MAKALAH I
EPILEPSI
OLEH:
KELOMPOK VIIA
COVER ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI EPILEPSI................................... 1
BAB II. GEJALA DAN TANDA EPILEPSI ..................................................... 2
BAB III. DATA LABORATORIUM .................................................................. 3
BAB IV. STAGE/JENIS ...................................................................................... 5
BAB V. PANDUAN TERAPI ............................................................................ 7
BAB VII. LUARAN TERAPI EPILEPSI ............................................................. 9
BAB VIII. PERHATIAN KHUSUS PADA TERAPI OBAT ................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 11
ii
BAB I
EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI EPILEPSI
1
Menurut data pasien epilepsi, diketahui presentasi masing-masing penyebab epilepsi adalah
CVD (cerebrovascular disease) 11-12%, trauma 2-6%, tumor 4-7%, infeksi 0-3% dan
idiopati 54-65%. (Shorvon et al., 2013).
Sementara, menurut Rai et al. (2019) diketahui bahwa etiologi dari epilepsi dapat dibagi
menjadi berikut.
a. Etiologi struktural adalah epilepsi yang disebabkan oleh kerusakan yang terjadi akibat
trauma, stroke, tumor, malformasi, infeksi dan hippocampal sklerosis
b. Etiologi genetik adalah epilepsi yang disebabkan oleh adanya mutasi. Contohnya
adalah mutasi pada gen KCNQ1 menyebabkan terbentuknya kejang pada neonatal
jinak, mutasi yang tidak diketahui dapat menyebabkan autosom dominan epilepsi pada
lobus frontal nokturnal, dan mutasi pada SCNA1 menyebabkan sidrom Dravet.
c. Etiologi infeksi adalah epilepsi yang disebabkan oleh adanya infeksi pada sistem
syaraf pusat. Infeksi yang paling banyak menyebabkan epilepsi di seluruh dunia
adalah cysticercosis, tuberkulosis, malaria cerebral, toxoplasmosis, infeksi congential
TORCH.
d. Etiologi metabolik adalah epilepsi yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
metabolisme seperti kejang yang dipengaruhi oleh kandungan piridoksin,
aminoacidopathies da porphyria
e. Etiologi sistem imun adalah epilepsi yang terjadi karena adanya peradangan pada
sistem syaraf yang dimediasi oleh sistem imun. Contoh sistem imun yang terlibat
adalah anti-NMDA (N-Methyl-D-Aspartat) yang merupakan reseptor encephalitis dan
anti-LGI1 (Leucine-rich Glioma-Inactivated 1) encephalitis.
f. Etiologi yang tidak diketahui adalah epilepsi yang disebabkan selain dari yang
disebutkan diatas.
BAB II
GEJALA DAN TANDA EPILEPSI
Secara umum, epilepsi adalah manifestasi dari aktivitas neuron yang tidak sinkron dan
berlebihan di otak. Epilepsi memiliki gejala dan tanda dimana terjadinya penurunan
kesadaran, adanya gangguan motorik, sensorik, dan mental, dengan atau tanpa kejang-kejang
yang dicirikan dengan terjadinya seizure, fit, attact dan spell yang bersifat berkala dan
spontan akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal (Ramali,
2005; Harsono, 2007; Shorvon, et al., 2011). Gejala ini dapat bervariasi tergantung pada
bagian otak yang dipengaruhi oleh aktivitas syaraf yang abnormal, penyebab yang mendasari
2
dan usia individu. Ketakutan, dejavu, perasaan naik di perut atau bau yang tidak normal
adalah beberapa sensasi yang dapat menandai timbulnya kejang. Secara spesifik, gejala dan
tanda epilepsi terdiri dari dua, yaitu serangan epilepsi parsial dan serangan epilepsi umum.
Serangan epilepsi parsial disebabkan oleh lesi atau kelainan lokal pada otak yang
menunjukkan evaluasi diagnostik untuk membuktinya adanya lesi tersebut. Gejala epilepsi
bersifat khas dan bergantung pada jenis epilepsi yang diderita (Dawda dan Ezewuzie, 2010).
Selanjutnya, gejala dan tanda epilepsi secara spesifik akan dijelaskan pada BAB IV tentang
klasifikasi dan gejala pada masing-masing jenis epilepsi.
BAB III
DATA LABORATORIUM
Pemantauan pada pasien epilepsi dapat dilaksanakan denggan menggunakan
ensefalografi (EEG), yang memiliki tujuan untuk menangkap signal kejang selama sadar dan
tidur untuk menentukan diagnosis epilepsi, jenis dari epilepsi, dan membedakan kejang
termasuk epilepsi atau non epilepsi. Perekaman EEG dapat dilaksanakan dengan dua metode
yaitu perekaman EEG interiktal (saat tidak kejang) dan iktal (saat kejang),. EEG dapat
digunakan untuk mendeteksi pasien epilepsi dalam waktu 29 jam dengan menggunakan 16
kanal otomatis deteksi kejang yang dipasangkan pada kulit kepala pasien. Pemeriksaan EEG
memiliki prinsip adanya perekaman pada perbedaan potensial listrik diantara dua hemisfer di
otak dengan menggunakan elektrode EEG yang mampu merefleksikan potensial pascasinaps
yang ada pada otak (Panayiotopoulos, 2010).
Spesifisitas EEG untuk mendiagnosis epilepsi sudah pernah diteliti sebelumnya, ketika
membandingkan diagnosis antara pasien epilepsi dengan pasien migrain, kesalahan terjadi
hanya 0,7%. Spesifisitas pelaksanaan monitoring EEG selama pasien tidur pada malam hari
akan meningkat sebesar 55-75% bila dibandingkan disiang hari yang hanya 25%. Monitoring
EEG yang dilaksanakan pada malam hari juga disertai dengan turunan poligrafik tambahan
seperti ECG (Electrocardiogram), pergerakan bola mata, EDG
(Esophagogastroduodenoscopy), perbedaan pernapasan, oksimeter, dan kejang epilepsi yang
dialami pasien (Panayiotopoulos, 2010).
3
Tabel 3.1 Perbedaan Hasil Perekaman EEG pada Epilesi Fokal dan Generalized.
No Kondisi Gambar EEG
1 Epilepsi Fokal
2 Epilepsi Generalized
4
BAB IV
STAGE/JENIS
Epilepsi diklasifikasikan bedasarkan gejala yang dialamai oleh pasien. Meskipun gejala
epilepsi dapat bersifat bervariasi, namun umumnya gejala yang ditimbulkan oleh masing-
masing jenis epilepsi bersifat khas (Wells, et. al., 2017). Klasifikasi epilepsi bedasarkan
gejala dijelaskan dalam bagan dan tabel berikut.
1. Simple partial Gejala cukup beragam dan ditentukan oleh daerah korteks otak
seizures yang terganggu (misalnya, jika terjadi di korteks motorik
mewakili ibu jari kiri, maka hasil hentakan akan terjadi di ibu
jari kiri), berlangsung 20-60 detik. Ciri khas utamanya adalah
pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran (Brunton, et. al.,
2008).
5
seperti menampar bibir atau meremas tangan (Brunton, et. al.,
2008).
2. Myoclonic seizures Menyangkut kontraksi otot yang tiba-tiba, singkat, seperti syok
(tersentak). Umumnya tidak mengalami kehilangan kesadaran.
4. Tonic seizures Pasien mengalami kontraksi otot yang keras dan kaku (Craig dan
Stitzel, 2004).
6. Atonic seizures Pasien mengalami kehilangan tonus otot secara tiba-tiba seperti
kepala dan anggota tubuh jatuh, atau merosot ke tanah (Wells,
et. al., 2017).
6
BAB V
PANDUAN TERAPI
5.1 Algoritma Terapi
7
5.2 Pilihan Obat pada Terapi Epilepsi
Pemilihan obat terapi antiepilesi didasarkan pada jenis dan klasifikasi epilepsi, efek
samping khusus yang dihasilkan oleh obat serta karakteristik dari pasien (Wells, et. al., 2017).
Pilihan obat dalam terapi antiepilepsi dijelaskan dalam table berikut.
Tabel 5.1. Pilihan obat pada terapi epilepsi (Wells, et. al., 2017).
Jenis epilepsi Lini pertama Obat alternatif
Focal/partial seizures
Lansia:
Carmabazepin
Generalized seizures
1. Absence seizure
8
Dewasa, sama seperti
Anak-anak dengan
tambahan:
Lamotrigine
Oxcarbazepin
BAB VI
LUARAN TERAPI EPILEPSI
Luaran terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi dan tingkat
keparahan kejang, meminimalkan efek samping dari obat, dan memastikan kepatuhan,
sehingga pasien dapat kembali menjalani kehidupan normal. Penanggulangan epilepsi juga
harus diimbangi dengan tolerabilitas efek samping obat. Efek samping (misalnya, kecemasan
dan depresi) serta masalah sosial (misalnya, saat mengemudi, keamanan kerja, hubungan, dan
stigma sosial) memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien, sehingga
pemantauan jangka panjang untuk pengendalian kejang, efek samping, penyesuaian sosial,
termasuk kualitas hidup, interaksi obat, kepatuhan, efek samping dan respon klinis penting
untuk dilakukan (Wells, et. al., 2017).
BAB VII
PERHATIAN KHUSUS PADA TERAPI OBAT
Beberapa perhatian khusus pada terapi obat anti-epilepsi dijelaskan dalam poin-poin
berikut.
1. ASD yang memicu enzim (misalnya, Phenobarbital, Fenitoin, Karbamazepin,
Topiramate, Oxcarbazepin) dapat menyebabkan kegagalan pengobatan pada wanita
yang menggunakan kontrasepsi oral (Wells, et. al., 2017).
9
2. Penggunaan Topiramate selama kehamilan telah dikaitkan dengan bibir sumbing,
kemungkinan berat lahir rendah dan hipospadia (kelainan anatomi urinaria) (Wells, et.
al., 2017).
3. Efek samping penggunaan ASD dalam jangka panjang adalah osteomalasia atau
osteoporosis. Fenitoin, Phenobarbital, Karbamazepin, Oxcarbazepine, Felbamate dan
Asam Valproat dapat mengganggu metabolisme vitamin D. Pasien yang mengkonsumsi
obat-obat tersebut perlu menerima suplemen vitamin D dan kalsium serta melakukan
pengujian kepadatan mineral kalsium jika terdapat faktor risiko lain untuk osteoporosis
(Wells, et. al., 2017).
4. Asam Valporat dikaitkan dengan risiko MCM (major congenital malformations) 3,5
sampai 4 kali lipat dari keturunan wanita non-epilepsi. Terdapat juga peningkatan risiko
perkembangan saraf termasuk perkembangan kognisi pada anak-anak yang terpapar
Asam Valproat dalam Rahim, sehingga umumnya Asam Valproat tidak boleh
digunakan pada kehamilan (Wells, et. al., 2017).
5. Dosis ASD yang lebih rendah sering dibutuhkan pada orang tua karena gangguan fungsi
ginjal atau hati. Beberapa pasien lanjut usia mengalami peningkatan sensitivitas reseptor
terhadap obat SSP, membuat rentang terapeutik yang diterima menjadi tidak valid
(Wells, et. al., 2017).
10
DAFTAR PUSTAKA
Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D. dan Buxton, I. 2008. Goodman & Gilman's: Manual
of Pharmacology and Therapeutics. United States: The McGraw-Hill Companies.
Craig, A. R. dan Stitzel, R. E. 2004. Modern Pharmacology with Clinical Applications. 5th ed.
United States: Lippincott Williams& Wilkins.
Dawda, Y. dan Ezewuzie, N. 2010. Clinical Pharmacist. Vol 2. London: NHS Foundation.
Harsono. 2007. Epilepsi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Panayiotopoulos, C.P. (ed). 2010. Atlas of epilepsies. London: Springer.
Pellock, J.M., Nordli, D.R., Sankar, R., Wheless, J.M. 2017. Pellock’s Pediatric Epilepsy:
Diagnosis and Therapy. 4th ed. Los Angeles: Demos Medica
Rai, Srinivas, Satishchandra, Subhas (ed.). 2019. Handbook on Epilepsy for Physicians.
London: JP Medical Ltd.
Ramali, A. 2005. Kamus Kedokteran. Jakarta: Penerbit Djambaran.
Shorvon, S., Guerrini R., Cook, M., Lhatoo, S.D. Oxford Textbooks in Clinical Neurology:
Textbook of Epilepsy and Epileptic Seizures. 2013. United Kingdom: Oxford
University Press.
Wells, B. G., Schwinghammer, T. L. DiPiro, J. T. dan DiPiro, C. V. 2017. Pharmacotherapy
Handbook. 10th ed. United States: The McGraw-Hill Companies.
Wheless, S.W., Willmore, L.J., Brumback, R.A. 2009. Advanced Therapy in Epilepsy. USA:
People’s Medical Publishing House.
Wyllie, E. 2008. Epilepsy: Information for You and Those Who Care About You. Ohio:
Cleveland Clinic Press.
11