Anda di halaman 1dari 22

1

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT



Definisi
Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila
tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa
minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960 pengobatan LMA terutama
bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang
secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya.
Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik,
kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang
lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek
samping pengobatan.
1


Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada
beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor prediposisi
LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada
insidens penyakit kulit di negara berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk
LMA. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari
penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang
selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion
radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6
atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk LMA
adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down. Pasien
Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10 hingga 18 kali lebih
tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien
sindrom genetik seperti sindrom bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai resiko
yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
1,2,3

Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi
sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang
serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan
kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan
alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor.
3

2

Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan
menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan
sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan
adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan
pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia
akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan
pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang ada di
dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk
migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang,
jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala
akibatnya.
2,6,7,8


Gejala klinis
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai
leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien
mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia. Meskipun
demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85%
kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di
darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang
diduga menderita LMA.
3,5,6

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas.
Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di
ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih
berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering
dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan
daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA
dengan demam.
3,5,6,7

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering
terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena
maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala
3

yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di
infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan
yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan
menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
meninbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakkan gusi
sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada
LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah meningens dan untuk penegakan
diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui
prosedur pungsi lumbal.
2,3,6


Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel
dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu
berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.
Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi
Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8
subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French
American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA.
Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif
pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.
1,3,5

Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang mungkin
dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum berongga
dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan tulang
untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari sumsum
tulang ditarik melalui cairan injeksi. Pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat apakah
penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf
pusat atau sistem saraf pusat (SSP) otak dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik mungkin
termasuk flow cytometry penting lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa),
imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker),
Sitogenetika (untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika
molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker).
1,3,5


4

Kelainan hematologis
Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 10
6
/mm
3
.
Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 10
3
/mm
3
. Leukosit yang ada dalam
darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang mengandung badan
auer suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.
Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif, sedang
megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum tulang ini sudah
akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan
kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum tulang sudah jelas hiperseluler karena
infiltrasi dengan myeloblas. Kadan-kadang ditemukan Auer body dalam mieloblas. Kadang
manifestasi pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan mieloblas dalam sumsum
tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum gambaran mieloblastiknya menjadi
jelas benar.
3,4,5,7


Penatalaksanaan
Perbaiki keadaan umum yaitu anemia diberikan tranfusi darah dengan PCR (Packed red
cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam diatasi dengan transfusi konsentrat
trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika yang adekuat. Terapi spesifik seperti terapi
leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm
2
berat
badan hari 1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Untuk pasien usia
di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara C 5 hari. Obat
pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis.
Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir minggu ketiga. Apabila tidak terjadi remisi atau remisi
hanya bersifat parsial maka terapi harus diganti dengan regimen lain. Apabila terjadi remisi
lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi. Pada tahap ini diberikan
doxorubicin 40 mg/mm
2
hari 1-2 dan Ara C 1-5. Regimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4
minggu.

Apabila keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat
terjadi remisi lengkap.
1,3,6,7

Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin
dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan
daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi
komplit dengan terapi sitarabin dan dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal,
5

sedangkan bila diberikan sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60%
pasien.
6


Prognosis
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-
40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat
kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi
penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih
baik.
1,6



























6

DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION

DEFINISI
Penyakit Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau yang lebih dikenal sebagai
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu gangguan pembekuan darah
yang didapat, berupa kelainan trombohemoragic sistemik yang hampir selalu disertai dengan
penyakit primer yang mendasarinya.
Karakteristik ditandai oleh adanya gangguan hemostasis yang multipel dan kompleks
berupa aktivasi pembekuan darah yang tidak terkendali dan fibrinolisis (koagulopati
konsumtif). DIC merupakan salah satu kedaruratan medik, karena mengancam nyawa dan
memerlukan penanganan segera.
9,10,11


ETIOLOGI DIC
Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC dapat
merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel.
9,12,13

1. DIC akut:
Infeksi:
- bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia), virus (HIV, varicella, CMV,
hepatitis, virus dengue), fungal (histoplasma), parasit (malaria)
Keganasan :
- Hematologi (AML), Metastase (mucin secreting adenocarcinoma)
Trauma kepala berat: aktivasi tromboplastin jaringan.
Kebakaran
Reaksi Hemolitik
Reaksi transfusi
Gigitan ular
Penyakit hati; Acute hepatic failure
2. DIC kronik:
Keganasan : Tumor solid, leukemia
Obstetri : intrauterin fetal death, abrasio plasenta
Hematologi : sindrom mieloproliferatif
Vaskular : rematoid artritis, penyakit raynaud
Cardiovascular - infark miokard
Inflamasi ; ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis
7

MANIFESTASI KLINIS
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta
usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah
gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.
9,11,14

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:

Sirkulasi
o Dapat terjadi syok hemoragik
Susunan saraf pusat
o Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma
o Perdarahan Intrakranial
Sistem Kardiovaskular
o Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer
Sistem Respirasi
o Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang dapat
menyebabkan kematian.
Sistem Gastrointestinal
o Hematemesis, Hematochezia
Sistem Genitourinaria
o Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus
Sistem Dermatologi
o Petechiae, Purpura, acral sianosis, purpura fulminans, Infark lokal / gangren, hematom
dan mudah terjadinya perdarahan pada tempat luka, Thrombosis

DIAGNOSIS
Untuk membuat diagnosis DIC dari berbagai tingkat dapat dikemukakan proses
terjadinya gangguan koagulasi. Sistem scoring untuk DIC yang dikemukakan pada pertemuan
Scientific and Standarization committee International Society on Thrombosis and Homeostasis
(2001) adalah yang paling sering digunakan.
Skor DIC
10

1. Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan DIC?
Jika tidak, Penilaian tidak dianjurkan
2. Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)


8

3. SKOR :
- Jumlah trombosit : >100.000/mm3 = 0
50.000-100.000/mm3 = 1
< 50.000/mm3 = 2
- FDP/D-dimer : tidak meningkat (D-dimer <500) = 0
Meningkat sedang ( D-dimer 500-1.000) = 2
Sangat meningkat ( D-dimer > 1.000) = 3
- Pemanjangan PT : < 3 detik = 0
4-6 detik = 1
> 6 detik = 2
- Fibrinogen : < 100 mg/dl = 1
> 100 mg/dl = 0
4. Jumlah skor:
> 5 : Sesuai DIC : Skor diulang tiap hari
< 5 : Sugestif DIC : Skor diulang dalam 1-2 hari
Dari hasil uji laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
DIC dengan cara :
10,11,12,13

1. Pemeriksaan D-dimer
2. Kadar Antithrombin III
3. Fibrinogen dan fibrin degradation product (FDP)
4. Fibrinopeptide A
5. Jumlah trombosit
6. Fibrinogen
7. Prothrombin time
8. Activated partial thromboplastin time (aPTT)
9. Thrombin time
10. Penurunan faktor koagulasi







9

PENATALAKSANAAN
Pengelolaan yang benar pada penderita DIC masih kontroversial dan belum ada
keseragaman. Hal ini disebabkan sangat sukar untuk melakukan percobaan pengobatan klinik
maupun penilaian hasil percobaan karena etiologi beragam dan beratnya DIC juga bervariasi.
Yang utama adalah mengetahui dan melakukan pengelolaan penderita berdasarkan penyakit
yang mendasarinya dan keberhasilan mengatasi penyakit dasarnya akan menentukan
keberhasilan pengobatan. Dalam mengelola penderita DIC ada 2 prinsip yang harus
diperhatikan yaitu :
(9,10,15,16,17,18)
1. Khusus
Mengatasi keadaan yang khusus dan yang mengancam jiwa. Pengobatan baru didasarkan
etiologi DIC, umur, keadaan hemodinamik, tempat dan beratnya perdarahan, tempat dan
beratnya thrombus dan gejala klinis yang ada hubungannya.
2. Umum :
a. Mengobati atau menghilangkan proses pencetus
Dengan mengobati faktor pencetus proses DIC dapat dikurangi atau berhenti.
Mengatasi syok dan mengembalikan volume dapat menghentikan proses DIC.
b. Menghentikan proses patologis pembekuan intravascular (proses koagulasi)
Dapat dengan melakukan pemberian antikoagulan seperti heparin, AT III.
c. Terapi komponen atau substitusi.
Dapat dilakukan pemberian plasma beku segar atau kriopresipitat. Bila trombosit
turun sampai kurang dari 25.000, pemberian trombosit konsentrat perlu diberikan.
d. Menghentikan sisa fibrinolisis.
Anti fibrinolisis hanya diberikan bila jelas trombosis tidak ada dan fibrinolisis yang
sangat nyata. Anti fibrinolisis tidak diberikan bila DIC masih berlangsung dan
merupakan kontraindikasi.









10

ILUSTRASI KASUS

Telah di rawat seorang pasien laki-laki berumur 29 tahun di Bangsal Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 18 Maret 2014 jam 22.00 WIB dengan :

Keluhan Utama:
Gusi berdarah sejak 2 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang
Gusi berdarah sejak 2 hari yang lalu, darah terasa mengalir ke rongga mulut. Gusi
bagian bawah dan atas terasa membengkak dan nyeri berdenyut sejak 2 hari yang lalu.
Kulit tampak membiru setelah mendapat tekanan ringan sejak 1 bulan yang lalu. Kulit
bintik-bintik kebiruan di badan dan ketiak.
Pucat sejak 1 bulan yang lalu.
Badan terasa letih sejak 2 hari yang lalu.
Telinga berdenging sejak 2 hari yang lalu.
Demam sejak 1 hari ini, tidak tinggi, tidak menggigil.
Mual muntah tidak ada.
Batuk tidak ada.
Sesak nafas tidak ada.
Pasien sudah dikenal menderita Leukimia sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya pada
tanggal 18 Februari 2014 pasien minta rujukan dari RSUD Muaro Bungo dengan
keluhan gusi berdarah sejak 2 hari sebelumnya. Pasien dirujuk ke RS swasta di Padang.
Keluar hasil laboratorium dengan trombosit rendah. Pasien dirujuk ke RS swasta
lainnya. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan BMP dengan kesan AML dengan
Blast 28%. Pasien dianjurkan untuk kemoterapi, namun pasien menolak dan
memutuskan pulang atas permintaan pasien dan keluarga. Selanjutnya berobat ke RS
Darmais dengan membawa beberapa hasil laboratorium. Pasien kembali dianjurkan
untuk kemoterapi di RS Darmais, namun pasien tetap menolak dan memutuskan pulang
atas permintaan sendiri. Karena pasien mengalami gusi berdarah kembali, pasien &
keluarga kemudian berobat ke Padang. Dalam perjalanan dari Muaro Bungo ke Padang
pasien & beserta keluarga mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengalami lebam
di bagian wajah karena membentur kursi mobil. Sehingga bibir bawah bagian dalam
luka dan bengkak pada dagu, serta kebiruan di kelopak mata, pangkal hidung dan di
11

dagu. Pasien telah diperiksa sewaktu di IGD RS M. Djamil dinyatakan tidak ada
mengalami patah tulang di sekitar wajah. Setelah kecelakaan pasien sadar. Kejang tidak
ada, lemah dikedua anggota gerak tidak ada. Keluar darah dari hidung & telinga tidak
ada, lupa ingatan tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat menderita penyakit keganasan tidak ada
Riwayat kejang sebelumnya tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit keganasan

Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kebiasaan
Pasien seorang polisi
Kebiasaan makan yang bergizi ada
Riwayat merokok disangkal

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : sedang Keadaan gizi : Baik
Kesadaran : CMC ( GCS ) Berat badan : 65 kg
Tekanan darah : 120/70 mmHg Tinggi badan : 169 cm
Nadi : 90 x/menit, reguler, pengisian cukup BMI : 24,5 kg/m2
Nafas : 20x/menit Ikterik : (-)
Suhu : 37,7 C Anemis : (+)
Edema : (-) Sianosis : (-)
Kulit : turgor kulit baik
Purpura pada lengan dan tungkai, nyeri tekan (-)
Ekimosis pada kulit perut bagian bawah
Hematom regio Sub mandibul, ukuran 6x5x3 cm
KGB : Tidak teraba pembesaran KGB
Kepala : Normocephal, tidak ada benjolan
Rambut : Hitam, alopesia (-)
12

Mata : Konjuctiva anemis, sklera tidak ikterik, palpebra ekimosis (+)
Telinga : Auricula normal, meatus externa tidak hiperemis
Hidung : Deviasi septum tidak ada, ekimosis (+)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, Tonsil T1/T1
Gigi dan mulut : Caries (+), Laserasi mukosa bibir dengan ukuran 2 x 1 cm
Bekuan darah (+), Hipertropi ginggiva (+), nyeri (+), hiperemis (+)
Leher : JVP 5-2 cmH
2
O, kelenjar tiroid tak teraba

Paru Depan
Inspeksi : Statis : simetris, paru kiri = kanan
Dinamis : pergerakan paru kiri = kanan
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor, batas pekak hepar setinggi RIC V kanan
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Paru Belakang
Inspeksi : Statis : simetris paru kiri = kanan
Dinamis : pergerakan paru kiri = kanan
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor, batas peranjakan paru 1 jari
Auskultasi : Vesiculer, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan Linea Sternalis Dekstra,
kiri 1 jari medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler, M
1
> M
2
, P
2
>A
2

Abdomen :
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar tidak teraba, Lien teraba S3
13

Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri tekan, nyeri ketok sudut CVA tidak ada
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Anus : melena (-)
Anggota gerak : reflek fisiologis (+/+) N, reflek patologis (-/-) N, Edem (-/-)

Hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang :
Darah :
Hemoglobin : 7,8 gr/dl Leukosit : 8700/mm
3

Hematokrit : 22 % Trombosit : 9.000/mm
3

Hitung jenis : 0/2/3/8/32/1
Gambaran darah tepi : Anisositosis normokrom

Hasil BMP dari RS Swasta tgl 28 Februari 2014
Blas : 28 % Promonosit : 7 %
Progranulosit : 0 Monosit : 10 %
Miolosit : 0 Megakariosit : 0
Metamiolosit : 0 Limfosit : 21 %
Batang : 0 Rubriblas : 1 %
Segmen : 3 % Prorubrisit : 5 %
Basofil : 0 Rubrisit : 13 %
Eosinofil : 0 Metarubrisit : 12 %
Kesan : Suspect Leukimia Mieloblastik Akut
Urinalisis :
Leukosit : 0-1 /LPB Eritrosit : 0-1 /LPB
Epitel : (+) gepeng Silinder/Kristal : (-)
Protein : (-) Glukosa : (-)
Bilirubin : (-) Urobilinogen : (+)
14

Feses : Makroskopik : warna kuning, konsistensi lunak
Mikroskopik : eritrosit (-), leukosit (-)

Daftar Masalah :
Diastesis Hemoragik
Anemia
Trombositopenia
Hematom
Vulnus Laceratum

Diagnosis Kerja :
Diastesis Hemoragik ec Trombositopenia ec Leukimia Mieloblastik Akut
Hematom Regio Sub Mandibila Post Trauma
Vulnus Laceratum Regio Bucal

Terapi :
Istirahat / Diet ML ( KH 1200 Kkal, Lemak 600 Kkal, Protein 260 Kkal )
IVFD NaCl 0,9% 6 jam/kolf
Inj. Ceftriaxon 1x2 gr (iv) skin test
Inf. Ciprofloxacin 2x200 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Tranfusi PRC 1 unit/hari sampai Hb > 10 gr/dl
Tranfusi Trombosit 10 unit


Pemeriksaan Anjuran :
Darah perifer lengkap ( MCV,MCH,MCHC,retikulosit )
Faal Hemostasis ( PT / APTT / D.Dimer )
Faal hati ( SGOT, SGPT, bilirubin total, bilirubin indirek, bilirubin direk )
Faal ginjal ( ureum, creatinin )
Elektrolit (Na,K,Cl)
Sitokimia
Echocardiografi


15

Konsul Konsultan Hematologi Onkologi Medik
Kesan : Leukimia Mieloblastik Akut pro kemoterapi dengan Gum Bleeding
Ajuran : - Tranfusi PRC s/d Hb > 10 gr/dl
Tranfusi Trombosit 10 unit
Terapi Lain Lanjut
Cek PT / APTT / D. Dimer

Follow UP 19 Maret 2014 jam 06:45
S/ Gusi berdarah(+), Lebam di kulit ketiak >>, lebam di kulit wajah> >, pucat (+),demam (+)
O/ KU : sedang Kesadaran : CMC TD : 100/60 mmHg
Nadi : 90x /menit reguler Nafas : 20 x/1 Suhu : 37,9
o
C

Keluar Hasil Labor :
MCV : 83 fl SGOT : 41 u/I
MCH : 31 pq SGPT : 42 u/l
MCHC : 34 g/dl Ureum : 9 mg/dl
Retikulosit : 2 % Creatinin : 0,6 mg/dl
Natrium : 131 mmol/L PT :
Kalium : 3,7 mmol/L APTT :
Klorida : 94 mmol/L D. Dimer : 4 ng/ml
Skor DIC : 7
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit : Anisositosis normokrom dengan eritrosit berinti 8/100 leukosit
Leukosit : Jumlah cukup dengan Blast 36 %, auer rod (+), sel mitotik
Trombosit : Jumlah kurang
Kesan : - Leukemia Mieloblastik Akut
- Disseminated Intravascular Coagulation

Konsul Konsultan Hemato Onkologi Medik
Kesan : DIC

16

Anjuran: - Inj. Vit. K 3x1 amp (iv)
Tranfusi FFP 250 ml
Tranfusi Cryopresipitat 5 unit
Tranfusi PRC s/d Hb > 10 gr/dl
Cek PT/APTT/D.Dimer perhari post koreksi

Follow UP Tgl 20 Maret 2014
Jam 06:30 WIB
S/ sesak nafas (+), pucat (+), demam (+), lebam (+), BAK merah, BAB hitam (+)
O/ KU : Sedang Kesadaran : CMC TD : 100/60 mmHg
Nadi : 100 x /menit reguler Nafas : 26 x/1 Suhu : 38
o
C
PF :
Paru : simetris, fremitus ka=ki, Sonor, vesikuler. Rh(-/-)
Jantung : Dalam batas normal

Kesan : - Hematuri
- Melena
Telah dilakukan tranfusi PRC 1 unit, Trombosit 10 unit, FFP 250 ml, Crypresipitat 5 unit
Rencana selanjutnya :
O2 5 l/menit
Tranfusi PRC 1 unit
Tranfusi Trombosit 10 unit
Cek PT/APTT D.Dimer
AGD

Jam 07.00 WIB
S/ Gelisah, sesak nafas (+), sakit kepala (+), pucat (+), demam (-), lebam (+), gusi berdarah (+),
BAK merah, BAB hitam (+)
O/ KU : Sedang Kesadaran : Apatis TD : 100/60 mmHg
Nadi : 100 x/menit reguler, halus Nafas : 26 x/menit Suhu : 37,2
o
C

17

Kesan : - Penurunan Kesadaran
- Melena
- Hematuri

Keluarga pasien menolak untuk diambil darah untuk Cek PT,APTT,D.Dimer dan AGD

Jam 07:30 WIB
S/ Penurunan kesadaran (+), Kejang 3 x seluruh tubuh, lama kejang 1 menit, kaku kedua
tangan & kaki (+), Mual (+), muntah (+), sesak nafas (-), BAK merah, BAB hitam
( jmlh 10 cc)
O/ KU : Berat Kesadaran : Sopor TD : 100/60 mmHg
Nadi : 56 x /menit reguler Nafas : 14 x/menit Suhu : 37
o
C
PF : Mata Konj. Anemis, Pupil Anisokor ka=ki, 3mm/5mm, Reflek Cahaya <<,
gerakan bola mata berkurang
Thorak : I : simetris, Pa : fremitus ka=ki, Pe : sonor, Ausk : vesikuler kedua lap.paru
Reflek Babinski (+) : Kanan (+)
Tes Jatuh : Lateralisasi ke kanan
Kesan : - Suspect Perdarahan Intra Serebral ec DIC ec AML
DD/ Suspect Perdarahan Sub Aracnoid ec DIC ec AML
Adv : - O2 5 L/i
- Inj. Diazepam 10 mg (bila kejang)
Rencana : - Konsul Neurologi Cito

Jam 08:05 WIB
Pasien apnoe, tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba, pupil midriasis, reflek cahaya(-).
EKG flat. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga, dokter muda dan paramedis.
COD: Suspect Perdarahan Intra Serebral ec DIC



18

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang laki-laki, 29 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUP
Dr M Djamil Padang sejak18 Maret 2014 jam 22.00 WIB dengan diagnosa akhir :
Suspect Perdarahan Intra Serebral ec DIC ec LMA
Hematom Regio Sub Mandibila Post Trauma
Vulnus Laceratum Regio Bucal
DD/ - Suspect Perdarahan Sub Aracnoid ec DIC ec LMA

Leukemia Mieloblastik Akut ditegakkan berdasarkan dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Anamnesa yang di dapat pasien datang dengan
keluhan gusi berdarah, bintik-bintik kebiruan di kulit, pucat, letih-letih & demam. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan hipertropi ginggiva, petekie, purpura, ekimosis, hematom. Pada
pemeriksaan laboratorium Hb: 7,8 gr/dl, Ht: 22%, Leukosit: 8700/mm3, Trombosit :9000/mm3,
Hitung jenis: 0/2/3/8/32/1, gambaran darah tepi : Anisositosis normokrom dengan eritrosit
berinti 8/100 leukosit, leukosit cukup dengan blast 36 %, auer rod ditemukan, trombosit jumlah
sangat kurang. Hasil BMP pada tanggal 28 Februari 2014 ditemukan Blas: 28 %, Progranulosit:
0, Promonosit: 7%, Monosit: 10%, Miolosit: 0, Metamiolosit: 0, Batang: 0, Segmen: 3, Basofil:
3%, Eosinofil: 0, Promonosit: 7, Monosit: 10%, Megakariosit: 0, Limfosit: 21 %, Rubiblas:
1%, Prorubrisit: 5%, Rubrisit: 13 %, Metarubrisit: 12 %. Kesan Suspect Leukemia Mieloblastik
Akut.
Rencana selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan sitokimia menetukan tipe leukemia &
kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100
mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv
selama 3 hari. Akan tetapi setelah diedukasi, pasien & keluarga menolak untuk dilakukan
kemoterapi.
Menurut Literatur LMA merupakan 85 % terjadi pada orang dewasa, penyebab paling
besar tidak diketahui. Perdarahan yang mengancam jiwa lebih sering terjadi pada leukemia akut
dan merupakan masalah yang serius. Perdarahan menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada leukemia akut terutama pada leukemia mielositik akut dengan diferensiasi
monositik dan leukemia promielositik akut. Komplikasi perdarahan mengakibatkan mortalitas
7-10% pada pasien leukemia akut yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu pertama
setelah diagnosis.
Dengan terapi agresif, 40-50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama
(30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat
19

kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi
penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih
baik.
6

Pada Leukemia Promielositik Akut, hampir 30% kematian dini diakibatkan oleh
komplikasi perdarahan. Perdarahan yang terjadi pada Leukemia Promielositik Akut tersebut
dihubungkan dengan koagulasi intravaskuler diseminata, hiperfibrinolisis dan aktifitas protease
non-spesifik. Penyebab tersering perdarahan pada leukemia adalah trombositopenia.
Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia biasanya merupakan akibat dari infiltrasi ke
sumsum tulang, namun bisa juga karena koagulasi intravaskuler diseminata.
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) ditegakkan berdasarkan gambaran klinis,
kondisi klinis pasien, diagnosis penyakit dasar dan hasil laboratorium. Kondisi pasien awal
masuk tampak sadar dengan diastesis hemoragic dengan perdarahan gusi yang tidak berhenti
disusul dengan hematuri dan melena. Pada pemeriksaan Laboratorium dengan Hb: 7,8 gr/dl,
Trombosit 9000/mm3, faal hemostasis dengan PT memanjang, APTT memanjang, D.Dimer
4 g/dl. Maka didapat skor DIC 7.
Menurut Literatur, terdapat sistem skor yang dibuat oleh International Society on
Thrombosis and Haemostasis pada tahun 2001, yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
DIC. Di Indonesia telah dibuat Konsensus Nasional tatalaksana DIC pada tahun 2001, yang
selain memuat skor diatas, juga memuat kriteria minimal untuk mendiagnosis DIC. Skor yang
di dapat pada kasus ini adalah berkurangnya jumlah trombosit atau memanjangnya PT dan
aPTT dalam pemeriksaan serial merupakan petanda DIC yang sensitif.
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering dilaporkan pada leukemia akut
yang disebabkan oleh pelepasan material prokoagulan dari blast sel leukemik. Leukemia akut
yang sering dihubungkan dengan DIC yaitu Leukemia Promielositik Akut (AML-M3), diikuti
dengan Leukemia Mielomonositik Akut (AML-M4) dan Leukemia Mieloblastik Akut (AML-
M1 dan M2) serta Leukemia Limfositik Akut (ALL).
Kelainan hemostasis lain yang juga dapat terjadi pada leukemia adalah trombosis ataupun
tromboemboli. Trombosis dapat merupakan salah satu gejala yang ditemukan saat diagnosis
yaitu pada leukemia promielositik akut (AML-M3) 9,6%; pada AML non-M3 3,2% dan pada
ALL 1,4%. Patogenesis keadaan protrombotik pada leukemia sangat kompleks dan melibatkan
berbagai mekanisme seperti aktivasi koagulasi oleh substansi prokoagulan yang dilepaskan sel
leukemik, kegagalan jalur fibrinolitik dan perubahan endotel.
Pada pasien ini untuk penatalaksanaan DIC, pemeriksaan hemostasis harus dilakukan
setiap hari. Hipofibrinogenemia (fibrinogen < 100 mg/dl) dapat dikoreksi dengan pemberian
20

cryoprecipitate, sedangkan pemanjangan PT dan APTT dapat dikoreksi dengan pemberian
fresh frozen plasma (FFP) & tranfusi trombosit 10 unit, tranfusi PRC s/d Hb 10 gr/dl.
Pendekatan yang rasional dalam pengobatan pasien leukemia akut dengan DIC berat
adalah dengan memulai kemoterapi induksi secepat mungkin untuk mengurangi populasi sel-
sel leukemia yang diduga menyebabkan DIC. Bila terdapat infeksi, maka antibiotika harus
diberikan. Selain itu terapi pengganti harus diberikan bila terdapat trombositopenia berat,
koagulopati, atau hipofibrinogenemia.
Kasus PIS umumnya terjadi di korteks serebri. Gambaran patologik menunjukkan
ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah di otak dan diikuti edema dalam jaringan
otak disekitar hematom. Akibatnya diskontinuitas dan kompresi oleh hematom dan edema pada
struktur sekitar. Maka gejala klinis bersumber dari destruksi jaringan otak & kompresi
pembuluh darah otak.
Menurut literatur gejala klinis perdarahan intra serebral berupa nyeri kepala hebat
sekali, mual, muntah pada awal serangan, kesadaran cepat menurun hingga koma. Tanda
neurologis fokal sering dijumpai gangguan motorik. Pemeriksaan ekstremitas memperlihatkan
paralisis pada fase lanjut dengan tanda-tanda upper motor neuron yaitu kelemahan otot bersifat
spastik dengan atropi otot & babinsky positif.
Cara yang paling akurat untuk menentukan perdarahan intra serebral adalah dengan
Brain CT Scan, gambarannya terdapat hiperden. Menurut literatur Perdarahan Intra serebral
(PIS) adalah perdarahan primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak. Perdarahan
ini banyak disebabkan oleh penyakit darah seperti leukemia, trombositopenia, hemofilia, tumor
otak yang tumbuh cepat. Kematian akibat PIS sekitar 50% dengan pasien hidup dengan
defisit neurologis. Prediktor untuk menentukan nya dengan GCS.
Pada pasien ini di duga PIS didasarkan atas gejala dan tanda klinis yang didapat.
Penurunan kesadaran secara tiba-tiba, kejang seluruh tubuh, defisit neurologis dengan pupil
anisokor, diameter pupil kanan kiri = 3mm/5mm, reflek cahaya yang berkurang. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan Hemiparese Dextra pada pemeriksaan tes jatuh, reflek babinsky
positif pada kaki sebelah kanan. Rencana pada pasien ini akan dilakukan konsul Neurologi Cito
dan Brain CT-Scan, akan tetapi tindakan tidak dapat dilakukan. Karena pasien mengalami
perburukan yang cepat dan akhirnya meninggal dunia.




21

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1996
3. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
4. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi 4.Jakarta: EGC,
2005
5. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005
6. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2006.
7. Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit Alumni :
Bandung. 1997.
8. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003
9. Soemantri Ag. Penatalaksanaan DIC pada anak. Dalam : Priyatno A, Setiati TE, Soemantri
Ag. Naskah simposium Kegawatan sistem hematologi pada anak. BP Undip. Semarang,
2001 : 27-37
10. Raspati Harry, Reniarti Lelani, Susanah Susi. Disseminated Intravascular Coagulation.
Dalam : Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta,
2005 ; 189-193.
11. Corrigan James J. Disseminated Intra Vascular Coagulation. Dalam Nelson : Ilmu
Kesehatan Anak. EGC,1999 ; 1743-1744
12. Furlong MA, Furlong BR. Disseminated Intravascular Coagulation.
EMedicine Journal. September 1001: 2 (9). http://www.emedicine.com/emerg/topic.
150.htm
13. Aysola A, Lopez-Plaza 1. Disseminated Intravascular Coagulation. The Institute For
Transfusion Medicine. March, 1999. http://www.itxm.org/TMU1998/tmu3-99.htm
14. Levi M, de Jonge E. Current Management of Disseminated Intravascular Coagulation.
Hospital Practice, 2000. http://www.itxm.org/TMU1998/tmu3-99.htm
22

15. Bick RL, Baker WF. Hereditary Thrombophilic Disorders. In: BickRL,editor. Disorders of
thrombosis and hemostasis. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2002.p.283-302.http://www.emedicine.com/Hemostasis /topic. 48.htm
16. Caverley DC, Maness LJ. Platelet function in hemostasis and thrombosis. In: Greer JP,
Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Winstrobes Clinical
Hematology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott- Williams & Wilkins; 2001.p.651-76.
http://www.emedicine.com/Platelet/topic. 12.htm
17. Ehsan A, Plumbley JA. Introduction to thrombosis and anticoagulant therapy. In:
Harmening DM, editor. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4th ed.
Philadelphia: FA Davis Company; 2002.p.534-62.
http://www.emedicine.com/Thrombosis/topic. 74.htm
18. Kumm S. Pathophysiology of Disseminated Intravascular Coagulation.

Anda mungkin juga menyukai