2. Manifestasi Klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran bawah terasa
dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah
pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior.
Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar
dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada
pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada
defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih
menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya
kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul
dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan
nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi
menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda
tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks.
Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-
pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih
muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens
lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah
awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi,
penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer
C.Suzanne, 2002).
3. Patofisiologi
Factor pecetus terjadinya apendisitis adalah sumbatan lumen apendiks yang
terjadi karena hyperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan parasite. Patologi
apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dindig
apendiks dalam waktu 24-48jam pertama. Konstipasi juga dapat menyebabkan apendisitis
akut karena terjadi peningkatan intrasekal dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Hal ini meningkatkan proes inflamasi. Upaya pertahanan tubuh membatasi
proses peradangan dengan meutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adeksa
sehinggga terbentuk massa periapendikuler. Didalamya dapat terjadi nekrosis jaringan
yang dapat mengalami perforasi. Apendiks yang pernah meradang tiak akan sembuh
sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan di
sekitarnya. Perlegketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah
(Sjamsuhidayat, 2010).
4. Pemeriksaan Fisik
Pada pengkajian abdominal, hal yang paling mendasar adalah mengklasifikasikan
keluhan nyeri pada regio kanan bawah atau pada titik Mcburney. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada pasien dengan
komplikasi perforasi. Palpasi abdomen kanan bawah akan didapatkan peningkatan respon
nyeri. Nyeri pada palpasi terbatas pada regio iliaka kanan, dapat disertai nyeri lepas .
pada penekeanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri diperut kanan bawah yang
disebut tanda rovsing. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan
yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Untuk mengkaji tanda tahanan
(defans muskular) otot spoas, maka lakukan hiperekstensi pada ekstremitas kanan dan
hip, bila didapatkan adanya respon sari otot spoas maka disebut dengan tanda psoas
positif yang memberikan manifestassi adanya peradangan pada apendiks yang menempel
pada otot spoas ( apendisitis retrosekum) Tanda lainnya dari apendiositis adalah tanda
dunphy (nyeri tajam pada kuadran kanan bawah abdomen yang didapatkan setelah batuk
yang tiba tiba) tanda ini dapat membantu menjadi tanda klinik penting yang
berhubungan dengan peritonitis yang terlokalisasi.
Pemeriksaan lain yang direkomendasikan oleh salvrado (1986) dengan
menggunakan skor klinik yang disebut dengan skor MANTREKS , skor ini merupakan
hasil tabulasi dari migrasi penyebaran nyeri , anoreksia,mual dan muntah, nyeri tekan
kuadran bawah kanan, peningkatan suhu tubuh, leukositosisi, dan perubahan sel darah
putih.
k
Tabel skor mantrels pada pemeriksaan apendisitis
j
k
Karakteristik Skor
k
M : Migration of pain to the RLQ 1
k
A: anoreksia 1
k
N: nausea and vomiting 1
k
T: tenderness in RLQ 2
k
R: rebound pain 1
E: eleveted temperature 1
L: leukocytosis 2
S: shift of WBC to the left 1
Total 10
Walaupun pemeriksaan skor ini merupakan kompetensi medis, tetapi dengan ikut serta
mengetahui pemerikssaan ini, perawat dapat melakukan peran kolaboratif dalam
menentukan intervensi lainnya.Pada pasien apendisitis menyebutkan skor ≤ 3 memiliki
insiden 3,6% apendisitis, skor 406 insidensi 32% apendisitis, skor 7-10 insidensi 78%
apendisitis.
3) Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dari apendiks.
4) Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan CT scan pada abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan adanya
kemungkinan perforasi (Arif Muttaqin, 2011).
5. Asuhan Keperawatan
Nyeri b.d Agen injury Intervensi
Kesimpulan
Apendisitis dapat terjadi karena adanya obtruksi lumen apendiks oleh
material fases yang mengeras (fekalit), benda asing, mikroorganisme, atau parasit.
Kadang lipatan peritoneum pada sekum menyebabkan penekukan yang bisa
menimbulkan obstruksi. Ketika terjadi obtruksi akut, bagian apendiks mengalami
distensi dan mempercepat multipikasi bakteri normal dalam lumen sehingga
menimbulkan peningkatan sekresi mukus apendiks, banyaknya mukosa yang
dikeluarkan dan kondisi apendiks yang mengalami obstruksi menyebabkan mukus
yang terbentuk menjadi terbendung di dalam lumen. Makin lama mukus ini akan
semakin banyak, sementara elastisitas dinding apendiks yang terbatas mampu
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Penekanan ini juga terjadi pada
pembuluh darah sehingga menyebabkan trombosis yang nantinya akan berujung
pada iskemik jaringan. Penekanan ini juga menyebabkan hambatan aliran limfe.
Hipoxsia apendiks , ulserasi mukosa yang akan menimbukan nyeri serta
peningkatan invasi bakteri yang akan menyebabkan infeksi.
Tekanan yang meningkat ini juga akan menyebabkan obstruksi vena dan
peningkatan edema lumen. Peningkatan edema ini akan mempermudah bakteri
yang ada di dalam lumen mudah untuk menembus dinding apendik dan keluar ke
rongga peritonia sehingga menimbulkan peradangan peritonia sehingga semakin
menimbulkan nyeri hebat dibagian perut kanan bawah. Peristiwa ini disebut
dengan apendiks supuratif. Tekanan juga menimbukan gangguan arteri di sekitar
lumen arteri dan semakin menyebabkan infark pada dinding lumen sehingga
menimbulkan luka ganggren pada dinding apendis. Pada tahap ini, apendiksitis
sudah disebut sebagai apendisitis ganggren. (Wong: 2005)
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu
24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi
proses radang melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi
tenang, dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat Pada anak-anak,
perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek, apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang
tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah Apendiks
yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan
parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini
menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini
dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.