EPILEPSI
DISUSUN OLEH :
Kelompok 7 dan 1
Anggota :
FAKULTAS FARMASI
KENDARI
2019
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN........................................................................................4
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................33
Alhamdulillahirrobil’alamin..
Segala puji serta syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan tema Epilepsi. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Farmakoterapi terapan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini. Kami menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
serta menjadi salah satu amal ibadah bagi kami.
Kelompok 7 dan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang ditemukan pada
terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang menderita epilepsi (WHO 2016).
Populasi epilepsi aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan memerlukan pengobatan)
diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk. Namun angka ini jauh lebih tinggi di
negara dengan pendapatan perkapita menengah dan rendah yaitu antara 7-14 per
1000 penduduk. Secara umum diperkirakan terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis
kesehatan yang menonjol di masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi
medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia yaitu 1 - 3% dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur
dan ras. Secara umum jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2% populasi, puncak
insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. Para peneliti umumnya
mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000 per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per
100.000 pada populasi umum. Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4%
disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat
(ILAE), yang disebut epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya kejang tipe
apapun secara klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsi mempunyai risiko yang
secara mendadak, tidak disertai demam berulang dan tidak dapat diprediksi. Kejang
yang menahun dan berulang dapat berakibat fatal, oleh karena itu sasaran terapi
untuk mengontrol kejang. Terapi pilihan lainnya termasuk perubahan pola makan,
menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang tidur), stimulasi nervus
vagus dan pembedahan. Terapi dimulai saat pasien mengalami kejang berulang
aktivitas kejangnya dengan OAE, namun 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam
epilepsi dengan OAE bersifat individual dan khas, berbeda dengan terapi terhadap
penyakit lainnya. Sifat khas ini diwarnai oleh jangka waktu pengobatan yang lama
dan seringkali memerlukan lebih dari satu obat sehingga memungkinkan terjadinya
interaksi dan efek samping obat, toksisitas dan faktor lain yang dapat mempengaruhi
pengobatan.
1.3.Tujuan
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
reversibel. Epilepsi dapat berupa kondisi primer atau sekunder. Epilepsi primer
terjadi secara spontan, biasanya pada masa kanak-kanak, dan memiliki predisposisi
genetik. Saat ini sedang dilakukan pemetaan beberapa gen yang berhubungan dengan
epilepsi primer. Epilepsi sekunder terjadi akibat hipoksemia, cedera kepala, infeksi,
stroke, atau tumor sistem saraf pusat. Epilepsi awitan dewasa biasanya disebabkan
Suatu serangan berulang secara periodik dengan dan tanpa kejang. Serangan
aktivitas listrik seperti yang diukur dengan elektro enselofogram (EEG). Kejang
menyatakan keparahan kontraksi otot polos yang tidak terkendali (Sukandar, 2009).
adanya kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan disebabkan oleh
pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari neuron otak. Serangan
atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan
oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel syaraf di otak yang spontan dan bukan
adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan
tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan
tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada,
tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa
menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa
otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma,
adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau
elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka
2.2 Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di
tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak
mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang
Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam tinggi,
riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar belakang susah
melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran, riwayat
ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi
obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,
mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi
(Kristanto, 2017).
SSP (sistem saraf pusat), trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit
kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis
kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun).
Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi
terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak,
dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun
epilepsi per 100.000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun,
2.3 Etiologi
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal
dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Tabel 1. Etiologi epilepsi
c. Infeksi c. Idiopatik
f. Displasia
Menurut Shorvon (2001) dan Deliana (2002) penyebab epilepsi dapat dibagi
misalnya post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
epilepsi mioklonik.
penyinaran (radiasi).
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun
kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru
4. Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada
anak-anak.
6. Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat
menyebabkan epilepsi.
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
stress, tidur, haid, cahaya tertentu. Faktor yang lainnya yaitu faktor makan dan
minum, suara tertentu, membaca, drug abuse, lupa atau enggan minum obat, faktor
2.4 Patofisiologi
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial
membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan
kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi
ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran
yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan
istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epilepsi. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
medis, sosial, dan psikologis. Secara umum prognosis epilepsi berhubungan dengan
beberapa faktor seperti kekerapan kejang, ada atau tidaknya defisit neurologis atau
mental, jenis dan lamanya kejang (Taslim & Sofyan, 1999). Prognosis epilepsi cukup
baik, pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan minum obat-
obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat
(Harsono, 2005).
Prognosis epilepsi pada anak sangat tergantung pada jenis epilepsi yang
terdapatnya kelainan neurologis dan mental, tidak kambuhnya kejang, terutama jenis
tonik klonik umum, hanya terdapat satu jenis kejang, dan cepatnya kejang
dikendalikan. Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun merupakan
tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Faktor yang berhubungan
terdapatnya kelainan neurologis dan atau mental, terdapatnya beberapa jenis kejang
tonik klonik umum yang sering dan atau kejang tonik dan atonik (Taslim & Sofyan,
1999).
meminum obat sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter dan dosis yang telah
ditetapkan, meminum minuman keras seperti alkohol, memakai narkoba seperti
kokain atau pil lain seperti ekstasi, kurangnya tidur pada pender-ita, mengkonsumsi
1. Epilepsi umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal
kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial
simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang
dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh,
kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi
pada orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak
perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali
atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti
c. Mioklonik
d. Tonik
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan
luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat
kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area
lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering
dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik. Epilepsi parsial
a. Parsial sederhana
sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada
b. Parsial kompleks
parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.
1. Sasaran terapi
berlangsung lama.
3. Prinsip terapi
dalam setahun
kombinasi OAE
indikasi.
meliputi:
a. Menghindari faktor pemicu (jika ada) misalnya : stress, Olah
b. Pembedahan
epilepsi
c. Diet Ketogenik
kejang.
5. Terapi farmakologi
neurotransmitter :
lamotigrin.
neuron.
Contohnya tiagabin.
Seorang laki-laki 22 tahun menemui dokter 4 hari setelah mengalami kejang umum
tonik klonik di kostannya. Kejang terjadi 5 menit menurut teman kostnya. Dia terlihat
bingung dan tidur setelah kejang. Pemeriksaan fisik normal. Hasil MRI ada sclerosis
di lobus temporal kanan. EEG menunjukan gelombang pada tinggi pada fronto-
temporal.
Selama di klinik, dia mengatakan kehilangan kesadaran singkat dalam beberapa
periode sebelumnya dan terjadi pertengahan tahun lalu dan sekarang terjadi 2 – 3 hari
setiap minggu.
1. Apa informasi untuk menentukan terapi farmakologi.
2. Apa terapi farmakologi pasien, apa efek samping yang harus di amati?
3. Tiga bulan kemudian kejangnya berhenti dan tidak meracau lagi.
4. Apakah terapi di adjustment danatau di hentikan?
Jawaban :
1. Hasil MRI yang menunjukan adanya sclerosis di lobus temporal kanan dan EEG
menunjukan gelombang tinggi pada fronto-temporal. Pasien mengalami kejang
kurang lebih 5 menit kemudian tidur.
Pada pasien epilepsi dengan kejang umum tonik dimulai dengan kontraksi otot
tonik singkat diikuti oleh periode kekakuan dan gerakan klonik. Pasien mungkin
akan kehilangan kendali, menggigit lidah, atau menjadi sianotik. Episode ini
sering diikuti oleh tidur nyenyak. Kadar prolaktin serum yang diperoleh dalam
waktu 10 hingga 20 menit kejang tonik-klonik dapat membantu membedakan
aktivitas kejang yang terjadi (Depiro, 2011).
2. Terapi farmakologi pasien
a. Asam valproat
Pasien dengan kejang umum tonik-klonik diberikan terapi asam valproat atau
lamotrigine sebagai terapi lini pertama. Asam valproat, efektif untuk kejang
fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2
dosis per hari. Pasien dengan kejang umum tonik-klonik diberikan terapi asam
valproat atau lamotrigine sebagai terapi lini pertama.
Menurut UK guidelines dan US expert panel 2005, First line drugs untuk
epilepsi adalah Asam Valproat.
b. Lamotrigin
Lamotrigin ini mungkin menjelaskan efikasi lamotigrin dalam epilepsi fokal.
Lomotrigin dosis awal 25mg/perhari. Dosis yang biasa digunakan 50-400
mg/hari dalam dosis terbagi. Dosis harus ditingkatkan perlahan (contoh: 25
mg/hari selama 2 minggu, kemudian ditingkatkan 50 mg/hari dalam interval
mingguan hingga 200 mg/hari). Jumlah dosis per hari 1-2x. Lamotrigin efektif
sebagai monoterapi pada kejang fokal.
c. Efek Samping yang harus diamati
Efek samping bergantung dosing dari valproat yang paling umum adalah
mual, muntah dan keluahan pencernaan lain, sperti nyeri perut dan rasa
terbakar di ulu hati. Obat sebaiknya di mulai secara bertahap untuk
menghindarkan gejala-gejala tersebut. Sedasi jarang dijumpai pada
penggunaan valproat saja tetapi sering dijumpai jika valproat ditambahkan
pada fenobarbital. Tremor harus sering dijumpai pada kadar valproat yang
lebih tinggi. Efek samping lain yang reversible, yang terlihat pada sedikit
pasien, meliputi peningkatan berat badan, peningkatan nafsu makan, dan
kerontokan rambut.
Rash/ruam adalah efek samping yang sering terjadi pada anak dan berkaitan
dengan lamotrigin. Risiko kelainan kongenital mayor akibat valproat lebih
tinggi dibandingkan lamotrigin.
Terapi non farmakologi :
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan, terapi
kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan demikian
tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang pada gilirannya
akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet ketogenik sebagai
antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini
diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang.
3. Tiga bulan kemudian kejangnya berhenti dan tidak meracau lagi
Penghentian OAE pada penderita epilepsi dilakukan jika penderita telah bebas
kejang selama minimal dua tahun dan gambaran EEG tidak didapatkan kelainan.
Penghentian OAE dimulai dari satu OAE yang bukan OAE utama, dengan
penurunandosis yang dilakukan secara bertahap, yaitu dosis diturunkan 25 % dari
dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 6 bulan.
4. Terapi di adjustment dan atau di hentikan?
Kriteria penghentian dari pemakaian obat anti Epilepsi:
a. Bebas dari Kejang/bangkitan selama minimal 2 tahun
b. EEG/rekaman gelombang otak
c. Penghentian dari obat anti epilepsi harus selalu melalui pengawasan dan
sesuai dengan anjuran Dokter Spesialis
Dokter akan mempertimbangkan keputusan penghentian pengobatan dan
menyetujui penghentian pengobatan. Namun, epilepsi bukanlah penyakit yang
bisa disembuhkan; kecenderungan untuk kejang akan tetap ada. Sebanyak 75 dari
100 penderita epilepsi yang telah menghentikan obat, akan terus bertahan tanpa
obat sampai lebih dari 5 tahun. Pada dasarnya, semakin lama penderita tersebut
bertahan tidak kejang dengan obat, semakin tinggi pula kemungkinannya ia akan
bertahan tanpa obat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari padaa
proses inhibisi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna
tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas
dalam process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang
epilepsi mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan.
Deliana, M., 2002, Tatalaksana Kejang Demam pada Anak, Sari Pediatri, 4(2), 59-
62.
Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, et al. ILAE Official
Report: A Practical Clinical Definition of Epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):
475-82.
Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy: Definitions
Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.
Harsono, 2005, Buku Ajar Neurologis Klinis, 119-155, Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia Bekerjasama dengan Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soetomenggolo, T.S., lsmael, S., 1999. Buku Ajar Neurologi Anak , Jakarta, BP
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
WHO. Epilepsy: epidemiology, etiology, and prognosis. WHO Fact Sheet No. 165,
2001.
World Health Organization. Epilepsy: fact sheet. WHO (serial online) 2016. (diunduh
12 September 2018) Tersedia dari: WHO media Centre.