Anda di halaman 1dari 45

SARI PUSTAKA

EFEK SAMPING MONOTERAPI DAN POLITERAPI PADA EPILEPSI

Oleh :

dr. Rista Harwita Putri

Pembimbing :

dr. Alifiani Hikmah Putranti, SpA(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) I


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP/ RSUP Dr. KARIADI
SEMARANG
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh


kejang, berulang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. Epilepsi
merupakan masalah besar dalam bidang pediatri. Bangkitan epilepsi (epileptic
seizure) adalah suatu manifestasi klinis yang diduga hasil dari abnormalitas dan
akibat berhentinya fungsi sekelompok sel neuron di otak. Manifestasi klinis
epilepsi merupakan kondisi yang akut dan berlangsung sementara seperti
penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom atau psikis yang
dirasakan oleh pasien dan dapat disaksikan oleh orang lain.1
Epilepsi adalah keadaan yang ditandai dengan kejadian berulangnya kejang
epilepsi (dua kali atau lebih) tanpa provokasi atau etiologi yang jelas. Kejang
berulang dalam 24 jam di kategorikan sebagai satu kali kejadian kejang.1
Penelitian prospective, population-based tahun 2009 mengestimasi insidensi dari
kejang tanpa provokasi dan epilepsi sekitar 20-80 per 100.000 anak pertahun.2
Tujuh puluh persen penderita epilepsi terjadi pada dua dekade pertama kehidupan,
dimana kejang berulang dan status epilepsi pada masa anak sangat umum terjadi.
Pada tahun 2016 di Rumah sakit Dr. Kariadi didapatkan anak dengan epilepsi
yang kontrol ke poli rawat jalan sebanyak 148 pasien.
Pada saat ini, kemajuan bidang farmakologi dan pengetahuan yang lebih
terbuka mengenai patofisiologi epilepsi menjadikan banyak obat epilepsi baru
berhasil dikembangkan. Obat antiepilepsi yang lama mempunyai keuntungan
dengan pemakaian yang luas, harga lebih murah, efikasi yang sudah dikenal, dan
pengalaman pemakaian jangka panjang. Parameter tersebut digunakan sebagai
efikasi, toleransi, dan profil keamanan obat antiepilepsi baru untuk pasien epilepsi
baru pada anak dan dewasa.3
Obat anti epilepsi telah banyak digunakan baik secara monoterapi maupun
politerapi. Berdasarkan studi dari akhir tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an
menunjukkan bahwa monoterapi memiliki keuntungan yang sama dibandingkan
politerapi. Akan tetapi, saat ini politerapi menjadi pilihan kembali dan kurang

2
lebih 30-40 % pengobatan epilepsi merupakan politerapi.4 Walaupun terdapat
banyak obat anti epilepsi baru yang tersedia, prevalensi epilepsi yang terkontrol
masih sama. Sekitar 30% pasien epilesi resisten terhadap pengobatan.5 Epilepsi
yang resisten terhadap obat hampir selalu memerlukan politerapi. Akan tetapi,
data penelitian mengenai efektifitas dan efek samping obat anti epilepsi
monoterapi maupun politerapi pada anak-anak masih sulit didapatkan.4

3
BAB II
EPILEPSI

A. Definisi
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang
saraf anak, yang berdampak terhadap tumbuh-kembang anak. Epilepsi adalah
serangan paroksismal berulang tanpa provokasi yang terjadi dalam 24 jam tanpa
penyebab yang jelas.5 Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal
dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang
secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel
saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.6
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005, bahwa epilepsi
didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Akan tetapi pada tahun 2014, ILAE merevisi definisi epilepsi bahwa
epilepsi merupakan suatu kelainan pada otak yang diikuti dengan salah satu
kondisi: (1) sedikitnya dua kejang berulang tanpa provokasi yang terjadi > 24 jam;
(2) satu kejang tanpa provokasi dan kemungkinan terjadinya kejang berulang yang
sejalan dengan risiko kekambuhan (paling tidak 60%) setelah dua kejang berulang
tanpa provokasi, yang dapat terjadi selama 10 tahun kedepan; (3) diagnosis
sindrom epilepsi.7
Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), epilepsi
merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa
serangan mendadak dan berulang-ulang yang terjadi akibat adanya
ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena
cetusan listrik pada sel saraf yang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan
kelainan motorik, sensorik atau psikis secara tiba-tiba dan sesaat.8
Penelitian prospective, population-based yang dilakukan Adelow tahun
2009 memperkirakan insiden dari kejang tanpa provokasi dan epilepsi sekitar 20-

4
80 per 100.000 anak pertahun.2 Tujuh puluh persen penderita epilepsi terjadi pada
dua dekade pertama kehidupan, dimana kejang berulang dan status epilepsi di
masa anak sangat umum terjadi pada masa anak.2 Di Indonesia terdapat paling
sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000
kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak.9
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi menderita
epilepsi, tetapi tidak ditemukan perbedaan ras.9
Faktor risiko mayor epilepsi menurut penelitian Asadi-Pogya terhadap 142
pasien adalah riwayat keluarga dengan epilepsi dan tinggal di daerah pinggiran.
Faktor resiko yang lain adalah riwayat ikterik neonatorum, usia orang tua dan
paparan rokok pasif, sementara ASI menjadi faktor protektif terhadap epilepsi.10
Faktor resiko lain adalah cedera kepala sedang dan riwayat keluarga dengan
epilepsi. Sebuah penelitian di Turki didapatkan bahwa faktor resiko tertinggi
epilepsi adalah kejang demam memiliki OR 21,97; cedera kepala (27,76); infeksi
kepala (4,76). Selain itu menurut epidemiologi, jenis kelamin laki-laki lebih
banyak menderita epilepsi dibandingkan perempuan.11

B. Diagnosis dan Klasifikasi Epilepsi


Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan anamnesis yang berupa kejang
berulang, kejang fokal atau umum dan apakah disertai perkembangan normal atau
terlambat, pemeriksaan fisis dan neurologis serta pemeriksaan penunjang EEG
dan MRI kepala. Epilepsi pada anak berdasarkan manifestasi klinis dan EEG
dapat dibedakan menjadi epilepsi fokal dan epilepsi umum. Epilepsi fokal
ditentukan berdasarkan semiologi kejang fokal dan atau disertai EEG fokal
dengan gelombang epileptik repetitif pada satu lobus atau satu hemisfer. Bila
semiologi kejang umum disertai dengan gambaran EEG fokal, hal tersebut
menunjukkan epilepsi fokal menjadi umum. Adapun epilepsi umum ditegakkan
berdasarkan semiologi kejang umum disertai gelombang epiletiform pada seluruh
hemisfer.12,13
Berdasarkan usia awitan, semiologi klinis, gambaran EEG yang khas, dan
pemeriksaan MRI kepala dapat ditentukan apakah pasien termasuk sindrom

5
epilepsi fokal atau umum. Bila tidak termasuk keduanya maka dikategorikan
sebagai bukan sindrom.12,13
Semiologi klinis kejang fokal dapat berupa klonus fokal, distonik fokal,
otomatisme ekstremitas fokal atau postur tonik asimetris. Ditandai dengan kepala,
mata atau keduanya bergerak ke sisi kiri atau kanan, dan disertai dengan aura.
Gambaran EEG yang dihasilkan gelombang epileptiform fokal yang hanya
terdapat pada satu hemisfer otak. Adapun semiologi klinis kejang umum yaitu
serangan dari awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir
bersamaan tubuh dan ekstremitas. Bentuk kejang pada kejang umum seperti
absens, mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, atonik. Gambaran EEG berupa
gelombang irama dasar normal, gelombang epileptiform spike-slow wave complex
atau gelombang polyspike wave pada seluruh tubuh atau tiga perempat dari
hemisfer otak. Pemeriksaan neuroimaging yang dianjurkan pada pasien epilepsi
umumnya adalah MRI kepala. Tujuan MRI kepala adalah untuk mencari etiologi
epilepsi.12,13
Dalam praktek sehari-hari, klasifikasi 1981 dan 1989 masih banyak
dipakai karena lebih praktis dan mudah dimengerti. Pada tahun 1981, ILAE
membagi kejang menjadi kejang umum dan fokal (parsial) berdasarkan tipe
bangkitan (yang diobservasi secara klinis maupun pemeriksaan elektrofisiologi),
apakah aktivitas kejang dimulai dari satu bagian otak, melibatkan banyak area,
atau melibatkan kedua hemisfer otak. ILAE membagi kejang menjadi kejang
umum dan kejang parsial dengan definisi sebagai berikut:
1) Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer
2) Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG
menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja
Berdasarkan ILAE tahun 1989, epilepsi dibagi menurut etiologinya,
yaitu15:
1) Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya
kelainan struktur otak dan tidak ditemukan deficit neurologi. Faktor genetik
diduga berperan, dan pada umumnya khas mengenai usia tertentu

6
2) Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan
satu atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi

Tabel 1. Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut ILAE 198114


Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against
Epilepsy (ILAE) 1981
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikis
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik, tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. lena/ absens
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

7
Tabel 2. Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 15
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
1) Epilepsi benigna dengan gelombang paku didaerah sentrotemporal
(Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
2) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksisimal pada daerah
oksipital (Childhood epilepsy with occipital paroxysm)
B. Simptomatik
1) Lobus temporalis
2) Lobus frontalis
3) Lobus parietalis
4) Lobus oksipitalis
C. Kriptogenik

II. Epilepsi Umum


A. Idiopatik
1) Kejang neonatus familial benigna (Benign neonatal familial
convulsions)
2) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi (Benign myoclonic epilepsy in
infancy)
3) Epilepsi lena pada anak (Childhood absence epilepsy)
4) Epilepsi lena pada remaja ( Juvenile absence epilepsy)
5) Epilepsi mioklonik pada remaja (Juvenile myoclonic epilepsy)
6) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening)
7) Epilepsi umum idiopatik yang tidak termasuk salah satu diatas)
Other generalized idiopathic epilepsies)

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik


1) West’s syndrome (infantile spasms)
2) Lennox gastaut syndrome
3) Epilepsy with myoclonic astatic seizures
4) Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik
1) Etiologi non spesifik
2) Early myoclonic encephalopathy
3) Specific disease states presenting with seizures

8
III. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
A. Bangkitan umum dan fokal
1) Bangkitan neonatal
2) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3) Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
4) Epilepsi afasia yang didapat
B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

IV. Sindroma khusus


A. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
1) Kejang demam
2) Bangkitan kejang/ status epileptikus yang timbul hanya sekali
3) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik
akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan
4) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik

Pada tahun 2017, ILAE memperbaharui klasifikasi epilepsi yang sejalan


dengan pengetahuan saat ini mengenai epilepsi. Sebagai alat yang dipakai oleh
praktisi klinis, klasifikasi epilepsi harus relevan dan sesuai dengan perubahan
pengetahuan yang ada saat ini. Klasifikasi epilepsi menurut ILAE pada tahun
2017 dibagi menjadi 3 tingkatan, dimulai dengan tipe kejang, tipe epilepsi
termasuk didalamnya epilepsi fokal, general, kombinasi fokal dan general, serta
epilepsi yang tidak tergolongkan. Tingkatan ketiga yaitu sindrom epilepsi, dimana
diagnosis spesifik sindrom epilepsi ditentukan. Klasifikasi baru ini
menitikberatkan etiologi dari setiap tingkatan diagnosis yang akan berpengaruh
terhadap tatalaksana yang akan diberikan. Etiologi dibagi dalam enam subgroup
berdasarkan tatalaksana yang kemungkinan akan diberikan yaitu: struktural,
genetik, infeksi, metabolik, imunologi, serta penyebab yang tidak diketahui.16

9
Gambar 1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017 16

C. Etiologi epilepsi
Seiring dengan banyaknya jenis epilepsi, etiologi epilepsi pun beragam.
Beberapa penyebab utama epilepsi, yaitu16 :
a. Struktural
b. Genetik
c. Infeksi
d. Metabolik
e. Imunologi
f. Tidak diketahui
Manifestasi klinis epilepsi disebabkan oleh lesi di korteks serebri yang
mendasarinya. Lesi di otak pada umumnya telah ada beberapa bulan hingga
tahun sebelum gejala epilepsi pertama muncul, seperti hipoksia
perinatal/asfiksia atau perdarahan intraserebral. Namun demikian pada
umumnya etiologi epilepsi tidak jelas diketahui.
Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain 17:

10
- Kelainan kromosom: sindrom fragile X, Sindrom Rett.
- Trisomi Parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan
lambat dan leukoensefalopati
Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain 17:
- Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis,
hipomelanosis Ito, sindrom Struge-Weber.
- Palsi serebral (PS): epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik
kuadriplegia atau hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau
diskinetik.
- Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga
mengubah rangkaian sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial
temporal sklerosis.
- Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi
intraktabel), hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD),
heterotopia nodular periventrikuler, agiria, pakigiria, Lissensefali,
skizensefali, polimikrogiria.
- Tumor otak dan lesi lain, astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma,
angioma kavernosum.
- Trauma kepala
- Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria
serebral, sistisklerosis.
- Kelainan metabolik bawaan.
Konsep dari penyebab infeksi dan imunologi adalah bahwa kelainan
yang mendasari adalah kejang sebagai gejala utamanya. 18
Penyebab infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi seperti:
neurosisticercosis, tuberkulosis, HIV, malaria serebral, SSPE, toxoplasma
serebral, dan infeksi kongenital lainnya seperti virus Zika dan CMV. Infeksi-
infeksi tersebut kadang mempunyai korelasi struktural untuk terjadinya
epilepsi.18

11
Penyebab imunologi yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi
adalah anti-NMDA (N-methyl-D-aspartate) receptor encephalitis dan anti
LGI1 encephalitis.19
Sebagian besar etiologi epilepsi berhubungan dengan perkembangan
otak. Perkembangan otak dimulai sejak minggu ketiga pasca konsepsi dan
berlangsung hingga usia dewasa muda. Secara garis besar proses ini dapat di
bagi menjadi perkembangan otak pada trimester pertama dan kedua kehamilan
serta pada trimester ketiga kehamilan hingga pasca lahir. Pada trimester
pertama dan kedua kehamilan terjadi “kelahiran” sebagian besar neuron dan
pembentukan sebagian besar struktur susunan saraf pusat, sehingga gangguan
pada masa ini umumnya menyebabkan kelainan struktural yang berat dan kasat
mata. Gangguan pada trimester ketiga kehamilan dan masa-masa selanjutnya
kebanyakan berifat mikrostruktural dan fungsional, karena masa tersebut
merupakan masa pematangan sistem saraf dan hampir semua struktur penting
susunan saraf pusat telah terbentuk. 20

D. Patofisiologi Epilepsi
Epilepsi dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara
berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga menyebabkan aktivasi fungsi
motorik (kejang), sensorik (kesan sensorik), otonom, atau fungsi kompleks
(kognitif, emosional) secara lokal atau umum.
Terdapat saluran ion yang mengatur terjadinya depolarisasi pada
membran sel saraf sehingga menghasilkan aksi potensial, yaitu saluran ion
natrium dan kalsium. Apabila membran presinaptik melepaskan
neurotransmitter yang akan membuka saluran ion pada membran post sinaptik
terjadi pertukaran ion natrium dan kalsium yang akan masuk ke sel dan kalium
yang keluar akan menghasilkan potensial aksi sehingga dapat menimbulkan
depolarisasi (influks kation) atau hiperpolarisasi (masuiknya anion atau
keluarnya kation. Jika terjadi mutasi pada saluran ion terebut yang merupakan
penyebab terjadinya sindrom epilepsi. 21,22

12
Depolarisasi merupakan penurunan muatan negatif dari
keadaaan potensial istirahat. Sedangkan hiperpolarisasi adalah peningkatan
muatan negatif dari potensial istirahat. Kejang terjadi akibat adanya
depolarisasi yang menimbulkan potensial aksi.19
Depolarisasi dapat terjadi karena 19:
1) Gangguan permeabilitas membran neuron
Perubahan pada permeabilitas membran memungkinkan Na+ masuk sel,
sehingga terjadi depolarisasi. Potensial aksi akan terjadi bila penurunan
keadaan negatif intra sel bermakna.
2) Gangguan pompa Na-K ATPase
Pompa Na-K ATPase berfungsi untuk mempertahankan ion Na tetap
berada di ekstrasel dan ion K di intrasel. Dalam bekerjanya pompa Na-
K ATPase membutuhkan ATP . Sehingga adanya gangguan pompa NA-
K ATPase akibat kekurangan ATP mengakibatkan masuknya ion Na
sehingga terjadi depolarisasi.
3) Neurotransmiter eksitasi lebih banyak daripada neurotransmiter inhibisi
Potensial aksi yang terjadi pada satu neuron dihantarkan melalui
neuroakson yang kemudian membebaskan zat neurotransmiter.
Bila neurotransmitter eksitasi lebih banyak daripada inhibisi, maka
akan terjadi kejang.
GABA merupakan neurotransmiter utama dalam mekanisme inhibisi
dalam sistem saraf pusat. GABA dilepaskan dari akson terminal dan diterima
oleh 2 macam receptor GABA A dan GABA B yang dapat ditemukan hampir
diseluruh neuron korteks. Reseptor GABA A terdiri dari saluran ion dan
terdapat sisi terhadap reseptor barbiturat dan benzodiazepin. Reseptor GABA
A memiliki struktur yang kompleks dan berperan dalam saluran ion klorida
dan bikarbonat. Aktivasi dari reseptor GABA A menyebabkan terjadinya
influks kation klorida menyebabkan depolarisasi pada membran post sinaps.
Sedangkan reseptor GABA B bekerja dengan guanosine triphosphate (GTP)
untuk mengatur ion kalsium dan kalium. Kedua reseptor itu mengatur ion-ion

13
yang dapat menyebabkan penghambatan eksitasi sehingga dapat menyebabkan
hipereksitabilitas dan masuk dalam fase epilepsi. 21,23
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitasi pada sistem saraf pusat
mamalia. Glutameric berperan secara menyebar pada otak sebagai perantara
eksitasi neuron-neuron. Terdapat dua macam glutamat yaitu ionotropic dan
metabotropic. Reseptor glutamate ionotropik terdiri dari N-methyl-D-aspartate
(NMDA) dan non NMDA, berdasarkan biofisikal dan dan farmakologi.
Aktivitas reseptor NMDA adalah mengatur influks dari calcium dan Natrium.
Kalsium yang masuk merupakan faktor utama yang menginisiasi beberapa
neurotransmiter lain seperti stimulasi beberapa kinase dan menyebabkan
eksitasi pada membran post sinaptik. Reseptor non NMDA atau AMPA
mempunyai peran utama juga dalam proses eksitasi di membran post sinaptik
bekerja cepat dengan membantu aktivasi dari reseptor NMDA sehingga proses
eksitasi semakin cepat terjadi maka dapat menyebabkan hiperpolarisasi apabila
tidak diinbangi dengan proses inhibisi maka akan masuk dalam fase epilepsi
dan dibutuhkan obat-obatan yang bekerja di kedua reseptor ini. 21
Mekanisme spesifik dari kejang yang terlihat pada gambaran EEG yang
dikenal dengan paroxismal depolarization shift (PDS). Kemudian akan terjadi
pertukaran yang sangat cepat pada membran potensial saat depolarisasi dan
diikuti dengan potesial aksi yang yang berulang. Depolarisasi diperantarai oleh
reseptor AMPA bersamaan dengan aktivasi reseptor NMDA. Kemudian
aktivitas PDS akan masuk ke fase repolarisasi hal ini berhubungan dengan
inhibisi dari kalium dan klorida oleh saluran kalium dan reseptor GABA.
Hiperpo larisasi yang berlangsung lama setelah PDS diatur oleh mekanisme
inhibisi dan periode refraktori. 21

14
Gambar 2. Tipe reseptor glutamat dan lokasinya 21

15
BAB III
PENDEKATAN TATALAKSANA EPILEPSI PADA ANAK

A. Tatalaksana medikamentosa
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas
hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi
diperlukan beberapa upaya antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi
frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal,
menurunkan angka kesakitan dan kematian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tujuan terpenting dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat dalam
therapeutic range tanpa menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis
tunggal obat anti epilepsi (OAE) puncak kadar plasma akan tercapai dalam waktu
tertentu tergantung pada proses absorbsi. Sebagian besar OAE dosis konvensional
dengan persediaan enzim yang cukup akan mengikuti kaidah first order enzyme
kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara linier dengan
konsentrasi obat. Namun bila enzimnya telah jenuh maka kecepatan
biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order
atau nonlinier kinetics). Setelah enzim hati jenuh, maka kenaikan dosis sedikit
saja akan menyebabkan peningkatan kadar plasma yang berlebihan. Keadaan ini
akan menimbulkan gejala toksik bila kadar serum sudah melebihi 10 – 15
mikrogram /ml.
Prinsip pengobatan epilepsi dapat dijelaskan sebagai berikut:24,25,27
1. Langkah pertama dalam pengobatan adalah diagnosis pasti, karena banyak
keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi. Pengobatan umumnya
baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
2. Setelah diagnosis ditegakkan tindakan berikutnya adalah menentukan jenis
serangan. Setiap OAE mempunyai kekhususannya sendiri dan akan
bermanfaat secara spesifik pada jenis serangan tertentu.

16
3. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian
dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi (start low go slow).
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal
terendah, yang terpenting bukan hanya mencapai kadar terapeutik tetapi
kadar OAE bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan mencapai
reseptor susunan saraf pusat.
4. Apabila dua kali monoterapi dosis maksimal gagal (frekuensi kejang tidak
berkurang) dapat diberikan politerapi
OAE I : dimulai dari dosis minimal dinaikkan bertahap sampai dosis
maksimal. Bila kejang masih terjadi (frekuensi & lama kejang), berikan
OAE II dimulai dengan dosis minimal dan dinaikkan bertahap sampai dosis
maksimal, OAE I diturunkan bertahap secara cepat . Jika OAE II gagal
diberikan politerapi

Kadar OAE bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya


penggunaan bersama obat lain, bahan kimia dan distribusinya yang tergantung
pada kelarutan dalam lemak dan ikatannya dalam jaringan tubuh. Absorbsi dapat
dipengaruhi saat makan obat misalnya sebelum atau sesudah makan, jenis
makanan dan obat misalnya antasida.
Kegagalan OAE sering disebabkan karena non compliance atau tidak
diminum menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat dapat diganti
dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap sedangkan dosis OAE
pertama diturunkan bertahap. Jika memungkinkan terapi diinisiasi dengan satu
antiepilepsi non sedatif, jika gagal dapat diberikan anti epilepsi sedatif atau
dengan politerapi.24,25

B. Mekanisme kerja obat anti epilepsi

Pengobatan epilepsi pada anak memerlukan pertimbangan khusus. Diagnosa


merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan pasien. Langkah berikutnya yang
tidak kalah penting adalah follow up, termasuk diantaranya memantau bangkitan
dan efek samping obat yang digunakan. Epilepsi pada anak terjadi saat otak dalam

17
masa pertumbuhan, karena itu terapi dengan obat anti epilepsi memperlihatkan
ciri khas yang tidak diamati pada epilepsi dewasa. Ciri khas tersebut bervariasi
berhubungan dengan epilepsinya sendiri, fungsi kognitif dan tingkah laku,
farmakokinetik, metabolisme dan toleransi obat.26
Pemberian obat anti epilepsi merupakan salah satu aspek dalam menangani
penderita epilepsi. Obat diharapkan dapat menghilangkan atau menurunkan
kejang tetapi bukan merupakan penyelesaian mengenai permasalahan lain yang
berkaitan dengan epilepsi misalnya pada kerusakan otak yang menetap maupun
keadaan psikososial penderita. Walaupun begitu pemberian obat anti epilepsi
masih merupakan penatalaksanaan yang utama pada penderita dengan epilepsi.26
Pada hampir semua anak dengan epilepsi penatalaksanaannya adalah
dengan obat anti epilepsi (OAE), sedangkan pengobatan dengan diet dan
pembedahan dilakukan pada kasus-kasus tertentu. Tipe kejang dan bila mungkin
mengidentifikasi sampai dengan sindroma epilepsi merupakan pedoman yang
penting dalam pemilihan obat anti epilepsi yang akan digunakan.26
Obat anti epilepsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati
bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Terdapat dua mekanisme obat epilepsi yang
penting yaitu dengan mencegah timbulnya depolarisasi eksesif pada neuron
epileptik dan dengan mencegah terjadinya depolarisasi pada neuron normal akibat
pengaruh dari fokus epilepsi. Golongan obat ini lebih tepat dinamakan anti
epilepsi sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala kejang/konvulsi penyakit
lain. Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya dianjurkan untuk
membuat catatan tentang datangnya waktu bangkitan epilepsi.24,26
Sebagian besar obat epilepsi pada prinsipnya memiliki efek pada target
secara molekul: reseptor GABA A, reseptor glutamat, voltage-dependent
sodium channels daan voltage-dependent calcium channels. Setiap obat anti
epilepsi mempunyai mekanisme yang berbeda-beda pada target karena pada
obat antiepilepsi tidak bekerja pada satu target saja. Untuk anti epileptik
benzodiazepine dan barbiturat bekerja pada post sinaptik reseptor GABA A.
Asam valproat merupakan obat anti epilepsi yang memiliki mekanisme yang
luas dan mempunyai efek terhadap biokimia dan perubahan neurofisiologis. 27

18
Gambar 3 . Skema Sinapsis Eksitatorik Obat Anti Epilepsi pada Saraf Pusat.21

Gambar 4. Skema Sinapsis Inhibitor Obat Anti Epilepsi pada Saraf Pusat.21

19
Tabel 3. Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi

C. Golongan Obat Anti Epilepsi


Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua
jenis kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam
valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai obat anti epilepsi.
Namun penelitian-penelitian tersebut tidak dapat membuktikan perbedaan yang
bermakna dalam hal efikasi obat-obat tersebut. Selain efikasi, efek samping OAE
pun harus dipertimbangan terlebih dahulu sebelum memilih obat.26,27
Sampai saat ini belum ada meta analisis yang menunjukkan bahwa obat
tertentu lebih baik dibandingkan yang lain sebagai pilihan terapi pada epilepsi
umum idiopatik. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa valproat efektif
untuk tatalaksana beberapa epilepsi umum idiopatik, yaitu juvenile myoclonic
epilepsy (JME), epilepsi dengan kejang tonik-klonik umum saat bangun tidur
pagi hari, dan juvenile absence epilepsy (JAE).28,29
Studi retrospektif yang membandingkan angka remisi pada kasus
epilepsi umum idiopatik yang diterapi dengan asam valproat, topiramat, dan
lamotrigin, menunjukkan bahwa angka remisi tertinggi tercapai pada kelompok
valproat disusul topiramat, dan paling sedikit pada kelompok lamotrigin
(peringkat bukti 3, rekomendasi C). sedangkan pada epilepsi umum simtomatik
(sindrom Lennox-Gastaut, sindrom Dravet, epilepsi absans atipikal, dan

20
epilepsi mioklonik yang tidak dapat diklasifikasikan), valproat, lamotrigin, dan
klobazam dapat menurunkan frekuensi kejang. 28,30
Obat anti epilepsi spektrum luas (fenitoin, valproat, karbamazepin,
klobazam, lamotrigin, topiramat, okskarbazepin, vigabatrin) efektif sebagai
monoterapi pada kejang fokal. 28
Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8
golongan yaitu :
1. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang
tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf.
Fenitoin memiliki lingkup terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien
dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah
dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan)
ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial
aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin
5 mg/kg/hari.31,32
Karakteristik farmakokinetik fenitoin dipengaruhi oleh ikatan dengan
protein plasma, farmakokinetik non linear dan dari metabolisme CYP. Ikatan
protein plasma dengan albumin ± 90%. Peningkatan jumlah obat bebas yang
sangat nyata terjadi pada neonatus, pasien dengan hipoalbuminemia, atau pasien
uremia. 31,32
Waktu paruh eliminasi antara 6-24 jam pada konsentrasi plasma dibawah
10μg/mL, meningkat pada konsentrasi yang lebih tinggi. Fenitoin di metabolisme
di hati sebanyak 95 % oleh karena itu klirens akan meningkat bila kadar serumnya
meningkat. Obat-obat lain yang dimetabolisme oleh enzim yang sama dengan
fenitoin dapat menghambat metabolisme fenitoin sehingga konsentrasi plasmanya
meningkat. Sekitar 70 % diekresikan melalui urin sebagai metabolit inaktif, 5-(p-
hydroxyphenyl)-5-phenyl hydantoin. Kurang dari 5% diekresikan dalam bentuk
utuh di urin. 31,32
Waktu tunak (steady state) meningkat seiring peningkatan dosis dan kadar
serum. Steady state berkisar antara 7–14 hari tapi dapat juga memerlukan waktu

21
hingga 28 hari. Kadar serum 10–20 mg/L (40–80 mmol/L) pada pasien dengan
fungsi ginjal dan konsentrasi albumin normal. 31,32
Pemberian bersamaan dengan karbamazepin dapat mengurangi konsentrasi
fenitoin dalam plasma.
2. Golongan Barbiturat: Fenobarbital, Primidon.
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang
tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting utnuk tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya
serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah
mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak
pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital
menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor
GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan
reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu,
fenobarbital juga menekan eksitabilitas glutamat dan meningkatkan inhibisi
postsinaptik GABAergik. 31,32
Sekitar 70 - 90 % dari dosis oral di absorbsi secara lambat pada saluran
cerna. Konsentrasi plasma tertinggi dicapai dalam 8-12 jam dan konsentrasi di
otak tertinggi dalam 10-15 jam. Umumnya konsentrasi plasma 10-40 mcg/mL
menimbulkan aktivitas antikonvulsan. Konsentrasi plasma diatas 50 mcg/mL
dapat menimbulkan koma, lebih dari 80 mcg/mL berpotensi kematian. Pada
pemberian intravena, efeknya timbul dalam 5 menit dan efek maksimal diperoleh
dalam waktu 30 menit. Pemberian intramuskular atau subkutan menghasilkan efek
yang lebih lambat. 31,32
Ikatan protein plasma berkisar antara 40-60 %. Dieksresikan secara utuh
ke dalam urin sekitar 20-30%. Hingga 25% dari dosis eksresinya bergantung pada
pH ginjal. Eliminasinya dapat meningkat dengan alkalinasi urin. Waktu paruh
eliminasinya 4-5 hari. Obat yg tidak di metabolisme dapat terakumulasi pada
pasien oliguria atau uremia. 31,32
Meskipun hubungan antara efek terapi dan konsentrasi obat dalam plasma
tidak ada, konsentrasi plasma 10-35 μg/mL direkomendasikan untuk pengobatan

22
kejang. Hubungan konsentrasi plasma fenobarbital dengan efek samping
bervariasi oleh karena adanya toleransi. Konsentrasi yang lebih besar dari 60
μg/mL dapat berhubungan dengan intoksikasi pada individu yang tidak toleran.
31,32

3. Golongan Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial.
Karbamazepin menghambat kanal Na+ yang mengakibatkan influk (pemasukan)
ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial
aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak yaitu 10-20
mg/kg 2-3 kali sehari. 31,32
Farmakokinetika dari karbamazepin beragam. Dipengaruhi oleh jumlah
fraksi larut air dan dari kemampuan obat anti kejang lain (temasuk karbamazepin
itu sendiri) yang meningkatkan metabolisme oleh enzim. Ikatan protein
plasmanya 75–78%. Terdistribusi dengan cepat ke seluruh jaringan, Vd 1.2 ± 0.2
L/kg pada anak-anak. Perbedaan besar dalam klirens timbul karena autoinduksi
enzim hati. Hanya sekitar 2 % dieksresikan dalam bentuk utuh ke urin.
Karbamazepin di metabolisme menjadi carbamazepine-10,1l-epoxide. Konsentrasi
metabolitnya dalam plasma dan otak dapat mencapai 50 %. Konsentrasi terapeutik
dilaporkan antara 6-12 μg/mL. Efek samping yang berhubungan dengan SSP
sering pada konsentrasi diatas 9 μg/mL. Karbamazepin di absorbsi secara lambat
dan tidak teratur setelah pemberian oral. Kadar puncak plasma didapatkan 4-8 jam
setelah pemberian oral, tapi dapat melambat sampai 24 jam. 31,32
Pemberian bersamaan dengan fenobarbital, fenitoin dan asam valproat
dapat meningkatkan metabolismenya. Karbamazepin dapat mengurangi
konsentrasi plasma dan efek terapeutik dari haloperidol. Metabolisme
karbamazepin dapat dihambat dengan pemberian bersama propoxylen,
eritromisin, simetidin dan isoniazid. 31,32
4. Golongan Asam Valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial,
kejang absans, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat

23
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi
sintesis GABA. Obat ini juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik
yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium. Dosis
penggunaan asam valproat 15-40 mg/kg/hari. 31,32
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu
masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenobarbital
dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat
memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat
menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang
dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3
pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang
menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut. 31,32
Asam valproat diabsobsi dengan cepat dan utuh setelah pemberian oral.
Puncak konsentrasi plasma 1-4 jam, walaupun dapat menjadi lebih lambat jika
diberikan dalam bentuk tablet salut enterik atau diberikan bersama makanan.
Volume distribusinya 0,2 L/Kg. Ikatan protein plasma sebesar ± 90 %. Fraksi obat
yang terikat berkurang bila konsentrasi total valproat ditingkatkan selama terapi.
Umumnya 95% dimetabolisme di hati dengan kurang dari 5% dieksresikan secara
utuh melalui urin. Waktu paruh eliminasinya kira-kira 15 jam, tapi dapat
berkurang pada pasien yang menggunakan obat anti epilepsi lain. Konsentrasi
plasma valproat kira-kira 30-90 μg/mL. Namun ada korelasi yang lemah antara
konsentrasi plasma dengan efikasinya. Konsentrasi tunak (steady stase) dicapai
dalam 2–4 hari. Dibutuhkan beberapa minggu untuk mencapai efek terapi
maximal. 31,32
5. Lamotrigine
Lamotrigin merupakan obat anti epilepsi generasi baru dengan spektrum
luas yang memiliki efikasi untuk epilepsi parsial dan umum. Lamotrigin tidak
menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme
aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+
serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat
dan aspartat. Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien

24
anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Lamotrigin dapat menyebabkan
kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Selain
sebagai obat epilepsi juga digunakan untuk memperpanjang periode serangan
pada penderita depresi, mania dan perasaan yang abnormal lainnya pada penderita
bipolar. 31,32
Pada anak usia 2-12 tahun yang juga mendapatkan terapi seperti
fenitoin, fenobarbital, ataupun carbamazepine, pemberian lamotrigin dimulai
dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis untuk dua minggu pertama lalu
dilanjutkan 1,2 mg/kgbb/hari untuk minggu ke 2-3. Kemudian dosis dapat
dinaikkan 1,2 mg/kgbb/hari tiap 1-2 minggu. Dosis pemeliharaan 5-15
mg/kg/hari. Pada anak yang sedang dalam terapi asam valproat, dosis
lamotrigin 0,15 mg/kg/hari untuk 2 minggu pertama dan 0,3 mg/kgbb/hari
untuk 2 minggu selanjutnya. Dosis dapat dinaikkan 0,3 mg/kgbb/hari tiap 2
minggu dengan dosis pemeliharaan 1-5 mg/kg/hari. 32
6. Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial,
kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan
menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis
reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang
lemah. 31,32
7. Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin)
Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial
epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati.
Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita epilepsi parsial yang sulit
diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat anti kejang lain
lebih unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median kejang yang diinduksi
oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian
double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan
bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari).
Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA non vesikel melalui
mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran

25
korteks saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+
pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi
perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak
usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali
sehari, anak usia 12 tahun atau lebih. 31,32
8. Levetiracetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derivat pyrrolidone
((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi
kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik. Mekanisme
levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi
penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N dan
mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori (atau
meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik
belum diketahui. 31,32
9. Obat anti epilepsi baru lain: Trimetadion, Etosuksimid, Felbamat, Zonisamide
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absans. Kanal kalsium
merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada
kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang
diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan
pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis
etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20
mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. 31,32
Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang dan hanya
digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang
mempunyai resiko anemia aplastik. Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja
NMDA dan meningkatkan respon GABA. 31,32
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid yang digunakan sebagai
terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa.
Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe
T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari. 31,32

26
Tabel 4. Pilihan Obat Anti Epilepsi lini pertama17
Nama obat Indikasi Kontraindikasi Dosis
Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/kg/hari dibagi 2
Epilepsi fokal dosis
Fenitoin Epilepsi fokal Mioklonik 5-7 mg/kg/hari dibagi 2
Epilepsi umum Absans dosis
Asam valproat Epilepsi umum - 15-40 mg/kg/hari dibagi
Epilepsi fokal 2 dosis
Absans Target awal: 15-25
mg/kg/hari
Karbamazepin Mioklonik Mioklonik 10-30 mg/kg/hari dibagi
Epilepsi fokal Absans 2-3 dosis
Target awal: 15-20
mg/kg/hari

Tabel 5. Pilihan Obat Anti Epilepsi lini kedua 17


Nama obat Indikasi Dosis
Topiramat Epilepsi umum 5-9 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi fokal Mulai 0.5-1 mg/kg/hari/ dinaikkan tiap
1-2 minggu hingga 5-9 mg/kg/hari
Levetiracetam Epilepsi fokal 20-60 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi umum Mulai 5-10 mg/kg/hari
Absans Dapat dinaikkan tiap 5-7 hari hingga
Mioklonik 30mg/kg/hari
Oxcarbazepine Epilepsi fokal 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Benign Rolandic Mulai dosis 5-10 mg/kg/hari
epilepsy Dapat dinaikkan tiap 5-7 hari hingga
dosis 30mg/kg/hari
Lamotrigin Epilepsi umum 5-15 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi fokal Mulai dosis 0.5 mg/kg/hari
Absans Dapat dinaikkan setiap 2 minggu
Mioklonik hingga dosis 5mg/kg/hari

D. Efek samping Obat Anti Epilepsi


Efek samping obat anti epilepsi kerap terjadi dan merupakan penyebab
terbesar penghentian terapi. Beberapa efek samping terkait dengan dosis dan

27
dapat diprediksi. Hal tersebut dapat diminimalkan dengan peningkatan dosis
secara bertahap dan penurunan dosis ketika muncul gejala. 17
Reaksi idiosinkrasi pada umumnya timbul di saat awal terapi, tetapi
dapat juga timbul kapanpun. Ruam merupakan efek samping yang sering
terjadi pada anak dan berkaitan dengan karbamazepin, fenitoin, dan lamotrigin.
Sindrom hipersensitivitas berat yang mengancam jiwa dapat terjadi, meskupin
jarang.17
Efek samping lainnya yaitu efek teratogenik. Angka kejadian terjadinya
malformasi mayor pada fetus meningkat dua sampai tiga kali lipat pada wanita
yang mendapat satu obat anti epilepsi. Risiko kelainan kongenital mayor akibat
valproat lebih tinggi dibandingkan lamotrigin atau karbamazepin. Selain itu,
dua studi epidemiologi retrospektif memperlihatkan hubungan antara paparan
valproat intrauterine dengan keterlambatan perkembangan. Remaja putri yang
mendapat terapi epilepsi harus diinformasikan mengenai risiko malformasi
fetus dan keterlambatan perkembangan pada anak yang dilahirkan. 17
Efek samping berdasarkan jenis obatnya17,32:
1. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.
Fenitoin memiliki efek terhadap perilaku lebih kecil dibandingkan
dengan clobazam. Efek samping yang sering terjadi pada anak adalah
gelisah, iritabel, depresi sedasi, nyeri kepala, diplopia, ataxia, ataupun
mengantuk. Penggunaan fenitoin pada pasien anak dapat menginduksi
terjadinya efek samping terhadap gangguan perilaku lebih banyak
dibandingkan dengan penggunaan clobazam. Hipertrofi ginggiva
merupakan efek samping lainnya, hal tersebut dapat dicegah dengan
hygiene oral yang baik.
2. Golongan Barbiturat: Fenobarbital:
Pada penelitian didapatkan 10 dari 85 anak terjadi peningkatan
gangguan perilaku pada anak yang mendapatkan terapi fenobarbital. Saat
ini penggunaan fenobarbital sudah mulai ditinggalkan dikarenakan
memiliki banyak efek samping terutama terhadap perilaku seperti
hiperaktivitas, gangguan kognitif, gangguan perhatian, dan depresi.

28
Fenobarbital merupakan obat yang paling sering mempunyai efek samping
berupa gangguan kognitif dan jika digunakan pada anak dengan kejang
demam. Pada penelitian terhadap 21 anak pemberian fenobarbital lebih
menimbulkan gangguan perilaku seperti hiperaktivitas dibandingkan
dengan penggunaan asam valproat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
penggunaan fenobarbital merupakan OAE yang memilki efek samping
terhadap perilaku paling besar dibandingkan dengan OAE lain. Dari
penelitian prospektif randomized placebo control anak yang mendapatkan
fenobarbital selama 6 bulan atau 6 bulan setelah penghentian obat
fenobarbital mengalami penurunan IQ (intelligence quotient).
Selain itu fenitoin juga dapat menyebabkan osteomalasia. Penyebab
osteomalasia diduga karena peningkatan konversi 25-hidroksivitamin D
menjadi metabolit inaktif. Efek samping yang berhubungan dengan dosis
yaitu hirsutism dan jerawat terutama pada remaja.
3. Golongan Karbamazepin
Obat seperti karbamazepin juga mempunyai efek samping berupa
gangguan perhatian, hiperaktivitas, gangguan tidur, mengantuk, mudah
lelah, cemas dan depresi. Penggunaan karbamazepin juga harus
diperhatikan untuk efek alergi hingga steven johnson syndrome, sehingga
apabila digunakan sebagai obat rawat jalan harus diberikan edukasi yang
lengkap kepada keluarga pasien. Penelitian pada anak menggunakan OAE
karbamazepin memiliki efek somatik akan tetapi sedikit efek terhadap
gangguan perilaku dibandingkan dengan clobazam. Penelitian double blind
pada pasien dengan epilepsi parsial, dilaporkan dapat menimbulkan agitasi,
depresi dan insomnia, serta pada penelitian lain dibandingkan dengan
vigabatrin juga dapat menimbulkan gangguan kognitif.
Selain itu, penggunaan karbamazepin berhubungan dengan leukopenia
yang terjadi dalam 2-3 bulan pertama terapi. Anemia dan agranulositosis
dilaporkan dapat terjadi namun sangat jarang. Pada keadaan leukopenia dan
agranulositosis, jumlah leukosit dan hitung jenis diulang setiap 3-4 minggu

29
sampai mencapai nilai normal. Jika nilai ANC kurang dari 1000, maka
pemberian karbamazepin harus dihentikan.
4. Golongan Asam Valproat
Asam valproat berkaitan dengan penambahan berat badan pada anak
dan remaja. Kelebihan berat badan pada awal terapi merupakan prediktor
yang bermakna untuk peningkatan berat badan selanjutnya selama
pemakaian obat.
Selain itu asam valproat berhubungan dengan peningkatan enzim
transaminase hati dan kadar ammonia darah yang minor dan pada
umumnya asimtomatik. Peningkatan enzim transaminase kurang dari tiga
kali normal dan asimtomatik tidak memerlukan penghentian obat. Bila
kadar enzim transaminase meningkat lebih dari tiga kali, maka kadarnya
perlu diulang beberapa minggu kemudian dan obat dihentikan bila
kadarnya meningkat secara cepat dan simtomatik.
Hepatotoksisitas akibat asam valproat pada umumnya terjadi pada anak
berusia kurang dari 3 tahun dan terjadi dalam enam bulan pertama
pengobatan. Efek samping lainnya yaitu anorexia, mual, dan muntah,
gangguan kognitif, sedasi, nyeri kepala, diplopia, ataxia, mengantuk, rambut
rontok, serta gangguan fungsi trombosit.
5. Lamotrigine
Dengan penggunaan dosis tinggi, efek samping yang dapat timbul yaitu
nyeri kepala, diplopia, ataksia, tremor, mual. Data dari uji klinis yang telah
dilakukan memperlihatkan bahwa kejadian ruam lebih banyak terjadi pada
anak dibandingkan dewasa. Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit
terutama pada penggunaan awal terapi. Stevens-Johnson syndrome juga
dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.
6. Levetiracetam
Tidak didapatkan laporan mengenai toksisitas serius dari penggunaan
levetiracetam. Obat tersebut di toleransi baik oleh anak. Pada anak dilaporkan
terjadi nyeri kepala, anoreksia, somnolen, dan infeksi ringan ( otitis media,
faringitis, dan gastroenteritis). Biasanya terjadi saat terapi awal dan dapat

30
dikurangi dengan mengurangi dosis obat secara lambat. Levetiracetam juga
dapat menyebabkan sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan
perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam. Data mengenai kelainan hematologi maupun gangguan fungsi
ginjal belum didapatkan sehingga pemeriksaan laboratorium rutin tidak
direkomendasikan.
7. Topiramate
Efek samping topiramate yang paling sering terjadi yaitu gangguan sistem
saraf berupa mengantuk, pusing, gangguan konsentrasi, parestesia, gelisah,
konfusi, gangguan daya ingat. Keluhan tersebut dapat terjadi selama minggu
pertama terapi dan dapat berkurang dengan berjalannya waktu.
Topiramat dapat mencetuskan asidosis metabolik kronik ringan sampai
sedang pada dua pertiga anak serta dapat mencetuskan nefrolitiasis. Risiko
asidosis metabolik meningkat bila terdapat kondisi yang merupakan
predisposisi asidosis metabolik, misalnya kelainan ginjal dan penggunaan
diet ketogenik. Efek samping lainnya yaitu penurunan berat badan, miopia
akut, ataupun glaucoma.
8. Gabapentin
Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan,
mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya
terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin
mengalami peningkatan berat badan
9. Obat anti epilepsi baru lain: etosuksimid, felbamat, zonisamid
Etosuksimid dapat menyebabkan mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh,
mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing
dan cegukan.
Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat
adalah anoreksia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan
berat badan. Anoreksia dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada
anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya

31
anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat
penyakit sitopenia.
Efek samping zonisamid yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing,
anoreksia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated 26% pasien
mengalami gejala batu ginjal.
Tidak terdapat bukti bahwa pemeriksaan laboratorium rutin dapat
mengurangi risiko efek samping. Pemeriksaan laboratorium hanya diperlukan
pada kasus-kasus yang simtomatik dan memperlihatkan gejala efek samping.
Pemeriksaan darah tepi rutin dan fungsi hati serta pemeriksaan lanjutan
dilakukan bila pasien memperlihatkan gejala flu-like syndrome yang tidak
mereda, muntah, demam, kejang yang semakin memburuk dan tidak dapat
dijelaskan sebabnya, nyeri perut, ataupu perubahan status mental. 17

E. Kombinasi terapi Obat Anti Epilepsi


Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespons baik terhadap obat anti
epilepsi pertama atau kedua. Jika OAE pertama dan kedua masing-masing gagal
sebagai monoterapi, peluang untuk mencoba monoterapi lain dalam
menghilangkan kejang sangat kecil, sehingga terapi OAE kombinasi patut
dipertimbangkan.
Sebelum memulai terapi kombinasi, hal yang patut dipertimbangkan :17
1. Apakah diagnosis sudah tepat
2. Apakah kepatuhan minum obat sudah baik
3. Apakah pilihan dan dosis OAE sudah tepat
Pada epilepsi umum idiopatik yang resisten terhadap monoterapi,
topiramat, lamotrigin, dan klobazam efektif sebagai terapi add-on (peringkat bukti
1, rekomendasi A).33
Lamotrigin dan topiramat efektif sebagai terapi add-on pada sindrom
Lennox-Gastaut (peringkat bukti 1, rekomendasi A). Klobazam, klonazepam, dan
nitrazepam dapat dipakai sebagai terapi kombinasi baik pada epilepsi umum
idiopatik dan simtomatik (peringkat bukti 3, rekomendasi C). sedangkan

32
lamotrigin, gabapentin, topiramat, tiagabin, dan okskarbazepin efektif sebagai
terapi add-on untuk kejang fokal.1

F. Tatalaksana non medikamentosa


Tatalaksana non medikamentosa pada epilepsi dapat berupa:
1.
Diet ketogenik
Diet dengan kandungan lemak yang tinggi, rendah karbohidrat, dan cukup
protein. Diet tersebut menghasilkan energi untuk otak bukan dari glukosa
sebagai hasil glikolisis, namun dari keton sebagai hasil oksidasi asam lemak.
Rasio lemak dengan karbohidrat dan protein adalah 3:1 atau 4:1 (dalam
gram). Diet ketogenik dapat diberikan sebagai terapi adjuvant pada epilepsi
intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi kejang. Diet ketogenik pada
anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat, batu
ginjal, dan fraktur. Inisiasi diet ketogenik pada pasien rawat jalan sama
efektifnya dengan inisiasi di ruang rawat inap. Suplementasi multivitamin
bebas gula, kalsium, dan vitamin D, serta garam sitrat (untuk mengurangi
risiko batu ginjal) dapat diberikan.34,35
2.
Pembedahan
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil
penyandang epilepsi yang tetap mengalami kejang meskipun telah mendapat
terapi OAE kombinasi, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet
ketogenik.35
Terapi bedah dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik lain di
luar area yang direncanakan akan direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa
pengangkatan area tempat kejang bermula atau pengangkatan lesi yang
menjadi fokus epileptik. Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan
lokalisasi kejang. Jika bedah kuratif tidak mungkin dikerjakan, anak dengan
epilepsi intraktabel harus dirujuk untuk prosedur bedah paliatif. 36
3. Stimulasi nervus vagus
Stimulasi nervus vagus merupakan terapi adjuvant yang dilakukan pada
pasien dengan kejang intraktabel dan bukan merupakan kandidat terapi bedah

33
reseksi. Terapi stimulasi nervus vagus dilaporkan efektif dalam mengurangi
frekuensi kejang pada epilepsi parsial dan epilepsi umum serta sindrom
Lennox-Gastaut yang refrakter terhadap terapi medikamentosa. 37

34
BAB IV

EFEK SAMPING POLITERAPI

A. Politerapi pada epilepsi


Monoterapi disebut sebagai “gold standard” dari pengobatan epilepsi.
Monoterapi epilepsi adalah terapi epilepsi dengan menggunakan satu jenis OAE
dan merupakan terapi awal pada epilepsi yang baru terdiagnosa. Kegagalan terapi
epilepsi anak dengan monoterapi adalah masih adanya kejang pada anak epilepsi
yang sudah diterapi dengan satu macam OAE sampai dengan dosis maksimal.
Sedangkan keberhasilan didasarkan pada definisi respon baik terhadap terapi,
yaitu berhentinya kejang dalam 6 bulan setelah diberi satu macam OAE.38
Akan tetapi dengan banyaknya obat anti epilepsi generasi baru yang ada
sebagai add-on (terapi tambahan), politerapi menjadi pilihan lain bagi pasien.
Studi dari Norwegia memperlihatkan bahwa 18 % pasien dalam pengobatan
politerapi. Kombinasi yang banyak digunakan yaitu lamotrigin dengan asam
valproat dan levetiracetam dengan carbamazepine. 38 Telah banyak studi
mengenai perbandingan efikasi dan efek samping monoterapi dengan
politerapi, akan tetapi belum ada konsensus yang disetujui. Shorvon and
Reynolds menekankan tiga masalah utama berhubungan dengan
polifarmakoterapi yaitu: toksisitas kronis, eksaserbasi kejang, dan interaksi
obat, oleh sebab itu, mereka mendukung penggunaan monoterapi dosis tinggi
sebelum menambahkan terapi lain. Akan tetapi studi tersebut dilakukan
sebelum diperkenalkannya obat anti epilepsi generasi baru yang mungkin lebih
aman.39
Pencarian sistematik data Medline dan EMBASE dengan kata kunci
“monotherapy”, “polytherapy or add-on or adjunct” dan “epilepsy or seizure”
didapatkan 6 studi yang memperlihatkan perbandingan efikasi dan keamanan
monoterapi dibandingkan politerapi.3

35
Gambar 5. Hasil pengobatan monoterapi dibandingkan politerapi 3

Politerapi tidak dapat dihindari pada penderita dengan epilepsi resisten


obat. Berdasarkan ILAE, epilepsi resisten obat merupakan kegagalan
pengobatan dengan penggunaan dua (atau lebih) obat epilepsi secara adekuat
dengan jenis obat dan regimen (monoterapi atau kombinasi) yang tepat untuk
mendapatkan kesembuhan. Terdapat beberapa sindrom epilepsi yang hampir
selalu membutuhkan politerapi, seperti Sindrom West, Sindrom Dravet,
Sindrom Lennox-Gastaut, ataupun epilepsi absans pada anak. 40
Politerapi mengakibatkan efek samping yang lebih besar dibandingkan
monoterapi. Thomas et al menjelaskan bahwa politerapi dapat dihubungkan
dengan kualitas hidup yang buruk sedangkan Haag et al menerangkan bahwa
pada dewasa, politerapi memberikan dampak buruk pada kesempatan kerja
karena efek samping yang timbul. Penelitian oleh Tom Andrew tahun 2012
menjelaskan tentang skor LAEP (Liverpool Adverse Event Profile) pada grup
politerapi diatas 45, yang merupakan intoksikasi berdasarkan Gilliam et al. 38
Pemberian monoterapi pada epilepsi efektif pada 60-70% anak.
Tambahan terapi pada pasien refrakter hanya memiliki keuntungan yang
sedikit. Secara umum politerapi dihubungkan dengan risiko yang lebih besar
terhadap toksisitas obat pada anak. Akan tetapi, kebanyakan obat anti epilepsi
generasi baru merupakan terapi tambahan sehingga masih sedikit data
mengenai efek sampingnya. Hal ini mendorong klinisi untuk menggunakan
politerapi pada pasien epilepsi. 41

36
Mendapatkan data keluhan efek samping langsung dari pasien
merupakan salah satu cara praktis untuk memonitor timbulnya efek samping
obat. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan pada anak-anak terutama dibawah 5
tahun.

B. Interaksi antar obat anti epilepsi


Penggunaan obat-obatan anti epilepsi yang digunakan dapat juga
menimbulkan efek samping berupa timbulnya gejala klinis tertentu. Akan
tetapi dokter sangat sulit untuk memonitor gejala klinis secara terus-menerus.
Kerusakan organ yang disebabkan oleh pemberian obat anti epilepsi dapat
dideteksi lebih awal secara klinis dibandingkan dengan pemeriksaan
laboratorium. Paling sering efek samping yang terjadi mempengaruhi sistem
saraf pusat. Manifestasi yang biasanya terjadi yaitu terjadinya perubahan
kognitif dan pusing, gangguan perhatian, inkoordinasi, ataksia dan diplopia.
Selain sistem saraf pusat juga menyebabkan toksisitas di hepar. Toleransi dari
pasien anak dengan epilepsi dan efek sampingnya merupakan kelemahan dari
penggunaan obat anti epilepsi (OAE). 32
Beberapa obat anti epilepsi memiliki jalur farmakokinetik yang sama
sehingga enzim-enzim yang bekerja dapat menjadi masalah utama pada
kombinasi obat tertentu. Salah satu contohnya adalah kombinasi asam valproat
dan lamotrigin. Asam valproat menghambat glukoronidasi lamotrigin sehingga
akan meningkatkan konsentrasi plasma dan toksisitasnya. 42 Obat anti epilepsi
memiliki mekanisme farmakodinamik yang serupa sehingga dapat
meningkatkan efek aditif maupun kejadian efek samping obat.
Beberapa efek samping dari penggunaan OAE yang berhubungan
dengan tingkah laku merupakan pertimbangan dalam memilih OAE yang
sesuai. Insidensi dan karakteristik OAE yang menyebabkan gangguan tingkah
laku berhubungan dengan usia, tipe epilepsi, adanya gangguan belajar, dan
riwayat psikitarik lainnya. Parameter terapi juga mempertimbangkan dosis,
laju titrasi, manfaat dalam mengontrol kejang. 32

37
Sebagian obat dengan epilepsi mempunyai efek terhadap sistem saraf
pusat seperti fenitoin, fenobarbital, pirimidone, carbamazepin dan asam
valproat yaitu berupa gangguan kognitif, sedasi, pusing, diplopia dan ataksia.
Efek obat anti epilepsi secara umum terhadap gangguan kognitif tergantung
dari konsentrasi dalam serum dan dosis yang diberikan terutama obat yang
diberikan secara polifarmasi. Penghentian obat-obatan anti epilepsi dilakukan
secara bertahap dilaporkan dapat meningkatkan fungsi kognitif dan
kemampuan motorik. Hal ini penting untuk mengenali waktu reaksi, gangguan
perhatian dan impulsivitas jika anak dengan epilepsi tidak diberikan obat anti
epilepsi, adanya perbedaan dengan kelompok anak epilepsi yang terkontrol
oleh obat-obatan anti epilepsi. 32
Efek samping obat yang banyak ditemukan dari berbagai penelitian
adalah gangguan perilaku dan mengantuk. Anak dengan epilepsi memiliki
insidensi lebih tinggi untuk terjadinya masalah gangguan perilaku
dibandingkan anak-anak lainnya. Baik obat anti epilepsi generasi lama maupun
baru memiliki efek terhadap kognitif dan perilaku.27
Penggunaan asam valproat memberikan efek samping terhadap
gangguan perilaku yang lebih ringan sehingga penggunaan obat ini lebih
banyak digunakan untuk penggunaan dalam jangka waktu lama efek samping
nya dapat berupa mudah lelah, bingung, mudah cemas, agitasi dan depresi.
Pemberian obat-obatan anti epilepsi sekarang lebih banyak menggunakan
monoterapi seperti asam valproat karena mempunyai waktu paruh hingga 24
jam diberikan secara monofarmasi dan mempunyai efek samping ke sistem
saraf pusat lebih kecil dibandingkan fenitoin jika digunakan dalam waktu
lama. Dari penelitian tahun 2003 oleh Meador, penggunaan asam valproat
dibandingkan dengan topiramate pada pasien anak dengan kejang parsial
dilaporkan memiliki profil toleransi obat yang baik dan sedikit menimbulkan
efek samping terhadap perilaku. 43
Pada penelitian double-blind randomized trial dibandingkan anak yang
mendapatkan fenitoin, clobazam atau karbamazepin. Hampir semua efek
samping obat anti epilepsi adalah sama, tetapi fenitoin memiliki efek terhadap

38
perilaku lebih kecil dibandingkan dengan clobazam. Penggunaan fenitoin pada
pasien anak dapat menginduksi terjadinya efek samping terhadap gangguan
perilaku lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan clobazam. 32
Obat-obatan anti epilepsi yang baru seperti gabapentin, felbamate,
topiramate, lamotrigine, tiagabine, oxcarbazepine, levetiracetam, vigabatrin
dan zonisamide mempunyai efek samping lebih kecil daripada obat-obatan anti
epilepsi generasi lama.32
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien dengan epilepsi yang
diterapi lamotrigine pada anak dengan epilepsi general yaitu mengantuk,
cemas, bingung, dan depresi. Dari beberapa sumber didapatkan efek positif
pada pemberian lamotrigine pada peningkatan perilaku terhadap kesadaran,
perhatian, dan belajar. 17,32
Penelitian oleh Anderson pada tahun 2015 menjelaskan bahwa
carbamazepine, asam valproat, lamotrigin merupakan obat anti epilepsi yang
banyak digunakan. Prevalensi ini mirip seperti penelitian-penelitian
sebelumnya. Obat-obat tersebut juga merupakan penyebab efek samping obat
yang banyak dilaporkan. Besarnya risiko tidak melanjutkan pengobatan pada
anak yang mendapatkan obat-obatan tersebut adalah 1:10 dengan ruam
merupakan penyebab utama. Penyebab lainnya adalah toksisitas dari
pemberian politerapi carbamazepine dan asam valproat ataupun carbamazepine
dan fenobarbital. Toksisitas supra-adiktif terjadi pada pemberian politerapi
dengan kombinasi obat yang memiliki mekanisme yang mirip. Sebagai contoh,
pemberian carbamazepine dengan oxcarbazepine, gabapentin dengan
pregabalin, atau penggunaan kelompok benzodiazepine yang berbeda.
Kombinasi dimana efek samping masing-masing obat sama sebaiknya
dihindari. Risiko neurotoksik meningkat pada kombinasi lamotrigin dengan
carbamazepine atau lacosamide diberikan bersama obat sodium channel
blocker. Walaupun fenitoin dan fenobarbital memiliki mekanisme yang
berbeda, interaksi farmakokinetik yang terjadi mungkin menyebabkan hasil
yang tidak dapat diprediksi sehingga sulit untuk mencapai level adekuat tanpa
timbulnya toksisitas. 41

39
Ensefalopati metabolik merupakan salah satu efek samping asam
valproat yang jarang terjadi (sekitar 0,1% dari kejadian efek samping asam
valproat). Pemberian kombinasi asam valproat dengan topiramat meningkatkan
kejadian ensefalopati yang disebabkan oleh hiperamonia sebesar 10 kali
daripada dengan pemberian monoterapi asam valproat. Akan tetapi sampai saat
ini belum ada bukti interaksi farmakologis kuat yang membuktikan
peningkatan kejadian ensefalpoati pada penggunaan kombinasi obat tersebut .44
Sebagian besar obat anti epilepsi mempunyai efektifitas yang sama
akan tetapi berbeda dalam hal keamanan obat. Sebuah studi di China
melaporkan bahwa proporsi yang sama pada anak dengan pengobatan
carbamazepine, topiramate, dan asam valproat memiliki kontrol kejang yang
baik, akan tetapi carbamazepine memiliki efek samping berupa ruam yang
menyebabkan diskontinuasi pengobatan. Penelitian oleh Man tahun 2007
menjelaskan bahwa populasi china Han memiliki faktor predisposisi terjadinya
carbamazepine-induced rash, sehingga carbamazepine bukan pilihan utama
untuk pengobatan epilepsi pada komunitas tersebut. Studi lain di India dengan
fenitoin dilaporkan bahwa insidensi terjadinya gangguan perilaku kecil
(5,7%).41
Memberikan OAE dalam waktu lama dapat menjadikan masalah,
Misalkan pada anak sekolah dengan epilepsi dapat diberikan pada saat anak
sudah pulang dari kegiatan belajarnya sehingga akan lebih mudah
berkonsentrasi pada pelajarannya karena sebagian besar obat anti epilepsi
mempunyai efek samping berupa sedasi. Oleh karena itu penggunaan obat
polifarmasi dapat menimbulkan efek samping yang lebih besar terutama ke
sistem saraf pusat sehingga dapat menyebabkan gangguan belajar dan
gangguan perhatian. 45

40
BAB IV
KESIMPULAN

Epilepsi merupakan gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh


kejang, berulang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. Epilepsi
merupakan masalah besar dalam bidang pediatri. Bangkitan epilepsi (epileptic
seizure) adalah suatu manifestasi klinis yang diduga hasil dari abnormalitas dan
akibat berhentinya fungsi sekelompok sel neuron di otak. Manifestasi klinis
epilepsi merupakan kondisi yang akut dan berlangsung sementara seperti
penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom atau psikis yang
dirasakan oleh pasien dan dapat disaksikan oleh orang lain.
Pada saat ini, kemajuan bidang farmakologi dan pengetahuan yang lebih
terbuka mengenai patofisiologi epilepsi menjadikan banyak obat epilepsi baru
berhasil dikembangkan. Obat anti epilepsi yang lama mempunyai keuntungan
dengan pemakaian yang luas, harga lebih murah, efikasi yang sudah dikenal, dan
pengalaman pemakaian jangka panjang. Parameter tersebut digunakan sebagai
efikasi, toleransi, dan profil keamanan obat anti epilepsi baru untuk pasien
epilepsi baru pada anak dan dewasa. Saat ini politerapi menjadi pilihan kembali
dan kurang lebih 30-40 % pengobatan epilepsi merupakan politerapi. Walaupun
terdapat banyak obat anti epilepsi baru yang tersedia, prevalensi epilepsi yang
terkontrol masih sama. Sekitar 30% pasien epilepsi resisten terhadap pengobatan.
Epilepsi yang resisten terhadap obat hampir selalu memerlukan politerapi. Akan
tetapi, data penelitian mengenai efektifitas dan efek samping obat anti epilepsi
politerapi pada anak-anak masih sulit didapatkan.
Politerapi meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat pada
anak dan diberikan bila dosis obat monoterapi telah maksimal akan tetapi belum
didapatkan hasil yang ingin dicapai. Baik dokter maupun orang tua harus
memantau efek samping obat anti epilepsi yang sering timbul.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Panayiotopoulus. Clinical aspects of the diagnosis of epileptic seizures and


epileptic syndromes. The epilepsies: seizures, syndromes and management.
Bladon Med Publ. 2005:1-28.
2. Adelow C, Andell E, Amark P, Andersson T, Hellebro E, Ahlbom A, et al.
Newly diagnosed single unprovoked seizures and epilepsi in Stockholm,
Sweden: first report from the Stockholm Incidence Registry of Epilepsi
(SIRE). Epilepsia. 2009;50:1094 –101.
3. Oluwaseun E, Helen M, William P. Monotherapy or polytherapy for
childhood epilepsies?. BMJ. 2005; 309466
4. Ackers R, Murray ML, Besag F, et al. Prioritizing children’s medicines for
research: a pharmacoepidemiological study of antiepileptic drugs. Br J Clin
Pharmacol. 2007;63:689-97
5. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Engl J
Med. 2000;342:314-19
6. Suwarba IGNM. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari
Pediatri. 2011;13:123 – 9.
7. Fisher R, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross H, Eiger C. A
practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia. 2014; 55(4): 475-482
8. Dekker, P.A. Epilepsy: A manual for medical and clinical officers in Africa.
WHO.20021;1:3
9. Yulia, Effendi SH, Setiabudiawan B. The Association between Onset,
Frequency, Duration of Seizure and IQ level in Epileptic Children. Pediatrica
Indonesiana. Bandung. 2009; 536-38.
10. Asadi-Pogya AA, Hojabri K. Risk factors for childhood eplepsy: a case-
control study. Epilepsy Behav. 2005;6(2):203 - 6.
11. Shakirullah, Ali N, Khan A, Nabi M. The prevalence, incidence and etiology
of epilepsi. International Journal of Clinical and Experimental Neurology.
2014;2(2):29 -39.
12. Guerrini R. Epilepsy in children. Lancet. 2006; 367:499-524

42
13. Blume WT, Luders HO, Mizhari E. Glossary of descriptive terminology for
ictal semiology: Report of the ILAE Task Force on Classification and
Terminology. Epilepsia. 2001;42:1212-8
14. International League Against Epilepsy. Proposal for revised cinical and
electroencephalo-graphic classification of epileptic seizures. From the
Commision on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy. Epilepsia. 1981;22:489-501
15. Commission on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and
epileptic syndromes. Epilepsia. 1989;30:389-99
16. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Connoly M, French J, Guilhoto, et al.
ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission
for Classification and Terminology. Epilepsia. 2017;58(4):512-521
17. Ismael S., Soetomenggolo T., Pusponegoro H., Saharso D.,Herini E.,Passat J.
et al. Epilepsi Pada Anak. Jakarta: Balai penerbit IDAI, 2016.12-13.
18. Vezzani A, Fujinami R, White H, Preux P, Blumcke I, Sander J, et al.
Infections, inflammation and epilepsy. Acta Neuropathologica. 2016;131:211-
234
19. Lancaster E, Dalmau J. Neuronal autoantigens-pathogenesis, associated
disorders and antibody testing. Nature Reviews Neurology. 2012; 8(7): 380-
90
20. Handryastuti S., Bayi Risiko tinggi, apa yang bisa terjadi pada
perkembangannya?, A Journey to Child Neurodevelopment: Application in
daily practice. Jakarta: badan penerbit IDAI, 2010, 7-19.
21. Swaiman KF, Ashwal S, Swaiman’s Pediatric Neurology 5th Edition :
Epilepsy and Neurodevelopmental disorders.. Elsevier. USA. 2012; 767-73
22. Volpe JJ. Neurology of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2008. H.51-82.
23. Appleton R, Freeman A, Cross JH. Diagnosis and management of the
epilepsies in children: a summary of the partial update of the 2012 NICE
epilepsy guideline. BMJ. 2012; 10;1136.

43
24. Marson A, Jacoby A, Johnson A. Immediate versus deferred antiepileptic drug
treatment for early epilepsy and single seizure; a randomized controlled trial.
Lancet. 2005;365:2007-13.
25. Shinnar S, Berg AT, Moshe SL, O’Dell C, Alemany M, Newstein D, et al.
The risk of seizure recurrence after a first unprovoked afebrile seizure in
childhood: an extended follow-up. Pediatrics. 1996; 98:216-25.
26. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and management of
epilepsies in children and young people: a national clinical guideline. 2005.
27. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tata laksana epilepsi. 3 ed.
Jakarta: Perdossi; 2006.
28. Glauser TA, Ben-Menachem E, Bourgeois B, Cnaan A, Guerreiro C,
Kalviainen R, et al. Updated ILAE evidence review of antiepileptic drug
efficacy and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and
syndromes. Epilepsia. 2013; **(*)1-13
29. Levisohn PM, Holland KD. Topiramate or valproate in patients with juvenile
myoclonic epilepsy: a randomized open-label comparison. Epilepsy
Behaviour. 2007;10:547-552
30. Glauser TA, Cnaan A, Shinnar S, Hirtz DG, Dlugos D, Masur D, et al.
Childhood Absence Epilepsy Study Group. Ethosuximide, valproic acid, and
lamotrigine in childhood absence epilepsy. N Engl J Med. 2010; 362:790–799.
31. Gidal, B.E., and Garnett, W.R. Epilepsy in Pharmacotherapy: A
Pathophysiology Approach. McGraw Hill. New York. 2005; 1023-1048.
32. Swaiman KF, Ashwal S, Swaiman’s Pediatric Neurology 5th Edition :
Antiepileptic Drug Therapy in Children. Elsevier. USA. 2012; 811-35
33. Ostendorf AP, Ng YT. Treatment-resistant Lennox-Gastaut syndrome:
therapeutic trends, challenges and future directions. Neuropsychiatric Disease
and Treatment. 2017;13: 1131–114.
34. Martin K, Jackson CF, Levy RG, Cooper PN, Giri P. Ketogenic diet and other
dietary treatments for epilepsy. Cohcrane Database System Review. 2016; 2:
CD001903

44
35. Kossof EH, Zupec-Kania BA, Amark PE, Ballaban-Gil KR, Bergqvist AGC,
Blackford R, et al. Optimal clinical management of children receiving the
ketogenic diet: recommendations of the International Ketogenic Diet Study
Group. Epilepsia. 2009;50:304-17
36. Steinbok P, Gan PY, Connolly MD. Epilepsy surgery in the first 3 years of
life: a Canadian survey. Epilepsia. 2009;50:1442-9
37. Kawai K, Usami K, Saito N. Vagus nerve stimulation for epilepsy. Rinsho
Shinkeigaku. 2011;51:990-2
38. Andrew T, Milinis K, Baker G, Wieshmann U. British Epilepsy Association.
Self reported adverse effects of mono and polytherapy for epilepsy. Elsevier.
2012; 21: 610-613.
39. Shorvon S, Reynolds E. Unnecessary polypharmacy for epilepsy. BMJ.
1977;1:1635-7
40. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G, et
al. definition of drug resistant epilepsy: consensus proposal by the ad hoc Task
Force of the ILAE Commission on Therapeutic Strategies. Epilepsia. 2010;
51: 1069-77.
41. Anderson M, Egunsola O, Cherrill J, Millward C, Fakis A, Choonara I, et al.
A prospective study of adverse drug reactions to antiepileptic drugs in
children. BMJ Open. 2015;5:e008298.
42. Anderson GD, Yau MK, Gidal BE. Bidirectional interaction of valproate and
lamotrigine in healthy subjects. Clin Pharmacol Ther. 1996;60:145–56.
43. Meador KJ, Loring DW, Hulihan JF. Differential cognitive and behavioral
effects of topiramate and valproate. Neurology.2003;60(9):1483-1488.
44. Noh Y, Kim DW, Chu K, Lee ST, Jung KH, Moon HJ, et al. Topiramate
increases the risk of valproic acid-induced encephalopathy. Epilepsia.
2013;54(1):e1-e4.
45. Fitzgerald MJT, Gruemer G.,Mtui E., Clinical neuroanatomy and
neuroscience. Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier Saunders; 2012.

45

Anda mungkin juga menyukai