Definisi Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960 pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. 1
Etiologi Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada insidens penyakit kulit di negara berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down. Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA. 1,2,3
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor. 3
2
Patogenesis Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya. 2,6,7,8
Gejala klinis Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA. 3,5,6
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam. 3,5,6,7
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala 3
yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus. Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan meninbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakkan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah meningens dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal. 2,3,6
Diagnosis Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6. 1,3,5
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi. Pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) otak dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika (untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker). 1,3,5
4
Kelainan hematologis Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 10 6 /mm 3 . Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 10 3 /mm 3 . Leukosit yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas. Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang mengandung badan auer suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA. Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif, sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas. Kadan-kadang ditemukan Auer body dalam mieloblas. Kadang manifestasi pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan mieloblas dalam sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum gambaran mieloblastiknya menjadi jelas benar. 3,4,5,7
Penatalaksanaan Perbaiki keadaan umum yaitu anemia diberikan tranfusi darah dengan PCR (Packed red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam diatasi dengan transfusi konsentrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika yang adekuat. Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm 2 berat badan hari 1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Untuk pasien usia di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara C 5 hari. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir minggu ketiga. Apabila tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat parsial maka terapi harus diganti dengan regimen lain. Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi. Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm 2 hari 1-2 dan Ara C 1-5. Regimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.
Apabila keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat terjadi remisi lengkap. 1,3,6,7
Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, 5
sedangkan bila diberikan sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. 6
Prognosis Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30- 40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih baik. 1,6
6
DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION
DEFINISI Penyakit Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau yang lebih dikenal sebagai Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu gangguan pembekuan darah yang didapat, berupa kelainan trombohemoragic sistemik yang hampir selalu disertai dengan penyakit primer yang mendasarinya. Karakteristik ditandai oleh adanya gangguan hemostasis yang multipel dan kompleks berupa aktivasi pembekuan darah yang tidak terkendali dan fibrinolisis (koagulopati konsumtif). DIC merupakan salah satu kedaruratan medik, karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. 9,10,11
ETIOLOGI DIC Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC dapat merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel. 9,12,13
MANIFESTASI KLINIS DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. 9,11,14
Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:
Sirkulasi o Dapat terjadi syok hemoragik Susunan saraf pusat o Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma o Perdarahan Intrakranial Sistem Kardiovaskular o Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer Sistem Respirasi o Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang dapat menyebabkan kematian. Sistem Gastrointestinal o Hematemesis, Hematochezia Sistem Genitourinaria o Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus Sistem Dermatologi o Petechiae, Purpura, acral sianosis, purpura fulminans, Infark lokal / gangren, hematom dan mudah terjadinya perdarahan pada tempat luka, Thrombosis
DIAGNOSIS Untuk membuat diagnosis DIC dari berbagai tingkat dapat dikemukakan proses terjadinya gangguan koagulasi. Sistem scoring untuk DIC yang dikemukakan pada pertemuan Scientific and Standarization committee International Society on Thrombosis and Homeostasis (2001) adalah yang paling sering digunakan. Skor DIC 10
1. Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan DIC? Jika tidak, Penilaian tidak dianjurkan 2. Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)
8
3. SKOR : - Jumlah trombosit : >100.000/mm3 = 0 50.000-100.000/mm3 = 1 < 50.000/mm3 = 2 - FDP/D-dimer : tidak meningkat (D-dimer <500) = 0 Meningkat sedang ( D-dimer 500-1.000) = 2 Sangat meningkat ( D-dimer > 1.000) = 3 - Pemanjangan PT : < 3 detik = 0 4-6 detik = 1 > 6 detik = 2 - Fibrinogen : < 100 mg/dl = 1 > 100 mg/dl = 0 4. Jumlah skor: > 5 : Sesuai DIC : Skor diulang tiap hari < 5 : Sugestif DIC : Skor diulang dalam 1-2 hari Dari hasil uji laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DIC dengan cara : 10,11,12,13
1. Pemeriksaan D-dimer 2. Kadar Antithrombin III 3. Fibrinogen dan fibrin degradation product (FDP) 4. Fibrinopeptide A 5. Jumlah trombosit 6. Fibrinogen 7. Prothrombin time 8. Activated partial thromboplastin time (aPTT) 9. Thrombin time 10. Penurunan faktor koagulasi
9
PENATALAKSANAAN Pengelolaan yang benar pada penderita DIC masih kontroversial dan belum ada keseragaman. Hal ini disebabkan sangat sukar untuk melakukan percobaan pengobatan klinik maupun penilaian hasil percobaan karena etiologi beragam dan beratnya DIC juga bervariasi. Yang utama adalah mengetahui dan melakukan pengelolaan penderita berdasarkan penyakit yang mendasarinya dan keberhasilan mengatasi penyakit dasarnya akan menentukan keberhasilan pengobatan. Dalam mengelola penderita DIC ada 2 prinsip yang harus diperhatikan yaitu : (9,10,15,16,17,18) 1. Khusus Mengatasi keadaan yang khusus dan yang mengancam jiwa. Pengobatan baru didasarkan etiologi DIC, umur, keadaan hemodinamik, tempat dan beratnya perdarahan, tempat dan beratnya thrombus dan gejala klinis yang ada hubungannya. 2. Umum : a. Mengobati atau menghilangkan proses pencetus Dengan mengobati faktor pencetus proses DIC dapat dikurangi atau berhenti. Mengatasi syok dan mengembalikan volume dapat menghentikan proses DIC. b. Menghentikan proses patologis pembekuan intravascular (proses koagulasi) Dapat dengan melakukan pemberian antikoagulan seperti heparin, AT III. c. Terapi komponen atau substitusi. Dapat dilakukan pemberian plasma beku segar atau kriopresipitat. Bila trombosit turun sampai kurang dari 25.000, pemberian trombosit konsentrat perlu diberikan. d. Menghentikan sisa fibrinolisis. Anti fibrinolisis hanya diberikan bila jelas trombosis tidak ada dan fibrinolisis yang sangat nyata. Anti fibrinolisis tidak diberikan bila DIC masih berlangsung dan merupakan kontraindikasi.
10
ILUSTRASI KASUS
Telah di rawat seorang pasien laki-laki berumur 29 tahun di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 18 Maret 2014 jam 22.00 WIB dengan :
Keluhan Utama: Gusi berdarah sejak 2 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang Gusi berdarah sejak 2 hari yang lalu, darah terasa mengalir ke rongga mulut. Gusi bagian bawah dan atas terasa membengkak dan nyeri berdenyut sejak 2 hari yang lalu. Kulit tampak membiru setelah mendapat tekanan ringan sejak 1 bulan yang lalu. Kulit bintik-bintik kebiruan di badan dan ketiak. Pucat sejak 1 bulan yang lalu. Badan terasa letih sejak 2 hari yang lalu. Telinga berdenging sejak 2 hari yang lalu. Demam sejak 1 hari ini, tidak tinggi, tidak menggigil. Mual muntah tidak ada. Batuk tidak ada. Sesak nafas tidak ada. Pasien sudah dikenal menderita Leukimia sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya pada tanggal 18 Februari 2014 pasien minta rujukan dari RSUD Muaro Bungo dengan keluhan gusi berdarah sejak 2 hari sebelumnya. Pasien dirujuk ke RS swasta di Padang. Keluar hasil laboratorium dengan trombosit rendah. Pasien dirujuk ke RS swasta lainnya. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan BMP dengan kesan AML dengan Blast 28%. Pasien dianjurkan untuk kemoterapi, namun pasien menolak dan memutuskan pulang atas permintaan pasien dan keluarga. Selanjutnya berobat ke RS Darmais dengan membawa beberapa hasil laboratorium. Pasien kembali dianjurkan untuk kemoterapi di RS Darmais, namun pasien tetap menolak dan memutuskan pulang atas permintaan sendiri. Karena pasien mengalami gusi berdarah kembali, pasien & keluarga kemudian berobat ke Padang. Dalam perjalanan dari Muaro Bungo ke Padang pasien & beserta keluarga mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengalami lebam di bagian wajah karena membentur kursi mobil. Sehingga bibir bawah bagian dalam luka dan bengkak pada dagu, serta kebiruan di kelopak mata, pangkal hidung dan di 11
dagu. Pasien telah diperiksa sewaktu di IGD RS M. Djamil dinyatakan tidak ada mengalami patah tulang di sekitar wajah. Setelah kecelakaan pasien sadar. Kejang tidak ada, lemah dikedua anggota gerak tidak ada. Keluar darah dari hidung & telinga tidak ada, lupa ingatan tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat menderita penyakit keganasan tidak ada Riwayat kejang sebelumnya tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit keganasan
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kebiasaan Pasien seorang polisi Kebiasaan makan yang bergizi ada Riwayat merokok disangkal
Pemeriksaan Umum Keadaan umum : sedang Keadaan gizi : Baik Kesadaran : CMC ( GCS ) Berat badan : 65 kg Tekanan darah : 120/70 mmHg Tinggi badan : 169 cm Nadi : 90 x/menit, reguler, pengisian cukup BMI : 24,5 kg/m2 Nafas : 20x/menit Ikterik : (-) Suhu : 37,7 C Anemis : (+) Edema : (-) Sianosis : (-) Kulit : turgor kulit baik Purpura pada lengan dan tungkai, nyeri tekan (-) Ekimosis pada kulit perut bagian bawah Hematom regio Sub mandibul, ukuran 6x5x3 cm KGB : Tidak teraba pembesaran KGB Kepala : Normocephal, tidak ada benjolan Rambut : Hitam, alopesia (-) 12
Mata : Konjuctiva anemis, sklera tidak ikterik, palpebra ekimosis (+) Telinga : Auricula normal, meatus externa tidak hiperemis Hidung : Deviasi septum tidak ada, ekimosis (+) Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, Tonsil T1/T1 Gigi dan mulut : Caries (+), Laserasi mukosa bibir dengan ukuran 2 x 1 cm Bekuan darah (+), Hipertropi ginggiva (+), nyeri (+), hiperemis (+) Leher : JVP 5-2 cmH 2 O, kelenjar tiroid tak teraba
Paru Depan Inspeksi : Statis : simetris, paru kiri = kanan Dinamis : pergerakan paru kiri = kanan Palpasi : Fremitus kiri = kanan Perkusi : Sonor, batas pekak hepar setinggi RIC V kanan Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Paru Belakang Inspeksi : Statis : simetris paru kiri = kanan Dinamis : pergerakan paru kiri = kanan Palpasi : Fremitus kiri = kanan Perkusi : Sonor, batas peranjakan paru 1 jari Auskultasi : Vesiculer, ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Jantung : Inspeksi : iktus tidak terlihat Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan Linea Sternalis Dekstra, kiri 1 jari medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+) Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler, M 1 > M 2 , P 2 >A 2
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit Palpasi : hepar tidak teraba, Lien teraba S3 13
Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus (+) normal Punggung : nyeri tekan, nyeri ketok sudut CVA tidak ada Alat kelamin : tidak ada kelainan Anus : melena (-) Anggota gerak : reflek fisiologis (+/+) N, reflek patologis (-/-) N, Edem (-/-)
Hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang : Darah : Hemoglobin : 7,8 gr/dl Leukosit : 8700/mm 3
Hematokrit : 22 % Trombosit : 9.000/mm 3
Hitung jenis : 0/2/3/8/32/1 Gambaran darah tepi : Anisositosis normokrom
Daftar Masalah : Diastesis Hemoragik Anemia Trombositopenia Hematom Vulnus Laceratum
Diagnosis Kerja : Diastesis Hemoragik ec Trombositopenia ec Leukimia Mieloblastik Akut Hematom Regio Sub Mandibila Post Trauma Vulnus Laceratum Regio Bucal
Terapi : Istirahat / Diet ML ( KH 1200 Kkal, Lemak 600 Kkal, Protein 260 Kkal ) IVFD NaCl 0,9% 6 jam/kolf Inj. Ceftriaxon 1x2 gr (iv) skin test Inf. Ciprofloxacin 2x200 mg Paracetamol 3 x 500 mg Tranfusi PRC 1 unit/hari sampai Hb > 10 gr/dl Tranfusi Trombosit 10 unit
Pemeriksaan Anjuran : Darah perifer lengkap ( MCV,MCH,MCHC,retikulosit ) Faal Hemostasis ( PT / APTT / D.Dimer ) Faal hati ( SGOT, SGPT, bilirubin total, bilirubin indirek, bilirubin direk ) Faal ginjal ( ureum, creatinin ) Elektrolit (Na,K,Cl) Sitokimia Echocardiografi
15
Konsul Konsultan Hematologi Onkologi Medik Kesan : Leukimia Mieloblastik Akut pro kemoterapi dengan Gum Bleeding Ajuran : - Tranfusi PRC s/d Hb > 10 gr/dl Tranfusi Trombosit 10 unit Terapi Lain Lanjut Cek PT / APTT / D. Dimer
Follow UP 19 Maret 2014 jam 06:45 S/ Gusi berdarah(+), Lebam di kulit ketiak >>, lebam di kulit wajah> >, pucat (+),demam (+) O/ KU : sedang Kesadaran : CMC TD : 100/60 mmHg Nadi : 90x /menit reguler Nafas : 20 x/1 Suhu : 37,9 o C
Keluar Hasil Labor : MCV : 83 fl SGOT : 41 u/I MCH : 31 pq SGPT : 42 u/l MCHC : 34 g/dl Ureum : 9 mg/dl Retikulosit : 2 % Creatinin : 0,6 mg/dl Natrium : 131 mmol/L PT : Kalium : 3,7 mmol/L APTT : Klorida : 94 mmol/L D. Dimer : 4 ng/ml Skor DIC : 7 Gambaran Darah Tepi Eritrosit : Anisositosis normokrom dengan eritrosit berinti 8/100 leukosit Leukosit : Jumlah cukup dengan Blast 36 %, auer rod (+), sel mitotik Trombosit : Jumlah kurang Kesan : - Leukemia Mieloblastik Akut - Disseminated Intravascular Coagulation
Konsul Konsultan Hemato Onkologi Medik Kesan : DIC
16
Anjuran: - Inj. Vit. K 3x1 amp (iv) Tranfusi FFP 250 ml Tranfusi Cryopresipitat 5 unit Tranfusi PRC s/d Hb > 10 gr/dl Cek PT/APTT/D.Dimer perhari post koreksi
Follow UP Tgl 20 Maret 2014 Jam 06:30 WIB S/ sesak nafas (+), pucat (+), demam (+), lebam (+), BAK merah, BAB hitam (+) O/ KU : Sedang Kesadaran : CMC TD : 100/60 mmHg Nadi : 100 x /menit reguler Nafas : 26 x/1 Suhu : 38 o C PF : Paru : simetris, fremitus ka=ki, Sonor, vesikuler. Rh(-/-) Jantung : Dalam batas normal
Kesan : - Hematuri - Melena Telah dilakukan tranfusi PRC 1 unit, Trombosit 10 unit, FFP 250 ml, Crypresipitat 5 unit Rencana selanjutnya : O2 5 l/menit Tranfusi PRC 1 unit Tranfusi Trombosit 10 unit Cek PT/APTT D.Dimer AGD
Jam 07.00 WIB S/ Gelisah, sesak nafas (+), sakit kepala (+), pucat (+), demam (-), lebam (+), gusi berdarah (+), BAK merah, BAB hitam (+) O/ KU : Sedang Kesadaran : Apatis TD : 100/60 mmHg Nadi : 100 x/menit reguler, halus Nafas : 26 x/menit Suhu : 37,2 o C
17
Kesan : - Penurunan Kesadaran - Melena - Hematuri
Keluarga pasien menolak untuk diambil darah untuk Cek PT,APTT,D.Dimer dan AGD
Jam 07:30 WIB S/ Penurunan kesadaran (+), Kejang 3 x seluruh tubuh, lama kejang 1 menit, kaku kedua tangan & kaki (+), Mual (+), muntah (+), sesak nafas (-), BAK merah, BAB hitam ( jmlh 10 cc) O/ KU : Berat Kesadaran : Sopor TD : 100/60 mmHg Nadi : 56 x /menit reguler Nafas : 14 x/menit Suhu : 37 o C PF : Mata Konj. Anemis, Pupil Anisokor ka=ki, 3mm/5mm, Reflek Cahaya <<, gerakan bola mata berkurang Thorak : I : simetris, Pa : fremitus ka=ki, Pe : sonor, Ausk : vesikuler kedua lap.paru Reflek Babinski (+) : Kanan (+) Tes Jatuh : Lateralisasi ke kanan Kesan : - Suspect Perdarahan Intra Serebral ec DIC ec AML DD/ Suspect Perdarahan Sub Aracnoid ec DIC ec AML Adv : - O2 5 L/i - Inj. Diazepam 10 mg (bila kejang) Rencana : - Konsul Neurologi Cito
Jam 08:05 WIB Pasien apnoe, tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba, pupil midriasis, reflek cahaya(-). EKG flat. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga, dokter muda dan paramedis. COD: Suspect Perdarahan Intra Serebral ec DIC
18
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang laki-laki, 29 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr M Djamil Padang sejak18 Maret 2014 jam 22.00 WIB dengan diagnosa akhir : Suspect Perdarahan Intra Serebral ec DIC ec LMA Hematom Regio Sub Mandibila Post Trauma Vulnus Laceratum Regio Bucal DD/ - Suspect Perdarahan Sub Aracnoid ec DIC ec LMA
Leukemia Mieloblastik Akut ditegakkan berdasarkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Anamnesa yang di dapat pasien datang dengan keluhan gusi berdarah, bintik-bintik kebiruan di kulit, pucat, letih-letih & demam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertropi ginggiva, petekie, purpura, ekimosis, hematom. Pada pemeriksaan laboratorium Hb: 7,8 gr/dl, Ht: 22%, Leukosit: 8700/mm3, Trombosit :9000/mm3, Hitung jenis: 0/2/3/8/32/1, gambaran darah tepi : Anisositosis normokrom dengan eritrosit berinti 8/100 leukosit, leukosit cukup dengan blast 36 %, auer rod ditemukan, trombosit jumlah sangat kurang. Hasil BMP pada tanggal 28 Februari 2014 ditemukan Blas: 28 %, Progranulosit: 0, Promonosit: 7%, Monosit: 10%, Miolosit: 0, Metamiolosit: 0, Batang: 0, Segmen: 3, Basofil: 3%, Eosinofil: 0, Promonosit: 7, Monosit: 10%, Megakariosit: 0, Limfosit: 21 %, Rubiblas: 1%, Prorubrisit: 5%, Rubrisit: 13 %, Metarubrisit: 12 %. Kesan Suspect Leukemia Mieloblastik Akut. Rencana selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan sitokimia menetukan tipe leukemia & kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Akan tetapi setelah diedukasi, pasien & keluarga menolak untuk dilakukan kemoterapi. Menurut Literatur LMA merupakan 85 % terjadi pada orang dewasa, penyebab paling besar tidak diketahui. Perdarahan yang mengancam jiwa lebih sering terjadi pada leukemia akut dan merupakan masalah yang serius. Perdarahan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada leukemia akut terutama pada leukemia mielositik akut dengan diferensiasi monositik dan leukemia promielositik akut. Komplikasi perdarahan mengakibatkan mortalitas 7-10% pada pasien leukemia akut yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu pertama setelah diagnosis. Dengan terapi agresif, 40-50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat 19
kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih baik. 6
Pada Leukemia Promielositik Akut, hampir 30% kematian dini diakibatkan oleh komplikasi perdarahan. Perdarahan yang terjadi pada Leukemia Promielositik Akut tersebut dihubungkan dengan koagulasi intravaskuler diseminata, hiperfibrinolisis dan aktifitas protease non-spesifik. Penyebab tersering perdarahan pada leukemia adalah trombositopenia. Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia biasanya merupakan akibat dari infiltrasi ke sumsum tulang, namun bisa juga karena koagulasi intravaskuler diseminata. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, kondisi klinis pasien, diagnosis penyakit dasar dan hasil laboratorium. Kondisi pasien awal masuk tampak sadar dengan diastesis hemoragic dengan perdarahan gusi yang tidak berhenti disusul dengan hematuri dan melena. Pada pemeriksaan Laboratorium dengan Hb: 7,8 gr/dl, Trombosit 9000/mm3, faal hemostasis dengan PT memanjang, APTT memanjang, D.Dimer 4 g/dl. Maka didapat skor DIC 7. Menurut Literatur, terdapat sistem skor yang dibuat oleh International Society on Thrombosis and Haemostasis pada tahun 2001, yang dapat digunakan untuk mendiagnosis DIC. Di Indonesia telah dibuat Konsensus Nasional tatalaksana DIC pada tahun 2001, yang selain memuat skor diatas, juga memuat kriteria minimal untuk mendiagnosis DIC. Skor yang di dapat pada kasus ini adalah berkurangnya jumlah trombosit atau memanjangnya PT dan aPTT dalam pemeriksaan serial merupakan petanda DIC yang sensitif. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering dilaporkan pada leukemia akut yang disebabkan oleh pelepasan material prokoagulan dari blast sel leukemik. Leukemia akut yang sering dihubungkan dengan DIC yaitu Leukemia Promielositik Akut (AML-M3), diikuti dengan Leukemia Mielomonositik Akut (AML-M4) dan Leukemia Mieloblastik Akut (AML- M1 dan M2) serta Leukemia Limfositik Akut (ALL). Kelainan hemostasis lain yang juga dapat terjadi pada leukemia adalah trombosis ataupun tromboemboli. Trombosis dapat merupakan salah satu gejala yang ditemukan saat diagnosis yaitu pada leukemia promielositik akut (AML-M3) 9,6%; pada AML non-M3 3,2% dan pada ALL 1,4%. Patogenesis keadaan protrombotik pada leukemia sangat kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme seperti aktivasi koagulasi oleh substansi prokoagulan yang dilepaskan sel leukemik, kegagalan jalur fibrinolitik dan perubahan endotel. Pada pasien ini untuk penatalaksanaan DIC, pemeriksaan hemostasis harus dilakukan setiap hari. Hipofibrinogenemia (fibrinogen < 100 mg/dl) dapat dikoreksi dengan pemberian 20
cryoprecipitate, sedangkan pemanjangan PT dan APTT dapat dikoreksi dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) & tranfusi trombosit 10 unit, tranfusi PRC s/d Hb 10 gr/dl. Pendekatan yang rasional dalam pengobatan pasien leukemia akut dengan DIC berat adalah dengan memulai kemoterapi induksi secepat mungkin untuk mengurangi populasi sel- sel leukemia yang diduga menyebabkan DIC. Bila terdapat infeksi, maka antibiotika harus diberikan. Selain itu terapi pengganti harus diberikan bila terdapat trombositopenia berat, koagulopati, atau hipofibrinogenemia. Kasus PIS umumnya terjadi di korteks serebri. Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah di otak dan diikuti edema dalam jaringan otak disekitar hematom. Akibatnya diskontinuitas dan kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar. Maka gejala klinis bersumber dari destruksi jaringan otak & kompresi pembuluh darah otak. Menurut literatur gejala klinis perdarahan intra serebral berupa nyeri kepala hebat sekali, mual, muntah pada awal serangan, kesadaran cepat menurun hingga koma. Tanda neurologis fokal sering dijumpai gangguan motorik. Pemeriksaan ekstremitas memperlihatkan paralisis pada fase lanjut dengan tanda-tanda upper motor neuron yaitu kelemahan otot bersifat spastik dengan atropi otot & babinsky positif. Cara yang paling akurat untuk menentukan perdarahan intra serebral adalah dengan Brain CT Scan, gambarannya terdapat hiperden. Menurut literatur Perdarahan Intra serebral (PIS) adalah perdarahan primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh penyakit darah seperti leukemia, trombositopenia, hemofilia, tumor otak yang tumbuh cepat. Kematian akibat PIS sekitar 50% dengan pasien hidup dengan defisit neurologis. Prediktor untuk menentukan nya dengan GCS. Pada pasien ini di duga PIS didasarkan atas gejala dan tanda klinis yang didapat. Penurunan kesadaran secara tiba-tiba, kejang seluruh tubuh, defisit neurologis dengan pupil anisokor, diameter pupil kanan kiri = 3mm/5mm, reflek cahaya yang berkurang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Hemiparese Dextra pada pemeriksaan tes jatuh, reflek babinsky positif pada kaki sebelah kanan. Rencana pada pasien ini akan dilakukan konsul Neurologi Cito dan Brain CT-Scan, akan tetapi tindakan tidak dapat dilakukan. Karena pasien mengalami perburukan yang cepat dan akhirnya meninggal dunia.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006 2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996 3. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008 4. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi 4.Jakarta: EGC, 2005 5. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005 6. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2006. 7. Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit Alumni : Bandung. 1997. 8. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003 9. Soemantri Ag. Penatalaksanaan DIC pada anak. Dalam : Priyatno A, Setiati TE, Soemantri Ag. Naskah simposium Kegawatan sistem hematologi pada anak. BP Undip. Semarang, 2001 : 27-37 10. Raspati Harry, Reniarti Lelani, Susanah Susi. Disseminated Intravascular Coagulation. Dalam : Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005 ; 189-193. 11. Corrigan James J. Disseminated Intra Vascular Coagulation. Dalam Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. EGC,1999 ; 1743-1744 12. Furlong MA, Furlong BR. Disseminated Intravascular Coagulation. EMedicine Journal. September 1001: 2 (9). http://www.emedicine.com/emerg/topic. 150.htm 13. Aysola A, Lopez-Plaza 1. Disseminated Intravascular Coagulation. The Institute For Transfusion Medicine. March, 1999. http://www.itxm.org/TMU1998/tmu3-99.htm 14. Levi M, de Jonge E. Current Management of Disseminated Intravascular Coagulation. Hospital Practice, 2000. http://www.itxm.org/TMU1998/tmu3-99.htm 22
15. Bick RL, Baker WF. Hereditary Thrombophilic Disorders. In: BickRL,editor. Disorders of thrombosis and hemostasis. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.p.283-302.http://www.emedicine.com/Hemostasis /topic. 48.htm 16. Caverley DC, Maness LJ. Platelet function in hemostasis and thrombosis. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Winstrobes Clinical Hematology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott- Williams & Wilkins; 2001.p.651-76. http://www.emedicine.com/Platelet/topic. 12.htm 17. Ehsan A, Plumbley JA. Introduction to thrombosis and anticoagulant therapy. In: Harmening DM, editor. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4th ed. Philadelphia: FA Davis Company; 2002.p.534-62. http://www.emedicine.com/Thrombosis/topic. 74.htm 18. Kumm S. Pathophysiology of Disseminated Intravascular Coagulation.