Anda di halaman 1dari 24

Bagian Ilmu Penyakit Saraf Referat

Fakultas Kedokteran 20 September 2019


Universitas Pattimura

PSIKOSIS PADA EPILEPSI

Oleh:

Almindo Rafki

2018-84-055

Pembimbing:

dr. Semuel A. Wagiu, Sp.S

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Haulussy

Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura

Ambon

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul

“Psikosis Pada Epilepsi”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD

Dr. M. Haulussy.

Penyusunan referat ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya

bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Semuel A. Wagiu, Sp.S

selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga

untuk membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih belum sempurna.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak

sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan referat ini ke depannya. Semoga

referat ini dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ambon, September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

I.1. Latar Belakang.................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................

II.1. Definisi Epilepsi .......................................................................................... 6

II.2. Epidemiologi Epilepsi ................................................................................... 6

II.3. Klasifikasi Psikosis Epilepsi .......................................................................... 8

II.4. Patofisiologi Psikosis Epilepsi ..................................................................... 9

II.5. Faktor Presdiposisi ……………………………………………………… 10

II.6. Gambaran Klinis psikosis epilepsi ............................................................... 11

II.7. Penatalaksanaan psikosis epilepsi ............................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di


dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang
70 juta dari penduduk dunia. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia
tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi
terutama di negara berkembang yang mencapai 114 per 100.000 penduduk per
tahun. Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan negara yang maju
dimana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per
tahun. 1,2

Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000
penderita epilepsi. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi
diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara0,5-4%. Rata-rata prevalensi
epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup
tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi
pada kelompok usia lanjut.2

Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang sering dijumpai.


Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI 2016 adalah suatu
keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas muatan listrik abnormal
dan berlebihan di neuron-neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh
berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa
epilepsi bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu kumpulan gejala.
Gejala yang paling umum adalah adanya kejang, karena itu epilepsi juga sering
dikenal sebagai penyakit kejang. 2

4
Epilepsi menghimpun sekitar1% dari total beban semua penyakit dari
seluruh dunia. Data penelitian menunjukkan80% beban dari beban ini terdapat pada
negara berkembang salah satunya Indonesia. Di Indonesia angka prevalensi epilepsi
tidak jauh berbeda dari negara-negara asia lainnya, yaitu antara 3,9-5,6/1000 orang.
Prevalensi0,5% dan penduduk 220 juta orang, terdapat lebih 1,1 juta (ODE) orang
dengan epilepsi di Indonesia. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan
merupakan keseluruhan kondisi status kesehatan seorang pasien, termasuk
kesehatan fisik pasien, sosial, psikologis, dan ekonomi pasien. Penilaian kualitas
hidup dipengaruhi oleh keadaan fisik, mental, sosial, dan emosional. Seorang
penderita dengan epilepsi dapat dinilai kualitas hidupnya berdasarkan salah satu
faktor yaitu lama menderita epilepsi (Duration of epilepsy).1,3,4

Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang


ditemukan. Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Psikosis pada
pasien digolongkan berdasarkan hubungan temporal gejala itu dengan kejang.
Beberapa penelitian lain memperlihatkan bahwa gejala psikosis pada pasien
epilepsi umum cenderung singkat dan pasien cenderung bingung. Tidak ada
kesepakatan yang diterima secara internasional dalam hal pengklasifikasian
sindrom psikosis pada epilepsi.5

Penelitian memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem


psikiatrik diantara pasien-pasien epilepsi dibandingkan pasien tanpa epilepsi.
Diperkirakan terdapat20-30% penderita epilepsi mengalami psikopatologi dalam
satu waktu, terutama ansietas dan depresi. Prevalensi psikotik episode psikotik
berkisar4-10 % dan meningkat pada10–20 % pada temporal lobe epilepsy, terutama
pada lokus sisi kiri atau bilateral. 1,5,6

Berdasarkan pembahasan diatas, gangguan psikosis sering terjadi pada


pasien epilepsi, maka dari itu penulis akan membahas referat mengenai psikosis
pada pasien epilepsi.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang ditemukan.


Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Gambaran psikosis yang
sering ditemukan pada pasien epilepsi adalah gambaran paranoid dan
schizophrenia-like. Pada forced normalization yaitu penderita mengalami gejala
psikotik pada saat kejang terkontrol dan justru gejala psikotik menghilang bila
terjadi kejang.6

Psikosis adalah suatu gangguan fungsi kepribadian (mental) dalam menilai


realitas, hubungan, persepsi, tanggapan perseptif dan efektif seseorang sampai taraf
tertentu, sehingga tidak memungkinkannya lagi untuk melakukan tugas-tugas
secara memuaskan. Psikosis fungsional/ psikogenik Adalah psikosis yang
mengandung semua unsur gangguan psikotik namun tidak dapat ditemukan
gangguan atau kerusakan patalogik/ faal jaringan otak. Psikosis fungsional ini
merupakan penyakit mental yang parah dengan ciri khas adanya disorganisasi
proses berfikir, gangguan emosional, disorientasi waktu, ruang pada beberapa
kasus disertai halusinasi dan delusi.4,6

2.2. Epidemiologi

Proporsi seumur hidup terkena berbagai gangguan psikotik pada pasien


epilepsi adalah 7%-12%. Menurut studi di komunitas, klinik-klinik epilepsi, dan
rumah sakit jiwa menunjukkan peningkatan proporsi masalah psikiatri pada orang-
orang dengan epilepsi bila dibandingkan dengan orang yang tidak menderita
epilepsi berkisar pada 4,7% dari seluruh pasien epilepsi di Inggris dan 9,7% dari
seluruh pasien epilepsi di Amerika. 7
Kira-kira 30% pasien epilepsi yang mengunjungi klinik rawat jalan di Amerika
mempunyai riwayat dirawat inap minimal satu kali karena masalah psikiatri. 18%
pasien epilepsi sedang menggunakan paling tidak satu jenis obat psikotropika. Kira-

6
kira 60% pasien kejang parsial mengalami fenomena aura, 15% pasien mengalami
disforia. Rasa takut yang meningkat menjadi panik juga sering terjadi, kira-kira
20% dari pasien epilepsi fokal mengalami gangguan afek iktal berupa rasa takut,
cemas, dan depresi. Gejala psikosis paling sering dihubungkan dengan epilepsi
lobus temporal kanan. 7,8
Pada penelitian temporal lobektomi dimana dilakukan operasi
pengangkatan fokus epileptikum, psikosis terjadi pada 7%-8% pasien bahkan jauh
setelah gejala kejangnya sendiri berhenti. Hal ini mengindikasikan proporsi 2-3 kali
lipat munculnya gangguan psikotik pada pasien epilepsi dibandingkan dengan
populasi umum, khususnya pada pasien epilepsi dengan fokus
temporomediobasal.7,9

Pierre Marie Preux (2000) melaporkan prevalensi epilepsi di negara-negara


Afrika dan menemukan variasi 5,2 / 1.000 hingga 58 / 1.000. Dalam ulasannya satu
makalah dari Tanzania dilaporkan menyajikan prevalensi 10,2 / 1.000. Dua tahun
kemudian Rwiza menerbitkan makalah kedua yang hasilnya ditambahkan ke tabel
Preux yang melaporkan prevalensi 35,8 / 1.000 dari daerah dekat yang dilaporkan
dalam survei pertamanya.9

Diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang menderita


epilepsi (WHO 2012). Populasi epilepsi aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan
memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk. Namun
angka ini jauh lebih tinggi di negara dengan pendapatan perkapita menengah dan
rendah yaitu antara 7-14 per 1000 penduduk. Secara umum diperkirakan terdapat
2,4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi setiap tahunnya.1,7

Prevalensi gangguan psikotik pada epilepsi sebesar 5-10% pada penderita


epilepsi dan 30-50% memiliki komorbid gangguan psikiatri. Lebih sering terjadi
pada wanita dan rerata usia 39,1 tahun. Adanya riwayat keluarga, epilepsi onset dini
dan tipe bangkitan yang dialami adalah prediktor terjadinya gangguan psikotik pada
epilepsi.8,10,11

7
Angka prevalensi dan insiden epilepsi di Indonesia belum diketahui secara
pasti. Hasil penelitian kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf
Indonesia di beberapa RS di 5 pulau besar di Indonesia (2013) didapatkan 2.288
penyandang epilepsi dengan 21,3% merupakan pasien baru. Rerata usia pasien
adalah usia produktif dengan etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala,
infeksi susunan saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor otak. Riwayat kejang demam
didapatkan 29% pasien. Sebagian besar (83,17%) adalah epilepsi parsial dengan
aura yang tersering adalah sensasi epigastrium dan gejala aura autonomi (60,1%).
10

2.3 Klasifikasi

Gangguan perilaku pada pasien epilepsi :6

1. Iktal
a. Iktal dengan gejala psikis
b. Status non konvulsif kehang parsial simpleks (tipe sensorik, psikis,
motorik, dan autonomi). Kejang parsial kompleks, dan serangan
epileptiform lateralisasi periodik.
2. Preiktal (termasuk prodormal pasca iktal dan iktal campuran)
a. Gejala prodormal : iritabilitas, depresi, dan sakit kepala.
b. Delirium pasca ictal
c. Gejala psikosis preictal
Gejala-gejala psikotik preiktal sering kali memburuk dengan peningkatan
aktivitas kejang.
3. Interiktal
a. Psikosis skizofreniform
b. Gangguan kepribadian
c. Sindrom Gestaut - Geschwind
Psikotik interiktal sangat mirip dengan gangguan skizofrenia yang dengan
mudah dapat dikenal yaitu adanya gejala waham dan halusinasi.
a. Hiperreligiosity

8
b. Hiper/hiposeksual
c. Hipergrafia
d. Iritabilitas
e. Viscocity / bradyphrenia

4. Berhubungan dengan iktal bervariasi


a. Gangguan mood (depresi dan mania)
b. Keadaan dissosiatif
c. Agresi
d. Hiposeksualitas
e. Bunuh diri
f. Gejala psikosis
g. Gangguan tingkah laku lainnya

2.4 Patofisiologi

Kejang otonom dan status otonom epileptikus dengan gejala dan urutan
tampaknya spesifik untuk masa kanak-kanak. Sebagai contoh, pada orang dewasa
psikosis iktal jarang terjadi, dan sebagai aturan ketika kesadaran terganggu
mengikuti gejala lobus temporal fokal lainnya, dan dikaitkan dengan keterlibatan

9
lobus temporal mesial non-dominan. Sebaliknya, psikosis iktal pada anak-anak
adalah umum, biasanya terjadi ketika kesadaran utuh tanpa mendahului gejala
kortikal fokal, dan mungkin tidak memiliki nilai lokalisasi atau lateralisasi.6,11,12

Penjelasan yang mungkin terjadi untuk perbedaan ini mungkin


berhubungan dengan fakta bahwa anak-anak secara konstitusional lebih rentan
terhadap gangguan emetik sebagaimana dicontohkan oleh 'sindrom psikosis siklik',
gangguan non-kejang etiologi tidak diketahui secara spesifik untuk masa kanak-
kanak dan terkait dengan disfungsi otonom. Dengan demikian, keterlibatan
preferensi manifestasi emetik dan otonom lainnya dapat dikaitkan dengan
kerentanan terkait pematangan jaringan otonom sentra. Ini diperparah oleh
hipereksitabilitas epileptogenik kortikal multifokal yang juga berhubungan dengan
maturasi dan mungkin mendominasi pada satu area otak, yang sering pada
posterior. Sangat mungkin bahwa jaringan otonom sentral memiliki ambang yang
lebih rendah untuk aktivasi epileptogenik dari pada yang menghasilkan semiologi
kortikal fokal (oksipital, frontal, sentral, parietal dan lebih jarang temporal).
Terlepas dari lokalisasi onsetnya, pelepasan iktal dapat mengaktifkan pusat otonom
sebelum daerah kortikal lainnya dari ambang batas yang relatif lebih tinggi yang
menghasilkan gejala kortikal fokal (sensorik, motorik, visual atau lainnya). 6,12,13,14

Kejang tetap murni otonom jika aktivasi neuron iktal daerah kortikal non-
otonom gagal mencapai ambang batas, gejala otonom dan gejala tanda kortikal
terkait lokalisasi yang mungkin jarang terjadi sejak onset. Hipotesis ini dapat
menjelaskan mengapa manifestasi otonom yang serupa dapat muncul dari otak
depan atau belakang, kanan atau kiri. Karena kejang terutama melibatkan sistem
tertentu (otonom). 6, 12,13,14

2.5 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya psikosis pada pasien epilepsi:6, 12,15

1. Awitan usia muda (pubertas)


2. Kejang berlanjut menahun
3. Perempuan

10
4. Tipe kejang parsial kompleks, automatisme
5. Frekuensi kejang
6. Lokus fokus epilepsi (temporal)
7. Abnormalitas neurologik
8. Gangliogliomas, hamartomas

Beberapa faktor predisposisi lain adalah lingkungan tempat pasien tumbuh


besar mungkin mengjalangi perkembangan sosial dan fungsi intelektualnya.
Penyebab atau elemen dari lingkungan ini dapat berupa proteksi berlebihan dari
orangtua, regimen pengobatan yang ketat sehingga menghalangi pasien untuk
beraktivitas (bergaul dan berolahraga). 15,16
Kejadian kejang berulang yang dapat memunculkan stigma sosial, pembatasan,
dan pandangan bias dapat secara bermakna menekan rasa percaya diri dan
membatasi pasien dalam bidang akademik, pekerjaan, dan kegiatan sosial.
Gangguan emosional seperti keadaan frustasi, tegang, cemas, takut, eksitasi yang
hebat dapat mencetuskan serangan epilepsi dan memperbanyak jumlah serangan
epilepsi. Keadaan ini sering dijumpai pada pasien epilepsi remaja atau dewasa
muda.6,15

2.6 Gambaran klinis

1. Psikosis iktal5,11,15,16
Terjadi selama bangkitan epileptik atau status epileptikus, dan pemeriksaan
EEG merupakan pilihan untuk diagnosis. Gejala yang nampak :
 Iritabilitas
 Keagresifan
 Otomatisme
 Mutisme

Kecuali pada kasus status parsial sederhana, keadaan perasaan umum


menjadi buruk. Kebanyakan dari psikosis iktal mempunyai fokus
epileptiknya pada lobus temporal, hanya 30% focus epileptiknya berada

11
selain di lobus temporal (korteks frontalis). Adakalanya psikosis menetap
meskipun masa iktal telah selesai.5

Khas timbul pada status epileptikus nonkonvulsif, termasuk status parsial


sederhana, status parsial kompleks, dan status absans. Perubahan perilaku
pada psikotik iktal hampir selalu paroksismal dan menjadi gejala puncak
kejang. Psikotik iktal terjadi selama status epileptikus non konvulsif, yaitu
suatu kondisi di mana aktivitas epileptik memanjang, tanpa kejang, dapat
menyebabkan perubahan status mental menjadi tahap psikotik dengan
adanya halusinasi dan delusi, gangguan kognitif (gangguan perhatian,
kesulitan dalam melakukan perintah motorik kompleks, gangguan
berbicara), dan perilaku bizarre. 15,16,17

2. Psikosis inter iktal


Merupakan keadaan psikosis yang persisten, dikarakteristikkan oleh
paranoid, tidak berhubungan dengan kejadian masa iktal dan tidak dengan
penurunan kesadaran. Kejadiannya diperkirakan 9% dari semua populasi
penderita epilepsi dan mulai dari usia 30 tahun. Gejala yang timbul:16,17
 Waham kejar dan keagamaan (onset yang tersembunyi)
 Halusinasi audiotorik
 Gangguan moral dan etika
 Kurang inisiatif
 Pemikiran yang tidak terorganisasi dengan baik
 Perilaku agresif
 Ide bunuh diri

Durasinya selama beberapa minggu dan dapat berakhir setelah lebih dari 3
bulan (kronik psikosis intraiktal). Dibandingkan dengan skizofrenia, pada
psikosis intraiktal menunjukkan : 5

 Perburukan intelektual yang lebih sedikit


 Fungsi premorbid yang lebih baik
 Kemunculan gejala negatif lebih sedikit

12
 Fungsi perawatan diri lebih baik.

Fenomena psikotik interiktal, khususnya halusinasi dan delusi, sering terjadi


pada pasien epilepsi. Tarulli et al (2001) melaporkan beberapa kasus pasien
dengan episode multipel psikotik postiktal sebelum berkembang menjadi
psikotik interiktal. Sehingga perlu penatalaksanaan psikotik postiktal yang
tepat untuk mencegah dan menghambat perkembangannya menjadi psikotik
interiktal. Psikotik pada epilepsi interiktal telah diidentifikasi khas terjadi
pada pasien dengan epilepsi parsial. Telah terjadi perdebatan yang luas
mengenai kemungkinan bahwa psikotik pada epilepsi adalah indikasi TLE
(temporal lobe epilepsy). Sementara penelitian lainnya menunjukkan bahwa
proporsi TLE antara pasien psikotik pada epilepsi tidak lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.11,13,17

3. Psikosis post iktal


Hampir 25% dari kasus psikosis pada penderita epilepsi post-iktal, keadaan
ini muncul setelah terjadinya bangkitan epilepsi. Biasanya terdapat interval
keadaan tenang selama 12-72 jam antara berakhirnya bangkitan dengan
awal dari psikosis (durasi rata-rata adalah 70 jam). Gejala yang nampak :15
 Halusinasi (auditorik, visual, taktil)
 Perubahan perilaku seksual
 Waham (keagamaan, kebesaran, kejar)

Psikosis post iktal berhubungan dengan :5

 Fokus epilepsi pada sistem limbik regio temporal


 IQ verbal yang rendah
 Hilang konvulso febril
 Hilangnya sklerosis mesial-temporal

Fenomena psikotik postiktal dapat berupa gejala terisolasi atau


sebagai sekelompok gejala yang menyerupai gangguan psikotik. Gejala
psikotik yang menonjol bersifat pleomorfik (persecutory, waham

13
kebesaran, referential, somatik, waham keagamaan, katatonik, halusinasi),
dengan gejala afektif (manik atau depresi). Kriteria psikotik postiktal
menurut Stagno (1997), adalah sbb: ✓ Gejala psikotik atau psikiatrik
lainnya terjadi setelah bangkitan, atau yang sering terjadi pada serial kejang,
setelah lucid interval, atau dalam waktu 7 hari setelah kejang. ✓ Adanya
psikotik, depresi atau elasi, atau gejala yang berhubungan dengan anxietas.
✓ Adanya pembatasan waktu, dalam beberapa hari atau minggu, tidak
signifikan jika terdapat kesadaran berkabut (bukan karena toksikasi obat,
status epileptikus parsial kompleks, atau gangguan metabolik).12,14,15,17

Post ictal psychosis (PIP) adalah episode psikosis yang terjadi dalam
satu minggu setelah serangan kejang. Post ictal psychosis merupakan
bagian Psychosis of epilepsy (POE), sekelompok gangguan psikosis yang
berkaitan dengan kejang epilepsi. Esquiro pada tahun 1838 menggambarkan
postictal sebagai kemarahan yang berlangsung beberapa jam atau beberapa
hari. Satu abad kemudian Logdail and Toone memperkenalkan kriteria
diagnosis PIP.14,16,17

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan bangkitan


epilepsi yang terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis dan sosial. Bangkitan epilepsi adalah terjadinya tanda/gejala
yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan
di otak. Psikosis adalah gangguan psikiatri yang ditandai adanya dilusi,
halusinasi, bicara atau berfikir yang tidak tersusun, atau sikap katatonik. PIP
merupakan komplikasi kejang yang ditandai adanya halusinasi visual dan
auditorik, dilusi, paranoia, perubahan afek dan agresi.14,17

PIP terjadi sekitar 25% dari kasus Psychosis of epilepsy (POE).


Prevalensi PIP sulit diukur, tetapi dalam suatu penelitian pada lebih dari 100
pasien rawat jalan dengan partial epilepsi resisten terapi, prevalensi yang
mengalami keluhan PIP sekitar 7%. kejadian pertama rata-rata 15-25 tahun

14
setelah onset epilepsi. PIP yang berulang terjadi 12% sampai 50% pasien
dan biasanya berkembang menjadi interictal psikosis. 14,15

Mekanisme patogenesis terjadinya PIP masih belum dimengerti.


Hal ini dimungkinkan, neuron menjadi lelah (exhausted) setelah serangan
kejang, kemampuan neuron membawa aksi potensial tidak menurun setelah
kejang. PIP berkaitan dengan epileptogenic network bilateral dan pengaruh
genetic yang menyebabkan kejang dan psikosis. Penyebab resiko PIP
termasuk ensefalitis dan trauma kepala yang dapat meyebabkan kondisi
patologi bilateral sehingga menyebabkan penurunan intelegensia, bilateral
interictal epileptiform activity, slowing pada EEG. 14,16,17

Kejang yang menyebabkan cetusan seizure terus menerus kedua


hemisfer beresiko terjadinya PIP. Berdasarkan studi metabolik selama
terjadinya PIP menunjukkan hipermetabolisme pada kedua lobus temporal
dan frontal, lobus frontal dan temporal ipsilateral atau area temporal lateral.
Pada psien epilepsy, withdrawl benzodiazepine dapat menyebabkan
delirium dan psikosis. Hiperaktivitas kortikal menetap pada pasien dengan
disfungsi serebri bilateral dan adanya predisposisi genetic penyakit psikiatri
dapat menimbulkan psikosis.14,15,16,17

Faktor resiko post ictal psychosis (PIP) antara lain adanya


serangkaian kejang (clucter seizure), insomnia dalam 1 minggu terutama
dalam 1-3 hari, epilepsi dengan durasi > 10 tahun, generalized tonic-clonic
seizures atau complex partial secondarily generalized, riwayat PIP
sebelumnya,riwayat rawat inap karena gangguan psikiatri atau riwayat
psikosis, bilateral independent seizure foci (terutama temporal), riwayat
trauma otak atau encephalitis, fungsi intellectual rendah, dan pada pasien
dengan epilepsi kronik dengan faktor resiko diatas. 14,15,16,17

Post ictal psychosis (PIP) biasanya terjadi setelah serangan


serangkaian kejang atau exacerbasi kejang yang berkaitan dengan
withdrawl obat anti epilepsi. Antara kejang terakhir dan terjadinya psikosis

15
ada periode tanpa psikosis (non psycotic periode) dengan rentang waktu
beberapa jam atau beberapa hari. Berdasarkan studi oleh Kanner dkk
periode non psikotik tersebut berlangsung 12-72 jam dan 1 minggu
berdasarkan Logsdail dan Toone. 14,15,16,17

Perbedaan PIP dengan psikosis klasik adalah adanya riwayat kejang


sebelumnya dan ada batasan waktu keluhan yang timbul. Pasien dengan PIP
seringkali didiagnosa sebagai psikosis, maka perlu dibedakan PIP dengan
jenis psikosis lainnya antara lain ictal psychosis dimana gejala psikosis
terjadi saat serangan kejang selama beberapa menit sampai beberapa jam,
alternative psychosis dimana gejala psikosis terjadi saat kejang menurun
yang dapat berlangsung selama beberapa minggu atau bulan, interictal
psychosis dimana psikosis terjadi tidak berhubungan kejang termasuk
psikosis berkaitan antikejang, psikosis setelah pembedahan epilepsi dan
interictal kronis psikosis yang menyerupai skizofrenia, chronic
schizophrenia like psychosis dimana gejala psikosis timbul tanpa adanya
riwayat kejang sebelumnya. 14,15,16,17

PIP dapat sembuh sendiri selama kejang terkontrol, sehingga terapi


suportif penting, tetapi bila psikosis cukup berat maka perlu pemberian
terapi farmakologi, biasanya berespon dengan pemberian benzodiazepine
atau antipsikosis atipikal dosis rendah4. Selama MRS pasien tidak kejang
dengan pemberian obat anti kejang fenitoin dan carbamazepin dan psikosis
membaik dalam 5 hari dengan pemberian obat antipsikotik haloperidol.
Secara teori PIP bisa dicegah selama kejang terkontrol, tetapi bila PIP
berulang dapat berkembang menjadi CIP (Chronic Interictal Psychosis).
CIP menyerupai skizofrenia atau yang juga disebut Schizophrenia like
psychosis of epilepsy (SLPE). 14,15,16,17

16
Klasifikasi psikotik epilepsy
Sumber : Epilepsi Post Trauma Dengan Gejala Psikotik16

2.7 Tatalaksana

a. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom epilepsi)2,14,17,18


1. Fenitoin 4-6 mg/kgBB
2. Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBBbid
3. Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
4. Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid
5. Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
6. Lamotrigin 100-400 mg bid
7. Oxcarbazepin 300-900 mg bid
8. Zonisamid 100-300 mg tid
9. Clonazepam 2-8 mg bid
10. Clobazam 10-30 mg tid
11. Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid

17
12. Gabapentin 300-900mg tid
13. Pregabalin 150-600mg b/tid
b. Terapi Non Farmakologis18
1. Fisioterapi
2. Psikoterapi
3. Behavior Cognitive Therapy
c. Edukasi
1. Edukasi mengenai minum obat secara teratur
2. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus
3. Edukasi kontrol ulang secara teratur
4. Edukasi epilepsi pada kehamilanDalam pengobatan epilepsi dengan
gangguan psikiatri, yang harus diperhatikan adalah

Atasi epilepsinya dengan antikonvulsan (karbamazepin, asam valproat, gabapentin,


dan lamotigine).

d. Berikan obat antipsikosis


Terapi dari psikiatri yaitu risperidon 2 × 1 mg intra oral dan haloperidol 2,5 mg
intra muskular bila pasien gelisah. Terapi saat perawatan dirumah dilanjutkan
dengan risperidon 2 × 1 mg intra oral. Penanganan gangguan psikotik pada
epilepsi yaitu penanganan masalah psikiatri, optimalisasi obat anti epilepsi untuk
mencegah kejang berulang dan memulai terapi farmakologis anti psikotik
berdasarkan beratnya gejala, perilaku dan fungsi sehari-hari. 14,15,18
Kondisi psikotik yang muncul akan lebih baik bila ditangani dengan obat anti
psikotik sedini mungkin tanpa menunggu munculnya gejala yang lebih berat.
Penanganan pada kondisi akut dapat diberikan dopamine-blocker intra muskular
seperti haloperidol dan promethazine. Pada kondisi ini dapat diberikan obat anti
psikotik generasi pertama yaitu phenothiazines, butyrophenones (seperti
haloperidol), benzamides, thipins, dan obat anti psikotik generasi kedua yaitu
serotonin-dopamine antagonis (seperti risperidon), dibenzodiazepines, dan
dopamine system stabilizer. Obat anti psikotik pilihan yang dapat diberikan yaitu
risperidon, olanzapine, dan quetiapine, sedangkan haloperidol dan pimozide

18
adalah jenis anti psikotik tipikal dengan risiko rendah mencetuskan bangkitan
dan tidak ada laporan kasus bangkitan akibat penggunaan jenis obat ini.
Clozapine, loxapine, dan chlorpromazine adalah jenis obat anti psikotik yang
dihindari karena dapat mencetuskan bangkitan. 14,15,18
e. Psikoterapi suportif/ Psikoedukasi keluarga
f. Potensi terjadinya interaksi obat

Terapi Operasi Tidak disarankan, dikarenakan tidak bermanfaat bagi pasien.18

Jenis obat antipsikotik


Sumber: Psychiatric Disorders In Epilepsy19

Ada cukup bukti pada durasi pengobatan dengan obat antipsikotik untuk
episode inter ictal psikotik. Efektivitas penggunaan obat anti psikosis untuk
pemeliharaan dan pencegahan inter ictal psikosis juga sedikit diketahui. Dalam
manajemen farmakologis pada psikosis fungsional, disarankan bahwa pasien tetap
pada dosis optimal dari obat anti psikosis selama minimal 6 bulan setelah mencapai
remisi. Pada pasien yang sudah memiliki beberapa episode disarankan untuk tetap
pada obat jangka panjang. Karena sifat kronis dan tingkat eksaserbasi yang relatif
tinggi.

19
Hal ini sejalan dengan temuan di psikosis episode pertama bahwa pemeliharaan
pengobatan yang lebih efektif untuk mencegah kekambuhan dan kerusakan dari
yang ditargetkan intermiten pengobatan. Penghentian mendadak obat anti psikosis
dapat mengganggu kadar serum obat anti epilepsy, dengan demikian, kontrol
kejang dan efek samping dari obat anti epilepsy harus dipantau. Ada kemungkinan
bahwa episode inter ictal psikosis kambuh setelah penghentian obat anti psikosis.19

20
BAB III

KESIMPULAN

Epilepsi suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara paroksismal,
dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh penyakit otak akut.
Psikosis adalah suatu gangguan fungsi kepribadian (mental) dalam menilai
realitas, hubungan, persepsi, tanggapan perseptif dan efektif seseorang sampai taraf
tertentu, sehingga tidak memungkinkannya lagi untuk melakukan tugas-tugas
secara memuaskan.2
Prevalensi gangguan psikotik pada epilepsi sebesar 5-10% pada penderita
epilepsi dan 30-50% memiliki komorbid gangguan psikiatri. Lebih sering terjadi
pada wanita dan rerata usia 39,1 tahun. Adanya riwayat keluarga, epilepsi onset dini
dan tipe bangkitan yang dialami adalah prediktor terjadinya gangguan psikotik pada
epilepsi.8,10,11

Gangguan perilaku pada pasien epilepsi dengan psikosis bergantung pada


karakteristik dari keadaan ictal, preictal dan postictal. Perubahan perilaku pada
psikotik iktal hampir selalu paroksismal dan menjadi gejala puncak kejang. Psikotik
iktal terjadi selama status epileptikus non konvulsif, yaitu suatu kondisi di mana
aktivitas epileptik memanjang, tanpa kejang, dapat menyebabkan perubahan status
mental menjadi tahap psikotik dengan adanya halusinasi dan delusi, gangguan
kognitif (gangguan perhatian, kesulitan dalam melakukan perintah motorik
kompleks, gangguan berbicara), dan perilaku bizarre.15,16,17

Terapi untuk gangguan psikosis pada pasien epilepsi dilakukan sesuai


indikasi pemberian. Pemberian antikonvulsan dapat dilakukan pada saat kondisi
kejang. Dan pemberian antipsikosis untuk mengatasi gejala psikosis pasien.
Pemberian terapi suportif sangat penting pada pasien epilepsi dengan gangguan
psikosis. 14,17,18

21
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Epilepsy: A manual for medical and clinical officer in Africa. Geneva:
WHO; 2002.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktek klinis
neurologi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016.
3. EdefontiV et al. Health-related quality of life in adults with epilepsy: the effect
of age, age at onset and duration of epilepsy in a multicentre Italian study.
BMC Neurologi. 2011: [ cited September 2019 ], available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3062600/
4. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Cetakan kelima. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 2011.
5. Israr, Yayan Akhyar. Psikosis pada Penderita Epilepsi,. RIAU: FKUNRI;
2009. hal 8-9
6. Kusumawardhani A. Gangguan Mental Organik Lain. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta : FKUI; 2010. hal 106-111
7. Marpaung V. Depresi Pada Penderita Epilepsi Umum Dengan Kejang
Tonik Klonik Dan Epilepsi Parsial Sederhana. Medan : Bagian Psikiatri
Universitas Sumatera Utara ; 2003.
8. Dinas Kesehatan. Protap Pelayanan Pemeriksaan Dan Pengobatan Pasien.
2005.
9. Elst LTV, Beumer D, Lemieux L. Amygdala pathology in psychosis of
epilepsy: A magnetic resonance imaging study in patients with temporal lobe
epilepsy. London : Bran inc.;2002. [cited September 2019] available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11834599
10. Fitrina R. Epilepsi. Bukittinggi : KEMENKES RI, 2018. Available from :
http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html
11. Guernieri R, Hallk JEC, Walz R, at al. Pharmacological treatment of psychosis
in epilepsy. Brazil : Hospital da clinicas CIREP ; 2004. [cited September 2019]
available from : http://www.scielo.br/scielo.php?pid=s1516-
44462004000100014&script=sci_arttext&tlng=en

22
12. Kanemoto K, Tadokoro Y, Oshima T. Psychotic illness in patients with
epilepsy. Therapeutic Advances in Neurological Disorders: Review. DOI:
10.1177/1756285612454180. 2012. [cited September 2019]. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3487530/pdf/10.1177_17562
85612454180.pdf
13. Irwin LG, Fortune DG. Clin PD. Risk Factors for Psychosis Secondary to
Temporal Lobe Epilepsy: A Systematic Review. The Journal of
Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences. USA : American Psychiatric
Association. 2014. [cited September 2019]. Available from :
https://neuro.psychiatryonline.org/doi/pdfplus/10.1176/appi.neuropsych.1212
0403
14. Kusumawati S, Zakiyah R. Post ictal psikosis berulang pada penderita epilepsi.
Journal of Islamic Medicine Research. Malang : Faculty of Medicine,
Universitas Islam Malang. 2017 [cited September 2019]. Available from :
https://www.researchgate.net/publication/332231064_Post_ictal_psikosis_ber
ulang_pada_penderita_epilepsi_Laporan_Kasus
15. Mahadewi P NPA, Marita A, Ariani PNK. Gangguan mental organik pada
epilepsi. Directory of open access journals. Bali : Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar Bali ayu. 2018 [cited September 2019]. Available from :
https://www.medicinaudayana.org/index.php/medicina/article/viewFile/248/1
83
16. Irfana L. Epilepsi Post Trauma Dengan Gejala Psikotik. Medical and Health
Science Journal, Vol. 2, No. 2. Surabaya : Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Surabaya. 2018. [cited September 2019] available from :
https://www.researchgate.net/publication/329243663_EPILEPSI_POST_TR
AUMA_DENGAN_GEJALA_PSIKOTIK
17. Rugg-Gun FJ, Stapley HB. Epilepsy. Crawley: International League Against
Epilepsy; 2017.
18. Patsalos PN, Louis EK. The epilepsy prescriber's guide to antiepileptic guide.
Ed 3. USA: Cambridge University Press; 2018.

23
19. Adachi N et al. Basic treatment principles for psychotic disorders in patients
with epilepsy. International League Against Epilepsy. DOI:
10.1111/epi.12102. 2013. [cited September 2019] available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23458463

24

Anda mungkin juga menyukai