Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

NEUROGENIC BLADDER

Pembimbing :

dr. Ahmad Rizky Herda P, Sp.U

Disusun oleh:

Harlina Konoras

(03014081)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG

PROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

23 SEPTEMBER – 30 NOVEMBER 2019


LEMBAR PERSETUJUAN

Referat dengan judul:

“NEUROGENIC BLADDER”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

Periode 23 September – 30 November 2019

Disusun oleh:

Harlina Konoras

03014081

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Daerah Umum Karawang

Pembimbing,

dr. Ahmad Rizky Herda, Sp.U


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul “Neurogenik
Bladder” dapat selesai pada waktunya.

Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu Bedah di
RSUD Karawang. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:

1. dr. Ahmad Rizky Herda Pratama, Sp.U dokter pembimbing yang telah
memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh
dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para pembaca atas
kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka semua kritik
dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke depannya
menjadi lebih baik.

Akhir kata, demikian yang penulis dapat sampaikan. Semoga referat ini
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya bidang ilmu bedah.

Karawang, 20 Oktober 2019


Penyusun

Harlina Konoras

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
DAFTAR ISI …................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
2.1 Anatomi Kandung Kemih............................................................. 3
2.2 Fisiologi Berkemih ........................................................................ 3
2.3.1 Pengisian Kandung Kemih .......................................................... 3
2.3.2 Pengosongan Kandung Kemih .................................................... 3
2.3 Neurogenik Bladder...................................................................... 6
2.3.1 Definisi ........................................................................................ 6
2.3.2 Faktor Risiko dan Epidemiologi .................................................. 7
2.3.3 Etiologi ........................................................................................ 7
2.3.4 Patofisiologi ................................................................................. 8
2.3.5 Manifestasi Klinis ...................................................................... 12
2.3.6 Diagnosis ................................................................................... 13
2.3.7 Penatalaksanaan ......................................................................... 15
2.3.8 Follow-up................................................................................... 20

BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 21


DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Proses berkemih normal melibatkan fungsi kandung kemih dan uretra yang
tepat. Komplians detrusor yang normal dan sfingter uretra yang kompeten secara
fisiologis diperlukan untuk mempertahankan kontinensi urin. Setiap peningkatan
tekanan abdominal, yang secara inheren menghasilkan peningkatan tekanan
kandung kemih, biasanya diimbangi oleh peningkatan yang lebih besar pada
tekanan uretra.6
Proses berkemih normal melibatkan pengisian tekanan kandung kemih pasif
dan rendah selama fase penyimpanan urin sementara fase berkemih membutuhkan
koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter urin internal dan
eksternal. Proses berkemih ini dikendalikan oleh sistem saraf pusat, yang
mengkoordinasikan aktivasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis dengan sistem
saraf somatik untuk memastikan proses berkemih yang normal dengan kontinensi
urin. 6
Disfungsi berkemih dapat disebabkan oleh defek mekanis atau fisiologis
apapun dalam sistem berkemih yang menyebabkan ketidakmampuan sfingter urin
untuk meningkatkan (atau menurunkan) tekanannya secara tepat sebagai respons
terhadap peningkatan tekanan kandung kemih. Kerusakan atau penyakit pada
sistem saraf pusat, perifer, dan otonom dapat menyebabkan disfungsi kandung
kemih neurogenik. 6
Di Amerika Serikat, disfugsi kandung kemih neurogenik terjadi pada 40-
90% pasien dengan sklerosis multipel, 37-72% pasien dengan Parkinsonisme, dan
15% pasien dengan stroke. Hiperrefleksia detrusor terlihat pada 50-90% pasien
dengan sklerosis multipel, sementara 20-30% lainnya mengalami arefleksia
detrusor. 70-84% dari populasi pasien cedera tulang belakang memiliki setidaknya
beberapa derajat disfungsi kandung kemih.13 Disfungsi kandung kemih juga
umum terjadi pada spina bifida, yang mempengaruhi sekitar 1 per 1000 kelahiran
hidup. Refluks vesicoureteral dapat terjadi pada hingga 40% anak-anak dengan
spina bifida pada usia 5 tahun, dan hingga 61% dewasa muda dengan spina bifida
1
mengalami inkontinensia urin.18 Penyebab yang kurang umum disfungsi kandung
kemih neurogenik diantaranya diabetes mellitus dengan neuropati otonom,
sekuele operasi pelvis, dan sindrom kauda equina karena patologi tulang belakang
lumbar.
Disfungsi kandung kemih neurologis dengan overaktivitas detrusor
berkemungkinan untuk menyebabkan inkontinensia, yang tidak hanya
menyebabkan rasa malu, depresi dan isolasi social, tetapi juga dapat menyebabkan
dekitus kulit, erosi uretra, dan kerusakan saluran kemih atas. 6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kandung Kemih


Kandung kemih merupakan jalinan otot polos yang dibedakan atas kandung
kemih dan leher kandung kemih. Bagian terbawah leher kandung kemih disebut
sebagai uretra posterior karena berhubungan dengan uretra. Kandung kemih
bagian fundus terdiri atasi tiga lapisan otot polos yang saling bersilangan dan
disebut otot detrusor. Pada dinding kandung kemih bagian posterior terdapat area
berbentuk segitiga yang lazim disebut trigonum. Sudut bagian bawah segitiga
merupakan bagian leher kandung kemih yaitu muara uretra posterior sedangkan
kedua sudut lainnya merupakan muara kedua ureter. Kedua ureter menembus otot
detrusor dalam posisi oblik dan memanjang 1–2 cm di bawah mukosa kandung
kemih sebelum bermuara ke dalam kandung kemih. Struktur tersebut dapat
mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter.20

2.2 Fisiologi Berkemih


2.2.1 Pengisian Kandung Kemih
Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun spiral, memanjang dan
melingkar, tetapi batas lapisan yang jelas tidak ditemukan. Kontraksi peristaltik
yang teratur timbul 1-5 kali tiap menit akan mendorong urine dari pelvis renal
menuju kandung kemih, dan akan masuk secara periodik sesuai dengan
gelombang peristaltik. Ureter menembus dinding kandung kemih secara miring,
dan meskipun tidak ada sfingter ureter, kemiringan ureter ini cenderung menjepit
ureter sehingga ureter tertutup kecuali selama adanya gelombang peristaltik, dan
refluks urine dari kandung kemih ke ureter dapat dicegah.1

2.2.2 Pengosongan Kandung Kemih


Otot polos kandung kemih, seperti pada ureter, tersusun secara spiral,
memanjang, melingkar dan karena sifat dari kontraksinya otot ini disebut
muskulus detrusor, terutama berperan dalam pengosongan kandung kemih selama
3
berkemih. Susunan otot berada di samping kiri dan kanan uretra, dan serat ini
disebut sfingter uretra interna, meskipun tidak sepenuhnya melingkari uretra
sepenuhnya. Lebih distal, terdapat spingter pada uretra yang terdiri dari otot
rangka, yaitu spingter uretra membranosa (sfingter uretra eksterna). Epitel
kandung kemih tersusun dari lapisan superfisial yang terdiri dari sel-sel gepeng
dan lapisan dalam yang terdiri dari sel kubus. Susunan saraf pusat yang mengatur
kandung kemih berpusat pada lobus frontalis pada daerah yang disebut dengan
area detrusor piramidalis. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa
kontrol terpenting terutama berasal dari daerah yang disebut dengan pembentukan
retikular mesensefalik pontin, yang kemudian disebut sebagai pusat berkemih
pontin. Sistem ini ditunjang oleh sistem reflex sakralis yang disebut dengan pusat
berkemih sakralis. Jika jalur persarafan antara pusat pontin dan sakralis dalam
keadaan baik, proses berkemih akan berlangsung baik akibat reflex berkemih yang
menghasilkan serangkaian kejadian berupa relaksasi otot lurik uretra, kontraksi
otot detrusor, dan pembukaan dari leher kandung kemih dan uretra. 1
Sistem saraf perifer dari saluran kemih bawah terutama terdiri dari sistem
saraf otonom, khususnya melalui sistem parasimpatis yang mempengaruhi otot
detrusor terutama melalui transmisi kolinergik. Perjalanan parasimpatis melalui
nervus pelvikus dan muncul dari S2-S4. Transmisi simpatis muncul dari T10-T12
mmbentuk nervus hipogastrikus inferior yang bersama-sama dengan saraf
parasimpatis membentuk pleksus pelvikus. 5
Persarafan parasimpatis dijumpai terutama di kandung kemih dari
dindingnya sangat kaya akan reseptor kolinergik. Otot detrusor akan berkontraksi
atas stimulasi asetil kolin. Serabut simpatis-adrenergik mempersarafi kandung
kemih dan uretra. Reseptor adrenergik di kandung kemih terdiri dari reseptor alfa
dan beta. Bagian trigonum kandung kemih tidak mempunyai reseptor kolinergik
karena bagian ini terbentuk dari mesodermis, tetapi kaya akan reseptor adrenergic
alfa dan sedikit reseptor beta. Sementara uretra memiliki ketiga reseptor. 5
Berkemih pada dasarnya merupakan reflex spinal yang akan difasilitasi dan
dihambat oleh pusat susunan saraf yang lebih tinggi, dimana fasilitasi dan inhibisi
dapat bersifat volunteer. Urin yang memasuki kandung kemih tidak begitu
meningkatkan tekanan intravesika sampai telah terisi penuh. Selain itu, seperti

4
juga jenis otot polos lainnya, otot vesika memiliki sifat elastis, bila diregang,
ketegangan yang mula-mula timbul tidak akan dipertahankan. Hubungan antara
tekanan intravesika dan volume vesika dapat dipelajari dengan cara memasukkan
kateter dan mengosongkan vesika, kemudian dilakukan pencatatan tekanan saat
vesika diisi oleh air atau udara dengan penambahan 50ml setiap kalinya
(sistometri). Grafik antara tekanan intravesika dengan volume vesika urinaria
disebut sistometrogram. Kurva yang dihasilkan menunjukkan adanya peningkatan
kecil pada pengisian awal, kemudian disusul oleh segmen yang panjang dan
hampir rata pada pengisian selanjutnya. Akhirnya timbul peningkatan tekanan
yang tajam akibatnya tercetus reflex berkemih. Keinginan pertama untuk
berkemih timbul bila volume kandung kemih sekitar 150cc, dan rasa penuh timbul
pada pengisian sekitar 400cc. 1
Pada kandung kemih, ketegangan akan meningkat dengan meningkatnya isi
organ tersebut, tetapi jari-jarinya pun bertambah. Oleh karena itu, peningkatan
tekanan hanya akan sedikit saja sampai organ tersebut relatif penuh. Selama
proses berkemih, otot perineum dan spingter uretra eksterna relaksasi, otot
detrusor berkontraksi dan urine akan mengalir melalui uretra. Mekanisme awal
yang menimbulkan proses berkemih volunter belum diketahui secara pasti. Salah
satu peristiwa awal adalah relaksasi otot-otot dasar panggul, dan hal ini mungkin
menimbulkan tarikan ke bawah yang cukup besar pada otot detrusor untuk
merangsang kontraksi. Kontraksi otot perineum dan spingter eksterna dapat
dilakukan secara volunter, sehingga dapat menghentikan aliran urine saat sedang
berkemih. Melalui proses belajar seorang dewasa dapat mempertahankan
kontraksi spingter eksterna sehingga mampu menunda berkemih sampai saat yang
tepat. 1

5
Gambar 1 Anatomi dan fisiologi mikturisi dengan potensial lokasi cedera
terhadap sistem urologi (m: reseptor muskarinik, a: reseptor alfa-adrenergik, b:
reseptor beta-adrenergik). 6

2.3 Neurogenik Bladder


2.3.1 Definisi
Neurogenik bladder (NB) atau lower urinary tract dysfunction (NLUTD)
merupakan suatu disfungsi pada kandung kemih dan uretra akibat penyakit pada
system saraf pusat atau saraf perifer. NB atau NLUTD dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit dan kondisi yang mempengaruhi system saraf yang mengontrol
traktus urinarius bawah (lower urinary tract / LUT), yaitu kandung kemih dan
uretra. Manifestasi NLUTD bergantung pada lokasi dan luas lesi neurologisnya. 11
Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik
untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu aktif dan
6
melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali
(overactive bladder).19

2.3.2 Faktor Risiko dan Epidemiologi


Neurogenik bladder sebagian besar terjadi pada populasi pasien yang
menderita berbagai kondisi medis, diantaranya cedera medulla spinalis, stroke,
cedera kepala, tumor otak, meningomielokel, serebral palsi, multiple sclerosis,
penyakit diskus saraf, penyakit Parkinson, dan penyakit lainnya dengan disfungsi
neurologis jangka panjang, seperti diabetes, anemia pernisiosa, dan tabes
dorsalis.3
Neurogenik bladder ditemukan terjadi pada 40-90% pasien di Amerika
Serikat dengan multipel sclerosis, 37-72% pasien dengan parkinsonisme, dan 15%
pasien dengan stroke. Diperkirakan bahwa sekitar 70-84% pasien dengan cedera
medulla spinalis mengalami beberapa kondisi disfungsi berkemih. 14

2.3.3 Etiologi15
Terdapat 2 tipe neurogenik bladder
a. Spastic
1) Disebabkan oleh lesi diatas pusat miksi di sacral.
2) Hilangnya sensasi untuk mengosongkan kandung kemih dan
kehilangan kontrol motorik,
3) Bladder bisa atropi, sehingga kapasitas bladder berkurang .
Manifestasi Klinis:
1) Sering berkemih secara involunter
2) Kapasitas kecil < 300 cc
3) Sejumlah kecil
4) Disertai oleh spasme ekstremitas bawah
5) Sensasi bladder hilang
6) Pengosongan kemih bisa dicetuskan oleh rangsangan kulit pada
perineum atau genitalia.
b. Flaccid
1) Lesi lower motor neuron

7
2) Bladder terus diisi dan membesar (ektensi)
3) Urine terkumpul dan bisa tejadi pengosongan tapi tidak komplit
(overflow) sehingga menyebabkan banyaknya residu urine lalu
memicu potensi untuk terjadinya infeksi.

2.3.3.1 Kelainan pada sistem saraf pusat:


a. Alzheimer’s disease
b. Meningomielocele
c. Tumor otak atau medulla spinalis
d. Multiple sclerosis
e. Parkinson disease
f. Cedera medulla spinalis
g. Pemulihan stroke

2.3.3.2 Kelainan pada sistem saraf tepi:


a. Neuropati alkoholik
b. Diabetes neuropati
c. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
d. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
e. Defisiensi vitamin B12

2.3.4 Patofisiologi
Dengan adanya lesi neurologis, jenis disfungsi neurogenik bladder yang
muncul tergantung pada lokasi, luas, dan evolusi lesi tersebut. Kategori utama
meliputi:7
a. Waktu disfungsi neurologis; disfungsi kongental atau perinatal dianggap
berbeda dari yang disfusi yang didapat, dikarenakan disfungsi kongenital
dan perinatal tidak akan kembali memiliki fungsi LUT yang normal
b. Kemungkinan perkembangan kerusakan neurologis; kondisi lesi
neurologis yang progresif berbeda dengan lesi neurologis yang stabil.
c. Luas hilangnya fungsi neurologis.
d. Bagian dari sistem saraf yang terpengaruh7 (Gambar 1, Tabel I).

8
1) Suprapontin
Pasien dengan lesi di atas pons (otak depan atau otak tengah); maka
pasien tersebut biasanya terus mengalami kontraksi refleks detrusor,
namun regulasi otaknya terganggu, dan terdapat inhibisi sentral. Yang
dapat menyebabkan:
a) Waktu berkemih yang tidak tepat
b) Ketidakmampuan untuk memulai proses miksi
c) Overaktivitas detrusor neurogenik (neurogenic detrusor
overactivity/NDO) dan inkontinensia terkait-NDO
d) Proses berkemih (jika ada) biasanya sinergis, namun dapat terjadi
kontraksi sfingter volunteer yang menyebabkan terjadinya “pseudo-
dissinergia”
2) Pontin
Lesi pada batang otak dapat menyebabkan NDO atau detrusor
underactivity dan bahkan detrusorsphincter-dyssynergia (DSD) sesuai
dengan lokasi dan luasnya lesi.
a) Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal
akan menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi yang
akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil
dari volume bladder.
b) Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi
detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot
detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan
menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang
tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing
bagian atas.Urine dapat keluar dari bladder hanya bila kontraksi
detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran
urine terputus-putus.
c) Kontraksi detrusor yang lemah

9
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga
pengosongan bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila
dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan
volume residu pasca miksi.
d) Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder yang
hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan
untuk terjadinya kontraksi bladder. Penderita mengeluh mengenai
seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.
3) Medula spinalis sakralis
a) Arefleksia detrusor (kehilangan fungsi parasimpatis)
b) Inkontinensia urin tipe stres (stress urinary incontinence / SUI) akibat
defisiensi sfingter (kehilangan nucleus Onuf)
c) Gangguan komplians detrusor selama pengisian kandung kemih
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun
ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica
urinaria dan hilangnya sensibilitas vesica urinaria. Proses pendahuluan
miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan
kontraksi detrusor hilang, vesica urinaria menjadi atonik atau hipotonik
bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Komplians vesica urinaria
juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung
pada utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari peregangan vesica urinaria
terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan karena informasi aferen
yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah
thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme
penutupan namun jaringan elastik dari leher vesica urinaria
memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk mempertahankan
miksi selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang,
sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin. 16
4) Subsakral (kauda equina dan saraf perifer)

10
Kemungkinan terdapat arefleksia detrusor dan/atau SUI. Mungkin terjadi
gangguan komplians detrusor. Pada neuropati diabetikum, dapat terjadi
overaktivitas detrusor bersamaan dengan temuan diatas. 7

Tabel 1 Kategorisasi Lesi Neurologis Menurut Onset Waktu, Perjalanan


Klinis, dan Lokasi SSP, Dengan Contoh Kondisi
Lesi kongenital Kondisi didapat, Kondisi didapat,
dan perinatal stabil progresif
Otak dan batang Serebral palsi Stroke, cedera Multipel sklerosis,a
otak kepala penyakit
Parkinsonisme,
demensia, atropi
sistem multipel
Medula spinalis Paraparesis spastik Trauma Multipel sclerosis,a
suprasakral herediter, disrafime spondilosis dengan
spinala mielopati
Medulla spinalis Disrafisme spinal, Cedera konus Tumor
sakralis agenesis sacral,
anomali anorektal
Subsakral Disrafisme spinal, Cedera kauda Tumor, neuropati
disautomonia ekuina, cedera perifer (mis.
familial saraf pelvis Diabetes)
a
Kondisi yang dapat terjadi pada lebih dari satu regio pada SSP

11
Gambar 2 Sistem Klasifikasi Madersbacher dengan Jenis Lesi Neurologis

2.3.5 Manifestasi Klinis


Gejala disfungsi kandung kemih neurogenik dapat meliputi: infeksi saluran
kemih, batu ginjal, inkontinensia urin, volume urin kecil selama berkemih,
frekuensi dan urgensi kemih, terminal dribbling urin yang merupakan suatu
keadaan dimana urin menetes pada akhir miksi, hilangnya sensasi kandung kemih
penuh. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya
frekuensi, urgensi dan inkontinensia sehingga kurang dapat menilai lokasi
kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik
akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urin dapat
timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk
menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau
striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis
bagian sakral, (Disinergia detrusor-sfingter) DDS dapat menimbulkan berbagai
derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering
timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada
lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks
miksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi
12
frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala
serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan gejala frekuensi dan
bila jaras sensorik masih utuh maka akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN
dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress
inkontinensia dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan
retensi kronik dengan overflow. 16

2.3.6 Diagnosis
2.3.6.1 Anamnesis
Diagnosis meliputi dengan melakukan anamnesis tujuannya yaitu untuk
mengetahui bagaimana pola buang air kecilnya atau ada tidak gangguan saat
berkemih serta mengetahui adanya faktor-faktor resiko. Anamnesis lengkap
pasien harus diperoleh termasuk riwayat penyakit/operasi genitourinari
sebelumnya, riwayat berkemih, keluhan berkemih (disuria, infeksi berulang,
hesistansi, nokturia, inkontinensia, urgensi, dan / atau frekuensi), dan konsumsi
obat-obatan. Obat sedatif / hipnotis, antidepresan, antipsikotik, antihistamin,
antikolinergik, antispasmodik, opiat, agonis / antagonis alfa adrenergik, dan obat
penghambat kanal kalsium dapat memengaruhi fungsi berkemih.6

2.3.6.2 Pemeriksaan Fisik


Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan fisis dapat berupa pemeriksaan
rektal, genitalia, serta pemeriksaan dinding perut (abdominal) untuk menilai ada
tidaknya pembesaran pada bladder ataupun kelainan lainnya. Selain itu,
pemeriksaan neurologis juga dilakukan untuk menentukan kelainan neurologis
yang menjadi dasar terjadinya neurologic bladder, uji neurologis harus mencakup
status mental, refleks, kekuatan motorik dan sensibilitas (termasuk dermatomal
2,4,12
sakral). Masalah mekanis seperti pembesaran prostat atau prolaps kandung
kemih dapat ditemukan pada pemeriksaan urologis yang dapat memengaruhi
fungsi berkemih. Pada pasien cedera medulla spinalis, tingkat lesi tulang belakang
motorik, baik cedera total atau parsial, maka harus dinilai tonus ekstremitas,

13
sensasi / tonus rektum, ada / tidaknya tonus rektum volunter, dan refleks
bulbokavernosus.6

2.3.6.3 Pemeriksaan Laboratorium


Evaluasi laboratorium pasien dengan disfunsi kandung kemih neurogenik
harus mencakup urinalisis, kultur dan sensitivitas urin, serum BUN / kreatinin,
dan bersihan kreatinin. 6
Uji klirens ginjal seperti uji kreatinin klirens urin dua puluh empat jam dan
beberapa uji isotop dapat digunakan untuk mengevaluasi dan memantau fungsi
ginjal pada pasien disfungsi kandung kemih neurogenik.6

2.3.6.4 Postvoid Residual Urine


Volume urin residual postvoid (PVR) dilakukan menggunakan kateterisasi
transurethral untuk mengukur volume urin residual dalam kandung kemih segera
setelah berkemih untuk menentukan kemampuan pengosongan kandung kemih
sepenuhnya. Volume residu abnormal yaitu jika didapatkan volume residu yang
lebih besar dari 100cc atau lebih dari 20% dari volume BAK, dan volume urin
rutin di bawah 100cc dikaitkan dengan penurunan risiko pengembangan sistitis
bakteri.6

2.3.6.5 Penilaian Urodinamik


Evaluasi Urodinamik harus dilakukan untuk menilai fungsi urin, termasuk
uroflowmetri, cystometrogram / electromyogram kandung kemih (CMG / EMG),
pengukuran leak point pressure (LPP) Valsava, dan profil tekanan uretra (UPP).
Penilaian urodinamik adalah cara yang paling definitif dan obyektif untuk
menentukan kelainan pada kandung kemih dan uretra pada fase pengisian /
penyimpanan serta fase berkemih pada disfungsi neurogenik kandung kemih.6
a. Uroflowmetri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasive. Hasilbiasanya
diberikandalam milliliter per detik (mL / detik). 2,12

14
b. Elektromiografi
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau
tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih
menghasilkan disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak
terkoordinasi) yang dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada
korda spinalis. 2,4,12

2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kondisi kandung kemih neurogenik membutuhkan edukasi
kepada pasien dan dapat mencakup intervensi seperti latihan kandung kemih,
medikamentosa, kateterisasi intermiten, kateter menetap, dan prosedur bedah
kandung kemih dan / atau uretra. Tujuan penatalaksanaan disfungsi kandung
kemih neurologis yaitu untuk melindungi traktus urinarius bagian atas dan untuk
memperbaiki kontinensia, QoL, dan juka mungkin fungsi traktus urinariun bagian
bawah. 17

2.3.7.1 Intervensi Nonfarmakologis


Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training.
Bladder training adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot
kandung kemih agar fungsinya kembali normal. Bladder training adalah salah satu
upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke
keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari bladder training
adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal
perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih. 4
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda
berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel
execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang
dilakukan secara berulangulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan
kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar

15
panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat
penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih.11
a. Bladder Training
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing
(menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder
training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag.
Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan
ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian
jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20
menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini
memungkinkan kandung kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang
interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau
teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-
7 kali per hari atau 3-4 jam sekali.
Langkah-langkah bladder training:
1) Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang
memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor
berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual.
2) Anjurkan pasien minum (200-250 cc).10
3) Tanyakan pada pasien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.10
4) Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.10
5) Lihat kemampuan berkemih pasien.10

b. Kateterisasi Intermitten
Kateterisasi intermiten adalah metode yang lebih disukai untuk pasien
dengan disfungsi kandung kemih neurogenik dengan retensi urin parsial
atau total. Pengosongan kandung kemih yang teratur akan mengurangi
tekanan kandung kemih intravesikal dan meningkatkan sirkulasi darah
di dinding kandung kemih, dan membuat mukosa kandung kemih lebih
resisten terhadap bakteri infeksi. Kateterisasi intermiten meningkatkan
self-care dan kemandirian dan mengurangi hambatan keintiman seksual
dibandingkan dengan penggunaan kateter tetap. Jika pasien dengan

16
disfungsi kandung kemih neurogenik memiliki beberapa kemampuan
untuk berkemih secara volunter, maka upaya berkemih dicoba setiap 3
jam sambil bangun termasuk upaya kateterisasi yang hanya sesekali.
Jika upaya berkemih memungkinkan pasien untuk mengosongkan
kandung kemih dengan cukup sehingga volume urin residual dalam
kandung kemih di bawah 100cc secara konsisten, maka kateterisasi
dapat dihentikan. Volume urin residual di bawah 100cc dikaitkan
dengan penurunan risiko pengembangan sistitis bakteri. 7
c. Kateter Tetap
Penempatan kateter Foley tetap untuk penatalaksanaan disfungsi
kandung kemih neurogenik adalah pilihan terapi untuk inkontinensia
yang tidak terkendali atau untuk retensi urin ketika kateterisasi
intermiten tidak memungkinkan. Durasi penggunaan kateter dalam
pengaturan lokasi rumah mungkin agak lama, dengan median 34 tahun,
dan beberapa individu dapat menggunakannya selama lebih dari 20
tahun. Sebagai contoh, pasien mielomeningokel mungkin memiliki
gangguan fungsi motorik dan / atau intelektual yang membuat tidak
mungkin dilakukan penggunaan kateterisasi intermiten dan kebersihan
diri sehingga kateter urin yang menetap memungkinkan mereka untuk
mempertahankan independensi. Pasien dengan kateter Foley tetap harus
mempertahankan asupan cairan oral yang tinggi (>3 liter / hari) untuk
menjaga bakteri yang terkolonisasi keluar dari kandung kemih dan
kateter harus diganti setiap bulan.7

2.3.7.2 Penatalaksanaan Farmakologis


a. Antikolinergik
DO dapat secara efektif diterapi dengan obat antikolinergik (oksibutinin,
tolterodin, trospium, dan propiverin). Anti kolinergik efektif dalam
mengobati inkontinensia karena mereka menghambat kontraksi kandung
kemih involunter dan memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh
kandung kemih. Misalnya, Hiosiamin (Levbid) 0.125 mg, Dicyclomine
hydrochloride (Bentyl) 10-20 mg. 4

17
b. Betanekol Klorida (Urecholine)
Adalah suatu obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja pada reseptor
muskarinik (kolonergik) dan terutama digunakakn untuk meningkatkan
proses berkemih. dan mengobat retensi urin. Merupakan agonis kolinergik
yang digunakan untuk meningkatkan kontraksi detrusor. Obat ini
membantu menstimulasi kontraksi kandung kemih pada pasien yang
menyimpan urin. Betanekol klorida 10-50 mg 3-4 kali dalam sehari. 4
c. Alfa-bloker
Alfa-bloker (terazosin dan alfulzosin) dan relaksan otot polos lainnya
(baclofen dan diazepam) berguna dalam menurunkan resistensi aliran
keluar kandung kemih. Antagonis alfa-1 adrenergik menyebabkan
blockade post stinaps perifer pada reseptor alfa-adrenergik pada leher
kandung kemih dan uretra proksimal untuk menurunkan resistensi aliran
keluar.7
d. Agonis Nitrit Oksida
Secara teoritis, dikarenakan sfingter uretra memiliki suplai aliran darah
yang banyak, maka pemberian nitrat oral maupun sublinguan (saat ini
digunakan untuk terapi angina) dapat digunakan untuk menurunkan
tekanan sfingter eksternal pada pasien dengan dissinergia sfingter
detrusor.7
NDO biasanya diterapi dengan menggunakan antimuskarinik, disfungsi leher
kandung kemih dengan alfa-bloker, dan spastisitas sfingter dengan relaksan otot
polos atau nitrit oksida. Tonus otot detrusor dapat ditingkatkan dengan agen
kolinergik seperti betanekol. Agen tersebut seringkali diberikan untuk mencapai
control kandung kemih yang lebih baik atau pengosongan kandung kemih yang
efisien. Namun, disfungsi kandung kemih neurologis tidak dapat dikontrol tanpa
menggunakan kombinasi obat untuk disfungsi detrusor dan resistensi aliran keluar
kandung kemih.10

2.3.7.3 Terapi Pembedahan


Pembedahan bisa dilakukan pada kasus tertentu yang jarang. Pembedahan
dilakukan untuk membuat jalan lain untuk mengeluarkan urin, memasang alat

18
untuk menstimulasi otot kandung kemih. Tindakan pembedahan yang biasa
dilakukan: 4
a. Augmentation Enterocystoplasty
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan reservoir dengan kapasitas
besar dan good compliance dengan cara melakukan
sigmoidocolocystoplasty yang terkadang dikombinasi dengan tindakan
uretral re-implantation.
b. Tissue-Engineering Bladder Augmentation
Tindakan ini menggunakan small intestine submucosa (SIS), dan
terbukti meningkatkan fungsional vesika urinaria.
c. Artificial Urinary Sphincter (AUS) pasien dengan neurogenic bladder
mempunyai resitensi vesika urinaria yg rendah, dan tindakan AUS
memungkinkan terjadinya spontaneus voiding.

2.3.7.4 Botulinum Toxian A (BTX-A) injection


Botulinum Toxin A disuntikkan pada musculus detrussor yang berfungsi
untuk memblok presinaptik melepaskan asetilkolin dari nervus parasimpatik
sehingga akan menyebabkan otot polos pada detrussor mengalami paralisis
sehingga tidak kontraksi. Toksin ini bersifat long acting tetapi denervasi kimianya
bersifat reversibel. 10

2.3.7.5 Quality of Life


QoL merupakan aspek yang sangat penting terhadap penatalaksanaan global
pasien dengan disfungsi kandung kemih neurogenik. Tujuan utama
penatakalsanaan yang dianjurkan adalah pengembalian dan pemeliharaan QoL
pasien. Penilaian QoL harus berintergral dengan evaluasi gejala LUT dan juga
saat mempertimbangkan terapi apapun untuk disfungsi kandung kemih
neurologis9. QoL dapat dinilai dengan menggunakan Qualiveen, yaitu suatu alat
spesifik untuk pasien dengan lesi medulla spinalis dan pasien yang menderita
multipel sclerosis, dan skala analog visual (VAS). Dapat juga digunakan alat ukur
survey kesehatan generic (SF-36) atau kuosioner spesifik seperti Urinary
Incontinence Quality of Life Scale (I-QOL) untuk menilai inkontinensia. 8

19
2.3.8 Follow-up
Neurogenik bladder merupakan kondisi yang tidak stabil dengan manifestasi
yang beragam. Maka dari itu, penting untuk dilakukan follow-up rutin. Follow-up
pasien secara individu sangat penting untuk menjaga kualitas hidup dan harapan
hidup. Follow-up minimum diuraikan dalam tabel 2.17

Tabel 2 Follow-up minimal yang dibutuhkan pada pasien dengan disfungsi


kandung kemih neurologis
Peninalain Frekuensi
Urinalisis Minimal sekali setiap 6 bulan
USG traktus urinarius bagian atas, Setiap 6 bulan
status kandung kemih, dan postvoid
residual
Pemeriksaan fisik, biokimia darah, dan Setiap tahun
mikrobiologi urin
Pemeriksaan urodinamik pada pasien Setiap 2 tahun
tanpa overaktivitas detrusor dan dengan
komplians kandung kemih normal
Pemeriksaan urodinamik pada pasien Minimal sekali tiap tahun
dengan overaktivitas detrusor dan /
tanpa penurunan komplians kandung
kemih

20
BAB III
KESIMPULAN

Proses berkemih normal melibatkan fungsi kandung kemih dan uretra yang
tepat. Proses berkemih ini dikendalikan oleh sistem saraf pusat, yang
mengkoordinasikan aktivasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis dengan sistem
saraf somatik untuk memastikan proses berkemih yang normal dengan kontinensi
urin.
Disfungsi berkemih dapat disebabkan oleh defek mekanis atau fisiologis
apapun dalam sistem berkemih yang menyebabkan ketidakmampuan sfingter urin
untuk meningkatkan (atau menurunkan) tekanannya secara tepat sebagai respons
terhadap peningkatan tekanan kandung kemih. Kerusakan atau penyakit pada
sistem saraf pusat, perifer, dan otonom dapat menyebabkan disfungsi kandung
kemih neurogenik.
Neurogenik bladder merupakan suatu disfungsi pada kandung kemih dan
uretra akibat penyakit pada system saraf pusat atau saraf perifer. NB dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit dan kondisi yang mempengaruhi sistem saraf
yang mengontrol traktus urinarius bawah (lower urinary tract / LUT), yaitu
kandung kemih dan uretra.
Manifestasi NLUTD bergantung pada lokasi dan luas lesi neurologisnya.
Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik
untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu aktif dan
melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali
(overactive bladder).
Dengan adanya lesi neurologis, jenis disfungsi neurogenik bladder yang
muncul tergantung pada lokasi, luas, dan evolusi lesi tersebut. Kategori utama
bagian dari sistem saraf yang terpengaruh yaitu lesi di suprapontin, pontin,
medulla spinalis sakralis, dan subsakralis.
Diagnosis meliputi dengan melakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan evaliasi urodinamik. untuk menilai fungsi
urin, termasuk uroflowmetri, cystometrogram / electromyogram kandung kemih
21
(CMG / EMG), pengukuran leak point pressure (LPP) Valsava, dan profil tekanan
uretra (UPP).
Penatalaksanaan kondisi kandung kemih neurogenik membutuhkan edukasi
kepada pasien dan dapat mencakup intervensi seperti latihan kandung kemih,
medikamentosa, kateterisasi intermiten, kateter menetap, dan prosedur bedah
kandung kemih dan / atau uretra. Tujuan penatalaksanaan disfungsi kandung
kemih neurologis yaitu untuk melindungi traktus urinarius bagian atas dan untuk
memperbaiki kontinensia, QoL, dan juka mungkin fungsi traktus urinariun bagian
bawah.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Barrett, K. E., & Ganong, W. F. (2013). Ganongs review of medical


physiology. New York: McGraw-Hill.

2. Brust, J. C. (2012). Current diagnosis & treatment in neurology. New


York: McGraw-Hill Medical.

3. Danforth, T. L., & Ginsberg, D. A. (2014). Neurogenic Lower Urinary


Tract Dysfunction. Urologic Clinics of North America,41(3), 445-452.
doi:10.1016/j.ucl.2014.04.003

4. Delen E, Sahin S, Aydin HE, Atkinci AT, Arsiantas A. Degenerative


Spine Diseases Causing Cauda Equina Syndrome. World Spinal Column
Journal.2015;6:3

5. Djusad S. Penangnanan retensi urin paska bedah, Uroginekologi I, Bagian


Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSUPN CM, Jakarta. 2002. Hal 63-69.

6. Dorsher, P. T., & Mcintosh, P. M. (2012). Neurogenic Bladder. Advances


in Urology,2012, 1-16. doi:10.1155/2012/816274

7. Drake, M. J., Apostolidis, A., Cocci, A., Emmanuel, A., & Gajewski, J. B.
(2016). Neurogenic lower urinary tract dysfunction: Clinical management
recommendations of the Neurologic Incontinence committee of the fifth
International Consultation on Incontinence 2013. Neurourology and
Urodynamics,35(6), 657-665. doi:10.1002/nau.23027

8. Kalsi, V., Apostolidis, A., Popat, R., Gonzales, G., Fowler, C. J., &
Dasgupta, P. (2006). Quality of Life Changes in Patients with Neurogenic
versus Idiopathic Detrusor Overactivity after Intradetrusor Injections of
Botulinum Neurotoxin Type A and Correlations with Lower Urinary Tract
Symptoms and Urodynamic Changes. European Urology,49(3), 528-535.
doi:10.1016/j.eururo.2005.12.012

9. Ku, J. H. (2006). The management of neurogenic bladder and quality of


life in spinal cord injury. BJU International,98(4), 739-745.
doi:10.1111/j.1464-410x.2006.06395.x

10. Kuo, H., Chen, S., Chou, C., Chuang, Y., Huang, Y., Juan, Y., . . . Wang,
C. (2014). Clinical guidelines for the diagnosis and management of
neurogenic lower urinary tract dysfunction. Tzu Chi Medical
Journal,26(3), 103-113. doi:10.1016/j.tcmj.2014.07.004

23
11. Liao, L. (2015). Evaluation and Management of Neurogenic Bladder:
What Is New in China? International Journal of Molecular Sciences,16(8),
18580-18600. doi:10.3390/ijms160818580

12. Liporace, J. (2006). Neurology. Philadelphia: Elsevier Mosby.

13. Manack, A., Motsko, S. P., Haag-Molkenteller, C., Dmochowski, R. R.,


Goehring, E. L., Nguyen-Khoa, B., & Jones, J. K. (2010). Epidemiology
and healthcare utilization of neurogenic bladder patients in a us claims
database. Neurourology and Urodynamics,30(3), 395-401.
doi:10.1002/nau.21003

14. Nelson, J. (2018). Neurogenic Bladder and Its Management. Physician


Assistant Clinics,3(1), 103-111. doi:10.1016/j.cpha.2017.08.008

15. Ropper, A. H., Samuels, M. A., & Klein, J. (2019). Adams and Victors
principles of neurology. New York: McGraw-Hill Education.

16. Samuels, M. A., & Ropper, A. H. (2010). Samuelss Manual of neurologic


therapeutics. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.

17. Stöhrer, M., Blok, B., Castro-Diaz, D., Chartier-Kastler, E., Popolo, G. D.,
Kramer, G., . . . Wyndaele, J. (2009). EAU Guidelines on Neurogenic
Lower Urinary Tract Dysfunction. European Urology,56(1), 81-88.
doi:10.1016/j.eururo.2009.04.028

18. Verhoef, M., Lurvink, M., Barf, H. A., Post, M. W., Asbeck, F. W.,
Gooskens, R. H., & Prevo, A. J. (2005). High prevalence of incontinence
among young adults with spina bifida: Description, prediction and
problem perception. Spinal Cord,43(6), 331-340.
doi:10.1038/sj.sc.3101705

19. Waxman, S. G. (2013). Clinical neuroanatomy. New York: McGraw-Hill


Education, Medical.

20. Wineski, L. E., & Snell, R. S. (2019). Snells clinical anatomy by regions.
Philadelphia: Wolters Kluwer

24

Anda mungkin juga menyukai