FARMAKOTERAPI EPILEPSI
KELOMPOK 4
S1-VA
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini penulis menjelaskan beberapa hal mengenai farmakoterapi penyakit
epilepsi. Makalah ini dalam rangka untuk melengkapi tugas penulis dan menambah
pengetahuan penulis maupun pembaca mengenai farmakoterapi penyakit epilepsi.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki oleh penulis. Meskipun demikian, penulis berusaha agar makalah ini dapat lebih
layak untuk dibaca.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran, demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini di waktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB V PENUTUP.............................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi epilepsi
2. Untuk mengetahui epidemiologi epilepsi
3. Untuk mengetahui etiologi terjadinya epilepsi
4. Untuk mengetahui patofisiologi epilepsi
5. Untuk mengetahui prognosis epilepsi
6. Untuk mengetahui gejela dan tanda epilepsi
7. Untuk mengetahui tatalaksana terapi epilepsi
8. Untuk mengetahui analisis kasus epilepsi dengan menggunakan metode SOAP
1.3 Manfaat
Diharapkan pada makalah ini dapat memberikan gambaran informasi mengenai
bagaimana cara menangani penderita epilepsi dengan pemberian obat yang rasional.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO tahun 2018, sekitar 50 juta penduduk di dunia mengalami
gangguan epilepsi. WHO juga menyebutkan bahwa dari banyak studi tentang epilepsi,
data menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1.000 penduduk,
sedangkan angka insidens mencapai 50 per 100.000 penduduk.
Setiap tahun, 120 per 100.000 orang di Amerika Serikat datang ke perawatan
medis karena kejang yang baru dikenal. Setidaknya 8% dari populasi umum akan
mengalami setidaknya satu kali kejang seumur hidup. Namun, kejang biasa terjadi
dan tidak menderita epilepsi. Tingkat kekambuhan kejang tidak beralasan pertama
dalam 5 tahun berkisar antara 23% dan 80%. Anak-anak dengan kejang pertama
3
idiophatic dan electrocephalogram normal (EEG) memiliki prognosis yang dapat
dipastikan. Beberapa kejang terjadi sebagai peristiwa tunggal yang dihasilkan dari
penarikan depresan sistem saraf pusat (SSP) (misalnya, alkohol, barbiturat dan obat-
obatan lainnya) atau selama penyakit neurologis akut atau kondisi toksik sistemik
(misalnya, uremia atau eklampsia). Beberapa pasien akan mengalami kejang hanya
terkait dengan demam. Kejang demam ini bukan merupakan epilepsi.
Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,3-1,6 juta penderita epilepsi. Jumlah
ini disebutkan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya karena banyak
keluarga yang tidak mau membawa anaknya yang menderita epilepsi ke puskesmas
atau rumah sakit untuk berobat. Ini terjadi antara lain karena stigma yang salah yang
dilekatkan pada penderita epilepsy. Banyak orang yang salah menganggap bahwa
epilepsi adalah penyakit yang menular. Sebagian lagi mengatakan epilepsi sebagai
penyakit yang terkait dengan kutukan, kemasukan roh jahat, kesurupan, kena guna-
guna, dll.
Hasil penelitian kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia
di beberapa RS di 5 pulau besar di Indonesia (2013) didapatkan 2.288 penyandang
epilepsi dengan 21,3% merupakan pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia
produktif dengan etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi susunan
saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor otak. Riwayat kejang demam didapatkan 29%
pasien. Sebagian besar (83,17%) adalah epilepsi parsial dengan aura yang tersering
adalah sensasi epigastrium dan gejala aura autonomi (60,1%).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2012 menunjukkan kasus cedera
intrakranial pada anak usia 1-14 tahun sebanyak 86 kasus, persalinan macet sebanyak
256 kasus, persalinan dengan penyulit gawat janin 112 kasus, penyulit kehamilan dan
persalinan lainnya 1389 kasus, dan cedera lahir 14 kasus. Kasus-kasus di atas adalah
termasuk faktor predisposisi terjadinya epilepsi pada anak.
Telah dilakukan survei pendahuluan, diperoleh data penderita epilepsi di instalasi
rawat inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama tiga tahun terakhir, yaitu tahun
2010 tercatat 47 orang, tahun 2011 sebanyak 45 orang, tahun 2012 tercatat sebanyak
70 orang dan 43 orang diantaranya adalah anak-anak. Dari data tersebut dapat
diketahui bahwa kejadian epilepsi mengalami fluktuasi (Rekam Medik RSUD Arifin
Achmad, 2013).
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun).
Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi
4
terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak,
dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun
epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun,
50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.
2.3 Etiologi
Kejang terjadi karena sekelompok neuron kortikal melepaskan secara
abnormal dalam sinkron. apa pun yang mengganggu homeostasis normal atau
stabilitas neuron dapat memicu hipereksitabilitas dan kejang. ribuan kondisi medis
dapat menyebabkan epilepsi, dari mutasi genetik hingga cedera otak traumatis.
kecenderungan genetik untuk kejang telah diamati di banyak dari epilepsi umum
primer. pasien dengan retardasi mental, cerebral palsy, cedera kepala, atau stroke
berisiko lebih tinggi untuk kejang dan epilepsi. semakin dalam tingkat
keterbelakangan mental yang diukur dengan intelligence quotient (IQ), semakin besar
kejadian epilepsi. pada orang tua, timbulnya kejang biasanya terkait dengan cedera
neuron fokal yang disebabkan oleh stroke, gangguan neurodegeneratif (misalnya,
penyakit alzheimer), dan kondisi lainnya. dalam beberapa kasus, jika etiologi kejang
dapat diidentifikasi dan diperbaiki, pasien mungkin tidak memerlukan perawatan obat
antiepilepsi kronis (AED). pasien juga dapat datang dengan kejang tidak beralasan
yang tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi, dan dengan demikian
memiliki epilepsi kriptogenik idiopatik. etiologi idiopatik adalah istilah yang
digunakan untuk dugaan penyebab genetik, sedangkan etiologi kriptogenik digunakan
jika tidak ada penyebab yang jelas ditemukan untuk kejang onset fokal.
Banyak faktor telah terbukti memicu kejang pada individu yang rentan.
hiperventilasi dapat memicu kejang absen. tidur berlebihan, kurang tidur, rangsangan
sensorik, stres emosional dan perubahan hormon yang terjadi sekitar waktu
menstruasi, pubertas atau kehamilan telah dikaitkan dengan timbulnya atau
peningkatan frekuensi kejang. riwayat obat yang cermat harus diperoleh dari pasien
yang mengalami kejang karena teofilin, alkohol, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan
(terutama maprotilin atau bupropion) dan penggunaan obat jalanan telah dikaitkan
dengan kejang yang memprovokasi. cedera perinatal dan berat kehamilan kecil saat
lahir juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya kejang onset parsial. imunisasi
belum dikaitkan dengan peningkatan risiko epilepsi.
5
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai
kelainan idiopatik.
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum.
Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang parsial/fokal Kejang umum
Trauma kepala Penyakit metabolik
Stroake Reaksi obat
Infeksi Idiopatik
Malvormasi vaskuler Faktor genetik
Tumor (Neoplasma) Kejang fotosensitif
Displasia
Mesial temporal sclerosis
2.4 Patofisiologi
Kejang terjadi karena eksitasi berlebihan atau dari gangguan neuron yang tidak
teratur. Awalnya, pelepasan neuron terjadi secara tidak normal. Membran konduktasi
dan inhibitor sinap rusak sehingga rangsangan menyebar lokal (kejang fokal) atau
lebih luas (kejang umum)
Mekanisme yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan rangsangan neuron
(1)perubahan saluran ion dalam membran neuron
(2)modifikasi biokimiareseptor
(3)modulasi sistem pesan kedua dan ekspresi gen
(4)perubahan konsentrasi ion ekstraseluler
(5)perubahan neurotransmitterpenyerapan dan metabolisme dalam sel glial
(6)modifikasi dalam rasio dan fungsi sirkuit penghambat, dan
(7)ketidakseimbangan lokal antara neurotransmiter utama (misalnya, glutamat, γ-
aminobutyric acid [GABA]) dan neuromodulator (misalnya,
asetilkolin,norepinefrin, dan serotonin)
Kejang yang berkepanjangan dan paparan glutamat yang berkelanjutan dapat
menyebabkan gangguan neuron, defisit fungsional, dan rewiring sirkuit neuronal.
6
2.5 Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis
penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan
(kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan
selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor
prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja /
dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling
tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh
penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
1. Kejang parsial (fokal) dimulai di satu belahan otak dan, merupakan kejang yang
di generalisasikan secara sekunder menghasilkan kejang asimetris.
Kejang parsial akan mengakibatkan perubahan fungsi motorik, gejala sensorik
atau somatosensorik, atau automatisme.
Pasien mungkin memiliki kehilangan memori atau penyimpangan perilaku.
7
Kejang parsial menimbulkan gangguan kesadaran dan tidak mengingat kejadian
saat mengalami kejang.
2. Kejang tonik-klonik mulai dengan kontraksi otot pendek diikuti oleh periode
kekakuan dan gerakan klonik. Pasien mungkin kehilangan kontrol sfingter,
menggigit lidah, atau menjadi sianotik. Episode ini sering diikuti oleh tidur
nyenyak.
3. Kejang umumnya terjadi pada anak kecil atau remaja dan menunjukkan serangan
mendadak, gangguan aktivitas yang sedang berlangsung, tatapan kosong, dan
mungkin penjelasan singkat rotasi mata ke atas.
4. Kejang GTC adalah episode kejang utama dan selalu dikaitkan dengan
kehilangankesadaran. Kejang GTC dapat didahului oleh gejala firasat (yaitu,
aura). Kejang tonik-klonik yang didahului olehaura kemungkinan merupakan
kejang parsial yang digeneralisasikan secara sekunder.
5. Secara interiktif (antara episode kejang), biasanya tidak ada tanda epilepsi
objektif dan patognomonik.
6. Tersentak mioklonik seperti kontraksi otot seperti wajah.
7. Pada kejang atonik, ada kehilangan tiba-tiba dari kekuatan otot seperti
menjatuhkan anggota badan, atau merosot ke tanah.
8
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi
minum, penahan lidah.
g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan
penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita
beristirahat atau tidur.
Terapi pengobatan epilepsi :
• Non farmakologi
2. Menghindari faktor pemicu (jika ada), misal: stress, OR, konsumsi kopi atau
alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll
• Farmakologi
Keadaan istirahat yaitu keadaan selama Na+ berjalan menuju ke sel melalui
9
channel Na.
Keadaan aktif yaitu keadaan dimana terjadi peningkatan Na+ yang masuk ke
dalam sel.
Keadaan inaktif yaitu keadaan dimana channel tidak memberikan jalan untuk
Na+ masuk ke dalam sel.
Dalam keadaan istirahat, sel-sel neuron mempunyai keseimbangan antara ion
ekstraseluler dan intraseluler, yakni ion Ca, Na, dan Cl lebih cenderung berada di
luar sel sedangkan ion K cenderung berada di dalam sel. Adanya rangsang mekanik,
kimiawi, dan listrik serta rangsangan lain akibat suatu penyakit membuat
permeabilitas membran terhadap ion-ion tersebut meningkat. Ion Na, Ca, dan Cl
masuk ke dalam sel secara berlebihan. Hal ini mencetuskan pelepasan muatan listrik
yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya epilepsi.
Obat-obat anti epilepsi dengan mekanisme ini, bekerja dengan memblokade
channel Na sehingga menutup channel ini dan membuat channel Na dalam keadaan
inaktif. Blokade channel Na pada akson pre-post sinaptik menyebabkan stabilisasi
membran neuronal, menghambat dan mencegah potensial aksi post tetanik,
membatasi perkembangan aktifitas serangan, dan mengurangi penyebaran serangan
(Wibowo dan Gofir, 2006). Adapun OAE dengan mekanisme ini antara lain fenitoin,
karbamazepin, okskarbazepin, valproat, dan lamotigrin.
mekanisme menghambat kanal ion Ca2+ tipe T. Arus Ca2+ kanal tipe T merupakan
arus pacemaker dalam neuron talamus yang bertanggung jawab terjadinya letupan
kortikal ritmik kejang. Obat anti epilepsi yang menurunkan nilai ambang arus ion
10
Mekanisme obat jenis ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme
dengan memblokade aksi glutamat (glutamate blockers) dan mekanisme dengan
mendorong aksi inhibisi GABA (Gamma Amino ButyricAcid) pada membran post-
sinaptik dan neuron
a.) Blokade aksi glutamat (glutamate blockers)
Reseptor glutamat mengikat glutamat, suatu neurotransmitter eksitatorik asam
amino yang penting dalam otak. Reseptor glutamat mempunyai 5 tempat ikatan
yang potensial sehingga menyebabkan respon yang berbeda-beda tergantung tempat
yang distimulasi atau dihambat. Tempat pengikatan tersebut diantaranya kainite site,
Alpha-amino-3-hidroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) site, N-methyl-
D-aspartate (NMDA) site, glisine site, dan metabotropic site yang mempunyai 7
subunit (Glu R 1-7). Adapun obat-obat anti epilepsi yang termasuk dalam mekanisme
ini diantaranya ialah felbamat dan topiramat.
b.) Mendorong aksi inhibisi GABA pada membran post sinaptik dan neuron Reaks
kejang merupakan hasil ketidakseimbangan antara aktivitas eksitasi dan
inhibisi pada otak, dimana aktivitas eksitasinya lebih tinggi daripada inhibisi. Akson
melepaskan neurotransmitter, melalui ruang sinaps yang berhubungan dengan
dendrit-dendrit dan badan sel neuron lain. Neurotransmitter terbagi menjadi dua
bagian yaitu eksitator dan inhibitor. Hasil pengaruh kedua neurotransmitter tersebut
dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Jika yang terjadi lebih kuat eksitasi, maka
neuron akan lebih mudah melepaskan muatan listrik dan meneruskan impuls ke
neuron-neuron lain. Sebaliknya jika inhibisi yang lebih kuat, maka neuron-neuron
akan dihambat untuk tidak meneruskan impuls ke neuron lain. Proses inhibisi ini
akan menghentikan serangan epilepsi (Wibowo dan Gofir, 2006).
Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik,
antara lain:
(1.) agonis reseptor GABA, dengan mekanisme meningkatkan transmisi inhibitori
dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contohnya benzodiazepin dan
barbiturat.
(2.) inhibitor GABA transaminase, dengan mekanisme menghambat GABA
transaminase sehingga konsentrasi GABA meningkat. Contohnya vigabatrin.
(3.) Inhibitor GABA transporter, dengan mekanisme menghambat GABA
transporter sehingga memperlama aksi GABA. Contohnya tiagabin. meningkatkan
konsentrasi GABA, diperkirakan dengan menstimulasi pelepasan GABA dari
11
non-vesicular pool pada cairan serebrospinal pasien. Contohnya gabapentin.
Kejang Kejang Umum (generalized seizures)
parsial
12
ALGORITMA TERAPI
Diagnosis Epilepsi
Mulai dengan satu jenis OAE. Pemilihan berdasarkan jenis seizure/kejang dan efek samping obat
ya tidak
tidak ya tidak ya
QOL optimal? Kurangi dosis OAE, kembali ke box 3 Kurangi dosis OAE, Kurangi dosis OAE
kembali ke box 3 pertama,tambah OAE kedua
ya tidak
Teruskan obat tsb Teliti QOL;rujuk jika perlu;kembali ke box 3 Box 4: tidak seizure
Tidak seizure
ya tidak
13
BAB III
KASUS
14
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan
berkala.Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat
mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat
singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak
lebih dominan dari pada proses inhibisi.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.Pengguna
narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin
mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin
akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik. Umumnya epilepsi
mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam process kelahiran, luka kepala, strok,
tumor otak, alkohol.Kadang epilepsi mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan
penyakit keturunan.Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
4.2 Saran
Setelah memahami makalah ini semoga bermanfaat bagi pembaca. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini oleh karena itu sangat
diharapkan kritik maupun saran dari pembaca, untuk peyempurnaan pada makalah-
makalah berikutnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Nurwinta Catur Wulan Maryanti. 2016. Epilepsi dan Budaya. Buletin Psikologi. Vol.
24. https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi . 14 September 2019
Pharmacoteraphy dipiro ed 9
Pharmacoteraphy dipiro ed 8
16