medial
ligamentum inguinale. Dasar yang menggulung di bawah, tepi bebas bagian terbawah
aponeurosis musculus obliquus externus abdominis ini membentuk parit atau saluran,
tempat isi canalis inguinalis berada. Ligamentum lacunare memperkuat sebagian
besar pars medialis parit ini. ˚

9
Gambar 4. Canalis Inguinalis

7. Isi canalis inguinalis terdiri dari:


a. Funiculus spermaticus pada pria,
b. Ligamentum teres uteri, dan
c. Ramus genitalis nervus genitofemoralis pada wanita.
Struktur-struktur ini memasuki canalis ingunalis melalui annulus inguinalis
profundus dan keluar melalui annulus inguinalis superficialis. Lebih lanjut, nervus
ilioinguinalis (L1) melewati bagian canalis inguinalis. Nervus ini adalah cabang
plexus lumbalis, dan masuk ke dinding abdomen di posterior dengan menembus
musculus obliquus ionternus abdominis. Saat berlanjut untuk melintas ke arah
inferomedial, nervus ini masuk ke canalis inguinalis. Saraf ini terus menuruni
canal dan keluar melalui annulus inguinalis superficialis.1
Funiculus spermaticus dimulai dari proximal pada annulus ingunalis profundus dan
berisi struktur-struktur yang berjalan di antara cavitas abdominopelvicum dan testis,
dan tiga fascia penutup yang membungkus struktur-strukrur yang berjalan di antara
cavitas abdominopelvicum dan testis , dan tiga fascia penutup yang membungkus
struktur-struktur ini. Struktur-struktur di dalam funiculus spermaticus meliputi :1
a. Ductus deferens
b. Arteria untuk duktus deferens (dari arteria vesicalis inferior)
c. Arteria testicularis (dari aorta abdominalis)
d. Plexux venosus pampiniformis (venae testicularis)
e. Arteria dan vena cremasterica (vasa kecil terkait fascia cremasterica)
f. Ramus genitalis nervus genitofemoralis (mempersarafi musculus cremaster)
g. Serabut-serabut nervus afferentes viscerales dan symphatici, dan
h. Sisa-sisa processus vaginalis.
Struktur-struktur ini memasuki annulus inguinalis profundud, berlanjut menuruni
canalis inguinlis, dan keluar dari annulus superficialis, setelah mendapatkan tiga

10
fascia penutup selama perjalanannya. Kumpulan struktur dan fascia ini berlanjut ke
dalam scrotum, dan struktur-struktur ini berhubungan dengan testis dan fascia yang
mengelilinginya.1 Fascia yang membungkus isi funiculus spermaticus meliputi :
a. Fascia spermatica interna, yang merupakaan lapisan terdalam, berasal dari fascia
transfersalis, dan melekat ke tepi annulus inguinalis profundus,
b. Fascia cremasterica dengan musculus cremaster terkait, yang merupakan lapisan
tengah fascia dan berasal dari musculus obliquus abdominis,
c. Fascia spermatica externa, yang merupakan penutup terdangkal funiculus
spermaticus, berasal dari aponeurosis musculus obliquus externus abdominis, dan
melekat ke tepi annulus inguinalis superficialis.
8. Ligamentum teres uteri
Ligamentum teres uteri adalah suatu struktur mirip pita yang berjalan dari uterus
sampai annulus inguinalis profundus, yang selanjutnnya ligamentum ini memasuki
canalis inguinalis. Ligamentum ini berjalan turun melewati canalis inguinalis dan
keluar melalui annulus inguinalis superficialis. Pada titik ini, ligamentum ini telah
berubah dari struktur mirip pita menjadi struktur seperti beberapa lembar jaringan,
yang melekat ke jaringan ikat terkait dengan labium majus pudendi. Saat ligamentum
ini melintasi canalis inguinalis, ligamentum ini mendapatkan lapisan penutup yang
serupa dengan funiculus spermaticus pada pria.1
9. Orifisium Miopektineal
Orificium miopektineal dari Fruchaud adalah area lemah yang merupakan tempat
dari semua hernia lipat paha. Area ini merupakan area antara ligamentum inguinalis
disebelah anterior dan traktus illiopubik di sebelah posterior. 4

C. Mekanisme Pertahanan Inguinal

1. Canalis inguinalis yang berjalan oblik (pada anak-anak canalis inguinalis berjalan
lurus).
2. Selama mengejan atau batuk, conjoined tendon berkontraksi, dan karena conjoined
tendon membentuk batas-batas anterior, superior dan posterior, conjoined tendon
menutup canalis inguinalis. Hal ini merupakan efek buka tutup atau efek yang
menyerupai sfingter.
3. Peningkatan tekanan intra-abdomen menimbulkan efek sumbat pada ring/cincin
eksterna. Ring interna tertarik ke atas dan lateral karena melekat pada permukaan
posterior dari otot transversalis. Hal ini akan menghasilkan oklusi anulus dan
mencegah tyerjadinya herniaso yang merupakan efek dari katup bola.4

2.2 Definisi

Menurut Kamus Kedokteran Dorland, hernia merupakan penonjolan abnormal


bagian organ atau struktur tubuh lain melalui lubang alamiah ataupun abnormal dalam

11
selaput pembungkus, membran, otot, atau tulang.5 Hernia berasal dari kata latin yang
berarti rupture. Hernia didefinisikan sebagai suatu penonjolan abnormal organ atau
jaringan melalui daerah yang lemah (defek) yang diliputi oleh dinding. Meskipun hernia
dapat terjadi di berbagai tempat dari tubuh kebanyakan defek melibatkan dinding
abdomen pada umumnya.6

Hernia ingunalis adalah hernia yang terjadi pada dinding abdomen di regio
inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi dua yaitu Hernia ingunalis lateralis (HIL)
dan hernia ingunalis medialis (HIM). Hernia inguinalis lateralis mempunyai nama lain
yaitu hernia indirecta yang artinya keluarnya tidak langsung menembus dinding
abdomen melainkan melului cincin canalis inguinalis. Sedangakan hernia medialis
mempunyai nama lain hernia directa yang artinya keluarnya langsung menembus
dinding abdomen.14

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization, pada tahun
2016 prevalensi pasien hernia adalah 350 per 1000 populasi penduduk. Penyebaran
hernia paling banyak berada di negara berkembang seperti negara- negara di Afrika dan
Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan pada tahun 2017 terdapat sekitar 50 juta kasus
degenerative salah satunya adalah hernia, dengan insiden di Negara maju sebanyak 17%
dari 1000 populasi penduduk, sedangkan beberapa negara di Asia menderita penyakit
hernia berkisar 59%.7

Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Daerah pada tahun 2017 di Indonesia
hernia merupakan penyakit urutan kedua setelah batu saluran kemih sebanyak 2.245
kasus hernia. Proporsi hernia di Indonesia didominasi oleh pekerja berat sebesar 70,9%
(7.347), terbanyak terdapat di Banten 76,2% (5.065) dan yang 2 terendah di Papua yaitu
59,4% (2.563). Di Indonesia angka infeksi untuk luka bedah mencapai 2,30% sampai
dengan 8,30%.8

Berdasarkan data dari profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara,


diperoleh pada tahun 2011 di jumlah pasienhernia 410 kasus, yang dioperasi hernia
tercatat 269 kasus. Tahun 2012 jumlah penderita hernia 270 kasus, yang dioperasi

12
tercatat 240. Tahun 2013 di Sumatera Utara pasien yang hernia tercatat 370, yang
dioperasi 244 kasus. Tahun 2015 jumlah penderita hernia di Medan tercatat 142 orang
mengalami peningkatan pada tahun 2016 menjadi 160 (1,82%).9

2.4 Etiologi

Penyebab terjadinya hernia :10,11

1. Lemahnya dinding rongga perut: dapat ada sejak lahir atau didapat kemudian dalam
hidup.
2. Akibat dari pembedahan sebelumnya.
3. Kongenital
a. Hernia kongenital sempurna, yaitu bayi sudah menderita hernia karena adanya
defek pada tempat - tempat tertentu.
b. Hernia kongenital tidak sempurna, yaitu bayi dilahirkan normal (kelainan belum
tampak) tapi dia mempunyai defek pada 15 tempat- tempat tertentu (predisposisi)
dan beberapa bulan (0-1 tahun) setelah lahir akan terjadi hernia melalui defek
tersebut karena dipengaruhi oleh kenaikan tekanan intraabdominal (mengejan,
batuk, menangis).
4. Aquisata/didapat, yaitu hernia yang buka disebabkan karena adanya defek bawaan
tetapi disebabkan oleh faktor lain yang dialami manusia selama hidupnya, antara
lain:
a. Tekanan intraabdominal yang tinggi, banyak dialami oleh pasien yang sering
mengejan yang baik saat defekasi maupun miksi. Juga bisa terjadi karena batuk
yang kronis, dan Asites.
b. Konstitusi tubuh, orang kurus cenderung terkena hernia kareana jaringan ikatnya
yang sedikit. Sedangkan pada orang gemuk juga dapat terkena hernia karena
banyaknya jaringan lemak pada tubuhnya yang menambah beban kerja jaringan
ikat penyokong pada area dinding abdomen yang lemah.
c. Kelemahan dari conjoined tendon/ruptur beberapa serabut. Hal ini terjadi akibat
beberapa faktor seperti mengangkat beban berat, post apendiktomi (trauma pada
nervus ilioinguinalis), Kelainan kronis/penyakit kelemahan fisik yang
menyebabkan kelemahan fasia transversalis di area Hasselbach.
d. Banyaknya preperitoneal fat yang banyak terjadi pada orang gemuk.
e. Distensi dinding abdomen karena peningkatan tekanan intraabdominal.
f. Sikatrik.
g. Penyakit yang melemahkan dinding perut.
h. Merokok.
i. Diabetes militus. 4

13
2.5 Bagian dan Klasifikasi Hernia

A. Bagian – Bagian Hernia12,13

1. Kantong hernia pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis. Tidak semua
hernia memiliki kantong, misalnya hernia incisional, hernia adiposa, hernia
intertitialis.
2. Isi hernia berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia, misalnya
usus, ovarium, dan jaringan penyangga usus (omentum).
3. Cincin/pintu hernia merupakan bagian awal atau pintu yang berbentuk cincin dari
kantong hernia.
4. Leher hernia Bagian tersempit dari kantong hernia yang sesuai dengan ukuran
kantong hernia.
5. Locus minoris resistence (LMR) merupakan penonjolan organ visceral/isi rongga
melalui melalui dinding dinding yang lemah.

B. Klasifikasi Hernia :

1. Menurut Letak Anatomis :12,13

a. Hernia inguinalis, adalah hernia yang terjadi di lipatan paha. Jenis ini merupakan
yang tersering dan dikenal dengan istilah turun berok atau buru.
b. Hernia umbilicus, adalah hernia inguinalis yang terjadi di pusar
c. Hernia femoralis, adalah hernia yang terjadi di bagian paha.

2. Menurut penyebabnya :12

a. Hernia kongenital atau bawaan, adalah hernia yang sudah ada sejak lahir.
b. Hernia aquisata, adalah hernia yang terjadi karena suatu faktor tertentu.
c. Hernia insisional, adalah hernia akibat pembedahan sebelumnya.

3. Menurut terlihat dan tidaknya :14

a. Hernia external, adalah hernia yang terlihat nampak misalnya hernia inguinalis,
hernia scrotalis, dan sebagainya.
b. Hernia internal, adalah hernia yang tidak terlihat nampak misalnya hernia
diafragmatica, hernia foramen winslowi, hernia obturaforia.

14
4. Menurut sifatnya :12,14

a. Hernia reponibel adalah bila isi hernia dapat keluar masuk. Isi hernis keluar jika
berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk, tidak
ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
b. Hernia irreponibel adalah bila isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan ke
dalam rongga. Hernia irreponibel terbagi menjadi 3 yaitu:
a) Hernia akreta, yaitu hernia yang bila hanya perlekatan akibat fibrosis. Tanpa
ada gejala dan gangguan pasase usus.
b) Hernia inkarserata (terperangkap), yaitu bila isinya terjepit oleh cincin hernia
sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga
perut serta sudah mengalami gangguan pasase isi usus.
c) Hernia strangulata adalah jika bagian usus yang mengalami hernia terpuntir
atau membengkak, dapat mengganggu aliran darah normal dan pergerakan otot
serta mungkin dapat menimbulkan penyumbatan usus dan kerusakan jaringan.

C. Klasifikasi Hernia Inguinalis

Hernia inguinali terbagi menjadi 2 yaitu hernia inguinalis inguinalis medialis dan
hernia inguinalis lateralis :

1. Hernia inguinalis direkta (medialis)


Hernia ini disebut medialis karena menonjol dari perut di bagian medial dari
pembuluh epigastrika inferior. Hernia ini merupakan jenis henia yang didapat
(akuisita) disebabkan oleh faktor peninggian tekanan intra abdomen kronik dan
kelemahan otot dinding di trigonum Hesselbach. Jalannya langsung (direct) ke
ventral melalui annulus inguinalis subcutaneous. Hernia ini sama sekali tidak
berhubungan dengan prosesaus vaginalis, umumnya terjadi bilateral, khususnya pada
laki-laki tua. Hernia jenis ini jarang, bahkan hampir tidak pernah mengalami
inkarserasi dan strangulasi.12 Trigonum Hesselbach merupakan daerah dengan batas:
12

a. Inferior: ligamentum inguinale.


b. Lateral: vasa epigastrika inferior.
c. Medial: tepi M. Rectus abdominis.
2. Hernia inguinalis indirekta (lateralis)
Hernia ini disebut lateralis karena menonjol dari perut di bagian lateral
pembuluh epigastrika inferior. Dikenal sebagai indirek karena keluar melalui dua
pintu dan saluran, yaitu annulus dan canalis inguinalis. Pada pemeriksaan hernia
lateralis akan tampak tonjolan berbentuk lonjong. Onset hernia ini dapat terjadi pada

15
saat bayi atau saat dewasa. Onset hernia Inguinalis Lateralis pada bayi terjadi bila
processus vaginalis peritonei pada waktu bayi dilahirkan sama sekali tidak menutup.
Sehingga kavum peritonei tetap berhubungan dengan rongga tunika vaginalis propria
testis. Dengan demikian isi perut dengan mudah masuk ke dalam kantong peritoneum
tersebut. Sementar jika onsetnya terjadi pada dewasa kemungkinan terjadi bila
penutupan processus vaginalis peritonei hanya pada suatu bagian saja. Sehingga
masih ada kantong peritoneum yang berasal dari processus vaginalis yang tidak
menutup pada waktu bayi dilahirkan. Sewaktu-waktu kentung peritonei ini dapat
terisi dalaman perut, tetapi isi hernia tidak berhubungan dengan tunika vaginalis
propria testis.12

Gambar 5. Hernia Inguinalis Indirect & Direct

2.6 Patofisiologi

A. Kongenital
Ligamentum gubernaculum turun pada tiap sisi abdomen dari pole inferior gonad ke
permukaan interna labial/scrotum. Gubernaculum akan melewati dinding abdomen
yang mana pada sisi bagian ini akan menjadi canalis inguinalis. Processus vaginalis
adalah evaginasi diverticular peritoneumyang membentuk bagian ventral
gubernaculums bilateral. Pada pria testis awalnya retroperitoneal dan dengan
processus vaginalis testis akan turun melewati canalis inguinalis ke scrotum
dikarenakan kontraksi gubernaculum. Pada sisi sebelah kiri terjadi penurunan
terlebih dahulu sehingga, angka kejadian hernia inguinalis lateralis pada pria lebih
sering terjadi pada sisi kanan daripada sisi kiri. Pada wanita ovarium turun ke pelvis
dan gubernaculum bagian inferior menjadi ligamentum rotundum yang mana
melewati cincin interna ke labia majus. Processus vaginalis normalnya menutup,
menghapuskan perluasan rongga peritoneal yang melewati cincin interna. Pada pria

16
kehilangan sisa ini akan melekatkan testis yang dikenal dengan tunika vaginalis. Jika
processus vaginalis tidak menutup maka hidrokel atau hernia inguinalis lateralis akan
terjadi. Sedangkan pada wanita akan terbentuk kanal Nuck. Akan tetapi tidak semua
hernia ingunalis disebabkan karena kegagalan menutupnya processus vaginalis
dibuktikan pada 20%-30% autopsi yang terkena hernia ingunalis lateralis proseccus
vaginalisnya menutup.3
B. Aquisata
Biasanya terjadi pada orang usia lanjut, pada orang usia lanjut otot dinding rongga
perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur usia, organ dan jaringan tubuh
mengalami proses degenerasi. Pada orang tua canalis tersebut telah menutup. Namun
karena daerah ini merupakan locus minoris resistance, maka pada keadaan yang
menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat seperti batuk-batuk kronik, bersin
yang kuat dan mengangkat barang-barang berat, mengejan dan sebagainya. Kanal
yang sudah tertutup dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis
akibat terdorongnya sesuatu jaringan tubuh yang keluar melalui defek tersebut. Pria
lebih banyak dari wanita, karena adanya perbedaan proses perkembangan alat
reproduksi pria dan wanita semasa janin. Potensial komplikasi terjadi perlengketan
antara isi hernia dengan dinding kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat
dimasukkan kembali. Terjadi penekanan terhadap cincin hernia, akibat semakin
banyaknya usus yang masuk, cincin hernia menjadi sempit dan menimbulkan
gangguan penyaluran isi usus. Timbulnya edema bila terjadi obtruksi usus yang
kemudian menekan pembuluh darah dan kemudian terjadi nekrosis. Bila terjadi
penyumbatan dan perdarahan akan timbul perut kembung, muntah, konstipasi. Bila
inkarserata dibiarkan, maka lama kelamaan akan timbul edema sehingga terjadi
penekanan pembuluh darah dan terjadi nekrosis. Juga dapat terjadi bukan karena
terjepit melainkan ususnya terputar. Bila isi perut terjepit dapat terjadi shock,
demam, asidosis metabolik, abses. Komplikasi hernia tergantung pada keadaan yang
dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus sederhana hingga perforasi
(lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel atau
peritonitis.13

2.7 Diagnosis

A. Anamnesis Riwayat Penyakit

a. Pembengkakan di daerah inguinal yang semakin membesar secara perlahan-lahan.


b. Pada mulanya, pembengkakan hilang pada posisi berbaring dan bertambah besar
dengan mengejan, berjalan. Selanjutnya, hernia ini tidak dapat direduksi (sebagai
akibat adhesi). Riwayat nyeri tertarik menandakan adanya omentocoele.
c. Karena omentum melekat pada lambung diatas dan dinervasi oleh T10, nyeri
dijalarkan ke daerah pusar.

17
d. Nyeri hebat yang mendadak pada hernia, muntah dan tidak dapat direduksi
menandakan adanya hernia obstruktif atau inkarserasi.
e. Riwayat batuk kronis, konstipasi, kesulitan kencing sebaiknya ditanyakan. Jika ada,
hal ini memberi kesan ke arah penyebab hernia.
f. Terpotongnya nervus ilioinguinalis selama apendiktomi dapat menyebabkan
denervasi serabut transversus abdominis, yang membentuk cincin yang berbebtuk
‘U’, yang mengakibatkan kelemahan dinding abdomen.4

B. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi
Daerah inguinalis pertama-tama diperiksa dengan inspeksi, pada inspeksi
diperlihatkan keadaan asimetri pada kedua sisi lipat paha, skrotum, atau labia dalam
posisi berdiri dan berbaring. Pasien diminta mengedan atau batuk sehingga adanya
benjolan atau keadaan asimetri dapat dilihat.6
b. Palpasi
Palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia, diraba konsistensinya dan
dicoba mendorong apakah benjolan dapat direposisi. Jari telunjuk ditempatkan pada
sisi lateral kulit skrotum dan dimasukkan sepanjang funiculus spermatikus sampai
ujung jari tengah mencapai annulus inguinalis profundus. Setelah benjolan tereposisi
dengan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak - anak kadang cincin hernia dapat
diraba berupa annulus inguinalis yang melebar. Suatu kantong yang diperjelas oleh
batuk biasanya dapat diraba pada titik ini. Jika jari tangan tak dapat melewati annulus
inguinalis profundus karena adanya massa, maka umumnya diindikasikan adanya
hernia. Hernia juga diindikasikan, bila seseorang meraba jaringan yang bergerak
turun ke dalam canalis inguinalis sepanjang jari tangan pemeriksa selama batuk.6

Gambar 6. Pemeriksaan Hernia Inguinalis

18
Walaupun terdapat tanda-tanda yang menunjukkan apakah hernia itu
indirek atau direk, namun umumnya sedikit kegunaannya karena keduanya
memerlukan penatalaksanaan bedah dan diagnosis anatomi yang tepat hanya dapat
dibuat pada waktu operasi. Gambaran yang menyokong adanya hernia indirek
mencakup turunnya organ intestinal ke dalam skrotum yang sering ditemukan dalam
hernia indirek, tetapi tak lazim dalam bentuk hernia direk. Hernia direk lebih
cenderung timbul sebagai massa yang terletak pada annulus inguinalis superficialis
dan massa ini biasanya dapat direposisi ke dalam kavitas peritonealis, terutama jika
pasien dalam posisi terbaring. Pada umumnya dengan jari tangan pemeriksa di
dalam canalis ingunalis, terdapat hernia inguinalis indirek maju menuruni canalis
pada samping jari tangan, sedangkan penonjolan yang langsung ke ujung jari tangan
adalah khas dari hernia direk.6

Pembengkakan bersifat lunak, dan “mendenguk” (gurgle) teraba jika


keadaan ini adalah enterocoele. Dapat teraba padat atau granular jika kelianan ini
berupa omentocoele;

1. Suruh pasien batuk : pada saat pasien batuk akan teraba impulse yang mendorong
pada pangkal skrotum. Selain hernia impuls yang terjadi saat batuk bisa terjadi
akibat meningokel, krista dermoid yang berhubungan dengan intrakranial,
laryngocoele, kista limfatik pada anak-anak, dan empyema necessitatis.
2. Meraba struktur di atas pembengkakan : sebaiknya dilakukan pada posisi berdiri
kecuali pada herni inkomplit. Pada pangkal skrotum, funikulus spermatikus
dipalpasi antara jari tangan dengan ibu jari tangan. Pada kasus hernia indirek
komplit, funikulus spermatikus tidak dapat teraba karena funikulus tertutup di
sebelah anterolateral oleh kantong hernia. Hal ini di kenal sebagai meraba di atas
pembengkakan tidak mungkin (negatif).
3. Dapat tidaknya direduksi : Pasien disuruh berbaring. Jika hernia menjadi lebih
kecil atau tidak terlihat, kelainan ini adalah sebuah hernia (hidrokel tidak dapat
direduksi). Omentokel : pada mulanya, reduksi mudah dilakukan tetapi
selanjutnya menjadi sulit (sebagai akibat adanya adhesi). Jika hernia sulit
direduksi, pasien disuruh mereduksinya. Jikalau tidak, lakukan fleksi dan rotasi
medial sendi panggul dan coba reduksi, yaitu sebuah metode yang dikenal sebagai
taxis. Bila meskipun telah dilakukann tindakan ini, pembengakakan tidak dapat
direduksi, kedaan ini dikenal dengan hernia ireponibilis (ireduksi).
4. Pemeriksaan invaginasi ring eksterna. Pada pangkal skotum, kulit dipungut dan
diangkat ke atas dengan jari kelingking. Selanjutnya diinvaginasi ke dalam ring
eksternal. Pada saat ring eksterna diregangkan pada hernia indirek, jari tangan

19
bergerak ke arah belakang, dan ramus superior tulang pubis dapat teraba sebagai
tulanh yang tanpa penutup. Dengan menyuruh pasien batuk , impulse teraba pada
pulpa jari tangan pada hernia direk dan ujung jari tangan pada hernia indirek.
Pemeriksaan oklusi ring interna : Pertama kali pembengkakan direduksi.
Ditentukan lokasi ring interna di atas titik tengah antara spina iliaka anterior
superior dan simfisis pubis. Ring interna dioklusi dengan ibu jari tangan dan
pasien disuruh batuk. Jika impulse dan pembengkakan didapatkan, kasus ini
adalah sebuah hernia direk karena hernia ini terjadi pada trigonum hessselbach
(sebelah medial anulus inguinalis profundus). Jika pembengkakan tidak terlihat,
kasus ini adalah hernia indirek. Pemeriksaan oklusi ring interna dapat dilakukan
dengan pasien dalam posisi berdiri dan terlentang. Masalah pemeriksaan oklusi
ring interna. Jika oklusi tidak dilakukan dengan benar, hasilnnya mungkin
bervariasi. Hernia pantaloon merupakan suatu hernia direk yang memiliki
komponen indirek
5. Pemeriksaan elevasi tungkai (Pemeriksaaan elevasi kepala), Kelemahan otot-otot
obliquus dimanifestasikan dengan benjolan Malgigne di atas setengah medial
ligamentum inguinalis
6. Metode Zieman : Metode tiga jari, Pertahankan jari telunjuk pada ring interna, jari
tengah pada dinding posterior di atas dan sebelah lateral ring eksterna dan jari
manis pada ring/cincin femoralis. Sekarang pasien disuruh batuk. Tergantung pada
jenis hernia, impulse dapat teraba. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan pada
hernia indirek inkomplit atau komplit.
7. Per Abdomen : Untuk mengesampingan massa (kolon)
8. Tanda striktura uretra : Pasien muda yang mengalami keluhan kencing denga
hernia kemugkinan menderita striktura uretra. Angkat skrotum dan raba adanya
striktura pada uretra bulbaris.
9. Pemeriksaan sistem respirasi : dilakukakan untuk mengesampingkan bronkitis
kronis, tuberkulosis.
10. Pemeriksaan per rektal : sebaiknya dilakukan pada pasien usia tua untuk
mengesampingkan pembesaran prostat. Sudah terlihat ketika penderita berajalan
sambil membungkuk dan memgang perut. Penderita tampak kesakitan. Kembung
sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses apendiculer.

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan lab
Pada Pasien yang hernia yang sudah mengalami strangulasi biasanya akan pada
pemeriksaan lab akan ditemukan Leukocytosis dengan shift to the left. Pemeriksaan
Elektrolit, BUN, dan kadar Kreatinin juga dilakukan untuk mengetahui derajat
dehidrasi yang mungkin timbul akibat muntah-muntah. Tes Urinalisis juga dilakukan

20
untuk menyingkirkan adanya masalah dari traktus genitourinarius yang menyebabkan
nyeri lipat paha.10
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis tidak diperlukan pada pemeriksaan rutin hernia.
Ultrasonografi dapat digunakan untuk membedakan adanya massa pada lipat paha
atau dinding abdomen dan juga membedakan penyebab pembengkakan testis.12

3. Pemeriksaan Ultrasound
Pada daerah inguinal dengan pasien dalam posisi supine dan posisi berdiri dengan
manuver valsafa dilaporkan memiliki sensitifitas dan spesifisitas diagnosis mendekati
90%. Pemeriksaan ultrasonografi juga berguna untuk membedakan hernia inkarserata
dari suatu nodus limfatikus patologis atau penyebab lain dari suatu massa yang teraba
di inguinal. Pada pasien yang sangat jarang dengan nyeri inguinal tetapi tak ada bukti
fisik atau sonografi yang menunjukkan hernia inguinalis. CT scan dapat digunakan
untuk mengevaluasi pelvis untuk mencari adanya hernia obturator.10

2.8 Komplikasi

Komplikasi hernia inguinalis lateralis bergantung pada keadaan yang dialami


oleh isi hernia. Isi hernia dapat tertahan dalam kantong hernia inguinalis lateralis, pada
hernia ireponibel ini dapat terjadi ketika isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas
omentum, organ ekstraperitoneal atau merupakan hernia akreta. Di sini tidak timbul
gejala klinis kecuali benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia tercekik oleh cincin hernia
sehingga terjadi hernia strangulate atau inkarserata yang menimbulkan gejala obstruksi
usus sederhana. Bila cincin hernia sempit, kurang elastis, atau lebih kaku seperti pada
hernia femoralis dan hernia obturatoria, lebih sering terjadi jepitan parsial.6

Gambar 7. Hernia Inguinalis Inkaserata

21
Jepitan cincin hernia inguinalis lateralis akan menyebabkan gangguan perfusi
jaringan isi hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udem organ
atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya oedem
menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin bertambah sehingga akhirnya peredaran
darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan berisi
transudant berupa cairan serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri dari usus, dapat terjadi
perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel, atau peritonitis jika
terjadi hubungan dengan rongga perut. Akibat penyumbatan usus terjadi aliran balik
berupa muntah-muntah sampai dehidrasi dan shock dengan berbagai macam akibat lain.
Hernia inkarserata dapat terjadi apabila isi kantong hernia tidak dapat kembali lagi ke
rongga abdomen. Organ yang terinkarserasi biasanya usus, yang ditandai dengan gejala
obstruksi usus, yang disertai muntah, perut kembung, konstipasi, dan terlihat adanya
batas udara air pada saat foto polos abdomen. Setiap anak dengan gejala obstruksi usus
yang tidak jelas sebabnya harus dicurigai hernia inkarserata. Pada anak wanita organ
yang sering terinkarserasi adalah ovarium. Apabila aliran darah ke dalam organ
berkurang, terjadilah hernia strangulasi, yang menjadi indikasi pasti untuk operasi.6

2.9 Diagnosis Banding


1. Hidrocele pada funikulus spermatikus maupun testis, yang membedakan dengan
hernia yaitu pasien diminta mengejan bila benjolan adalah hernia maka akan
membesar, sedang bila hidrocele benjolan tetap tidak berubah. Bila benjolan terdapat
pada skrotum, maka dilakukan pada satu sisi, sedangkan disisi yang berlawanan
diperiksa melalui diapanascopy. Bila tampak bening berarti hidrocele (diapanascopy
+).
2. Kriptochismus, yaitu testis tidak turun sampai ke skrotum tetapi kemungkinanya
hanya sampai canalis inguinalis.
3. Limfadenopati/ limfadenitis inguinal, perhatikan apakah ada infeksi pada kaki sesisi.
4. Varises vena saphena magna didaerah lipat paha.
5. Lipoma yang menyelubungi funikulus spermatikus (sering disangka hernia inguinalis
medialis).10

2.10 Penatalaksanaan

A. Konservatif

Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan


pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah

22
direposisi.

1. Reposisi
Reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis strangulata, kecuali pada pasien
anak-anak. reposisi dilakukan secara bimanual. Tangan kiri memegang isi hernia
membentuk corong sedangkan tangan kanan mendorongnya kearah cincin hernia
dengan tekanan lambat tapi menetap sampai terjadi reposisi. Pada anak-anak
inkarserasi lebih sering terjadi pada umur dibawah dua tahun. Reposisi spontan lebih
sering dan sebaliknya gangguan vitalitas isi hernia jarang terjadi jika dibandingkan
dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh cincin hernia yang lebih elastis
dibandingkan dengan orang dewasa. Reposisi dilakukan dengan menidurkan anak
dengan pemberian sedative dan kompres es diatas hernia. Bila usaha reposisi ini
berhasil anak disiapkan untuk operasi pada hari berikutnya. Jika reposisi hernia tidak
berhasil dalam waktu enam jam harus dilakukan operasi segera.
2. Bantalan penyangga
Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang telah
direposisi dan tidak pernah menyembuhkan sehingga harusdipakai seumur hidup.
Namun cara yang berumur lebih dari 4000 tahun ini masih saja dipakai sampai
sekarang. Sebaiknya cara ini tidak dianjurkan karena mempunyai komplikasi, antara
lain merusak kulit dan tonus otot dinding perut didaerah yang tertekan sedangkan
strangulasi tetap mengancam.
3. Operatif
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang
rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar
operasi hernia terdiri dari herniotom, dan hernioplastik. Pada herniotomi dilakukan
pembebasan kantong hernia sampai kelehernya. Kantong dibuka dan isi hernia
dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat
setinggi mungkin lalu dipotong. Pada hernioplasty, dilakukan tindakan memperkecil
annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang canalis ingunalis.
Hernioplasty lebih penting artinya dalam mencegah terjdinya residif dibandingkan
dengan herniatomy. Dikenal berbagai metode hernioplasty seperti memperkecil
annulus inguinalis internus dengan jahitan tertutup, menutup dan memperkuat fascia
transversal, dan menjahitkan pertemuan M. transversus internus abdominis dan M.
oblikus internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon keligamentum
inguinale Poupart menurut metode Bassini, atau menjahitkan fascia tranversa, M.
tranversus abdominis, M. oblikus internus abdominis ke ligamentum Cooper pada
metode Mc Vay.12

2.11 Prognosis

23
Perbaikan klasik memberikan angka kekambuhan sekitar 1% - 3% dalam jarak
waktu 10 tahun kemudian. Kekambuhan disebabkan oleh tegangan yang berlebihan
pada saat perbaikan, jaringan yang kurang, hernioplasti yang tidak adekuat, dan hernia
yang terabaikan. Kekambuhan yang sudah diperkirakan, lebih umum dalam pasien
dengan hernia direk, khususnya hernia direk bilateral. Kekambuhan tidak langsung
biasanya akibat eksisi yang tidak adekuat dari ujung proksimal kantung. Kebanyakan
kekambuhan adalah langsung dan biasanya dalam regio tuberkulum pubikum, dimana
tegangan garis jahitan adalah yang terbesar insisi relaksasi selalu membantu. Perbaikan
hernia inguinalis bilateral secara bersamaan tidak meningkatkan tegangan jahitan dan
bukan merupakan penyebab kekambuhan seperti yang dipercaya sebelumnya. Hernia
rekurren membutuhkan prostesis untuk perbaikan yang berhasil, kekambuhan setelah
hernioplasti prostesisanterior paling baik dilakukan dengan pendekatan preperitoneal
atau secara anterior dengan sumbat prostesis.17

2.12 Pencegahan

Hernia lebih sering terjadi pada seseorang yang mengalami kegemukan,


menderita batuk menahun, sembelit menahun atau BPH yang menyebabkan dia harus
mengedan ketika berkemih. Pengobatan terhadap berbagai keadaan diatas bisa
mengurangi resiko terjadinya hernia.10

2.13 Penilaian dan Persiapan Pra Anastesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus


dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:

1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik
dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):

24
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faal,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak
ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.
f. ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan).

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak. Adapun penilaian yang dilakukan sebelum operasi
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti
kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti
merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu
gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain :

25
a. Lab rutin :
a) Pemeriksaan Lab. Darah
b) Urine : protein, sedimen, reduksi
c) Foto rongten ( thoraks )
d) EKG

b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :


a) EKG pada anak
b) Spirometri pada tumor paru
c) Tes fungsi hati pada icterus
d) Fungsi ginjal pada hipertensi

2.14 Konsep Spinal Anestesi

A. Pengertian Spinal Anestesi

Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal, secara
langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di bawah level L1/2
dimana medulla spinalis berakhir. Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan
pada pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas
pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu.

1. Tujuan Spinal Anestesi


Spinal anestesi dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan
nyeri akut maupun kronik.
2. Indikasi Spinal Anestesi
Indikasi pemberian spinal anestesi ialah untuk prosedur bedah di bawah umbilicus.
3. Kontraindikasi Spinal Anestesi
Anestesi regional yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkorelasi karena dapat mengakibatkan hipotensi berat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan memerlukan
bantuan napas dan jalan napas segera.
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada besarnya
diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan.

B. Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi

Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang utama
digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan bupivacaine serta
tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam. Berikut ini uraian obat spinal anestesi :

26
1. Lidokain
a) Onset kerja : cepat
b) Dosis maksimum : 3-5mg/kg
c) Durasi kerja : Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan
d) Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan bupivakain
e) Metabolisme :di hati, N-dealkylation yang diikuti dengan hidrolisis
untuk menghasilkan metablit yang dieksresikan di urin
Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infitrasi dan anestesi
regional
intravena begitu juga topical, epidural dan itratekal. Bagaimanapun juga ini termasuk
antiaritmik kelas 1B dan dapat digunakan untuk terapi takikardi.

2. Bupivakain
a) Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit, intratekal
30
detik
b) Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; pidural 3-4 jam; intrakardial
2-
3 jam
c) Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas kardiak berupa

penurunan tekanan darah dibandingkan obat anestesi


lokal lainnya
d) Eliminasi : N-dealkylation menjadi pipecolyoxylidine dan metabolit
lainnya yang diekskresikan di urin Bupivakain lazim
digunakan untuk spinal anestesi.
Menggunakan plain bupivacaine membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke
bawah, yang dapat mengakibatkan peningkatan blok yang membahayakan fungsi
respirasi dan kardio. Jika dekstrosa ditambahkan akan menjadi berat (heavy) dan
akan mengalir lebih dapat diprediksi turun ke tulang belakang, hanya memengaruhi
saraf yang non esensial. Larutan plain dapat menyebabkan hipotensi yang lebih
sedikit tapi pasien harus tidur terlentang.

3. Tetrakain
Tetrakain (pantocaine), suatu ester amino kerja – panjang, secara signifikan
lebih paten dan mempunyai durasi kerja lebih panjang daripada anestetik lokal jenis
ester lain yang umum digunakan. Obat ini banyak digunakan pada spinal anestesi
ketika durasi kerja obat yang panjang diperlukan. Tetrakain juga ditambahkan pada
beberapa sediaan anestetik topikal. Tetrakain jarang digunakan pada blokade saraf
perifer karena sering diperlukan dosis yang besar, onsetnya yang lambat, dan
berpotensi menimbulkan toksisitas.

27
C. Teknik Pemberian Spinal Anestesi

1. Klien diletakkan pada satu dari beberapa posisi yang memaksimalkan kemungkinan
pungsi dicelah antara vertebra lumbal kedua dan sakral pertama. Posisi paling sering
diambil adalah decubitus lateral, yang baik bagi klien yang mendapat sedasi. Selain
itu, posisi duduk diindikasikan untuk klien gemuk apabila tanda – tanda patokan
anatomis sulit diidentifikasi. Kadang – kadang posisi ‘pisau lipat’ telungkup
digunakan untuk klien yang menjalani pembedahan rektum.
2. Sewaktu klien diletakkan dalam posisi decubitus lateral, klien akan berbaring pada
salah satu sisinya, sangat dekat dengan tepi tempat tidur. Panggul, punggung, dan
bahu harus sejajar dengan tepi tempat tidur. Apabila klien ditempatkan dengan benar,
sebuah garis imajiner anatar bagian atas kedua krista iliaka akan berjalan melalui
vertebra L4 atau 12 antar – ruang L4-5. Tanda petunjuk ini digunakan untuk
menentukan lokasi antar – ruang lumbal tempat pungsi dilakukan.
3. Sebelum dilakukan pungsi, klien dibantu untuk menarik kedua lututnya kearah dada
dan menekuk kepala dan leher kearah dada. Dengan demikian, punggung akan
melengkung, sehingga prosesus spinalis terbuka secara maksimum.
4. Prosedur pungsi spinal pada dasarnya sama dengan berbagai posisi klien, baik posisi
duduk atau ‘pisau lipat’. Klien dalam posisi duduk memerlukan penopang yang kuat
dibawah kaki mereka dan harus dibantu untuk condong ke depan dengan lengan
ditekuk agar punggung melengkung. Dalam posisi ini, klien dapat ditopang oleh
perawat atau oleh sebuah cantelan mayo yang terpasang kuat.
5. Setelah pungsi dilakukan dan cairan serebrospinalis mengalir melalui aspirasi lembut
alat suntik yang dihubungkan dengan jarum spinal, obat anestetik lokal dapat
disuntikan dengan kecepatan sekitar 1 ml sampai 5 sampai 10 detik. Penyebaran
anestetik lokal melalui cairan serebrospinalis dipengaruhi oleh dosis total yang
disuntidkkan, konsentrasi larutan, keadaan canalis spinalis, dan posisi klien selama
dan segera, setelah suntikan anestetik lokal.
6. Setelah obat disuntikkan di klien perlu diposisikan dengan ketinggian anestesi yang
dapat dicapai sehingga memblok serabut yang menpersarafi kulit dan organ internal
yang akan dikenal oleh prosedur operasi.

D. Skor Pemulihan Pasca Anestesi

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama


yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu
di observasi di ruang Recovery room (RR). 15

1. Aldrete Score
Nilai Warna
a) Merah muda, 2

28
b) Pucat, 1
c) Sianosis, 0
Pernapasan
a) Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
b) Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
c) Apnea atau obstruksi, 0

Sirkulasi
a) Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
b) Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
c) Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran  
a) Sadar, siaga dan orientasi, 2
b) Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
c) Merah muda, 2
Aktivitas  
a) Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
b) Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
c) Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8 maka penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

2. Steward Score (anak-anak)


Pergerakan
a) Gerak bertujuan 2
b) Gerak tidak bertujuan 1
c) Tidak bergerak 0
Pernafasan
a) Batuk, menangis 2
b) Pertahankan jalan nafas 1
c) Perlu bantuan 0
Kesadaran
a) Menangis 2
b) Bereaksi terhadap rangsangan 1
c) Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5 maka penderita dapat dipindahkan ke ruangan

E. Penatalaksanaan Pasien Post Operasi dengan Spinal

Anestesi Ketika pasien sudah mencapai bangsal, maka hal yang harus
dilakukan, yaitu :

29
1. Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage, tube/selang, dan
komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung monitor kondisinya.
Pemerikasaan ini merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan di bangsal setelah
post operasi.
2. Manajemen Luka Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak
mengalami perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut. Manajemen luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan
jahitan.
3. Mobilisasi dini Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan
juga batuk efektif yang penting untuk memaksimalkan fungsi kardiovaskuler,
mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan lendir.
4. Rehabilitasi Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien
kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan
untuk memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala.
5. Discharge Planning Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi
kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan
sehubungan dengan kondis/penyakitnya post operasi.

30
BAB III

LAPORAN KASUS

PRE-OPERATIF

1. Identitas Pasien

a. Nama : Sofyan Tanjung


b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Tempat Tanggal Lahir : Medan, 10-10-1956
d. Usia : 65th
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Wiraswasta
g. Tanggal Masuk RS : 2 Februari 2022
2. Anamnesa
a. Keluhan Utama : Terdapat benjolan diselangkangan sebelah
kanan sejak ±2 tahun yang lalu.
b. Telaah : Pasien datang ke IGD RSU Haji Medan dengan keluhan
terdapat benjolan diselangkangan sebelah kanan sejak ±2 tahun lalu, dan
benjolan tersebut tidak dapat masuk kembali, Benjolan tersebut sebesar
Bola kasti, tidak terdapat perubahan warna kulit (-), nyeri tekan (+).
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak kurang lebih 2hari yang
lalu, mutah berisi makanan yang dimakan, demam (-).
c. BAB : 1x/hari berwarna kuning encer
BAK : 3 x/hari berwarna kuning jernih
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Polio dan Jantung
e. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
f. Riwayat Alergi : Tidak ada

g. Riwayat Pengobatan : Tidak ada


h. Riwayat Psikososial :
- Alkohol (-)

31
- Obat-obatan (-)
- Merokok (-)

2. Pemeriksaan Penunjang Hasil Laboratorium


Darah Rutin
a. Hb : 15,5 g/dl (13-18 g/dl)
b. HT : 46,6 % (40- 50 %)
c. Eritrosit : 5,15 juta/µL (4.50 - .50 juta/µL)
d. Leukosit : 13.30 ribu /mm3 (4000 - 11.000 ribu /mm3)
e. Trombosit : 225 juta/µL (150.000 - 440.000 juta/
µL)
f. P D W : 15.7 fL (9.0-13.0 fL)
g. RDW-CV : 12.1% (11.5 – 14.5 %)
h. MPV : 10.8 fL (7.2 – 11.1 fL)
i. PCT : 0.242 % (0.150-0.400%)
j. MCV : 90 (80-100 fl)
k. MCH : 30 (26-34 pg)
l. MCHC : 33 (32-36 g/dL)

Hitung Jenis Leukosit


a. Eosinofil :1% (1-3 %)
b. Basofil :0% (0-1 %)
c. N. Seg : 85 % (53-75 %)
d. Limfosit : 7% (20-45 %)
e. Monosit :7% (4-8 %)
Jumlah Total Sel
a. Total Lymphosit : 0.88 (0.58-4.47 ribu/uL)
b. Total Basofil : 0.01 (0-0.1 ribu/uL)
c. Total Monosit : 0.97 (0.17-1.22 ribu/uL)
d. Total Eosinofil : 0.15 (0-0.61 ribu/uL)
e.Total Neutrofil : 11.3 (1.88 – 7.82 ribu/uL)
Hemostasis
a. Masa Perdarahan (BT) :2 (1-3 menit)
b. Masa Pembekuan (CT) :5 (2-6 menit)
Golongan Darah + Rhesus
a. Golongan Darah ABO : AB
b. Rhesus Faktor : Positif
Kimia klinik
Fungsi Hati
a. AST (SGOT) : 21.0 (5-37 U/L)
b. ALT (SGPT) : 23.0 (5-41 U/L)
Fungsi Ginjal
a. Ureum : 62.0 (10-38 mg/dL)

32
b. Kreatinin :1.34 (0.7-1.2 mEg/L)
Karbohidrat
a. Glukosa Darah Adrandom : 114 (<200 mg/dL)
Imunoserologi
HIV
a. HIV : Non Reactive
b. HBsAg : Negatif
Pemeriksaan COVID
a. Swab Antigen Rapid Covid: Negative

Hasil Radiologi
Foto Thoraks PA :
Kondisi foto cukup. Posisi tidak simetris. Inspirasi cukup.
CTR = 52%, jantung ukuran membesar ke kiri dengan Apeks tertanam,
pinggang jantung tidak menojol.
Aorta elongasi. Mediastinum superior tidak melebar.
Trakea di tengah. Hilus tidak menebal. Tampak infiltrate di parakardial
bilateral.
Sinus KostoFrenikus dan Diagfragma baik.
Kesan :
a. Jantung : Kardiomegali Dengan LVH Disertai aorta elongasi
b. Paru : Bronkopneumonia

DURANTE OPERASI

1. Status Anastesi

 PS-ASA : II (Pasien penyakit bedah tanpa disertai dengan penyakit


sistemik ringan sampai sedang)
 Hari/tanggal : Jumat, 4-02-2022

 Ahli Anastesiologi : dr. Arie Budi, Sp.An

 Ahli Bedah : dr. Muharramsyah Rambe Sp.B

 Diagnosa Pra Bedah : Hernia inguinalis lateralis inkaserata

 Diagnosa Pasca Bedah : Hernia inguinalis lateralis inkaserata

 Keadaan Pra Bedah


KU : Tampak sakit sedang
BB : 60 Kg
TB : 170 cm
TTV :
TD : 158/80 mmHg

33
N : 60 x/menit,
RR : 24 x/menit
T : 36,5 0C
 B1 (Breath )
Airway : Clear
RR : 24 x/i
SP : Vesikuler
ST :-

 B2 (Blood) :
Akral : Hangat
CRT : <2
TD : 158/80 mmHg
HR : 60 x/menit
Hb : 15.5 g/dL
Ht : 46.6 %
Leukosit :13.30 ribu/mm3
Trombosit :225.000 ribu/mm3
 B3 (Brain)
Sensorium : Composmentis (E4V5M6)
Pupil : Isokor, ka = ki 3mm/3mm
R.Cahaya : (+)/(+)
 B4 (Bladder)
Kateter :-
Urine Output :-
Warna :-
Ureum :-
 B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi : Tampak benjolan diregio inguinalis dextra,
dan tampak skrotum membesar sebesar bola
kasti, tidak dijumpai perubahan warna kulit.
Palpasi : Teraba benjolan inguinal kanan, konsistensi
keras, permukaan rata, imobile, batas tegas,
nyeri tekan (+)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik 8x/menit
 B6 (Bone)
Oedem : (-)
Fraktur : (-)
Motorik : DBN

34
 Jenis pembedahan : Herniorapi (Mast)
 Jenis Anastesi : Regional Anastesi
 Lama Operasi : 10.25 - 11.15
 Lama Anastesi : 10.10 – 11.20
 Anastesi Dengan : Buvipacaine 0,5% -> 25mg
 Teknik Anastesi : Spinal 2,5 mg, Inj. Setinggi L3-L4, Inj.

Anestesi setinggi T6-L2

 Teknik Khusus : SAB


 Pernafasan : Spontan Respirasi
 Posisi : Supine
 Infus : IVFD RL terpasang ditangan kiri
 Penyulit Anestesi :-
 Akhir Pembedahan : TD: 130/80 mmHg. N: 50 x/menit,
RR: 20 x/menit
 Terapi Khusus Pasca Bedah : -
 Penyulit Pasca Bedah :-
 Hipersensitivitas :-
 Premedikasi :-
 Medikasi
- Bupivacaine : 25 mg
- Ranitidine : 4 mg
- Ketorolac : 30 mg
 Jumlah Cairan
- Infus : IVFD RL 900 cc
- Transfusi Darah :-
- Produksi Urin :-
- Volume urin :-
- Perdarahan : ±40 cc

35
Diagram Observasi

Pemantauan Vital Sign


200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
10.10 10.15 10.20 10.25 10.30 10.35 10.40 10.45 10.50 10.55 11.00 11.05 11.10 11.15

Sistol Diastol Nadi

POST OPERASI
Perawatan Post Operasi

a. Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room dan


lakukan
monitoring airway dan tanda-tanda vital selama 2 jam
b. Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
c. IVFD RL 43 gtt/menit
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8
a) Pergerakan :2
b) Pernapasan :2
c) Warna kulit :2
d) Tekanan darah :2
e) Kesadaran :2
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, ± 3 boleh makan dan minum sedikit demi sedikit
apabila tidak kembung maka bisa diberikan M II.

TERAPI POST OPERASI

a) Bila mual / muntah : miringkan kepala => suction

36
b) IVFD RL 43 gtt/menit

c) Bila kesakitan : Inj. Fentanyl 50 mcg IV

d) Obat-obat lain : Inj. Ketorolac 30mg / 8jam, Tab Paracetamol 3 x

1000 mg (2tab)

e) Monitor TTV / 15 menit selama 2 jam

FOLLOW UP

4 Februari 2022 S:Os mengatakan nyeri bekas luka Instruksi:


operasi (+)
O:TD: 122/56 mmhg N: 82 - Bed Rest 24 jam
x/menit RR: 22x/menit T: 370C - IVFD RL 34 gtt/i
A:Post Hernioraphy - Inj. Ketorolac 30mg /
P: Memantau KU, Memantau 8jam, Tab Paracetamol 3
TTV x 1000 mg (2tab)
- Metronidazole 1 amp /
12 jam
- Ranitidine 1 amp/12 jam
5 Februari 2022 S: Nyeri luka bekas OP Instruksi:
O: TD: 130/70 mmhg N: 80
x/menit RR: 22 x/menit S: 36,50C - Monitor TTV Kaji skala
A: Post hernioraphy nyeri
P: Memantau KU pasien - Ajarkan cara relaksasi
Monitoring TTV

37
6 februari 2022 S: Nyeri luka bekas operasi Instruksi:

O: Skala nyeri: 4 TD: 140/70 - Monitor TTV Kaji skala


mmHG N: 85 x/menit RR: nyeri
22x/menit S: 36,50C - Ajarkan cara relaksasi

A: Post hernioraphy

P: Memantau KU pasien
Monitoring TTV

BAB IV

KESIMPULAN

Hernia didefinisikan sebagai suatu penonjolan abnormal organ atau jaringan


melalui daerah yang lemah (defek) yang diliputi oleh dinding. Meskipun hernia dapat
terjadi di berbagai tempat dari tubuh kebanyakan defek melibatkan dinding abdomen
pada umumnya. Hernia biasanya disebakan oleh. Lemahnya dinding rongga perut.
didapat sejak lahir atau didapat kemudian dalam hidup. Ataupun akibat dari
pembedahan sebelumnya. Hernia inguinalis terbagi 2 yaitu hernia inguinalis lateralis
dan hernia inguinalis medialis.Biasanya gejala yang mucul meliputi : Pembengkakan di
daerah inguinal yang semakin membesar secara perlahan-lahan. Penatalaksanaan hernia
meliputi penatalaksanaan konservatif dan obeservatif. Komplikasi hernia inguinalis
lateralis bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Richard, L. D., Vogl W., & Mitchell W. (2014) Gray’s Anatomy: Anatomy of the Human
Body. Elsevier : 143-8.
2. Way, Lawrence W. 2003. Hernias & Other Lesions of the Abdominal Wall. Current
Surgical Diagnosis and Treatment. Eleventh edition. New York. Mc Graw-Hill. 783-89
3. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran; alih bahasa: Liliana
Sugiharto, edisi ke-6. Jakarta:EGC, 2006, hal. 148-65, 189-90
4. Luthfi Achmad. Hernia. Bedah Digestif. Dalam Shenoy K.R, Nileswhar A.N. Buku ajar
Ilmu Bedah Ilustrasi Berwarna; Edisi 3 jilid 2.2016. Tangerang Karisma Publishing. 386-
93
5. Dorland, W.A. & Newman. (2012). Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 28. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 504
6. Townsend, Courtney M. 2004. Hernias. Sabiston Textbook of Surgery. 17th Edition.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 1199-217
7. World Heart Organization. (2018). Hernia Inguinalis, http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs331/en/. (diakses pada`28 oktober 2019)
8. Riskesdas. (2018). Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. http://www.depkes.go.id
9. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. (2017). Data dan Informasi Profil Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017. Provinsi Sumatera Utara : Dinas Kesehatan Sumut
10. Karen, M.D. Hernia &Other Lessions of abdominal Wall. Dalam: Doherty G . Current
Diagnosis and Treatment Surgery: Thirteenth Edition, 13 edition.2009 ed. McGraw-Hill
Medical, New York. 768-81

39
11. Brunicardi, F Charles. 2005. Inguinal Hernias. Schwartz’s Principles of Surgery. Eighth
edition. New York. Mc Graw-Hill. 1353-94.
12. Lutfi Achmad, Thalut Kamardi. 2007. Dinding Perut, Hernia, Retroperitonium, dan
Omentum. Buku Ajar Ilmu Bedah,edisi 3. EGC. 615-41
13. Tjandra J.J., Gordon J.A., et al. Text Book Of Surgery. 2006. USA. Blackwell Publishing.
345-52.
14. Brunicardi, F Charles. 2005. Inguinal Hernias. Schwartz’s Principles of Surgery. Eighth
edition. New York. Mc Graw-Hill. 1353-94.
15. Latief SA, Suryadi KA. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
16. Goodman & Gilman. 2008. Anastetik Umum Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC.
17. H G, Burhitt & O.R.G. Quick. Essential Surgery . Edisi III. 2003. Hal 348-56

40
LAMPIRAN
PEMERIKSAAN PENUNJANG
FOTO THORAKS

LAB

1
LAPORAN BEDAH

2
LAPORAN ANESTESI

3
FOTO PASIEN

Anda mungkin juga menyukai