EPILEPSI
Pembimbing :
dr. Supriyanto, Sp.A
Disusun oleh :
Annisa Rizka Fauziah 1820221134
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Epilepsi
Disusun oleh :
Annisa Rizka Fauziah 1820221134
1
I. PENDAHULUAN
Epilepsi adalah salah satu masalah neurologis kronis yang paling umum di
dunia dan juga merupakan salah satu kondisi tertua yang diketahui umat manusia.
Kata "epilepsi" berasal dari kata Yunani "epilambanein" yang berarti "merebut atau
menyerang dari atas". Beberapa negara meyakini bahwa seseorang dengan epilepsi
dimiliki oleh kekuatan gaib. Sebagian besar masyarakat meyakini atas stigma tersebut
terhadap orang yang hidup dengan epilepsi. Keyakinan yang dipegang secara luas ini
tidak benar, karena saat ada bukti bahwa kejang adalah akibat dari pelepasan listrik
yang abnormal yang melibatkan sekelompok sel otak.1
Episode kejang akibat dari pelepasan hantaran listrik yang berlebihan pada
sekelompok sel otak. Bagian otak yang berbeda dapat menjadi tempat pelepasan
hantaran listrik tersebut. Kejang dapat bervariasi dari penyimpangan hantaran
tersingkat atau sentakan otot hingga kejang yang lama dan berkepanjangan. Kejang
juga dapat bervariasi dalam frekuensinya, yaitu kurang dari 1 kali per tahun hingga
beberapa kali per hari. Satu kejang tidak menandakan epilepsi (hingga 10% orang di
seluruh dunia memiliki satu kali kejang selama masa hidup mereka).1
Epilepsi didefinisikan sebagai memiliki dua atau lebih kejang yang tidak
diprovokasi. Epilepsi adalah penyakit kronis pada otak yang tidak menular dan
menyerang sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Penyakit ini ditandai dengan kejang
berulang, yang merupakan episode singkat dari gerakan tak sadar dan melibatkan
bagian tubuh (parsial) atau seluruh tubuh (generalis) dan kadang-kadang disertai
dengan hilangnya kesadaran serta kontrol fungsi usus atau kandung kemih.2
Angka prevalensi dan insiden epilepsi di Indonesia belum diketahui secara
pasti. Hasil penelitian kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia
di beberapa RS di 5 pulau besar di Indonesia (2013) didapatkan 2.288 penyandang
epilepsi dengan 21,3% merupakan pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia
produktif dengan etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi susunan
saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor otak. Riwayat kejang demam didapatkan 29%
pasien. Sebagian besar (83,17%) adalah epilepsi parsial dengan aura yang tersering
adalah sensasi epigastrium dan gejala aura autonomi (60,1%).3
2
Salah satu alasan utama tingginya insiden kejadian epilepsi di negara
berkembang yaitu memiliki risiko lebih tinggi mengalami kondisi yang dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi-kondisi ini termasuk trauma,
meningitis, HIV/AIDS, malaria, komplikasi pranatal, perinatal dan neurocysticercosis.
Epilepsi adalah salah satu kondisi tertua yang diakui di dunia, dengan catatan tertulis
yang berasal dari 4000 SM. Ketakutan, kesalahpahaman, diskriminasi, dan stigma
sosial telah mengelilingi epilepsi selama berabad-abad. Stigma ini berlanjut di banyak
negara saat ini dan dapat berdampak pada kualitas hidup orang dengan penyakit dan
keluarga mereka.1
I.2 Tujuan
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Kejang epileptik adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sinkronisasi
sekumpulan neuron otak yang abnormal, berlebihan, dan bersifat transien. Aktivitas
berlebihan tersebut menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa
fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis),
negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara), atau gabungan
keduanya. Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked
seizure) adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut
yang terjadi dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. 3
Pada tahun 2005, League Against Epilepsy ILAE mulai membuat usulan
definisi baru, dan pada tahun 2014 definisi baru tersebut telah disetujui yaitu:4
a. Definisi konseptual:
1. Epilepsi
Kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan
terjadinya minimal satu kali bangkitan epileptik.
2. Bangkitan epileptik
Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang
abnormal dan berlebihan di otak.
b. Definisi operasional/definisi praktis
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala
berikut:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan
refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih
dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat dua bangkitan tanpa
profokasi/ bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi
4
satu bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang
disertai lesi struktural dan epileptiform dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh
faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf,
dan somatomotor.4
II.2 Epidemiologi
Insiden epilepsi adalah 24-53 per 100.000 populasi di negara maju. Sekitar 50
juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi, menjadikannya salah satu penyakit
neurologis paling umum di dunia. Hampir 80% penderita epilepsi tinggal di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Diperkirakan bahwa hingga 70% orang yang
hidup dengan epilepsi dapat hidup bebas kejang jika didiagnosis dan diobati dengan
benar.2
II.3 Etiologi
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Namun menurut ILAE 1981, etiologi
epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:6
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia. Tidak ada penyebab yang mendasari selain kemungkinan adanya
faktor predisposisi herediter. Epilepsi idiopatik didefinisikan menurut onset
sesuai usia, karakteristik klinis dan elektroensefalografi, serta etiologi kelainan
genetika yang diduga epilepsi.
5
b. Kriptogenik: penyebabnya belum diketahui. Penyebab ini dianggap sebagai
konsekuensi dari gangguan yang diketahui atau diduga dari sistem saraf pusat.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada
otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolik,
kelainan neurodegeneratif.
Klasifikasi berdasarkan ILAE 2010, mengganti terminologi dari idiopatik,
simtomatis, atau kriptogenik, menjadi genetik, struktural/metabolik, dan tidak
diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang diketahui/diduga
disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi utama.7
Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan struktural/metabolik
yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi, contohnya; epilepsi
setelah sebelumnya mengalami stroke, trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan
genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan struktur otak (tuber). Epilepsi
digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya belum diketahui.
a. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain:7
1. Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
2. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat
dan leukoensefalopati.
b. Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain
1. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis, hipomelanosis Ito,
sindrom Sturge-Weber.
2. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.
3. Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah
rangkaian sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis.
4. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi intraktabel)
hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD), heterotopia nodular
periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali, polimikrogiria.
5. Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma, angioma
kavernosum.
6. Trauma kepala.
6
7. Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria serebral,
sistiserkosis.
8. Kelainan metabolik bawaan.
II.4 Fisiologi Normal
Secara normal aktivitas otak terjadi karena perpindahan sinyal dari satu neuron
ke neuron lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron dengan
dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area yang penting untuk
perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang berada di dalam vesikel
presinaps.8
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah natrium (Na+),
kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+) dan klorida (Cl-). Neurotransmitter
pada proses eksitasi adalah Glutamat sedangkan pada proses inhibisi neurotransmiter
utama adalah asam aminibutirik (GABA). Otak yang imatur sangat berisiko
mengalami kejang, dengan kejadian kejang paling tinggi selama dekade pertama dan
terutama selama tahun pertama kehidupan. Beberapa keadaan fisiologis pada awal
kehidupan akan relatif hipereksitasi.9
Kanal ion Ca2+ dan Na+, yang memediasi eksitasi neuron, berkembang relatif
lebih awal. Sinapsis eksitasi cenderung terbentuk lebih awal sebelum sinapsis inhibisi.
Reseptor NMDA diekspresikan secara berlebihan pada tahap awal perkembangan
postnatal, hal tersebut dibutuhkan untuk proses perkembangan kritis. Pola
percabangan akson di otak yang belum matang jauh lebih kompleks daripada di
kemudian hari, membentuk jaringan koneksi eksitatori yang banyak dan kompleks.
Kemampuan sel glial untuk pengaturan K+ ekstraseluler juga meningkat seiring
bertambahnya usia. Akhirnya, GABA, mungkin secara paradoks, akan berperan
sebagai transmiter eksitasi di awal perkembangan. Oleh karena itu, keseimbangan
eksitasi dan inhibisi di otak berubah secara dramatis selama perkembangan.8
Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling mempengaruhi satu sama lain
untuk menjaga keseimbangan gradient ion di dalam dan di luar sel melalui ikatan
antara neurotransmitter dengan reseptormya serta keluar masuknya elektrolit melalui
kanalnya masing-masing. Aktivitas tersebut akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi, hiperpolarisasi dan repolarisasi sehingga terjadi potensisal eksitasi dan
inhibisi pada sel neuron. Potensisal eksitasi di proyeksikan oleh sel-sel neuron yang
berada di kortek yang kemudian di teruskan oleh akson, sementara sel interneuron
berfungsi sebagai inhibisi.9
7
Gambar 2.1 Normal transmisi pada sinaps
A. Inhibitor Neuro-Transmisi
Inhibitor transmisi primer di otak adalah asam gamma-amino-butyric
(GABA). GABA disintesis dari glutamat di terminal presinaptik oleh aksi enzim
glutamat asam dekarboksilase (GAD), yang membutuhkan piridoksin (vitamin
B6) sebagai kofaktor. Ca2+ masuk disebabkan oleh depolarisasi terminal yang
kemudian berfungsi untuk mendorong vesikel melepaskan GABA ke celah
sinaptik. GABA berdifusi melintasi celah dan berikatan dengan reseptornya, yang
membuka pori atau kanal ion klorida (Cl-) masuk ke neuron. Masuknya Cl- ini
meningkatkan muatan negatif di dalam neuron postsinaptik, sehingga
menyebabkan hiperpolarisasi. Perubahan yang dihasilkan dalam potensial
membran disebut potensial postsinaptik penghambatan (IPSP). IPSP mengurangi
hantaran neuron dengan menjaga potensi membran menjauh dari ambang batas
hantaran secara sementara. Pengurangan komponen apa pun dari sistem GABA-
IPSP mendukung eksitasi dan predisposisi pencetus epilepsi. Sebaliknya,
meningkatkan sistem GABA seharusnya untuk menahan hipereksitabilitas neuron,
dan beberapa AED bekerja pada berbagai aspek sistem.8
8
B. Transmisi Neuro-Eksitasi
Transisi neurotransisi di otak sebagian besar dimediasi oleh asam amino
glutamat. Glutamat yang dilepaskan dari terminal presinaptik dapat berikatan
dengan salah satu dari beberapa subtipe reseptor glutamat. Contoh reseptornya
adalah NMDA (N-metil-D-aspartat) dan non-NMDA (kainate dan amino-3-
hydroxy-5-methyl-isoxazole propionic acid atau AMPA). NMDA adalah agonis
yang sangat selektif untuk satu subtipe reseptor glutamat (oleh karena itu, disebut
reseptor NMDA), sedangkan AMPA dan kainate untuk jenis reseptor glutamat lain,
oleh karena itu, dinamakan reseptor non-NMDA. Namun, glutamat yang non
NMDA, AMPA, atau kainate adalah neurotransmitter yang terjadi secara alami
merupakan molekul fleksibel yang dapat berikatan dengan reseptor NMDA dan
non-NMDA, dengan konsekuensi fisiologis yang berbeda dalam setiap kasus.
Subtipe reseptor ini sangat penting dalam generasi pencetus epilepsi. Pengikatan
Non-NMDA Glutamat pada reseptor NMDA menggerakkan serangkaian peristiwa
fisiologis yang agak berbeda. Untuk aktivasi reseptor NMDA, berikut ini harus
terjadi:
1) Glutamat harus mengikat reseptor NMDA;
2) Glisin, co-agonis esensial, harus mengikat di situs lain di dekatnya pada
kompleks reseptor NMDA; dan
3) Pemblokiran ion magnesium (Mg 2+) pada kanal harus dihilangkan.8
Kerugian dari adaptasi fisiologis ini adalah bahwa otak akan sangat rentan
terhadap hipereksitabilitas selama masa perkembangan kritis. Namun demikian,
keanehan neurofisiologis perkembangan otak dini ini memberikan peluang untuk
menghasilkan terapi baru yang spesifik usia.8
II.5 Patofisiologi
Kejang adalah manifestasi paroksismal dari korteks serebral. Kejang terjadi
ketika adanya ketidakseimbangan secara tiba-tiba antara kekuatan eksitasi dan inhibisi
dalam jaringan neuron kortikal. Fisiologi dasar dari episode kejang terdeteksi pada
membran sel yang tidak stabil atau daerah membran sel sekitarnya dan sel pendukung
yang berdekatan. Kejang berasal dari Grey Matter di area kortikal atau subkortikal.
Awalnya, sejumlah kecil sel neuron melakukan hantaran secara tidak normal.
Konduktansi membran normal dan penghambatan arus sinaptik akan mengalami
9
kerusakan sehingga eksitasi berlebih menyebar baik secara lokal untuk menghasilkan
kejang fokus atau eksitasi menyebar lebih luas untuk menghasilkan kejang umum.10
Perubahan fungsi sinaptik dan sifat intrinsik neuron sebagai mekanisme umum
yang mendasari hipereksitabilitas dengan meninjau mekanisme neurokimia epilepsi.
Ketidakseimbangan antara sistem neurotransmitter asam glutamat dan gamma-
aminobutyric dapat menyebabkan hipereksitabilitas, tetapi sistem neurotransmitter
katekolaminergik dan peptida opioid juga berperan dalam epileptogenesis. Gambaran
umum dari obat-obatan anti-epilepsi yang tersedia saat ini dan mekanisme kerjanya
yang diduga diberikan sebagai ilustrasi dari neurokimiawi epileptogenesis. Sebagian
besar obat anti-epilepsi mengerahkan sifat anti-epilepsi dengan melalui beberapa
mekanisme neurokimia yang sementara mekanisme patofisiologis dasar tersebut
dianggap menyebabkan kejang.11
Onset ini menyebar melalui jalur fisiologis yang meliputi daerah terpencil
yang saling berdekatan. Kelainan pada kanal ion voltage aktif, atau defisiensi pada
membran ATPase terkait dengan transportasi ion dapat menyebabkan membran saraf
tidak stabil dan menyebabkan kejang seperti pada kelainan konduktansi kalium.
Neurotransmitter tertentu (misalnya glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin,
histamin, faktor pelepasan kortikotropin, purin, peptida, hormon sitokin dan steroid)
meningkatkan rangsangan dan penyebaran aktivitas neuron, sedangkan asam butirat a-
amino (GABA) dan neuron penghambat dopamin menghambat aktivitas neuronal dan
propagasi.12
10
Selama kejang, kebutuhan aliran darah ke otak meningkat untuk membawa
CO2 dan membawa substrat untuk aktivitas metabolisme neuron, karena kejang
semakin lama, otak mengalami iskemia yang dapat mengakibatkan kerusakan neuron
dan kerusakan otak. Mutasi pada beberapa gen dapat dikaitkan dengan beberapa jenis
epilepsi. Gen yang mengkode subunit protein dari kanal ion voltage-sensitive dan
ligand-activated telah dikaitkan sebagai epilepsi umum dan sindrom kejang infantil.
Salah satu mekanisme berspekulasi untuk beberapa bentuk epilepsi yang diwariskan
adalah mutasi gen yang mengkode protein kanal natrium, kanal natrium yang rusak
ini tetap terbuka dalam waktu yang lama dan menyebabkan neuron hipereksitasi
glutamat sebagai eksitasi neurotransmitter dapat dilepaskan dalam jumlah besar dari
neuron yang mengikat neuron glutamatergik di dekatnya sehingga memicu pelepasan
kalsium (Ca2+) yang berlebihan di sel post synaptic yang mungkin merupakan
neurotoxin ke sel yang terkena.12
Gambar 2.3 Tabel perbedaan pengaruh kanal ion dan reseptor pada
kondisi normal dan epilepsi
11
kanan. Jika hantaran menyebar ke area motorik yang mengontrol wajah dan mulut,
akan menimbulkan iktal klinis tambahan seperti kerutan di wajah, drooling, dan
mungkin afasia. Pola kejang klinis dan elektrografi ini khas pada sindrom Benign
Rolandic Epilepsy (BRE). Saat ini, defek gen merupakan penyebab yang mendasari
empat epilepsi monogenik (generalized epilepsy with febrile seizures, autosomal
dominant nocturnal frontal lobe epilepsy, benign familial neonatal convulsions and
episodic ataxia type 1 with partial seizures) telah diidentifikasi, dan memberikan
pengetahuan baru pada patofisiologi epilepsi karena penyakit tersebut disebabkan
oleh mutasi saluran ion.8
Pada potongan otak secara coronal dapat menggambarkan tipe kejang dan rute
potensial penyebaran kejang (gambar 2.4). A. Focal area hipereksitabilitas (kuning)
dan menyebar ke neokorteks terdekat (panah merah) melalui corpus callosum atau
12
komisura lain ke hemisfer serebral kontralateral (panah hijau pekat) atau jalur
subkortikal (misalnya, thalamus, batang otak) dalam generalisasi sekunder (garis
putus-putus hijau). Pola EEG menunjukkan aktivitas listrik otak di bawah beberapa
elektroda yang terpasang. Aktivitas epileptiformis fokus (spikes) maksimal pada 3 dan
juga terlihat pada 4 (jejak kiri). Jika kejang general sekunder, aktivitas dapat dilihat
secara serempak di semua elektroda, setelah penundaan (jejak kanan). B. Kejang
primer general dimulai secara bersamaan di kedua hemisfer serebri.8
Kejang general dimulai dengan hantaran listrik abnormal yang terjadi di kedua
hemisfer secara bersamaan. Tanda tangan EEG dari kejang umum utama adalah
"pelepasan gelombang spike sinkron bilateral" yang direkam pada seluruh otak
sekaligus, menggambarkan eksitasi timbal balik antara korteks dan thalamus. Kejang
umum juga dapat menyebar dan menyinkronkan melalui corpus callosum. Cakupan
manifestasi kejang general dimulai dari gangguan kesadaran singkat (seperti kejang
absen) hingga rhythmic jerking pada semua ekstremitas disertai dengan hilangnya
postur dan kesadaran (kejang tonik-klonik umum).8
13
b. Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan
aktivasi pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja. Tipe kejang parsial yaitu:
1. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
2. Kejang parsial kompleks:
a. Dengan gangguan kesadaran pada awal serangan
b. Diawali parsial sederhana lalu diikuti dengan gangguan kesadaran
3. Kejang parsial menjadi umum:
a. Parsial sederhana menjadi kejang tonik klonik
b. Parsial kompleks menjadi kejang tonik klonik
4. Kejang yang belum dapat diklasifikasi
1. Kejang umum
Kejang tonik adalah kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang
berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ekstremitas dan
tubuh dapat terlihat kaku. Kejang tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila
terjadi saat periode bangun dapat mengakibatkan penderita terjatuh.
Karakteristik gambaran EEG adalah adanya perlambatan aktivitas yang
bersifat umum, atau tampak gelombang epileptiform dengan voltase tinggi
dan frekuensi cepat (≥9-10 Hz).
14
Kejang tonik-klonik merupakan bentuk kejang dengan kombinasi
kedua elemen tipe kejang di atas, dapat tonik-klonik atau kloniktonik-
klonik. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah kejang tonikklonik umum
yang sering disebut grand mal. Kejang tonik-klonik ditandai dengan
kontraksi tonik simetris, diikuti dengan kontraksi klonik bilateral otot-otot
somatis. Kejang jenis ini disertai dengan fenomena otonom, termasuk
penurunan kesadaran atau apnea.
15
gambaran paku-ombak, atau tajam-ombak. Kejang mioklonik-atonik,
sebelumnya disebut kejang mioklonik-astatik, merupakan bentuk kejang
atonia yang didahului kejang mioklonik, umumnya menyebabkan penderita
terjatuh tiba-tiba (drop attacks). Gambaran EEG memperlihatkan
gelombang pakuombak; gelombang paku terbentuk saat kejang mioklonik
dan gelombang ombak menyertai atonia.
2. Kejang parsial
Kejang parsial atau kejang fokal bermula dari struktur kortikal atau
subkortikal dari satu hemisfer, namun dapat menyebar ke area lain, baik
ipsilateral maupun kontralateral. Kejang parsial dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks, dan
kejang parsial menjadi umum. Kejang parsial sederhana adalah kejang
fokal tanpa disertai gangguan kesadaran. Gambaran EEG iktal akan
menunjukkan gelombang epileptiform fokal kontralateral dimulai dari area
korteks yang terpengaruh. Kejang parsial sederhana ini dapat menunjukkan
kejang disertai gejala motorik, somatosensorik atau sensorik khusus
(special sensory), autonom, atau perilaku.
Kejang parsial menjadi umum ditandai dengan kejang fokal yang diikuti
kejang umum. Kejang umum dapat berbentuk tonik, klonik, atau tonik-klonik.
Gambaran EEG iktal menunjukkan cetusan lokal dimulai dari korteks yang
terpengaruh, diikuti gambaran cetusan umum.
16
Klasifikasi kejang menurut ILAE 2017 menyajikan versi dasar dan lanjutan,
menyesuaikan pada tingkat detail gejala. Versi dasar sama dengan versi yang
diperluas, tetapi diperluas dengan beberapa subkategori. Klasifikasi dasar merujuk
kepada klasifikasi mengenai gejala onset motor atau onset nonmotor-onset (misalnya,
sensorik).14
Gambar 2.5 menunjukkan klasifikasi tipe dasar kejang. Kejang pertama kali
dikategorikan berdasarkan jenis onset. Kejang onset-fokal didefinisikan sebagai
kejang yang berasal dari jaringan yang terbatas pada satu hemisfer saja. Hal tersebut
mungkin dilokalisasi secara terpisah atau didistribusikan secara lebih luas. Kejang
fokal dapat berasal dari struktur subkortikal. Kejang onset-general didefinisikan
sebagai kejang yang berasal dari beberapa titik di dalam, dan jaringan yang terlibat
secara cepat dan terdistribusi secara bilateral. Kejang onset yang tidak diketahui
mungkin masih didefinisikan menjadi kelainan motorik tertentu (misalnya, tonik-
klonik) atau karakteristik nonmotor (misalnya, behavior arrest). Informasi lebih lanjut
mengenai kejang yang akan diamati lebih lanjut di masa depan, seperti klasifikasi
ulang kejang dengan onset yang tidak diketahui ke dalam kategori fokal atau onset
umum. Oleh karena itu, "onset yang tidak diketahui" bukanlah karakteristik kejang,
tetapi merupakan informasi yang belum diketahui secara jelas. Ketika jenis kejang
dimulai dengan kata-kata "focal," "generalisasi," atau "absans," maka kata "onset"
dapat menjadi rujukan kejang.14
17
Gambar 2.6 Klasifikasi tipe lanjut dari kejang menurut ILAE 2017
18
2. Gejala manifestasi gerakan motorik kepala lebih dominan, yang bersifat tonik
atau postural, terutama kompleks gestural automatisme pada tungkai saat
onset.
3. Ciri-ciri khusus yaitu kejang pendek, beberapa kali sehari dan sering selama
tidur meskipun mengalami penurunan kesadaran, seringkali minimal atau
tidak ada kebingungan setelah kejang namun kadang-kadang keliru menjadi
kejang psikogenik.
b. Epilepsi lobus temporal
1. Kejang tipe parsial kompleks, parsial sederhana, dan kadang-kadang sekunder
generalisasi
2. Gejala meningkatnya sensasi epigastrium dan halusinasi henti motorik diikuti
oleh automatisme oroalimentary, kemudian diikuti oleh automatisme lainnya
3. Ciri khusus sering ada riwayat kejang demam, riwayat keluarga yang
mengalami kejang adalah defisit memori yang umum terjadi, sering terjadi
pada masa kanak-kanak atau kejang dewasa muda dalam kelompok pada
interval atau secara acak kebingungan postictal dan terjadi pemulihan
bertahap.
c. Epilepsi lobus parietal
1. Tipe kejang parsial sederhana ± sekunder Generalized Tonic Clonic Seizure
2. Gejala sensorik, seperti kesemutan atau perasaan mati rasa, sensasi yang
kadang menyakitkan, biasanya di tangan, lengan atau wajah.
d. Epilepsi lobus oksipital
1. Kejang tipe parsial sederhana ± sekunder Generalized Tonic Clonic Seizure
2. Gejala manifestasi visual sekilas seperti percikan, kilatan, dan ilusi persepsi
fosfen
Klasifikasi ILAE 1989 terdapat klasifikasi baru yaitu suatu sindrom epilepsi.
Sindrom epilepsi adalah suatu entitas klinis yang ditandai dengan sekumpulan
gambaran elektroklinis khas dan manifesasi yang khas pula. Tidak semua jenis
epilepsi termasuk kedalam suatu sindrom. Klasifikasi ILAE 2010 menerangkan
sindrom epilepsi adalah suatu entitas yang memiliki karakteristik elektroklinis khas,
meliputi; usia saat awitan gambaran EEG, tipe kejang, perkembangan
neurodevelopmental, pola penurunan, respons terhadap terapi, dan prognosis.
19
II.7 Kriteria Diagnosis
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode
kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila terdapat
manifestasi khas suatu sindrom epilepsi. Kejang tanpa provokasi adalah kejang yang
tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik akut, trauma, atau
kelainan intrakranial akut lainnya. Diagnosis epilepsi pada anak dan remaja dapat
ditegakkan oleh dokter spesialis anak yang sudah dilatih dan/atau pakar di bidang
epilepsi. Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang:1
a. Anamnesis
1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Onset
1. Pada usia berapa pertama kali mengalami kejang?
2. Kejadian apa yang dialami saat sebelum kejang?
3. Apakah ada demam saat kejang pertama?
4. Apakah setiap ejang disertai demam?
b. Fase Pre-ictal
1. Apakah pasien mengetahui adanya faktor pencetus seperti rasa lapar
(menunjuk pada hipoglikemia), kurang tidur, emosi, alkohol, lampu
kilat, dll?
2. Apakah ada gejala awal sebelum terjadi kejang?
3. Apakah ada gangguan neurologis sebelum terjadinya kejang?
c. Fase Ictal (deskripsi kejang)
1. Apakah pasien memerah atau pucat? Apakah dia melihat kilau abu-abu?
Apakah dia sadar dan berteriak?
2. dimana dan bagaimana kejang bermula, apakah dari gerakan wajah dari
satu sisi atau dimulai dari satu sisi tangan pasien?
3. apakah ada gerakan menyentak? Jika ada, apakah terjadi pada kedua
tangan dan kedua kaki, atau hanya satu sisi?
4. apakah pasien tidak sadar atau terjatuh saat kejang?
5. Apakah dia meraba-raba dengan pakaiannya, memukul bibirnya,
bergumam atau membuat suara lain?
20
d. Durasi
- Berapa lama waktu saat kejang?
e. Fase Post-ictal
1. Seperti apa perilaku pasien setelah kejang? Apakah mengantuk, agresif,
melanjutkan apa yang dia lakukan?
2. Apakah ada tanda fokal atau gangguan neurologis?
f. Waktu dan Frekuensi
1. Berapa kali kejang dalam sehari? Apakah kejang terjadi saat tertidur
atau saat bangun?
2. Seberapa sering kejang terjadi pada pasien?
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Apakah ada riwayat penyakit kronik seperti hipertensi, diabetes,
HIV/AIDS, atau gangguan penyakit hematologi?
b. Apakah ada riwayat rawat inap untuk penyakit lain atau penyakit yang
sama?
c. Apakah ada riwayat operasi sebelumnya?
d. Apakah ada riwayat trauma atau kecelakaan?
e. Apakah ada riwayat penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama?
Apakah ada riwayat alergi terhadap obat tertentu?
f. Apakah ada terapi epilepsi sebelumnya dan bagaimana respon terhadap
OAE sebelumnya?
g. Apa jenis obat antiepilepsi (OAE) yang digunakan? Berapa dosisnya?
Bagaimana jadwal dan kepatuhan minumnya?
3. Riwayat Penyakit Keluarga
– Apakah ada keluarga yang mengalami keluhan serupa?
4. Riwayat Kelahiran
a. Pre natal
1. Apakah ada penyakit yang dialami ibu ketika hamil?
2. Apakah ibu mengonsumsi obat-obatan ketika hamil?
3. Apakah ibu mendapatkan nutrisi yang baik ketika hamil?
b. Natal
1. Apakah lahir secara spontan normal, vacuum, forceps, atau Caesarean
Section?
2. Bagaimana kondisi ketuban? Dan apa warnanya?
21
3. Apakah usia kehamilan cukup bulan, kurang bulan, atau lebih bulan?
4. Apakah bayi menangis ketika setelah lahir, atau harus diresusitasi?
c. Post natal
1. Bagaimana berat bayi lahir?
2. Apakah bayi berwarna kuning, biru, atau kemerahan?
3. Apakah bayi dapat menyusu dengan baik?
4. Apakah ada penyakit yang dialami setelah bayi lahir?
5. Apakah Imunisasi bayi lengkap?
5. Riwayat Tumbuh Kembang
a. Apakah tumbuh kembangnya sesuai usia? Apakah ada yang belum bisa
pasien lakukan sesuai dengan usianya?
b. Apakah pasien sudah sekolah? Jika sudah, apakah aktivitas di sekolah
pasien baik?
c. Apakah pasien tidak sekolah padahal usianya memasuki usia sekolah?
Apakah ada hambatan?
d. Bagaimana aktivitas keseharian pasien?
e. Apakah pasien dapat tertidur lelap?
f. Apa yang sudah dilakukan sampai saat ini ketika terjadi kejang pada
pasien? Apakah ada gangguan ativitas setelah kejang?
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Di mana pasien tinggal? Dengan orang tua? Dengan saudara?
b. Apakah jauh dari klinik? Berapa lama untuk mencapai klinik? Bagaimana
dia bepergian dengan berjalan kaki, dll.
c. Apakah orang tuanya bersama?Apa pekerjaan orang tua?
d. Apa tingkat pendidikan orang tua/anggota rumah tangga?
e. Siapa yang merawat pasien, jika perlu?
f. Ada berapa saudara kandung? / Ada berapa anak?
g. Apakah semuanya baik/normal? Jika tidak, apa yang salah?
h. Bila pasien sekolah, bagaimana keadaan pasien di sekolah/ dalam
pekerjaannya? Apakah dia mengatasinya?
i. Apakah ada masalah dengan guru, atasan atau kolega, tetangga, (keluarga
besar) karena epilepsi?
22
b. Pemeriksaan General
1. Pemeriksaan Fisik
a. Observasi
1. Perhatikan apakah pasien sadar dan dapat berjalan normal, atau
adakah kelemahan atau spastik pada satu atau kedua sisi?
2. Apakah dia bertindak sesuai dengan lingkungan sekitar atau dia
terlalu tenang, atau terlalu aktif?
3. Apakah dia dapat berkomunikasi dengan orang sekitarnya?
4. Apakah ucapannya normal untuk anak seusianya?
b. Antropometri dan penentuan status gizi
1. Berat Badan (tentukan BB Normal/BB kurang/BB lebih)
2. Tinggi Badan (tentukan Perawakan Normal/Pendek/Tinggi)
3. Tentukan BB/TB untuk menentukan status gizi
4. Lingkar kepala apakah sesuai usia
2. Pemeriksaan Lokal
a. Bekas luka, memar, perubahan pigmentasi, adenoma sebaceous,
hemangioma
b. Asimetri, anomali kongenital
c. Pada anak-anak yang sakit akut perhatikan apakah ada demam, fontanel
yang menonjol, kekakuan leher, ruam, tingkat kesadaran
3. Pemeriksaan Neurologi
a. Mata: ukuran dan reaksi pupil, bidang visual, nistagmus, fundoskopi
jika memungkinkan
b. Pemeriksaan Saraf kranial
c. Kekuatan dan tonus otot: hiper atau hipotonik?
d. Refleks Fisiologis dan Reflek Patologis
e. Apakah ada perbedaan motorik dan sensorik antara kanan dan kiri?
f. Adakah tanda-tanda toksisitas obat, mis., Ataksia, kantuk, mengantuk,
nystagmus
g. Dysdiadochokinesis (melambat atau overshooting saat berganti pronasi
dan supinasi tangan)
23
c. Diagnosis
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih
episode kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila
terdapat manifestasi khas suatu sindrom epilepsi. Kejang tanpa provokasi adalah
kejang yang tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik
akut, trauma, atau kelainan intrakranial akut lainnya.16
1. Diagnosis banding
Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan
paroksismal bukan kejang.Yang termasuk kejang non-epileptik adalah kejang
demam, kejang refleks, kejang anoksik, kejang akibat withdrawal alkohol,
kejang yang dicetuskan obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya, kejang
pascatrauma, dan kejang akibat kelainan metabolik atau elektrolit akut. Dalam
menentukan suatu serangan merupakan kejang epileptik, perlu disingkirkan
berbagai serangan paroksismal non-epileptik.16
24
2. Penentuan Tipe Kejang
Setelah dipastikan serangan merupakan kejang epileptik, langkah
selanjutnya adalah penentuan tipe kejang, apakah kejang bersifat umum atau
fokal (menjadi umum atau tidak), serta bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-
klonik, absans, mioklonik, atonik, spasme infantil, sensorik/autonom, dan lain-
lain). Tipe kejang ditentukan melalui anamnesis atau mengamati langsung
serangan bilamana memungkinkan, dan dapat ditunjang dengan pemeriksaan
EEG. Tipe kejang tertentu dapat diprovokasi dengan cukup aman di poliklinik,
misalnya absans dengan provokasi hiperventilasi.16
3. Diagnosis Sindrom Epilepsi
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan dan tipe kejang diketahui, perlu
ditentukan apakah epilepsi pada pasien termasuk dalam sindrom klinis tertentu.
Sindrom epilepsi dapat berhubungan dengan etiologi epilepsi.15
1. Epilepsi infantil familial benigna
a. Diturunkan secara autosomal dominan
b. Kejang tanpa demam dimulai pada usia 6 bulan dan sudah menghilang
pada usia 2 tahun
c. Kejang fokal tonik atau klonik dengan atau tanpa automatisasi, dapat
campuran dan sering didahului apnea
d. Perkembangan psikomotor normal
e. EEG interiktal dapat normal
2. Epilepsi absans pada anak (childhood absence epilepsy)
a. Usia awitan 4-10 tahun, rerata 6 tahun
b. 20% memiliki riwayat kejang demam
c. Serangan lena (melamun) dengan durasi yang singkat, dimulai dan
berakhir secara mendadak, frekuensi sangat sering, dapat disertai
manifestasi lain misalnya mengecap-ngecap atau mioklonia kelopak
mata.
d. Mudah diprovokasi dengan hiperventilasi
e. Status neurologis dan perkembangan umumnya normal
f. EEG iktal berupa gelombang paku-ombak 3 spd teratur dan simetris
bilateral. Terkadang dapat terlihat gelombang paku-ombak majemuk
dengan perlambatan gelombang irama dasar. EEG interiktal umumnya
normal.
25
3. Juvenile Absence Epilepsy
a. Usia awitan 9-13 tahun
b. Serangan absans memiliki frekuensi lebih jarang dibandingkan pada
childhood absence epilepsy, namun durasi serangan lebih panjang
c. Dapat disertai kejang tonik-klonik umum terutama pada pagi hari, dan
kejang mioklonik
d. EEG menunjukkan gelombang paku-ombak atau paku majemuk-
ombak (polyspike-wave) umum dengan frekuensi 3-4 spd
e. Gelombang irama dasar normal namun terkadang dapat diselingi
gelombang paku atau paku majemuk
f. Sebagian besar pasien dapat bebas kejang, namun sebagian lagi
membutuhkan pengobatan seumur hidup.
4. Benign Epilepsy with Centrotemporal Spikes (BECTS); epilepsi Rolandik
a. Kejang diawali parastesia mukosa mulut dan hipersalivasi diikuti
kontraksi wajah, lidah, dan otot-otot faring sehingga terjadi disartria,
disfagia, dan keluarnya air liur. Selanjutnya terjadi kejang klonik pada
lengan (jarang pada kaki), dan akhirnya kejang seluruh tubuh.
b. EEG interiktal menunjukkan gelombang paku di sentral dan mid-
temporal. Gelombang irama dasar biasanya normal.
c. Perkembangan umumnya normal
d. Remisi dalam 2-4 tahun setelah diagnosis dan sebelum usia 16 tahun
5. Sindrom Panayiotopoulos
a. Usia 1-14 tahun, rerata 5 tahun
b. Gejala autonomi berupa muntah peri-iktal, pucat, miosis,
inkontinensia, batuk, dan hipersalivasi
c. Dapat didahului aura visual
d. Kejang biasanya malam hari dan berlangsung >5 menit
e. EEG interiktal menunjukkan gelombang paku oksipital (75%),
aktivitas epileptik meningkat dalam keadaan tidur, dan gelombang
irama dasar biasanya normal.
6. Epilepsi umum dengan kejang demam plus (generalized epilepsy with
febrile seizures plus, GEFS+)
a. Diturunkan secara autosomal dominan
26
b. Kejang umum disertai demam, diawali dengan kejang demam pada
usia <6 tahun yang menetap hingga usia >6 tahun
c. Umumnya menghilang pada usia remaja namun dapat berlanjut sampai
dewasa
7. Sindrom Janz (juvenile myoclonic epilepsy)
a. Satu atau lebih dari bentuk kejang berikut: myoclonic jerks, kejang
umum tonik-klonik, dan kejang absans
b. Serangan biasanya terjadi pada pagi hari saat bangun tidur.
c. Pada EEG ditemukan bilateral polyspike-and-slow-wave 4-6 spd
terutama di daerah frontal dengan gelombang irama dasar yang
normal; dapat dijumpai asimetri.
8. Sindrom West
a. Spasme infantil
b. Keterlambatan atau terhentinya perkembangan psikomotor
c. Hipsaritmia pada EEG
9. Sindrom Dravet
a. Awitan kejang dalam tahun pertama
b. Kejang tonik umum atau hemiklonik
c. Perkembangan dan fungsi kognitif normal sebelum awitan kejang
d. Kemunduran atau terhentinya perkembangan psikomotor setelah
awitan kejang
e. EEG mula-mula normal, namun kemudian menunjukkan perlambatan
irama dasar dan gelombang paku majemuk yang bersifat fokal,
multifokal, atau umum
10. Sindrom Landau-Kleffner (acquired epileptic aphasia)
a. Perkembangan normal sampai usia 3-6 tahun kemudian timbul
gangguan fungsi berbicara baik ekspresif maupun reseptif
b. 75% mengalami kejang, namun jarang yang berat
c. EEG menunjukkan gelombang paku dan gelombang tajam
sentrotemporal bilateral yang menyebar menjadi umum
d. Seringkali ditemukan electrical status epilepticus during sleep
11. Sindrom Lennox-Gastaut
a. Sindrom epilepsi berat dengan prognosis buruk
27
b. Lebih dari satu tipe kejang, terbanyak tonik dan atonik, dapat juga
absans atipik, tonik-klonik, dan mioklonik.
c. Lebih dari 25% pasien mempunyai riwayat spasme infantil.
d. Sering disertai disabilitas intelektual dan kelainan neurologis lainnya.
e. EEG interiktal menunjukkan slow spike wave kurang dari 2,5 Hz yang
umum.
d. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum,
kreatinin dan albumin, deteksi infeksi (e.g. malaria, HIV)1
2. Electroencephalography
Pada EEG diperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang irama
dasar, ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas epileptiform yang
dapat berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku-ombak, tajam-ombak,
paku multipel, burst-suppression, dan hipsaritmia. Diperhatikan juga lokalisasi
aktivitas abnormal, bila ada. Peran EEG pada epilepsi adalah sebagai berikut:1
a. Membantu menentukan tipe kejang
b. Menunjukkan lokalisasi fokus kejang bila ada
c. Membantu menentukan sindrom epilepsi
d. Pemantauan keberhasilan terapi
e. Membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat dihentikan.
Secara tersendiri, sensitivitas EEG untuk mendiagnosis epilepsi hanya
25-56%, sedangkan spesifisitasnya 78-98%. Jika digunakan bersama dengan
temuan klinis pada anamnesis dan pemeriksaan neurologis, maka
sensitivitasnya menjadi 98,3% dan spesifisitasnya 86%. Beberapa hal yang
dideskripsikan pada rekaman nilai EEG adalah sebagai berikut:17
a. Deskripsi rekaman bersifat objektif, perlu dicantumkan karakteristik
normal dan abnormal dari rekaman tersebut.
b. Dimulai dari irama dasar, aktivitas dominan, terangkan tentangg;
frekuensi,kuantitas, lokasi, amplitudo, simetris/asimetris, ritmik/ireguler.
c. Kemudian lakukan penilaian yang sama untuk aktivitas yang nondominan
dan abnormalitas
28
d. Respon terhadap buka tutup mata dan prosedur aktivasi perlu juga dinilai
baik normal maupun abnormal
e. Bila tidak dilakukan aktivasi hiperventilasi atau stimulasi fotik, perlu
dicantumkan mengapa tidak dilakukan
3. Pencitraan Otak
Peran pencitraan adalah untuk mendeteksi adanya lesi otak yang
mungkin menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental
yang menyertai. Pencitraan dilakukan untuk menentukan etiologi,
memperkirakan prognosis, dan merencanakan tata laksana klinis yang sesuai.
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk
mendeteksi kelainan yang mendasari epilepsi. Indikasi MRI pada anak dengan
epilepsi adalah sebagai berikut:15
a. Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG
b. Pemeriksaan neurologis yang abnormal, misalnya adanya defisit
neurologis fokal, stigmata kelainan neurokutan, tanda malformasi otak,
keterlambatan perkembangan yang bermakna, atau kemunduran
perkembangan
c. Anak berusia kurang dari 2 tahun
d. Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simtomatik, misalnya spasme
infantil atau sindrom Lennox-Gastaut
e. Epilepsi intraktabel
f. Status epileptikus
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan untuk mencari etiologi epilepsi,
menentukan prognosis dan tata laksana adalah pemeriksaan sitogenetik,
metabolik dan analisis kromosom.
II.8 Penatalaksanaan Umum
29
terapi, efek samping dan interaksi OAE, aktivitas yang diperbolehkan serta
pengaruh epilepsi dalam kehidupan sehari-hari. Jika pasien atau keluarga
belum mendapatkan informasi yang jelas tentang epilepsi selama kunjungan
dokter, maka harus diberikan informasi tertulis, nomor telepon yang dapat
dihubungi jika ada hal-hal emergensi atau jika ada pertanyaan. Informasi
untuk keluarga harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan, sosial-ekonomi
dan budaya.
B. Informasi Untuk Sekolah
Orangtua dan keluarga biasanya khawatir anak mengalami kejang di
sekolah dan kemungkinan anak akan mendapat stigma negatif akibat hal
tersebut. Pihak sekolah diharapkan untuk memberikan lingkungan yang aman
bagi anak, yang sayangnya, dapat membatasi aktivitas anak di sekolah. Pihak
sekolah harus mendapatkan informasi yang jelas tentang kondisi anak dan cara
penanganan jika anak mengalami kejang di sekolah. Sebaiknya kondisi anak
dibicarakan secara terbuka bersama orangtua, anak, tenaga kesehatan, dan
pihak sekolah bagaimana sebaiknya penanganan anak di sekolah. Risiko
trauma sekecil apapun tetap ada, tetapi sebaiknya hal tersebut tidak
menganggu aktivitas dan kemandirian anak di sekolah.
C. Manajemen Risiko
1. Keamanan (safety)
Pengawasan tetap diberikan sesuai kebutuhan, tergantung jenis aktivitas,
dan riwayat kejang. Berikut ini adalah petunjuk keamanan pada situasi
tertentu:
a) Mandi berendam/shower. Mandi dengan shower berisiko lebih kecil
dibandingkan mandi berendam. Drainase kamar mandi perlu
diperhatikan supaya tidak ada genangan air. Pengatur suhu dan aliran
shower sebaiknya dapat diatur sehingga tidak terjadi trauma panas.
Pintu kamar mandi tidak boleh dikunci ketika anak sedang mandi dan
ada orang lain di rumah yang dapat mengawasi.
b) Trauma panas/luka bakar. Jauhkan dan amankan benda-benda yang
berpotensi menimbulkan luka bakar dari jangkauan anak (setrika,
dispenser air panas, generator, dan sebagainya).
30
c) Berenang. Tidak dianjurkan berenang tanpa pengawasan. Tingkat
pengawasan disesuaikan dengan kondisi, jenis epilepsi dan kondisi
bebas kejang atau tidak.
d) Keamanan di jalan raya. Anak dianjurkan tidak bersepeda di jalan raya
dan sebaiknya tidak bersepeda sendiri, serta wajib memakai helm
pelindung.
e) Ketinggian. Tempat bermain anak berupa aktivitas di ketinggian seperti
memanjat, bermain ayunan atau perosotan sebaiknya beralaskankaret
atau karpet sehingga jika terjadi kejang pada saat beraktivitas, tidak
terjadi trauma yang fatal.
f) Fotosensitivitas. Hanya sekitar 5% anak dengan epilepsi dapat
mengalami serangan yang dipicu oleh cahaya yang berkedip-kedip
(flickering light); hal tersebut paling sering terjadi pada anak usia 7
sampai 19 tahun. OAE dapat menghilangkan respons fotosensitif ini
dan orangtua harus diberikan informasi bagaimana cara meminimalkan
risiko.
2. Risiko Kematian pada Epilepsi (Sudden Unexpected Death In Epilepsy,
SUDEP)
Penyandang epilepsi berisiko lebih tinggi mengalami kematian dini
dibandingkan populasi umum. Sebagian besar kematian berkaitan dengan
kondisi epilepsi, trauma karena kejang, atau status epileptikus. Sebagian
besar kematian pada anak dengan epilepsi berkaitan dengan kelainan
neurologis berat dibandingkan akibat epilepsinya sendiri. Pada beberapa
kasus yang jarang, kematian pada anak dengan epilepsi tidak dapat
diterangkan penyebabnya. Definisi sudden unexpected death in epilepsy
(SUDEP) adalah kematian yang tiba-tiba, bukan disebabkan oleh trauma,
tenggelam, tanpa atau dengan bukti adanya kejang, tanpa status
epileptikus, dan pemeriksaan post-mortem tidak menunjukkan adanya
keracunan atau kelainan anatomi sebagai penyebab kematian. Mekanisme
kematian pada SUDEP belum dapat diterangkan.
3. Pencetus kejang
Beberapa faktor pencetus kejang telah diketahui dan perlu dihindari.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Deprivasi tidur (tidur larut malam atau pola tidur tidak normal)
31
b. Demam
c. Konsumsi alkohol
d. Video game (pada jenis epilepsi fotosensitif)
e. Pencetus spesifik pada reflex epilepsy.
D. Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi, rendah
karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut menghasilkan energi untuk otak
bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun dari keton sebagai hasil
oksidasi asam lemak. Rasio lemak dengan karbohidrat dan protein adalah 3:1
atau 4:1 (dalam gram). Diet ketogenik dapat diberikan sebagai terapi adjuvan
pada epilepsi intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi kejang. Namun
perlu diingat, diet ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan
pertumbuhan yang lambat, batu ginjal, dan fraktur. Inisiasi diet ketogenik pada
pasien rawat jalan sama efektifnya dengan inisiasi di ruang rawat inap.
Suplementasi multivitamin bebas gula, kalsium dan vitamin D, serta garam
sitrat (untuk mengurangi risiko batu ginjal) dapat diberikan.
E. Tindakan Bedah
Terapi bedah dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik lain di
luar area yang direncanakan akan direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa
pengangkatan area di mana kejang bermula atau pengangkatan lesi yang
menjadi fokus epileptik. Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan
lokalisasi kejang. Jika bedah kuratif tidak mungkin dikerjakan, anak dengan
epilepsi intraktabel harus dirujuk untuk prosedur bedah paliatif.
32
2. Medikamentosa
33
A. Pilihan obat antiepilepsi
Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua
jenis kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin,
asam valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE,
namun penelitian tersebut tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna
antara obat-obat tersebut dalam hal efikasi obat-obat tersebut.1
34
1. Epilepsi umum
2. Epilepsi fokal
35
B. Kombinasi Terapi OAE
Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespons baik terhadap OAE lini
pertama atau lini kedua. Jika OAE lini pertama dan lini kedua masing-masing
gagal sebagai monoterapi, peluang untuk mencoba monoterapi lain dalam
memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi OAE kombinasi patut
dipertimbangkan. Sebelum memulai terapi kombinasi, ada beberapa hal yang
patut dipertimbangkan:3
3. Kejang fokal
36
Gambar 2.10 Tabel profil farmakologi obat Epilepsi
Reaksi idiosinkrasi OAE biasanya timbul pada awal terapi, tetapi dapat
juga timbul kapanpun dan cukup serius. Rash/ruam adalah efek samping yang
sering terjadi pada anak dan berkaitan dengan karbamazepin, fenitoin dan
lamotrigin. Sindrom hipersensitivitas berat yang mengancam jiwa dapat terjadi,
meskipun jarang. Strategi untuk mencegah efek samping:3
37
b. Gangguan kognitif
c. Hipertorfi gusi
38
normal. Jika nilai absolute neutrophil count (ANC) kurang dari 1000,
maka pemberian karbamazepin harus dihentikan.
f. Asidosis metabolik
39
minggu. Penghentian obat secara mendadak, terutama fenobarbital dan
benzodiazepin, harus dihindari.3
40
b. Penyediaan layanan ibu yang dapat diakses dan efektif terutama pada saat
persalinan untuk menyelamatkan ibu dan mencegah cacat seumur hidup dari
asfiksia lahir atau trauma pada anak yang baru lahir
c. Diagnosis dini dan pengobatan yang memadai untuk meningitis dan ensefalitis
d. Pencegahan neuro-sistiserkosis
e. Penyelesaian jadwal vaksinasi untuk semua anak di bawah lima tahun.
f. Pencegahan kecelakaan lalu lintas jalan, bahaya akibat pekerjaan traumatis, dan
penyebab cedera kepala lainnya.
g. Meningkatkan perawatan dan pengelolaan kondisi lain, seperti gangguan
metabolisme, misalkan: hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, dan
hiperbilirubinemia yang dapat memperberat faktor risiko Epilepsi.
h. Peningkatan manajemen dalam pengobatan kejang demam yang berkepanjangan
i. Pengobatan kejang dan status epileptikus yang efektif sehingga kerusakan otak
lebih lanjut dapat dicegah.
j. Konseling genetik di mana penyakit keturunan didiagnosis.
41
III. KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
43
13. Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against
Epilepsi. (1981). Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizure. Epilepsia; 22: 489-501
14. Fisher, R S, et al. (2017). Instruction manual for the ILAE 2017 operational
classification of seizure types. International League Against Epilepsy, Epilepsia,
58(4):531–542.
15. Dekker, P A (2014). Epilepsy: A manual for Medical and Clinical Officers In
Africa. ILAE/IBE/WHO Global Campaign Against Epilepsy Achterweg 5, 2103 SW
Heemstede, the Netherlands, Revised edition.
16. Stokes T, Shaw EJ, Juarez-Garcia A, Camosso-Stefinovic J, Baker R. (2004). Clinical
guidelines and evidence review for the epilepsies: Diagnosis and management in
adults and children in primary and secondary care. London: Royal College of General
Practitioners.
17. Smith SJM. (2005). EEG in the diagnosis, classification, and management of patients
with epilepsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry;76:2-7.
18. Kumar, S, Singh, G. (2016). Pathophysiology of epilepsy: An updated review
Sandeep. International Journal of Medical and Health Research.Jakarta. Volume 2;
Issue 10; Page No. 32-36
19. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (2005). Diagnosis and management of
epilepsies in children and young people: a national clinical guideline. Tersedia di:
www.sign.ac.uk/guidelines/fulltext/81.
44