Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis /ADEM)
adalah adalah penyakit inflamasi imunologis pada sistem saraf pusat (SSP) yang
mengakibatkan lesi demielinasi multifocal yang mempengaruhi grey matter dan white
matter dari otak dan sumsum tulang belakang, yang biasanya didapat setelah adanya
infeksi atau vaksinasi. ADEM merupakan penyakit monofasik, yang umumnya terkait
dengan penolakan antigen (infeksi atau vaksinasi), yang diyakini sebagai pemicu untuk
respon inflamasi yang mendasari penyakit ini, karena reaksi silang antara alergi atau
autoimun yang menyerang myelin dengan protein virus. Meskipun tidak terbatas pada
infeksi virus, namun pada umumnya penyakit ini muncul setelah penderita terinfeksi
measles, varicella dan rubella. Hal ini paling sering terlihat pada populasi anak dan
dewasa muda, namun dapat terjadi pada setiap usia (Marin SE. dkk,2013; Mermuys
K.dkk,2006). Penyakit ini jarang ditemukan, terdapat sekitar 3-6 kasus ADEM per tahun
di pusat kesehatan di US, UK dan Australia (Stonehouse M,2003).
Pasien datang dengan gejala dan defisit neurologis fokal biasanya dalam 1 sampai 3
minggu setelah infeksi virus atau vaksinasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat
klinis dan analisis CSF, yang sering menunjukkan limfositosis (seringkali meningkat
hingga beberapa ratus sel) dan peningkatan myelin protein dasar. Perubahan ECG non
spesifik dan CT Scan mungkin normal sehingga tidak terlalu membantu dalam
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang terbaik yang dapat menegakkan
diagnosis yaitu dengan brain MRI. Tindak lanjut MRI ini sangat membantu dalam
membedakan ADEM dari suatu episode Multiple Sclerosis (MS), karena gambaran
klinis, analisis cairan serebrospinal, histopatologi dan penampilan neuroimaging yang
sangat mirip (Mermuys K.dkk,2006; Ginsberg L,2007).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis/
ADEM) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan terjadinya demielinasi
peradangan akut multifokal pada Sistem Saraf Pusat (SSP), bersifat monofasik
dan dapat terjadi setelah infeksi virus atau imunisasi, sehingga disebut juga
ensefalomielitis pasca infeksi (Ginsberg L,2007).

2.2.

Epidemiologi
Berdasarkan penelitian pada tahun 2008, insidens Acute Disseminated
Enchephalomyelitis (ADEM) di California diperkirakan sekitar 0,4 per 100.000
populasi per tahun dan terdapat 3- 6 kasus ADEM per tahun di pusat kesehatan
di US, UK dan Australia. ADEM di negara berkembang lebih sering terjadi.
ADEM lebih sering terjadi

pada anak-anak dan remaja dibandingkan

usia

dewasa dan tidak terdapat perbedaan kejadian ADEM berdasarkan gender dan
etnik.5,6
Kejadian ADEM biasanya mengikuti penyakit infeksi pada anak-anak dan
sering dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian
Sekitar 50-75 % kasus ADEM

yang signifikan.5

terjadi setelah infeksi virus ataupun bakteri.

Banyak virus yang berkaitan dengan ADEM, termasuk : campak, mumps, rubella,
varicella zoster, eipsten-barr, cytomegalovirus, herpes simplex, hepatitis A,
influenza dan enterovirus.6 ADEM terjadi 1/1000 kejadian infeksi campak.
ADEM relatif jarang terjadi setelah infeksi varicella, di mana angka kejadiannya
1/10.000 kejadian infeksi varicella. Kejadian ADEM setelah infeksi rubella
sekitar 1/500.5 Kematian dan cacat neurologis pada ADEM setelah infeksi rubella

dan varicella lebih rendah dibandingkan dengan ADEM setelah infeksi campak.
Angka kematian ADEM setelah infeksi campak sekitar 25 % dan sekitar 25-40 %
bertahan dengan cacat neurologis permanen.
Sekitar kurang dari 5 % kasus ADEM terjadi setelah imunisasi. Vaksinasi
campak, mumps, rubella merupakan yang paling sering berkaitan dengan ADEM
post vaccinial. Insiden ADEM yang berkaitan dengan vaksin campak sekitar 1-2/
1 juta. Gejala neurologis biasanya muncul 4-13 hari setelah vaksinasi.6
2.3.

Patogenesis
Patogenesis ADEM dianggap berupa inflamasi dan demielinisasi multifokal
yang tersebar dan yang terkait dengan mekanisme autoimun di SSP. Hipotesis
autoimun menunjukkan bahwa sel T yang menyerang antigen viral atau bakteri
mengenali asam amino yang juga dimiliki oleh protein myelin. Sel T yang
teraktivasi melewati sawar darah otak, memungkinkan rekrutmen dan migrasi selsel inflamasi lainnya yang berperan dalam proses demyelinasi. Target antigen
mencakup myelin basic protein (MBP), proteolipid protein (PLP), myelin
oligodendrocyte protein (MOP), myelin associated glycoprotein (MAG),
oligodendrocyte basic protein, dan lain-lain (Sarnat HB.dkk,2006; Leake
JA.dkk,2004). Molecular mimicry, atau kesamaan epitop virus dengan antigen
myelin seperti MBP,MOG dan protein proteolipid merupakan salah satu
penjelasan munculnya respon imun terhadap substansia alba SSP setelah infeksi.
Sejumlah studi menyatakan bahwa sitokin proinflamasi berperan dalam
patogenesis (Leake JA.dkk,2004). Mekanisme molekuler pasti yang menyebabkan
kematian oligodendrosit pada ADEM dan variannya masih belum diketahui;
namun molekul sitokin, kemokin dan molekul perlekatan secara bersama-sama
berkontribusi terhadap patogenesis ensefalomielitis inflamasi. Faktor kerentanan
genetik menjelaskan mengapa komplikasi ensefalomielitis dijumpai hanya pada

sejumlah kecil pasien yang mendapat infeksi atau imunisasi. Gen human
leucocyte antigen (HLA) kelas II memiliki pengaruh yang paling signifikan.
Nitric oxide juga tampaknya memperantarai kematian oligodendrosit. Mekanisme
lainnya mencakup stress oksidatif yang menyebabkan kematian prematur dari
oligodendrosit dan eksitoksisitas (Sarnat HB.dkk,2006).
2.4.

Patologi
Pemeriksaan makroskopis otak menunjukkan edema dengan tanda-tanda
kongesti serebral. Gambaran histopatologis ADEM yang dapat membedakannya
dengan kelainan lain adalah inflamasi dan demielinasi perivaskular, terutama
perivena, yang terutama melibatkan substansia alba dari hemisfer serebri, batang
otak, serebelum, medula spinalis dan nervus optikus (Sarnat HB.dkk,2006; Young
NP.dkk,2008). Proses inflamasi terutama dicirikan dengan infiltrasi perivaskular
dari sel-sel inflamasi mononuklear (limfosit dan monosit), biasanya disekitar vena
dan venula dan proliferasi mikroglial reaktif. Terdapat edema vasogenik yang
menyebabkan pembengkakan otak dan medulla spinalis. Dalam lesi tersebut
dijumpai fragmentasi mielin dengan akson yang relatif utuh walaupun dapat juga
dijumpai kerusakan aksonal yang nyata. Pada tahap akhir, respon inflamasi
digantukam oleh gliosis fibrilari (Sarnat HB.dkk,2006). Pada jaringan otak
terutama dijumpai keterlibatan substansia alba dengan sejumlah fokus demielinasi
kecil. Secara histologis, terdapat reaksi inflamasi destruktif dengan sel limfosit
dan sedikitsel plasma di sekitar vena-vena kecil di seluruh serebrum, batang otak,
serebelum dan medula spinalis. Dijumpai sel-sel mikroglial fagositik pada lesi.
Akson dan sel saraf relatif tidak terkena. Terdapat batas yang tegas antara fokus
demielinasi dan daerah normal. Pada tahap lanjut, perluasan gliosis melebihi
daerah demielinasi. Pada ADEM reaksi jaringan berada pada usia yang sama yang

menggambarkan perjalanan yang monofasik dari penyakit ini (Armstrong


D.dkk,2007).
2.5.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Acute Disseminated Enchephalomyelitis (ADEM)
meliputi ensefalopati, tetapi dapat juga berupa sindrom fokal atau multifokal,
yang mengarah pada gangguan demyelinasi inflamasi sistem saraf pusat, termasuk
neuritis optik dan myelitis. Beberapa gejala klinis meningoensefalitis pada ADEM
terdiri dari ensefalopati, kejang, demam, sakit kepala dan tanda meningeal (Young
NP.dkk,2008).
Gejala inflamasi dan gejala neurologis sering dimulai 2 minggu setelah
keadaan sakit akibat virus atau bakteri. Gejala sistemik seperti demam, malaise,
sakit kepala, nausea, dan muntah sering mendahului gejala neurologis ADEM.
Ciri khas dari gejala klinis ADEM berupa perluasan fokal atau multifokal dari
gangguan neurologis. Onset gangguan sistem saraf pusat sangat cepat dengan
disfungsi puncak terjadi dalam beberapa hari. Gambaran klinis awal berupa letargi
dan dapat berlanjut sampai koma, gejala fokal atau multifokal neurologi seperti
gangguan pada cerebrum (hemiparesis dan afasia), gangguan pada batang otak
(kelumpuhan nervus kranial) dan gangguan pada spinal cord (paraparesis). Gejala
lain yang juga dilaporkan biasa tejadi seperti meningismus, ataksia dan gangguan
pergerakan. Kejang dapat terjadi pada kasus yang berat, terutama pada perdarahan
akut ADEM (Madan S.dkk,2005).
menunjukkan adanya gambaran

Selain itu, banyak kasus ADEM juga


limfositik meningitis pada pemeriksaan

histopatologi (Young NP.dkk,2008).


ADEM pada anak-anak, dicurigai bila pada anak yang sebelumnya sehat,
mengalami gejala dengan onset akut yang terdiri dari : mengalami lebih dari satu
gejala defisit neurologikal (polysymptomatic onset), perubahan status mental,

dan dikombinasi dengan perubahan pada gambaran MRI, berupa white matter
lession (Young NP.dkk,2008).
Beberapa gejala klinis seperti

perubahan status mental, ataksia, defisit

motorik,dan keterlibatan brainstem, muncul berhubungan dengan usia. Demam


yang lama dan sakit kepala lebih sering ditemukan pada anak-anak. Kebanyakan
pada pasien dewasa tampilan klinisnya hampir sama dengan anak-anak, kecuali
pada dewasa jarang ditemukan sakit kepala, demam, dan meningismus, akan
tetapi frekuensi kejadian defisit sensori lebih sering ditemukan pada dewasa.
Neuritis optik juga jarang ditemukan pada pasien ADEM dewasa. Selain itu,
kejang juga jarang ditemukan pada pasien dewasa, di mana kejang lebih sering
ditemukan pada anak-anak di bawah usia 5 tahun (Tanembaum S.dkk,2007).

2.6.

Diagnosis
Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan pada manifestasi klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
Penetapan diagnosis dan pengobatan ADEM terutama didasarkan pada pendapat
para ahli. Diagnosis ADEM ditegakkan ketika individu mengalami kelainan
neurologis multifokal dengan kebingungan, mudah marah yang berlebihan, atau
tingkat kesadaran yang berubah (ensefalopati), terutama jika timbulnya gejala
dalam 1 sampai 2 minggu setelah infeksi bakteri / virus atau vaksinasi.

a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan

laboratorium

berguna

untuk

ADEM,

terutama

untuk

menyingkirkan penyebab lain yang didasarkan pada gejala klinis pasien.


Pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah lengkap, kultur, dan studi
serologi darah dan cairan serebrospinal untuk mendeteksi organisme bakteri

dan virus. Lumbal punksi juga dapat dilakukan, dimana tes ini berguna untuk
mengetahui adanya inflamasi pada cairan serebrospinal (CSF), dengan
terjadinya pleositosis limfosit (biasanya antara 50 dan 180 sel/mm2) dan / atau
peningkatan konsentrasi protein(umumnya 0,5-1,0 g / dl). Cairan serebrospinal
(CSF) umumnya normal pada 61,5% dari pasien ADEM. Oligoclonal band
kadang-kadang juga ditemukan pada ADEM (terlihat pada 0-29%). Hal ini
menjadi alasan kenapa ADEM sering dihubungkan dengan MS. Pemeriksaan
Electroencephalogram (EEG) dapat dijadikan sebagai salah satu pemeriksaan
pasien dengan ADEM, tetapi jarang berguna untuk menegakkan diagnosis. Hal
ini terkait dengan kejang yang menjadi salah satu gejala klinis ADEM (Marin
SE.dkk,2007).
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi sangat berharga dalam membantu menegakkan
diagnosis ADEM.
1. CT Scan
Pemeriksaan dengan CT scan dapat normal pada onset awal dan dapat
abnormal pada 5-14 hari kemudian.2 Pemeriksaan CT scan tidak sensitif
untuk mendiagnosa kelainan ADEM. Beberapa studi, menyebutkan
gambaran CT scan tidak menunjukkan kelainan pada awal penyakit dan
tidak sensitif untuk mendeteksi adanya lesi demielinasi yang kecil. Pada
gambaran CT scan yang abnormal, biasanya ditemukan area hipodense yang
diskret pada white matter serebri dan pada area juxtakortikal dan kadangkadang tampak seperti gambaran cincin. Penelitian yang pernah dilakukan
Tenembaum dkk, melaporkan temuan abnormal pada CT Scan pada 78%
pasien rata-rata setelah 6,5 hari dari munculnya onset. Sedangkan, penelitian

yang dilakukan oleh Pavone dkk, didapatkan adanya abnormal CT scan


ditemukan pada 86% dari pasien ADEM dan ditemukan rata-rata setelah 2,5
hari dari munculnya gejala onset (Marin SE.dkk,2007).

CT scan kontras 11 hari setelah timbulnya


gejala. Tampak lesi hipodense berbentuk cincin
di kedua hemisfer (panah).

2. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik penggambaran
penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen.
Tehnik penggambaran MRI relatif komplek sehingga kualitas gambaran detil
tubuh manusia akan tampak jelas, anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat
dievaluasi secara teliti (Notosiswoyo M.dkk,2004).
Pada pemeriksaan radiologi MRI, beberapa jaringan tampak lebih terang atau
lebih gelap dari jaringan lain. Intensitas terang atau gelap tergantung pada
kepadatan proton di daerah itu - kepadatan meningkat dikaitkan dengan area
yang lebih gelap. Waktu relaksasi untuk proton dapat bervariasi dan biasanya
diukur dua kali - yang dikenal sebagai T1 dan T2. T1 dan T2 adalah istilah
teknis yang diterapkan pada waktu yang diperlukan untuk relaksasi proton. T1
dan T2 memberikan intensitas yang berbeda dari gambar dan masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Pada T2-weighted image


(T2WI) terlihat lemak, air dan cairan yang terang, oleh karena itu, pencitraan
T2WI sangat ideal untuk mengambil edema jaringan. T2 digunakan dalam
fungsional MRI scanning, sedangkan T1 digunakan dalam anatomi MRI
scanning. White matter lebih gelap dari grey matter dalam T1WI dan lebih
terang dari grey matter dalam T2WI.19

A
A

Pemeriksaan

T1-weighted image (A)


B dan T2-weighted image (B)

Magnetic

Resonance

Imaging

(MRI)

otak

merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling penting yang tersedia untuk membantu


menegakkan diagnosis ADEM dan membedakan klinisnya dengan penyakit
inflamasi dan non inflamasi lainnya. Pada ADEM, MRI menunjukkan bukti
perubahan pada white matter yang luas, serta perubahan pada grey matter
subkortikal, termasuk talamus dan ganglia basal (Brass SD.dkk,2003). MRI
otak dapat menunjukkan fitur awal halus demielinisasi CNS yang luas terkait
dengan ADEM. MRI T2WI, dan gambar FLAIR (Fluid Attenuated Inversion
Recovery) menunjukkan kelain an lebih mudah daripada T1WI. Perubahan ini
biasanya dibedakan dari Multiple Sclerosis (MS). Keterlibatan white matter
subkortikal hampir universal, sedangkan lesi pada grey matter terlihat lebih
jarang, dan hanya tambahan untuk lesi pada materi putih lebih karakteristik.

Keterlibatan talamus dan basal ganglia merupakan temuan khas di ADEM, tapi
tidak biasa di MS dan dapat menjadi penanda berguna dalam diagnosis banding
(Stonehouse M.dkk,2003).

Potongan koronal otak MRI T2WI


menunjukkan perpanjangan bidang T2
pada white matter subkortikal dari kedua
hemisfer otak, thalamus, peduncles
cerebellar bilateral, inti dentate, dan
cervical cord bagian atas.

Dari berbagai penelitian yang ada, temuan MRI khusus yang mewakili ADEM
ialah bersifat luas, bilateral, plaka simetris yang homogen atau sedikit
peningkatan intensitas inhomogen pada T2-weighted imaging dalam white
matter, deep gray nuclei, dan medulla spinalis. Didalam white matter, juxta
cortical dan deep white matter lebih sering terlibat disbanding periventricular
white matter, yang merupakan hal yang kontras dibandingkan pada pasien
dengan Multiple Sclerosis (MS). Selain itu, lesi yang melibatkan corpus
calossum yang khas pada MS juga jarang ditemukan pada ADEM. Lesi infra
tentorial juga sering ditemukan termasuk pada batang otak dan white matter
pada serebelum. Gambaran unenhanced T1-weighted memperlihatkan bahwa
lesi biasanya tidak begitu terlihat kecuali lesi besar, dimana hipodensitas ringan
terlihat dalam area yang terkena. Lesi dapat muncul bersamaan dengan
presentasi klinis (Marin SE.dkk,2013).

Lokasi potensial terbentuknya lesi pada ADEM.

MRI yang normal dalam hari pertama setelah onset gejala yang sugestif ADEM
tidak dapat mengeksklusi diagnosis ADEM. Tampilan ADEM dengan bantuan
kontras bervariasi dan telah dilaporkan pada 30-100% pasien ADEM dalam
pola yang non spesifik (nodular, difus, gyral, complete atau incomplete ring)
(Marin SE.dkk,2013).
Callen dkk melakukan penelitian mengenai karakteristik lesi pada 20 anak
dengan ADEM monofasik. Lesi lebih sering ditemukan pada deep white matter
dibandingkan periventricular white matter. Selain itu lesi juga sering
melibatkan deep gray nuclei. Lesi juga sering ditemukan pada daerah
infratentorial (Marin SE.dkk,2013).

Parameter lesi secara kuantitatif pada anak dengan ADEM


Deep white matter
Juxtacortical white matter
Periventricular white
matter
Callosal white matter
Cortical gray matter

Mean
6,8
9,7

Jumlah Lesi
Minimum
0 (4)
0 (2)

Maximum
29
38

1,4

0 (9)

10

1,1
7,5

0 (7)
0 (4)

4
35

Deep gray matter


Brainstem
Cerebellar
Kecil
Sedang
Besar
Total

2,6
1,7
0,8
15,8
5,6
3,5
24,8

0 (6)
0 (6)
0 (11)
2
0 (3)
0 (6)
3

8
6
4
41
18
18
62

3. Kecil : <1 cm axial, < 1,5 cm longitudinal; sedang; 1-2 cm axial, 1,5-2,5
cm longitudinal; besar: >2 cm axial, >2,5 cm longitudinal.
4. Angka dalam kurung menyatakan jumlah anak dengan ADEM (n=20)
yang tidak memiliki lesi pada kategori tersebut.

Keterlibatan yang luas dari kortikal dan gray matter - termasuk thalamus.

FLAIR region infratentorial pada 12 anak penderita ADEM.

Axial FLAIR dan T2W


gambar pasien muda dengan
ADEM

terlihat
keterlibatan yang luas dari
daerah kortikal dan gray
matter , termasuk thalamus.

Terlihat keterlibatan ganglia basal.

2.8

Diagnosis Banding
a. Multiple sclerosis
MRI merupakan pemeriksaan yang penting dalam menentukan ADEM dan
MS. ADEM dan MS memperlihatkan lesi inflamasi diseminata pada saraf pusat
(terutama white matter).
Beberapa penelitian telah melaporkan perbedaan gambaran antara ADEM dan
MS pada anak. Lesi ADEM sering memiliki batas yang tidak jelas, sementara
lesi MS memiliki batas seperti plak (plaque like) yang dapat ditentukan.
Terdapat perbedaan lokasi lesi, periaqueductal, corpus callosum, dan
periventricular white matter adalah karakteristik MS. Sementara pada ADEM
lesi cenderung berada di deeper white matter dengan periventricular sparing.
Lesi ADEM pada medulla spinalis biasanya besar, membengkak, dan berada di
toraks, sementara pada MS lesi lebih kecil, diskret, dan berada di servikal.
Gray matter sering terlibat pada ADEM (kontras dengan MS) (Dale
RC.dkk,2005).
Setelah melalui analisis retrospektif dari gambaran MRI 28 anak dengan
serangan pertama ADEM dan 20 anak dengan MS, didapat kriteria yang dapat
digunakan untuk membedakan pasien dengan MS dan ADEM dengan
sensitivitas 81% dan spesifisitas 95% yaitu: didapat 2 dari 3 tanda dibawah ini,
sebagai berikut: (Mermuys K.dkk,2006)
(1) tidak ada pola lesi bilateral difus,
(2) adanya black holes,
(3) adanya 2 atau lebih lesi periventricular.

A) MRI otak (T2WI) pada MS memperlihatkan lesi berbatas tegas pada white matter di region
periventricular. (B) MRI otak (T2WI) pada ADEM memperlihatkan mass-like lesion pada
white matter. (c) MRI otak pada ADEM memperlihatkan lesi besar multiple dengan batas yang
tidak tegas dan periventricular sparing relatif.

2.9 Tatalaksana

Penatalaksanaan diutamakan pada imunosupresi dan immunomodulation.


Pilihan

termasuk

kortikosteroid,

plasma

exchange

dan

intravenous

immunoglobulin (IVIg).
1. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid secara luas diterima sebagai line pertama terapi untuk
ADEM. Regimen pengobatan yang dianjurkan adalah metilprednisolon
intravena 10 -30 mg / kgBB/hari sampai dosis harian maksimum 1 g atau
deksametason (1 mg / kg) selama 3 sampai 5 hari diikuti steroid oral selama 46 minggu tappering off (Huynh.dkk,2008; Marin SE.dkk,2013).
Kortikosteroid sangat efektif untuk gejala ADEM, dimana memiliki angka
kesembuhan 50- 80% (Marin SE.dkk,2013).
2. Plasma Exchange
Plasma Exchange direkomendasikan

pada pasien yang kurang atau tidak

respon terhadap kortikosteroid intravena. Pertukaran plasma digunakan karena


antibodi serum diarahkan terhadap MBP dan galactocerebroside ditemukan

pada pasien dengan pasca-rabies inokulasi ADEM, serta sintesis intratekal


antibodi ini (Huynh.dkk,2008).
3.

Intravenous immunoglobulin (IVIg)


IVIg digunakan untuk ADEM yang tidak respon dengan kortikosteroid dan
plasma exchange merupakan kontraindikasiatau sulit diakses.IVIg mungkin
lebih diutamakan untuk kasus encephalomyelitis pasca vaksinasi.Penggunaan
IVIG telah terbukti efektif pada pasien dengan keterlibatan baik SSP (Sistem
Saraf Pusat) maupun sistem saraf perifer dan beberapa penulis telah
menganjurkan bahwa pada pasien dengan poliradikulopati, IVIg dianggap
sebagai terapi line pertama (Huynh.dkk,2008). Ada beberapa laporan kasus
keberhasilan penggunaan IVIg, baik sendiri maupun kombinasi dengan
kortikosteroid, setelah gagal steroid intravena atau demielinisasi berulang,
Dosis yang dilaporkan untuk IVIg lebih konsisten dari steroid, dengan dosis
total 1-2 g / kgBB sebagai dosis tunggal atau dalam 3-5 hari. IVIg umumnya
dapat ditoleransi dengan baik (Marin SE.dkk,2013).

4. Lainnya
Dengan adanya kegagalan modalitas terapi diatas, beberapa terapi lain telah
dicoba, termasuk siklofosfamid intravena dan mitoxantrone. Miravalle dan
Roos mendiskusikan pemberian antivaccinia gamma globulin pada saat
vaksinasi cacar untuk mencegahkomplikasi ADEM pasca vaksinasi, tapi tidak
efektif. Selain itu, dianjurkan untuk menghindari imunisasi selama minimal 6
bulan setelah diagnosis ADEM relap ke MDEM terjadi mengikuti vaksinasi
(Huynh.dkk,2008).
2.10

Prognosis

ADEM bersifat monofasik pada 70-90% kasus. Umumnya pasien ADEM


memiliki prognosis yang baik. Pada penelitian diperoleh angka kesembuhan total
pada 70-90% pasien dalam 6 bulan sejak onset penyakit. Komplikasi berat
(termasuk kematian) jarang ditemukan pada populasi anak kecuali pada yang
berkaitan dengan campak (measles). Angka mortalitas pada post measles
encephalomyelitis ialah 10-20%, dan sekuele neurologis terjadi pada 25% pasien
yang hidup. Gejala sisa yang paling sering terjadi adalah defisit motor fokal, dari
kekakuan ringan hingga hemiparesis, gangguan penglihatan mulai dari penurunan
visus ringan hingga kebutaan, dan kejang. Defisit neurokognitif ringan dapat
diidentifikasi dalam atensi, fungsi eksekusi, dan sikap setelah 1 tahun setelah
ADEM pada 50-60% pasien, namun lebih banyak terjadi pada pasien dengan
onset usia muda (kurang 5 tahun) (Dulac O.dkk,2013).

2.11

Komplikasi
Meskipun mayoritas pasien ADEM dapat sepenuhnya pulih, fase akut dapat

berat dan mengancam jiwa, dan defisit residual telah dilaporkan pada 20% sampai
30% dari anak-anak. Dari jumlah tersebut , yang paling sering dilaporkan
mencakup defisit ringan motorik, masalah penglihatan, dan kejang. Rata-rata
waktu untuk pemulihan penuh berkisar antara 1 sampai 6 bulan, meskipun pasien
sering mengalami perbaikan segera gejala setelah mulai pengobatan dengan
kortikosteroid. Angka kematian akut ensefalomielitis sebelumnya telah dilaporkan
setinggi 20%. Namun, di era pengobatan modern untuk angka ini telah
berkurang.25 Defisit kognitif dilaporkan sebagai konsekuensi jangka panjang dari
akut ensefalomielitis. Defisit halus dalam fungsi eksekutif, perhatian, dan perilaku
telah dilaporkan pada anak-anak yang telah dinyatakan benar-benar pulih dari

ADEM. Defisit ini telah tercatat lebih menonjol pada anak yang terdiagnosis
ADEM pada umur di bawah 5 tahun.25

Anda mungkin juga menyukai