Anda di halaman 1dari 10

PANSITOPENIA

A. Definisi
Pansitopenia adalah keadaan dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit,
leukosit, dan trombosit. Pansitopenia ini merupakan suatu kelainan di dalam
darah tepi. Biasanya kadar hb juga ikut rendah akibat rendahnya eritrosit.1
Pansitopenia ini merupakan suatu gejala, bukan penyakit. Ada dua
kelompok penyakit yang bisa menyebabkan kondisi ini; produksi sel darah di
sumsum tulang yang menurun, atau akibat penghancuran sel di darah tepi
meningkat walaupun produksi sel darah di sumsum tulang berlangsung baik.
Terdapat dua contoh penyakit yang menggambarkan gejala pansitopenia yang
sangat jelas adalah Anemia Aplastik dan Leukemia.1
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada
sumsum tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai
oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada
sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang
pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka
anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik. Kelainan ini ditandai oleh
sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat anemia, granulositopenia, dan
trombositopenia.2,3
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu
berasal. Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah.
Pada kasus Leukemia (kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada
tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol
(abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah
perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan
dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti
ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena
penyakit infeksi, anemia dan perdarahan

1
B. Etiologi Leukemia
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari Leukemia tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau
setidaknya menjadi faktor prediposisi Leukemia pada populasi tertentu.
Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada insidens
penyamakan kulit di negara berkembang, diketahui merupakan zat
leukomogenik untuk Leukemia. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat
menyebabkan Leukemia. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya
insidensi kasus leukemia, termasuk Leukemia, pada orang-orang yang
selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik
dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman.
Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk Leukemia adalah
trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down.
Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya Leukemia
tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom
bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih
tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita Leukemia. Faktor lain
yang dapat memicu terjadinya Leukemia adalah pengobatan dengan
kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. Leukemia akibat terapi adalah
komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma
multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi
yang paling sering memicu timbulnya Leukemia adalah golongan alkylating
agent dan topoisomerase II inhibitor.
C. Patogenesis Leukemia
Patogenesis utama Leukemia adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast
di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan
pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia,

2
leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah
lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia
akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termausk infeksi oportunis dari
flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast
yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem
syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
Dalam hematopoiesis normal, myeloblast merupakan prekursor belum
matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal secara bertahap
akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun, dalam Leukemia, sebuah
myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik yang "membekukan" sel dalam
keadaan imatur dan mencegah diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak
menyebabkan leukemia, namun ketika seperti "penangkapan diferensiasi"
dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang mengganggu pengendalian
proliferasi, hasilnya adalah pertumbuhan tidak terkendali dari klon belum
menghasilkan sel, yang mengarah ke entitas klinis Leukemia.
Sebagian besar keragaman dan heterogenitas Leukemia berasal dari kenyataan
bahwa transformasi Leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di
sepanjang jalur diferensiasi. Para translokasi kromosom yang abnormal
menyandikan protein fusi, biasanya faktor transkripsi yang mengubah sifat dapat
menyebabkan "penangkapan diferensiasi." Sebagai contoh, pada leukemia
promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi menghasilkan protein fusi PML-RAR
yang mengikat ke reseptor unsur asam retinoat dalam beberapa promotor
myeloid-gen spesifik dan menghambat diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan
gejala hasil AML dari kenyataan bahwa, sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia
cenderung untuk menggantikan atau mengganggu perkembangan sel-sel darah
normal dalam sumsum tulang. Hal ini menyebabkan neutropenia, anemia, dan
trombositopenia.

3
D. Gejala Klinis Leukemia
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien Leukemia
tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50%
kasus Leukemia, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal
dan sekitar 35% mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast
dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus
Leukemia. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-
sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari
kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama Leukemia adalah adanya rasa lelah, perdarahan
dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang
sebagaimana telah disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam
bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau
berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat
jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini
pling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di
tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ
tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien Leukemia dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100
ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang
menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis
sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering
dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan
menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam
tulang akan meninbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi
ringan. Pembengkakkan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi
sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada Leukemia juga dapat
dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan

4
diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang
diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
E. Diagnosis Leukemia
Secara klasik diagnosis Leukemia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak
sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan
terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel
darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal.
Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia,
tingkat-tingkat platelet mungkin rendah, menyebabkan perdarahan dan
memar, dan tingkat sel darah putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang
mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum
tulang, jarum berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan
sejumlah kecil dari sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah mikroskop.
Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik
melalui cairan injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk
melihat apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal,
yang mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan
sumsum tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow cytometry
penting lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa),
imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel
kanker), Sitogenetika (untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam
sel), dan studi genetika molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker).
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan,
diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count
(CBC)}, CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray,
Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture.
Kelainan hematologis
Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3.

5
Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 103 /mm3. Leukosit
yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang
mengandung badan auer suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.
Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif,
sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan
sumsum tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas belum tampak
dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan kasus dengan pansitopenia
perifer akan tetapi sumsum tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi
dengan myeloblas. Kadang-kadang ditemukan Auer body dalam mieloblas.
Kadang manifestasi pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan
mieloblas dalam sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun
sebelum fambaran mieloblastiknya menjadi jelas benar.
F. Terapi Leukemia
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan
suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia,
komplikasi dan tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk
perawatan psikologi. Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi darah/
trombosit, pemberian antibiotik pada infeksi/ sepsis, obat anti jamur,
pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial.
Terapi kuratif/ spesifik bertujuan untuk menyembuhkan penderita. Strategi
umum kemoterapi leukemia akut meliputi induksi remisi, intensifikasi
(profilaksi susunan saraf pusat) dan lanjutan. Klasifikasi resiko standar dan
resiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Pada induksi remisi diberikan
kemoterapi maksimum yang dapat ditoleransi dan perawatan suportif yang
maksimum. Kemungkinan hasil yang dicapai remisi komplet, remisi parsial
atau gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah
remisi komplet dan untuk profilaksi terjadi leukemia pada saluran syaraf
pusat.
Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan
meningkatkan kesembuhan. Pengobatan lanjutan sampai sekitar 2 tahun,
diharapkan tercapai perpanjangan remisi dan dapat bertahan hidup. Sitostatika

6
yang digunakan pada tiap tahap pengobatan leukemia merupakan kombinasi
dari berbagai sitostatika. Pengobatan dengan granulocyte-colony stimulating
factor (G-CSF) bermanfaat untuk mengatasi penurunan granulosit sebagai
efek samping sitistatika, namun tidak mengurangi lama perawatan di rumah
sakit.
Penderita dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan
bebas gejala leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapat selularitas
normal dan jumlah sel blast < 5% dari sel berinti, hemoglobin > 12 gr/dL
tanpa transfusi, jumlah sel leukosit > 3000/l, dengan hitung jenis leukosit
normal, jumlah granulosit > 2000/ l, jumlah trombosit > 100.000/ l, dan
pemeriksaan cairan serebropinal normal.
Permasalahan yang dihadapi pada penanganan pasien leukemia adalah
obat yang mahal, ketersediaan obat yang belum tentu langkap, dan adanya
efek samping, serta perawatan yang lama. Obat untuk leukemia dirasakan
mahal bagi kebanyakan pasien apalagi dimasa krisis sekarang ini, Selain
macam obat yang banyak , juga lamanya pengobatan menambah beban biaya
untuk pengadaan obat. Efek samping sitostatika bermacam-macam seperti
anemia, pedarahan, rambut rontok, granulositopenia (memudahkan terjadinya
infeksi), mual/ muntah, stomatitis, miokarditis dan sebagainya. Penderita
dengan granulositopenia sebaiknya dirawat di ruang isolasi. Untuk mengatasi
kebosanan karena perawatan yang lama perlu disediakan ruang bermain dan
pelayanan psikologis. Penderita yang telah remisi dan selesai pengobatan
kondisinya akan pulih seperti anak sehat. Problem selama pengobatan adalah
terjadinya relap (kambuh). Relaps merupakan pertanda yang kurang baik bagi
penyakitnya.
Pada dasarnya ada 3 tempay relaps :
Intramedular (Sumsum tulang)
Ekstramedular (Susunan saraf pusat, testis, iris)
Intra dan ekstra meduler.
Relaps bisa terjadi pada relaps awal (early relaps) yang terjadi selama
pengobatan atau 6 bulan dalam masa pengobatan dan relaps lambat (late
relapse) yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah pengobatan

7
G. Diagnosis Banding
Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari kebanyakan
penyakit. Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar
sering dapat mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan
hal yang lebih susah dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat
diperlukan.
Penyebab dari pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis
banding yang meliputi Fanconis anemia, paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PHN), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis,
aleukemic leukemia, agranulocytosis, dan pure red cell aplasia. Berikut ini
merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai penyakit-penyakit tersebut.
Fanconis anemia. Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia
aplastik dimana merupakan kondisi autosomal resesif yang diturunkan sekitar
10% dari pasien dan terlihat pada masa anak-anak. Tanda-tandanya yaitu tubuh
pendek, hiperpigmentasi pada kulit, mikrosefali, hipoplasia pada ibu jari atau
jari lainnya, abnormalitas pada saluran urogenital, dan cacat mental. Fanconis
anemia dipertegas dengan cara analisis sitogenetik pada limfosit darah tepi, yang
dimana menunjukkan patahnya kromosom setelah dibiakkan menggunakan zat
kimia yang meningkatkan penekanan kromosom (seperti diepoxybutane atau
mitomycin C).
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. PNH adalah sebuah kerusakan
yang didapat yang dikarakteristikan dengan anemia yang disebabkan oleh
hemolisis intravaskular dan dimanifestasikan dengan hemoglobinuria yang
bersifat sementara dan life-threatening venous thromboses. Suatu kekurangan
CD59, antigen pada permukaan eritrosis yang menghambat lisis reaktif, sangat
bertanggung jawab terhadap hemolisis. Kira-kira 10% sampai 30% pada pasien
anemia aplastik mengalami PNH pada rangkaian klinis nantinya. Ini
menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa mayoritas pasien dengan PHN
dapat mengalami proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat dengan
menunjukkan pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan
cara aliran sitometri, mengantikan tes skrining yang sebelumnya dipergunakan
seperti tes hemolisis sukrosa dan pemeriksaan urin untuk hemosiderin.

8
Myelodiysplastic Sindrome. MDSs adalah sebuah kumpulan dari
kerusakan sel batang hematopoetik klonal yang ditandai oleh diferensiasi dan
maturasi abnormal sumsum tulang, dimana dapat menyebabkan kegagalan
sumsum tulang dengan peripheral sitopenias, disfungsional elemen darah, dan
memungkinkan perubahan leukemi. Sumsum tulang pada MDS memiliki tipe
hiperselular atau normoselular, walaupun hiposelular biasanya juga ditemukan.
Sangat penting membedakan hiposelular MDS dengan anemia aplastik karena
diagnosis yang ditegakkan untuk penanganan dan prognosis.
Idiopathic Myelofibrosis. Dua keistimewaan idiopathic myelofibrosis
adalah hematopoesis ekstramedulari menyebabkan hepatosplenomegali pada
kebanyakan pasien. Biopsi spesimen sumsum tulang menunjukkan berbagai
tingkat retikulin atau fibrosis kolagen, dengan megakariosit yang mencolok.
Aleukemic Leukemia. Aleukemic leukemia merupakan suatu kondisi
yang jarang yang ditandai oleh tidak adanya sel blast pada darah tepi pasien
leukemia, terjadi kurang dari 10% dari seluruh pasien leukemi dan penyakit ini
biasanya terjadi pada remaja atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan
biopsy menunjukkan sel blast.
Pure red cell aplasia. Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan
produksi eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari
1%, dan normoselular sumsum tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah
matang.
Agranulocytosis. Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang
mempengaruhi produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit

H. Prognosis Leukemia
Faktor prognosis yang kurang baik antara lain : usia kurang dari 2
tahun, usia lebih dari 10 tahun, jumlah leukosit (sel darah putih) saat awal
lebih dari 50x109/L, jumlah trombosit (keping darah) kurang dari 100x109/L,
ada masa mediastinum, ras hitam, laki-laki, ada pembesaran kelenjar limfe,
pembesaran hati lebih dari 3 cm, tipe limfoblas L2 atau L3, dan adanya
penyakit susunan syaraf pusat saat diagnosisi. Viana dkk (1994)
mendapatkan, penderita dengan gizi buruk (menurut standar tinggi badan/

9
umur) resiko kambuhnya lebih tinggi dibanding yang gizinya baik. Di
Singapura walaupun ada perbaikan, 30%-40% penderita mengalami kambuh,
dan kelompok ini prognosisinya baik. Perkembangan dan keberhasilan
pengobatan pencegahan untuk leukemia meningeal yang diikuti dengan
kemoterapi sistemik memperbaiki secara progresif angka kesembuhan LLA
pada anak. Angka kelangsungan hidup 5 tahun LLA sekitar 66-67%. Pada
LMA, jumlah lekosit yang tinggi (>100.000/L), ras hitam, koagulasi
abnormal berprognosis jelek.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information andGuide,


2005. Diakses : 12/01/2014. Dari URL :
http://www.cancer.org/cancer/aplasticanemia/
2. Bakhsi S. Aplastic Anemia, Dalam : Emedicine Article, 2004. Diakses :
13/01/2014, Dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/198759
3. Dan L, Longo., Denis L, Kasper,. Et al, Aplastic anemia, Myelodisplasia, and
Related Bone Marrow Failure syndromes, dalam Harrisons Principles Of Internal
Medicine, Ed. 18. NewYork: Lange McGraw Hill, 2008
4. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed.
NewYork: Lange McGraw Hill, 2005. Hal. 31-40
5. Hoffbrand, AV., Pettit, J.E, et al, Anemia Aplastik dan Kegagalan Sumsum Tulang,
dalam Kapita Selekta Hematologi. Penerbit buku kedokteran, EGC, Jakarta. Hal.
83-87.
6. Linker CA, Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds).
Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill,
2007;510-11.
7. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Aplastic anemia, dalam Modern Hematology Biology and Clinical Management
2nd ed. New Jersey:Humana Press, 2007. Hal. 207-216
8. Shadduck RK, Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007

10

Anda mungkin juga menyukai