Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

EPILEPSI

KELAS B SEBAGIAN C

KELOMPOK 6

SUKMA RANTI PULUMODUYO 841419051

ASYULNI ALMAIDA ADJID 841419075

ZULQOMARIA AGUSTINA LAMUSU 841419078


ZALZA ADISTIYANI PUTRI HILALA 841419062

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dan atas rahmat-Nya maka kami
dapat menyelesaikan penyusunan laporan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah III”ASUHAN
KEPERAWATAN EPILEPSI ”.

Dalam penulisan laporan ini kami menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan laporan ini.Dalam penulisan laporan ini kami merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak kami harapkan.

Gorontalo, 06 Septemberl 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................................3
C. TUJUAN............................................................................................................................................3
BAB II KONSEP MEDIS..................................................................................................................................4
A. Definisi.............................................................................................................................................4
B. Etiologi.............................................................................................................................................4
C. Manifestasi Klinis.............................................................................................................................5
D. Patofisiologi.....................................................................................................................................5
E. Klasifikasi.........................................................................................................................................6
F. Prognosis.........................................................................................................................................7
G. Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................................7
H. Penatalaksanaan..............................................................................................................................8
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :............................................................8
I. Komplikasi.......................................................................................................................................9
J. Pencegahan...................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang terdapat di seluruh dunia yang
ditandai dengan kejang berulang. Di beberapa bagian dunia, orang-orang yang
menderita epilepsi dan keluarga mereka menerima stigma yang buruk sehingga
mengakibatkan terjadinya diskriminasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari World
Health Organization (WHO) tahun 2015, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia
mengalami epilepsi, dan menjadikannya salah satu penyakit neurologis yang paling
umum secara global.1Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar
antara 40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang, insiden
berkisar antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi dari epilepsi
bervariasi antara 5-10 kasus per 1.000 orang. Beberapa penelitian di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah menunjukkan bahwa proporsi yang jauh lebih
tinggi, antara 7 dan 14 per 1000 orang.

Di Indonesia kasus epilepsi berjumlah paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus


dengan pertambahan 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan sekitar 40%-
50% dari prevalensi tersebut terjadi pada anak-anak.Kasus baru epilepsi anak di Unit
Rawat Jalan RSUD Dr. Soetomo Surabaya, pada tahun 2013tercatat 103 pasien baru,
terutama pada laki-laki usia 1-5 tahun. Sebagian besar pasien tidak mempunyai
riwayatkejang demam sebelumnya dan tidak ada riwayatepilepsi pada keluarga.
Penelitian di Turki menemukan hal serupa, tidak ada riwayat kejang demam (80,8%)
dan tidak ada riwayat keluarga epilepsi (77,5%), namun adanya riwayat pada first
degree relatives (14% dengan rasio Odds 6,42), second degree relatives (6%, rasio
Odds 3,09) dan third-degree relatives (2,5%, rasioOdds 2,66). Penelusuran riwayat
epilepsi pada keluarga sebaiknya dilakukan minimal pada tiga generasi, karena
kemampuan seseorang mengingat.

Penelitian di Afrika 2 menyatakan kejang demam merupakan faktor risiko


epilepsi pada anak di kemudian hari,sedangkan penelitian yang dilakukan oleh I
Gusti Ngurah Made Suwarbamenemukan 10,1% kasus epilepsi dengan riwayat
kejang demam.5Berdasarkan panduan UKK Neurologi IDAI, kejang demam
kompleks dan kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam

1
satu tahun menjadi faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari. Banyak pasien
dengan epilepsi memiliki Gambaran Elektroensefalografi (EEG) yang normal,
seperti pada epilepsi mioklonik juvenil hanya sekitar 50% memiliki EEG abnormal.
Namun EEG tetap menjadi modalitas pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan
maupun sindrom epilepsi, menentukan prognosis, serta perlu atau tidaknya
pemberian obat anti epilepsi(OAE). Pada kejadian epilepsi biasanya diperlukan
terapi obat antiepilepsi jangka panjang. Studi terbaru di negara yang berpenghasilan
rendah dan menengah menunjukkan bahwa hingga 70% anak-anak dan orang dewasa
dengan epilepsi berhasil diobati (yaitu kejang mereka sepenuhnya terkontrol) dengan
OAE dan setelah 2-5 tahun menjalani pengobatan, anak berhasil dan bebas dari
kejang, obat dapat dihentikan pada sekitar 70% anak-anak dan 60% orang dewasa
tanpa kambuh lagi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari epilepsi ?
2. Apa penyebab dari epilepsi ?
3. Bagaimana tanda dan gejala epilepsi ?
4. Bagaimana patofisiologi dari epilepsi ?
5. Apa klasifikasi dari epilepsi ?
6. Bagaimana pemeriksaan epilepsi ?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari epilepsi ?
8. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada epilepsi ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian epilepsi
2. Mengetahui penyebab epilepsi
3. Mengetahui tanda dan gejala epilepsi
4. Mengetahui patofisiologi epilepsi

2
5. Mengetahui klasifikasi epilepsi
6. Mengetahui pemeriksaan dari epilepsi
7. Mengetahui penatalaksanaan dari epilepsi
8. Mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada epilepsy

3
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Epilepsi merupakan gangguan neurologi kronis yang dapat terjadi di segala
usia yang timbul akibat terganggunya sinyal listrik di dalam otak. Epilepsi telah
dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia (2000 SM ). Terdapat sekitar 50
juta orang menderita pilepsy di dunia. (Susanti, Ibrahim and Sina, 2017)

Epilepsi adalah kelainan kronis yang terjadi di otak yang menyerang banyak
penduduk di seluruh dunia. Penyakit ini ditandai dengan kejang yang berulang, terjadi
episode gerakan spontan secara singkat yang melibatkan sebagian tubuh (parsial) atau
seluruh bagian tubuh (umum), terkadang juga disertai dengan kehilangan kesadaran
dan kehilangan pileps dari kandung kemih (WHO, 2015).

Epilepsi merupakan serangan kejang paroksismal berulang dua kali atau lebih
tanpa penyebab yang jelas dengan interval serangan lebih dari 24 jam, akibat lepas
muatan listrik berlebihan di neuron otak. Gangguan fungsi otak yang beraneka
ragam” atau “badai listrik di otak”. Bangkitan pilepsy adalah suatu tanda atau gejala
sepintas yang disebabkan oleh aktivitas neuronal di otak yang bersifat sinkron dan
berlebihan atau abnormal. Epilepsi adalah suatu gangguan fungsi otak yang dicirikan
oleh kecenderungan predisposisi untuk menimbulkan bangkitan pilepsy beserta
konsekuensinya yang bersifat neurobiologik, kognitif, psikologik, dan social.

B. Etiologi
1. Idiopatik Epilepsi
Idiopatik seringkali menunjukkan predisposisi pileps. Penyebabnya tidak
diketahui meliputi ±50% dari penderita pilepsy anak, biasanya pada usia lebih
dari 3 tahun.

2. Kriptogenik, dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui.


Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus. Kebanyakan lokasi yang
berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak
tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox
Gastaut dan epilepsi mioklonik.
4
3. Simtomatik
a. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital dapat terjadi karena kromosom abnormal, radiasi, obat-
obat teratogenik, infeksi intrapartum oleh toksoplasma,
cytomegalovirus, pileps dan treponema. Biasanya terjadi pada kelompok
usia 0-6 bulan.
b. Infeksi Risiko
Akibat serangan pilepsy bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang terjadi
pada pilep saraf pusat, seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses
serta infeksi lainnya. Epilepsi dapat terjadi karena adanya infeksi virus,
bakteri, pilepsy dan abses otak yang frekuensinya sampai 32%. Sering
terjadi pada kelompok anak-anak sampai remaja.
c. Trauma kepala
Trauma kepala merupakan penyebab terjadinya pilepsy yang paling
banyak.Trauma kepala dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-
kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala atau baru terjadi 2-3
tahun kemudian.
d. Gangguan pilepsy
Penderita pilepsy oleh karena gangguan pilepsy lebih sering diderita oleh
lansia. Penyebabnya karena adanya serangan stroke yang mengganggu
pembuluh darah di otak atau peredaran darah di otak yang dapat
menimbulkan kejang. (Irfana, 2018)

C. Manifestasi Klinis
Menurut Hidayat (2009) dan Batticaca (2008) yaitu :

1. Dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan

2. Kelainan gambaran EEG 3. Tergantung lokasi dan sifat pile Epileptogen

4. Mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptic (Aura dapat
berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau- bauan tak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)

5. Satu atau kedua mata dan kepala bergerak menjauhi sisa focus

6. Menyadari gerakan atau hilang kesadaran

5
7. Bola mata membalik ke atas, bicara tertahan, mati rasa, kesemutan, perasaan
ditusuk-tusuk, dan seluruh otot tubuh menjadi kaku.

8. Kedua lengan dalam keadaan fleksi tungkai, kepala, dan leher dalam keadaan
ekstensi, apneu, gerakan tersentak-sentak, mulut tampak berbusa, reflek menelan
hilangdan saliva meningkat.(Andhini, 2017)

D. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari pilepsy adalah onset kejang, propagasi, dan terminasi
yang belum diketahui secara pasti dan mungkin berbeda tergantung pada jenis
pilepsy. Terdapat dua keadaan pada saat pilepsy (1) rangsangan saraf yang
berlebihan dan (2) hubungan sinaptik yang berulang-ulang antara neuron- neuron
yang memungkinkan hipersinkronisasi.

Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang fokal dan
umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya gangguan
keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi pada satu pilep atau menyebar diseluruh
otak. Ketidakseimbangan ini karena kombinasi peningkatan eksitasi dan penurunan
inhibisi. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial pilepsy sel. Potensial pilepsy neuron
bergantung pada permeabilitas selektif pilepsy neuron, yakni pilepsy sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion
Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan
konsentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di
ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial
pilepsy. Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan mengubah polarisasi pilepsy
neuron berikutnya.

Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan


depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut pilepsy , pilepsy
dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik
dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan

6
fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron.Dalam keadaan istirahat, pilepsy
neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi.
Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi pilepsy neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik. Oleh berbagai pilep, diantaranya keadaan patologik, dapat
merubah atau mengganggu fungsi pilepsy neuron sehingga pilepsy mudah
dilampaui oleh ion pilep Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan
mencetuskan letupan depolarisasi pilepsy dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak
teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron
secara sinkron merupakan dasar suatu serangan pilepsy. Suatu sifat khas serangan
pilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi.Sistem-sistem inhibisi pra dan paska sinaptik yang menjaminagar neuron-
neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang
dapat menyebabkan suatu serangan pilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat –zat yang penting untuk fungsi otak.(Ismainar, 2015)

E. Klasifikasi
Klasifikasi pilepsy menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017,
sebagai berikut:

1. Jenis Kejang

Titik awal kerangka klasifikasi Epilepsi adalah Jenis Kejang; itu mengasumsikan
bahwa dokter telah membuat diagnosis pasti kejang pilepsy dan tidak dimaksudkan
untuk menjadi algoritma pilepsy untuk membedakan kejadian pilepsy dari
nonepilepsi. Klasifikasi Jenis Kejang ditentukan menurut nomenklatur baru dalam
makalah terlampir.10 Kejang diklasifikasikan menjadi onset fokal, onset umum, dan
onset tidak diketahui. Dalam beberapa pengaturan, klasifikasi menurut Jenis Kejan
g mungkin merupakan tingkat maksimum yang memungkinkan untuk diagnosis
karena mungkin tidak ada akses ke EEG, video. Dan studi pencitraan. Dalam kasus
lain, mungkin ada terlalu sedikit informasi yang tersedia untuk dapat membuat
diagnosis tingkat yang lebih tinggi, seperti ketika pasien hanya mengalami kejang
tunggal.

2. Jenis Epilepsi

Tingkat kedua adalah Jenis Epilepsi dan mengasumsikan bahwa pasien memiliki
diagnosis pilepsy berdasarkan definisi tahun 2014.Tingkat Jenis Epilepsi termasuk

7
kategori baru “Gabungan Epilepsi Umum dan Fokal” di samping Epilepsi Umum
dan Epilepsi Fokal yang sudah mapan. Ini juga termasuk kategori Tidak Dikenal.
Banyak pilepsy akan mencakup beberapa jenis kejang. Untuk diagnosis Epilepsi
Umum, pasien biasanya akan menunjukkan aktivitas gelombang lonjakan umum
pada EEG. Individu dengan pilepsy umum mungkin memiliki berbagai jenis
kejang termasuk absen, mioklonik, atonik, tonik, dan tonik.-kejang klonik.

Epilepsi Fokal termasuk gangguan unifokal dan pilepsy serta kejang yang
melibatkan satu hemisfer. Berbagai jenis kejang dapat dilihat termasuk kejang
fokal sadar, kejang fokal gangguan kesadaran, kejang pileps fokal, kejang non-
motor fokal, dan fokal tonik bilateral.- kejang klonik. EEG interiktal biasanya
menunjukkan pelepasan epileptiform fokal, tetapi diagnosis dibuat berdasarkan
klinis, didukung oleh temuan EEG.

Kelompok baru Gabungan Umum dan Epilepsi Fokal ada, karena ada pasien yang
mengalami kejang umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas dasar klinis, didukung
oleh temuan EEG. Contoh umum di mana kedua jenis kejang terjadi adalah
sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut.

Syarat “Tidak dikenal” digunakan untuk menunjukkan di mana dipahami bahwa


pasien menderita Epilepsi tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah Jenis
Epilepsi fokal atau umum karena tidak tersedia informasi yang cukup. Ini mungkin
karena berbagai alasan. Mungkin tidak ada akses ke EEG, atau studi EEG mungkin
tidak pilepsy , misalnya, normal. Jika Jenis Kejang tidak diketahui, maka Jenis
Epilepsi mungkin tidak diketahui karena alasan yang sama, meskipun keduanya
mungkin tidak selalu sesuai. Misalnya, pasien mungkin memiliki beberapa tonik
simetris-kejang klonik tanpa fitur fokal dan rekaman EEG normal. Jadi onset
kejang tidak diketahui dan orang tersebut memiliki tipe pilepsy yang tidak
diketahui.(Scheffer et al., 2017)

F. Prognosis
Prognosis pilepsy bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis pilepsy, pilep
penyebab, saat pengobatan dimulai dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis pilepsy cukup baik. Pada 50-70% penderita pilepsy serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan pilepsy primer, baik yang bersifat kejang umum

8
maupun serangan lena atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya
pilepsy yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai
kelainan pilepsy dan atau retardasi mental mempunyai prognosis pilepsy jelek.
(Ismainar, 2015)

G. Pemeriksaan Penunjang
2. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun menyingkirkan
diagnosis pilepsy, kurang lebih 5% pasien tanpa pilepsy mempunyai
kelainan EEG berupa aktivitas pilepsy pada rekaman EEG, dan hanya 50%
pasien dengan pilepsy memiliki aktivitas epileptiform pada rekaman EEG
pertamanya. EEG sangat berperan dalam menegakkan diagnosis pilepsy dan
memberikan informasi berkaitan dengan sindrom pilepsy, serta dalam
menentukan lokasi atau pile kejang khususnya pada kasus-kasus kejang
fokal. Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah
rekaman EEG saat tidur (sleep deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan
stimulasi fotik, dimana ketiga keadaan tersebut dapat mendeteksi aktivitas
epileptiform. Selain ketiga prosedur standar diatas dikenal pula rekaman
Video-EEG dan ambulatory EEG, yang dapat memperlihatkan aktivitas
elektrik pada otak selama kejang berlangsung.
3. MRI
MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus-
kasus pilepsy karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan
sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang dihasilkan oleh MRI dapat digunakan
untuk membedakan kelainan pada otak, seperti gangguan perkembangan otak
( pilepsy hipokampus, disgenesis kortikal), tumor otak, kelainan pembuluh
darah otak (hemangioma kavernosa) serta abnormalitas lainnya. Meskipun
MRI memiliki banyak keunggulan, pemeriksaan dengan MRI tidak dilakukan
pada semua jenis pilepsy. MRI tidak dianjurkan pada sindrom pilepsy
dengan kejang umum karena jenis pilepsy ini biasanya bukan disebabkan
oleh gangguan pilepsy . Demikian juga halnya dengan BETCS, karena
BETCS tidak disebabkan oleh gangguan pada otak.
4. CT Scan

9
Walaupun CT Scan sering memberikan hasil yang normal pada kebanyakan
kasus pilepsy, CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup
penting karena dapat menunjukkan kelainan pada otak seperti atrofi jaringan
otak, jaringan parut, tumor dan kelainan pada pembuluh darah otak. (Andhini,
2017)

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam pilepsy, secara umum ada 2 hal yaitu :


a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari pilep penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan pilepsy
Tujuan utama pengobatan pilepsy adalah membuat penderita pilepsy terbebas
dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan
kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus 23
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk
mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.
Pengobatan pilepsy dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila
serangan pilepsy dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien
tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi pilepsy, yaitu :
1) Terapi medikamentosa Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita pilepsy yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti
pilepsy (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam pilepsy . Obat-
obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan
pilepsy secara efektif. Walaupun serangan pilepsy sudah teratasi,

10
penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda
efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip
pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis
terendah yang dapat mengatasi kejang.
2) Terapi bedah Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan
memotong bagian yang menjadi pile infeksi yaitu jaringan otak 24 yang
menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita
pilepsy yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis
bedah pilepsy berdasarkan letak pile infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat
yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai
dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik
dianjurkan pada anak penderita pilepsy. Walaupun mekanisme kerja diet
ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah
karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di
mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan
makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan
berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1.
Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk
pengendalian 25 kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan
obat antiepilepsi. (Setiaji and Sareharto, 2014)

I. Komplikasi
Menurut Elizabeth (2010) dan Pinzon (2007) komplikasi pilepsy dapat terjadi:

1. Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang
yang berulang

11
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas

3. Cedera kepala

4. Cedera mulut

5. Fraktur (Andhini, 2017)

J. Pencegahan
Menurut Alib (2016) pilepsy juga berpotensi mengakibatkan cidera fisik,
kelemahan pada fisik dan penurunan kesadaran. Maka dari itu diperlukan penanganan
dan edukasi yang lama terhadap penderita dan keluarga, jika tidak segera diatasi
pilepsy akan berdampak buruk terhadap perkembangan perilaku dan juga akan
berdampak pada kesehatan (cidera fisik). Untuk meminimalkan cidera fisik maka
dibutuhkan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang penanganan dan
penatalaksanaan saat kejang, tujuannya adalah untuk mendeskripsikan
mengantisipasi, mencegah dan meminimalkan cidera fisik.

Secara keseluruhan diungkapkan bahwa dengan adanya dukungan dari keluarga


dalam melakukan penanganan pada saat kejang itu muncul maka akan meminimalkan
dan melindungi partisipan terhadap terjadinya cidera fisik pada saat partisipan
mengalami kejang. (Ika and Hidayati, 2019)

BAB III

12
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama Pada umumnya klien panas yang meninggi disertai kejang
(Hipertermi).
c. Riwayat penyakit sekarang Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang
mulai dari panas, kejang, kapan terjadi, berapa kali, dan keadaan sebelum, selama
dan setalah kejang.
d. Riwayat penyakit yang pernah diderita Penyakit yang diderita saat kecil seperti
batuk, pilek, panas. Pernah di rawat dinama, tindakan apa yang dilakukan,
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga Tanyakan pada keluarga tentang di dalam keluarga
ada yang menderita penyakit yang diderita oleh klien seperti kejang atau epilepsi.
f. Riwayat Alergi Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti
antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal
atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam “rash” perlu dibedakan
apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar
matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas.
g. Riwayat Pengobatan Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan
antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali
diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada
atau tidak efek sampingnya.
h. Riwayat Psiko Sosial Peran terhadap keluarga akan menurun yang diakibatkan
oleh adanya perubahan kesehatan sehingga dapat menimbulkan psikologis klien
dengan timbul gejala-gejala yang di alami dalam proses penerimaan terhadap
penyakitnya.
i. Riwayat Imunisasi Apabila mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan
akan timbulnya komplikasi dapat dihindari.
j. Riwayat Gizi Status gizi yang menderita Epilepsi dapat bervariasi. Semua dengan
status gizi baik maupun buruk dapat berisiko, apabila terdapat faktor
predisposisinya. Anak yang menderita Epilepsi sering mengalami keluhan mual,
muntah, dan nafsu makan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak

13
disertai dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat mengalami
penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang.
k. Kondisi lingkungan Bagaimana keadaan lingkungan yang mengakibatkan
gangguan kesehatan.
l. Pola kebiasaan
1. Nutrisi dan metabolism
2. Tidur dan istirahat
3. Pola aktifitas dan latihan
j. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi dari ujung
rambut sampai kaki.
1) Kepala
Pengkajian kepala meliputi : ukuran , kesimetrisan, distribusi rambut dan
lingkar kepala. Pada klien dengan epileapsi biasanya klien mengeluhkan
nyeri oleh karena adanya spasme atau penekanan pada tulang tengkorak
akibat peningkatan TIK sewaktu kejang
2) Mata
Pengkajian mata meliputi ketajaman penglihatan, gerakan ekstra ocular,
kesimetrisan, penglihatan warna, warna konjungtiva, warna sclera, pupil,
reflek cahaya kornea. Pada klien dengan epilepsi saat terjadi serangan klien
biasanya mata klien cenderung seperti melotot bahkan pada sebagian anak
lensa mata dapat terbalik sehingga pupil tidak nampak.
3) Hidung
Pengkajian hidung meliputi : Pada penderita epilepsi jarang di temukan
kelainan pada hidung.
4) Mulut
Pengkajian pada mulut meliputi pada penderita epilepsi biasanya ditemukan
adanya kekakuan pada rahang.
5) Telinga
Pengkajian pada telinga meliputi: hygiene, kesimetrisan, ketajaman
pendengaran.
6) Leher

14
Pengkajian pada leher meliputi pada sebagian penderita epilepsi juga
ditemukan kaku kuduk pada leher.
7) Dada
Pengkajian pada dada meliputi : kesimetrisan, amati jenis pernafasan, amati
kedalaman dan regularitas, bunyi nafas dan bunyi jantung.
8) Abdomen
Pengkajian pada abdomen meliputi : pemeriksaan warna dan keadaan kulit
abdomen, auskultasi bising usus, perkusi secara sistemik pada semua area
abdomen, palpasi dari kuardan bawah keatas. Pada penderita epilepsi
biasanya terdapat adanya spasme abdomen.
9) Ekstermitas Atas
pengkajian meliputi : pada penderita epilepsi biasanya terdapat aktivitas
kejang pada ekstermitas. Bawah : pada penderita epilepsi biasanya terdapat
aktivitas kejang pada ekstemitas
10) Genetalia Pengkajian pada genetalia meliputi ; pemeriksaan kulit
sekitar daerah anus terhadap kemerahan dan ruam, pemeriksaan anus
terhadap tanda-tanda fisura, hemoroid, polip, atresia ani.
k. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a) Elektrolit, glukosa, Ureum atau kreatinin.
b) Pungsi lumbal (PL) : untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS,
tandatanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural)
sebagai penyebab kejang tersebut.
2. Pemeriksaan EEG
3. MRI : melokalisasi lesi-lesi fokal.
4. Pemeriksaan radiologis : Foto tengkorak.
5. Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel,
sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. Arteriografi untuk
mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak,
penyumbatan, neoplasma dan hematoma.

15
DAFTAR PUSTAKA
Andhini, N. F. (2017) ‘Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Epilepsi’, Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699.
Ika, T. and Hidayati, E. (2019) ‘Family Support on Severe Frequency in Epilepsy Patients in
RSUP. Dr. Kariadi Semarang’, Media Keperawatan Indonesia, 2(1), p. 21. doi:
10.26714/mki.2.1.2019.21-28.
Irfana, L. (2018) ‘Epilepsi Post Trauma Dengan Gejala Psikotik’, Medical and Health
Science Journal, 2(2), pp. 47–54. doi: 10.33086/mhsj.v2i2.589.
Ismainar (2015) ‘No TitleÉ?__’, Ekp, 13(3), pp. 1576–1580.
Scheffer, I. E. et al. (2017) ‘ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE
Commission for Classification and Terminology’, Epilepsia, 58(4), pp. 512–521. doi:
10.1111/epi.13709.
Setiaji, A. and Sareharto, T. (2014) ‘Pengaruh Penyuluhan Tentang Penyakit Epilepsi Anak
Terhadap Pengetahuan Masyarakat Umum’, Undergraduate Thesis, Faculty of Medicine
Diponegoro University, pp. 9–38.
Susanti, K. A., Ibrahim, Z. and Sina, M. I. (2017) ‘Hubungan Kepatuhan Pengobatan
Terhadap Kejadian Kejang Pada Pasien Epilepsi Yang Bebas Kejang Selama Minimal 1
Tahun Pengobatan Di Poli Neurologi Rsud Dr. a. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung’, Jurnal

16
Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, 4(No. 2 April), pp. 137–143.

17

Anda mungkin juga menyukai