Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH: FARMAKOTERAPI TERAPAN

EPILEPSI

DISUSUN OLEH :

Kelompok 7 dan 1

Anggota :

1. ABDUL ARIF RACHMAT H O1B1 19 001


2. ADE ISRAWATI O1B1 19 002
3. AMINUNG O1B1 19 003
4. APRILIANI O1B1 19 004
5. MARDILA O1B1 19 023
6. MASNI O1B1 19 024
7. MERLYN H. IBRAHIM O1B1 19 025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................3
1.3 Tujuan ............................................................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN........................................................................................4

2.1 Definisi ...........................................................................................................4


2.2 Epidemiologi ..................................................................................................5
2.3 Etiologi ...........................................................................................................6
2.4 Patofisiologi ...................................................................................................9
2.5 Prognosis ........................................................................................................11
2.6 Gejala dan Tanda ............................................................................................11
2.7 Penatalaksanaan dan Terapi ...........................................................................15

BAB III STUDI KASUS……………………………………………………………16

BAB IV : PENUTUP ................................................................................................33

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................34


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrobil’alamin..
Segala puji serta syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan tema Epilepsi. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Farmakoterapi terapan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini. Kami menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
serta menjadi salah satu amal ibadah bagi kami.

Kendari, September 2019

Kelompok 7 dan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang ditemukan pada

semua umur yang dapat menyebabkan kecacatan serta kematian. Diperkirakan

terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang menderita epilepsi (WHO 2016).

Populasi epilepsi aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan memerlukan pengobatan)

diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk. Namun angka ini jauh lebih tinggi di

negara dengan pendapatan perkapita menengah dan rendah yaitu antara 7-14 per

1000 penduduk. Secara umum diperkirakan terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis

epilepsi setiap tahunnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, Epilepsi merupakan salah satu masalah

kesehatan yang menonjol di masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi

medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya.

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada

semua bangsa, segala usia yaitu 1 - 3% dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari

wanita (Djoenaidi, 2000).

Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur

dan ras. Secara umum jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2% populasi, puncak

insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. Para peneliti umumnya

mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000 per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per
100.000 pada populasi umum. Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4%

di antaranya menderita epilepsi (Baker et al.,1999).

Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejala-

gejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang

disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat

reversibel dengan berbagai etiologi. Menurut International League Against Epilepsi

(ILAE), yang disebut epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe

apapun secara klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsi mempunyai risiko yang

bermakna untuk mengalami kekambuhan kejang. Waktu munculnya kejang terjadi

secara mendadak, tidak disertai demam berulang dan tidak dapat diprediksi. Kejang

yang menahun dan berulang dapat berakibat fatal, oleh karena itu sasaran terapi

utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang.

Terapi utama epilepsi yaitu dengan pemberian obat-obat antiepilepsi (OAE)

untuk mengontrol kejang. Terapi pilihan lainnya termasuk perubahan pola makan,

menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang tidur), stimulasi nervus

vagus dan pembedahan. Terapi dimulai saat pasien mengalami kejang berulang

dengan interval kejang yang tidak menahun.

Sekitar 50% pasien epilepsi dapat mengontrol frekuensi kekambuhan dan

aktivitas kejangnya dengan OAE, namun 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam

mengontrol kejangnya walaupun telah menggunakan obat antiepilepsi. Pengobatan

epilepsi dengan OAE bersifat individual dan khas, berbeda dengan terapi terhadap

penyakit lainnya. Sifat khas ini diwarnai oleh jangka waktu pengobatan yang lama
dan seringkali memerlukan lebih dari satu obat sehingga memungkinkan terjadinya

interaksi dan efek samping obat, toksisitas dan faktor lain yang dapat mempengaruhi

pengobatan.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:

1. Bagaimana pengertian epilepsi?

2. Bagaimana epidemiologi epilepsi?

3. Bagaimana etiologi terjadinya epilepsi?

4. Bagaimana patofiologi epilepsi?

5. Bagaimana prognosis epilepsi?

6. Bagaimana gejala dan tanda epilepsi?

7. Bagaimana tatalaksana terapi epilepsi?

1.3.Tujuan

Adapun tujuan dalam makalah ini yaitu:

1. Mengetahui pengertian epilepsi

2. Mengetahui epidemiologi epilepsi

3. Mengetahui etiologi terjadinya epilepsi

4. Mengetahui patofiologi epilepsi

5. Mengetahui prognosis epilepsi

6. Mengetahui gejala dan tanda epilepsi

7. Mengetahui tatalaksana terapi epilepsi?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Epilepsi adalah kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang

reversibel. Epilepsi dapat berupa kondisi primer atau sekunder. Epilepsi primer

terjadi secara spontan, biasanya pada masa kanak-kanak, dan memiliki predisposisi

genetik. Saat ini sedang dilakukan pemetaan beberapa gen yang berhubungan dengan

epilepsi primer. Epilepsi sekunder terjadi akibat hipoksemia, cedera kepala, infeksi,

stroke, atau tumor sistem saraf pusat. Epilepsi awitan dewasa biasanya disebabkan

oleh salah satu insiden tersebut (Corwin, 2009).

Suatu serangan berulang secara periodik dengan dan tanpa kejang. Serangan

tersebut disebabkan kelebihan neuron kortikal dan ditandai dengan perubahan

aktivitas listrik seperti yang diukur dengan elektro enselofogram (EEG). Kejang

menyatakan keparahan kontraksi otot polos yang tidak terkendali (Sukandar, 2009).

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kondisi neurologis yang ditandai oleh

adanya kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan disebabkan oleh

pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari neuron otak. Serangan

atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah

manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan

oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel syaraf di otak yang spontan dan bukan

disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).


Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi

adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan

tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan

tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi

berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.

Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada,

tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa

menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa

dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan

otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma,

adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau

elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka

dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.

2.2 Epidemiologi

Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di

mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16

tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak

mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang

menjadi penderita epilepsi.

Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam tinggi,

riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar belakang susah
melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran, riwayat

ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi

obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,

mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi

(Kristanto, 2017).

Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi

SSP (sistem saraf pusat), trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit

metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 %

kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis

kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi

daripada anak perempuan.

Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun).

Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi

terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak,

dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun

epilepsi per 100.000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun,

50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.

2.3 Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus

epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut

sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal

dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Tabel 1. Etiologi epilepsi

Kejang fokal Kejang umum

a. Trauma kepala a.Penyakit metabolik

b. Stroke b. Reaksi obat

c. Infeksi c. Idiopatik

d. Malformasi vaskuler d. Faktor genetik

e. Tumor (Neoplasma) e. Kejang fotosensitif

f. Displasia

g. Mesial Temporal Sclerosis

Menurut Shorvon (2001) dan Deliana (2002) penyebab epilepsi dapat dibagi

menjadi 3 golongan, yaitu :

1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui

meliputi ±50% dari penderita epilepsi anak, umumnya mempunyai

predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun.

2. Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat,

misalnya post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan

metabolik, malformasi otak kongenital, gangguan peredaran darah otak, toksik

(alkohol, obat), kelainan neurodegeneratif dan kejang demam.


3. Epilepsi kriptogenik dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan

epilepsi mioklonik.

Beberapa penyebab secara spesifik timbulnya serangan epilepsi yaitu:

1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu

menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami

infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera (trauma) atau mendapat

penyinaran (radiasi).

2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang

mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan (forsep), atau trauma

lain pada otak bayi.

3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-kejang

dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun

kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru

dinyatakan sebagai penyandang epilepsi.

4. Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada

anak-anak.

5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.

6. Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat

menyebabkan epilepsi.

7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang yang berulang.


8. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan ambang

rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan biasanya terjadi pada masa

anak-anak (Harsono, 2005).

Epilepsi dapat kambuh kembali dikarenakan beberapa faktor. Faktor pencetus

timbulnya serangan pada penderita epilepsi, diantaranya yaitu : gangguan emosional,

stress, tidur, haid, cahaya tertentu. Faktor yang lainnya yaitu faktor makan dan

minum, suara tertentu, membaca, drug abuse, lupa atau enggan minum obat, faktor

hiperventilasi dan suhu tubuh penyandangnya (Harsono, 2001).

2.4 Patofisiologi

Dasar serangan epilepsi merupakan gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai

kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial

membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni

membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan

kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi

ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya

terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang

menimbulkan potensial membran.

Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan

badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran

neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi


yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi

yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah

melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut

glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal

ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis

lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya

terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan

istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam

keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron

dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau

mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion

Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan

depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan

terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron

merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah

bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga

inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epilepsi. Selain itu juga

sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron

tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat

menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat

habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak(Anonim, 2007).


2.5 Prognosis

Prognosis anak yang menderita epilepsi tergantung bermacam-macam faktor

medis, sosial, dan psikologis. Secara umum prognosis epilepsi berhubungan dengan

beberapa faktor seperti kekerapan kejang, ada atau tidaknya defisit neurologis atau

mental, jenis dan lamanya kejang (Taslim & Sofyan, 1999). Prognosis epilepsi cukup

baik, pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan minum obat-

obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat

(Harsono, 2005).

Prognosis epilepsi pada anak sangat tergantung pada jenis epilepsi yang

dideritanya. Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis diantaranya tidak

terdapatnya kelainan neurologis dan mental, tidak kambuhnya kejang, terutama jenis

tonik klonik umum, hanya terdapat satu jenis kejang, dan cepatnya kejang

dikendalikan. Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun merupakan

faktor yang menguntungkan. Risiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan

tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Faktor yang berhubungan

dengan prognosis yang buruk diantaranya terdapat penyebab kejang organik,

terdapatnya kelainan neurologis dan atau mental, terdapatnya beberapa jenis kejang

tonik klonik umum yang sering dan atau kejang tonik dan atonik (Taslim & Sofyan,

1999).

2.6 Gejala dan Tanda

Penyebab timbulnya kejang pada penderita antara lain ketidakpatuhan

meminum obat sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter dan dosis yang telah
ditetapkan, meminum minuman keras seperti alkohol, memakai narkoba seperti

kokain atau pil lain seperti ekstasi, kurangnya tidur pada pender-ita, mengkonsumsi

obat lain sehingga mengganggu efek obat epilepsi.

Klasifikasi Serangan epilepsi Menurut ILEA (2014) antara lain:

1. Epilepsi umum

Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal

kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial

simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang

umum tonik-klonik sekunder. Epilepsi Umum diklasifikasikan lagi menjadi :

a. Tonik – klonik (grand mal)

Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran

dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh,

tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas

dangkal dan sewak-tu-waktu terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat

keabuan/ biru. Air liur dapat terakumulasi dalam mulut, terkadang

bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol

kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit atau

kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan

tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.

b. Absens (petit mal)

Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi

pada orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak
perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali

mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon,

menghenti-kan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata

atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti

secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar dan melanjutkan

aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang

yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal. Kejang

pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.

c. Mioklonik

Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens

terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan

menjatuh-kan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak

terganggu, penderita dapat merasa kebingun-gan dan mengantuk jika

beberapa episode terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat memberat

menjadi kejang tonik-klonik.

d. Tonik

Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,

menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.

Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang

tonik dapat terjadi pula saat tertidur


e. Atonik

Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye-babkan penderita

lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan

luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat

pemulihan kecuali terjadi cedera.

2. Epilepsi parsial / Fokal

Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan

kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area

lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering

terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan kejang parsial

dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik. Epilepsi parsial

terbagi menjadi 2 jenis yaitu:

a. Parsial sederhana

Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warn-ing” dan terjadi

sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada

penurunan kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit

b. Parsial kompleks

Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai

dan penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan

tatapan kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan

bingung. Kesadaran terganggu dan orang mungkin tidak merespon.

Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum


termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang

parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,

penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.

2.7 Penatalaksanaan terapi

1. Sasaran terapi

a. Mengontrol supaya tidak terjadi kejang dan meminimalisasi


adverse effect of drug.
b. Sasaran terapi epilepsi adalah keseimbangan neurotransmiter
GABA di otak
2. Tujuan terapi

Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau

mengurangi frekuensi kejang dan memastikan kepatuhan pasien

terhadap pengobatan, dan memungkinkan pasien dapat hidup dengan

normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi sangat penting untuk

menghindarkan pasien dari kegawatan akibat serangan kejang yang

berlangsung lama.

3. Prinsip terapi

Langkah selanjutnya yang diambil setelah diagnosa epilepsi

ditegakkan adalah membuat rancangan tatalaksana farmakoterapeutik

dengan mempertimbangkan setiap konsekuensi dari masing-masing

pilihan terapi (Harsono, 2007).

Prinsip pengobatan epilepsi adalah :


a. Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan

dalam setahun

b. Pengobatan dimulai diberikan bila diagnosa telah ditegakkan dan

setelah penyandang dan atau keluarganya menerima penjelasan

tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping

c. Pemilihan jenis obat yang sesuai dengan jenis bangkitan

d. Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi

e. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap

sampai dosis efektif tercapai

f. Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini

pertama. Bila diperlukan penggantian obat, obat pertama

diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan secara bertahap

g. Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dipertimbangkan

kombinasi OAE

h. Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai

indikasi.

4. Terapi non farmakologi

Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan

terapi non-farmakologi. Terapi non-farmakologi untuk epilepsi

meliputi:
a. Menghindari faktor pemicu (jika ada) misalnya : stress, Olah

Raga. Konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur,

terlambat makan, dan lain – lain.

b. Pembedahan

Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang

meskipun sudah mendapat lebih dari 3 agen antikonvulsan, adanya

abnormalitas fokal, lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas

epilepsi

c. Diet Ketogenik

Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan

rendah karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk

pertumbuhan, terapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan

metabolisme tubuh. Dengan demikian tubuh akan menggunakan

lemak sebagai sumber energi, yang pada gilirannya akan

menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet ketogenik sebagai

antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa

keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan

kejang.

Adanya senyawa keton secara kronis akan memodifikasi siklus

asam trikarbosilat untuk meningkatkan sintesis GABA di otak,

mengurangi pembentukan reactive oxigene species (ROS), dan

meningkatkan produksi energi dalam jaringan otak. Selain itu,


beberapa aksi penghambatan syaraf lainnya adalah peningkatan

asam lemak tak jenuh ganda yang selanjutnya akan menginduksi

ekspresi neural protein uncoupling (UCPs), meng-upregulasi

banyak gen yang terlibat dalam metabolisme energi dan

biogenesis mitokondria. Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi

pembentukan ROS dan meningkatkan produksi energi dan

hiperpolarisasi syaraf. Berbagai efek ini secara bersama-sama

diduga berkontribusi terhadap peningkatan ketahanan syaraf

terhadap picuan kejang.

5. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi pada epilepsi merupakan terapi

menggunakan OAE (Obat Anti Epilepsi). Obat-obat anti epilepsi dapat

dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan efeknya yaitu efek langsung

pada membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan

neurotransmitter :

a. Efek langsung pada membran yang eksitabel.

Obat-obat anti epilepsi dengan mekanisme ini, bekerja dengan

memblokade channel Na sehingga menutup channel ini dan

membuat channel Na dalam keadaan inaktif. Blokade channel Na

pada akson pre-post sinaptik menyebabkan stabilisasi membran

neuronal, menghambat dan mencegah potensial aksi post tetanik,

membatasi perkembangan aktifitas serangan, dan mengurangi


penyebaran serangan. Adapun OAE dengan mekanisme ini antara

lain fenitoin, karbamazepin, okskarbazepin, valproat, dan

lamotigrin.

Efek perubahan mekanisme pengaturan aliran ion Ca2+ melalui

mekanisme menghambat kanal ion Ca2+ tipe T. Arus Ca2+ kanal

tipe T merupakan arus pacemaker dalam neuron talamus yang

bertanggung jawab terjadinya letupan kortikal ritmik kejang. Obat

anti epilepsi yang menurunkan nilai ambang arus ion Ca2+,

contohnya yaitu etoksuksimid.

b. Efek melalui perubahan neurotransmitter

Mekanisme obat jenis ini dapat dibagi menjadi dua bagian

yaitu mekanisme dengan memblokade aksi glutamat (glutamate

blockers) dan mekanisme dengan mendorong aksi inhibisi GABA

(Gamma Amino ButyricAcid) pada membran postsinaptik dan

neuron.

Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan transmisi

inhibitori GABAergik, antara lain:

- agonis reseptor GABA, dengan mekanisme meningkatkan

transmisi inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA.

Contohnya benzodiazepin dan barbiturat.


- inhibitor GABA transaminase, dengan mekanisme

menghambat GABA transaminase sehingga konsentrasi GABA

meningkat. Contohnya vigabatrin.

- Inhibitor GABA transporter, dengan mekanisme menghambat

GABA transporter sehingga memperlama aksi GABA.

Contohnya tiagabin.

- Meningkatkan konsentrasi GABA, diperkirakan dengan

menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesicular pool pada

cairan serebrospinal pasien. Contohnya gabapentin.


BAB III
STUDI KASUS
A. Kasus Epilepsi
Seorang perempuan umur 21 tahun ke klinik untuk diskusi tentang cara mengontrol
kelahiran. Saat ini sedang mengkonsumsi oxcabarzepin 1200 mg/hari untuk kejang
kompleks-parsial. Kejangnya terkontrol kecuali dua kali tahun lalu ketika lupa minum
obat sesuai jadwal. Selain itu secara keseluruhan dia kondisi sehat.
1. Apa saran untuk kontrol kehamilan?
2. Adakah pengaruh oxcabarzepin dengan kontrasepsi hormonal?
3. Apakah obat anti epilepsi yang direkomendasikan dan dihindari?
4. Apa tambahan terapi lain atau suplemen?
Jawaban :
1. Saran Untuk Kontrol Kehamilan
Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko hamil yang
berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa
serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun
demikian mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil dengan tindakan
pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan advis yang tepat
dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harus
menggunakan obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik pada
ibu yang hamil dan sekaligus iaharus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat anti
epilepsi digunakan oleh ibu yang hamil. Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan
monoterapi dengan dosis serendah mungkin pada tahap pertama kehamilan. Dosis
dapat dinaikkan pada trisemester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut dapat diberikan
juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal (Laidlaw, 1988;
Warta Epilepsi,1992)
Apabila monoterapi dapat mengendalikan serangan epilepsi dengan baik maka
pemberian OAE harus diteruskan. Perubahan jenis OAE selama kehamilan untuk
tujuan mengurangi risiko teratogenik merupakan kontra indikasi dengan berbagai
alasan. Perubahan jenis obat justru dapat mengundang serangan17. Secara umum,
risiko dapat diminimalisir dengan penggunaan multivitamin prakonsepsi dengan
folat, menggunakan OAE dalam monoterapi pada dosis efektif yang paling rendah,
dan dengan mencegah terjadinya bangkitan pada ibu
2. Pengaruh Oxcabarzepin Dengan Kontrasepsi Hormonal
Oxcarbazepine akan menurunkan kadar atau efek etinilestradiol dengan
memengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hepatik / usus. Hindari atau Gunakan
Obat Alternatif. Kemanjuran kontrasepsi hormonal dapat dikurangi. Dianjurkan untuk
menggunakan kontrasepsi non-hormonal.
Penggunaan obat Oxcarbazepinedengan kontrasepsi hormonal yang
mengandung etinilestradiol atau levonorgestrel yang terkait dengan penurunan
konsentrasi plasma hormon-hormon ini dan dapat mengakibatkan kegagalan efek
terapi obat kontrasepsi oral; menyarankan wanita untuk mengonsumsi obat yang
berpotensi menggunakan alat kontrasepsi yang mengandung etinylestradiol atau
levonorgestrel untuk menggunakan kontrasepsi non-hormonal tambahan atau
alternative.
3. Obat Anti Epilepsi Yang Direkomendasikan Dan Dihindari
a. Obat yang direkomendasikan:
1) Lamotrigin
Jumlah laporan kehamilan yang terpapar obat ini sangat rendah, dan tidak
cukup besar untuk dapat menentukan apakah ada peningkatan risiko
outcome yang merugikan dengan paparan janin. Diketahui bahwa
konsentrasi lamotrigin dan levetiracetam mengalami penurunan selama
kehamilan dan telah menduga bahwa hal ini juga benar untuk OAE yang
baru lainnya.
Dosis : dosis awal: 50-100 mg
Etinilestradiol menurunkan kadar lamotrigin dengan meningkatkan
pembersihan hati. Gunakan hati-hati / monitor. Kontrasepsi oral
kombinasi telah terbukti secara signifikan menurunkan konsentrasi
lamotrigin dalam plasma, kemungkinan untuk menginduksi glukuronidasi
lamotrigin.
b. Obat yang dihindari
1) Trimetadion
Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom
trimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan bahwa
dalam satu keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi
dilahirkan dari ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini;
studi lanjutan mengkonfirmasi terhadap resiko tinggi pada sindrom
ini,yang mana dapat menyebabkan perkembangan yang lambat, anomali
kraniofasial dan kelainan jantung bawaan. Golongan obat ini tidak
digunakan pada kehamilan (Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992; Johnston, 1992)
2) Fenitoin
Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan
dan mempunyai efek teratogenik. Terdapat kejadian sedikit yang
menyebabkan malformasi mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagian
besar pasien-pasien diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,sehingga
sulit untuk mengevaluasi efek obat secara individual. Angka malformasi
total pada 305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 %
(laidlaw, 1988; Yerby,1991; Johnston, 1992)
3) Sodium Valproat
Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus.
Penggunaan obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa
sindrom valproat fetus. Pernah dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan
dari ibu epilepsi yang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah
dengan ciri-ciri: lipatan epikantus inferior, jembatan hidung yang datar,
filtrum yang dangkal (Yerby, 1991). Obat ini pada manusia dapat
menembus plasenta secara bebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi
pada neonatus dari ibu. (Laidlaw, 1988).
4) Karbamazepin
Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan kepala janin. Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981)
didalam penelitiannya terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa
penggunaan obat ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat
menyebabkan retardasi (Laidlaw, 1988). Juga pernah dilaporkan dari 25
anak dari ibu yang menggunakan obat karbamazepin tunggal ditemukan
20% dengan gangguan perkembangan (Yerby, 1991).
5) Fenobarbital
Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi
awalmengatakan bahwa sebagian besar wanita epilepsi mendapat
kombinasi antara fenitoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini
kurang bila dibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada manusia,
Shapiro dan kawan-kawan (1976) menemukan fenobarnbital tidak
menyebabkan meningkatnya angka malformasi (Laidlaw, 1988;
Yerby,1991).
4. Tambahan Terapi Lain Atau Suplemen
a. Asam Folat
Folat merupakan vitamin esensial yang diperlukan pada sintesa
nukleotid dan metilasi DNA. Pada trimester pertama kehamilan, folat sangat
penting dalam mencegah cacat bawaan, khususnya NTD. Metilasi DNA
penting juga untuk mencegah kanker. Pertumbuhan yang cepat selama embrio
membutuhkan sintesis DNA meningkatkan kebutuhan folat. Metabolisme
abnormal folat akan mengakibatkan penurunan sintesis DNA dan metilasi
gen, dengan dampak pada kerusakan embrio yang sedang tumbuh.
Neural tube defect adalah salah satu dari malformasi yang terjadi lebih
sering pada wanita dengan pengobatan antiepileptik, khususnya dengan
sodium valproat. Telah diketahui dengan jelas bahwa asam folat prakonsepsi
(dengan dosis 4-5 mg/hari) efektif dalam mengurangi risiko neural tube defect
diantara ibu dengan risiko tinggi karena memiliki anak yang dengan kondisi
tersebut sebelumnya. Terlebih lagi, penelitian pada binatang (tikus)
menunjukkan bahwa dosis tinggi valproat berhubungan dengan perubahan
konsentrasi bentuk folat spesifik di dalam jaringan embrionik dan peningkatan
insidensi anomali neural tube. Tetapi penelitian pada manusia yang
menunjukkan sebuah efek protektif dari suplemen folat pada wanita dengan
epilepsi masih kuran
b. Vitamin K
Bayi dari ibu yang mendapatkan pengobatan dengan OAE tertentu
(karbamazepin, fenitoin, primidon, fenobarbiton) memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami perdarahan pada neonatus yang disebabkan defisiensi
faktor penjendalan yang tergantung pada vitamin K. Ibu dengan obat ini harus
mendapatkan penanganan profilaksis dengan vitamin K (Konakion) 20 mg
oral per hari dari usia kehamilan 36 minggu hingga persalinan dan bayi
mereka harus mendapatkan vitamin K 1 mg intramuskuler pada saat kelahiran.
5. Terapi Non Farmakologi
a. Menghindari factor pemicu misalnya stress, perubahan jadwal tidur dan
terlambat makan
b. Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan, terapi
kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan demikian
tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang pada gilirannya
akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet ketogenik sebagai
antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini
diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang.
6. KIE
a. Memberikan informasi kepada pasien tentang kepatuhan tepat waktu dalam
meminum obat
b. Selama pengobatan, pasien diharuskan untuk mengonsumsi obat antiepilepsi
sesuai aturan yang ditetapkan dokter, dan tidak berhenti mengonsumsi obat
tanpa sepengetahuan dokter
c. Wanita hamil maupun perempuan dengan epilepsi harus diedukasi mengenai
kemungkinan gangguan perkembangan saraf janin akibat obat antiepilepsi,
terutama pada dosis tinggi asam valproat.
d. Pasien perempuan yang menggunakan kontrasepsi berbasis estrogen harus
berhati-hati karena dapat menurunkan kadar lamotigrin yang dapat berakibat
kontrol serangan epileptik yang tidak efektif.
e. Kantuk adalah efek samping yang paling umum, sehingga perlu
dikonselingkan kepada pasien dengan memberitahukan bahwa apabila
menggunakan obat ini sebaiknya 30- 60 menit sebelum waktu tidurdan
beritahukan juga jangan mengemudi, menggunakan mesin atau melakukan
aktivitas yang memerlukan kewaspadaan tinggi.
f. Simpan obat ini di kemasan aslinya, tutup dengan rapat dan diluar jangkauan
anak-anak. Simpan di suhu ruangan, jauhkan dari suhu tinggi dan tempat
lembab.
7. Monitoring
Mengingat banyaknya efek samping yang dapat muncul pada terapi OAE, maka
monitoring sangat diperlukan terutama pada terapi jangka lama. Dalam monitoring,
respon klinis lebih penting daripada konsentrasi obat serum. Pasien harus dipantau
secara berkala respon klinis untuk kontrol kejang, kondisi komorbiditas, penyesuaian
sosial (termasuk penilaian kualitas-hidup), interaksi obat, kepatuhan, efek samping
dan toksisitas obat (Wells, 2005).

B. Kasus 2 Epilepsi Kejang Umum Tonik Klonik

Seorang laki-laki 22 tahun menemui dokter 4 hari setelah mengalami kejang umum
tonik klonik di kostannya. Kejang terjadi 5 menit menurut teman kostnya. Dia terlihat
bingung dan tidur setelah kejang. Pemeriksaan fisik normal. Hasil MRI ada sclerosis
di lobus temporal kanan. EEG menunjukan gelombang pada tinggi pada fronto-
temporal.
Selama di klinik, dia mengatakan kehilangan kesadaran singkat dalam beberapa
periode sebelumnya dan terjadi pertengahan tahun lalu dan sekarang terjadi 2 – 3 hari
setiap minggu.
1. Apa informasi untuk menentukan terapi farmakologi.
2. Apa terapi farmakologi pasien, apa efek samping yang harus di amati?
3. Tiga bulan kemudian kejangnya berhenti dan tidak meracau lagi.
4. Apakah terapi di adjustment danatau di hentikan?
Jawaban :
1. Hasil MRI yang menunjukan adanya sclerosis di lobus temporal kanan dan EEG
menunjukan gelombang tinggi pada fronto-temporal. Pasien mengalami kejang
kurang lebih 5 menit kemudian tidur.
Pada pasien epilepsi dengan kejang umum tonik dimulai dengan kontraksi otot
tonik singkat diikuti oleh periode kekakuan dan gerakan klonik. Pasien mungkin
akan kehilangan kendali, menggigit lidah, atau menjadi sianotik. Episode ini
sering diikuti oleh tidur nyenyak. Kadar prolaktin serum yang diperoleh dalam
waktu 10 hingga 20 menit kejang tonik-klonik dapat membantu membedakan
aktivitas kejang yang terjadi (Depiro, 2011).
2. Terapi farmakologi pasien
a. Asam valproat
Pasien dengan kejang umum tonik-klonik diberikan terapi asam valproat atau
lamotrigine sebagai terapi lini pertama. Asam valproat, efektif untuk kejang
fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2
dosis per hari. Pasien dengan kejang umum tonik-klonik diberikan terapi asam
valproat atau lamotrigine sebagai terapi lini pertama.
Menurut UK guidelines dan US expert panel 2005, First line drugs untuk
epilepsi adalah Asam Valproat.
b. Lamotrigin
Lamotrigin ini mungkin menjelaskan efikasi lamotigrin dalam epilepsi fokal.
Lomotrigin dosis awal 25mg/perhari. Dosis yang biasa digunakan 50-400
mg/hari dalam dosis terbagi. Dosis harus ditingkatkan perlahan (contoh: 25
mg/hari selama 2 minggu, kemudian ditingkatkan 50 mg/hari dalam interval
mingguan hingga 200 mg/hari). Jumlah dosis per hari 1-2x. Lamotrigin efektif
sebagai monoterapi pada kejang fokal.
c. Efek Samping yang harus diamati
Efek samping bergantung dosing dari valproat yang paling umum adalah
mual, muntah dan keluahan pencernaan lain, sperti nyeri perut dan rasa
terbakar di ulu hati. Obat sebaiknya di mulai secara bertahap untuk
menghindarkan gejala-gejala tersebut. Sedasi jarang dijumpai pada
penggunaan valproat saja tetapi sering dijumpai jika valproat ditambahkan
pada fenobarbital. Tremor harus sering dijumpai pada kadar valproat yang
lebih tinggi. Efek samping lain yang reversible, yang terlihat pada sedikit
pasien, meliputi peningkatan berat badan, peningkatan nafsu makan, dan
kerontokan rambut.
Rash/ruam adalah efek samping yang sering terjadi pada anak dan berkaitan
dengan lamotrigin. Risiko kelainan kongenital mayor akibat valproat lebih
tinggi dibandingkan lamotrigin.
Terapi non farmakologi :
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan, terapi
kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan demikian
tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang pada gilirannya
akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet ketogenik sebagai
antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini
diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang.
3. Tiga bulan kemudian kejangnya berhenti dan tidak meracau lagi
Penghentian OAE pada penderita epilepsi dilakukan jika penderita telah bebas
kejang selama minimal dua tahun dan gambaran EEG tidak didapatkan kelainan.
Penghentian OAE dimulai dari satu OAE yang bukan OAE utama, dengan
penurunandosis yang dilakukan secara bertahap, yaitu dosis diturunkan 25 % dari
dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 6 bulan.
4. Terapi di adjustment dan atau di hentikan?
Kriteria penghentian dari pemakaian obat anti Epilepsi:
a. Bebas dari Kejang/bangkitan selama minimal 2 tahun
b. EEG/rekaman gelombang otak
c. Penghentian dari obat anti epilepsi harus selalu melalui pengawasan dan
sesuai dengan anjuran Dokter Spesialis
Dokter akan mempertimbangkan keputusan penghentian pengobatan dan
menyetujui penghentian pengobatan. Namun, epilepsi bukanlah penyakit yang
bisa disembuhkan; kecenderungan untuk kejang akan tetap ada. Sebanyak 75 dari
100 penderita epilepsi yang telah menghentikan obat, akan terus bertahan tanpa
obat sampai lebih dari 5 tahun. Pada dasarnya, semakin lama penderita tersebut
bertahan tidak kejang dengan obat, semakin tinggi pula kemungkinannya ia akan
bertahan tanpa obat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang

dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat

spontan (unprovoked) dan berkala. Epilepsi dapat diartikan sebagai modifikasi

fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari

sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya

epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari padaa

proses inhibisi.

Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.

Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna

narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik,

tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas

dari narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak

dalam process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang

epilepsi mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan.

Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Seizure Smart-Seizure Classification. Diunduh dari:


https://www.epilepsy.org.au/sites/default/files/Seizure%20Smart%20-
%20Classification%20of%20Seizures.pdf diakses pada 4 Agustus 2016.

Baker G.A, Brooks J, Buck D, Jacoby A. The Stigma of Epilepsy a European


Perspective. Epilepsia 1999; 41(1): 98-104.

Corwin, Elizabeth J, 2009, Buku Saku Patofisiologi Edisi 3, EGC, Jakarta.

Deliana, M., 2002, Tatalaksana Kejang Demam pada Anak, Sari Pediatri, 4(2), 59-
62.

Djoenadi, Benyamin. Diagnosis of Seizure and Epilepsy Syndromes. Epilepsia. 2000,


5 (1): 1 - 17

Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, et al. ILAE Official
Report: A Practical Clinical Definition of Epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):
475-82.

Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy: Definitions
Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.

Harsono, 2001, Epilepsi, Edisi 1, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Harsono, 2005, Buku Ajar Neurologis Klinis, 119-155, Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia Bekerjasama dengan Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Harsono, 2007, Epilepsi Edisi ke dua, 4-25, UGM Press Yogyakarta.

Kristanto, Andre, 2007, Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP


Sanglah Denpasar-Bali, Original article Intisari sains Medis, Volume 8,
Number 1: 69-73P-ISSN: 2503-3638, E-ISSN: 2089-9084
Sukandar, Elin Y, Retnosari, Kusnandar, ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan,
Jakarta.

Shorvon, S.D., 2001, Handbook of Epilepsy Treatment, Meiden, Blackwell Science


Ltd., London.

Wihartono W, Gofir A, Wibowo S., 2006. Gambaran Klinis dan CT Scan


perdarahan intraserebral pada penderita hipertensi dan non hipertensi.
Yogyakarta.

Soetomenggolo, T.S., lsmael, S., 1999. Buku Ajar Neurologi Anak , Jakarta, BP
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

WHO. Epilepsy: epidemiology, etiology, and prognosis. WHO Fact Sheet No. 165,
2001.

World Health Organization. Epilepsy: fact sheet. WHO (serial online) 2016. (diunduh
12 September 2018) Tersedia dari: WHO media Centre.

Anda mungkin juga menyukai