Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA

Perbedaan Antara Kejang dan Serangan yang


Menyerupai Kejang

Oleh:

Fransiskus Agmard Marampa

1830912310029

Pembimbing:

Prof. Dr. dr. Ruslan Muhyi, Sp.A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FK ULM-RSUD PENDIDIKAN ULIN
BANJARMASIN
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. 2


BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 5

A. Definisi ............................................................................................... 5
B. Epidemiologi ...................................................................................... 5
C. Klasifikasi .......................................................................................... 5
D. Etiologi ............................................................................................... 7
E. Perbedaan Kejang dan Serangan Menyerupai Kejang ....................... 8
F. Patofisiologi dan Ptogenesis Kejang .................................................. 12
G. Diagnosis …………………………………………………………... 13
H. Tatalaksana......................................................................................... 16
I. Prognosis ............................................................................................ 18
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang adalah perubahan bersifat paroksismal dari fungsi neurologis yang

disebabkan oleh pelepasan neuron yang berlebihan dan hipersinkronisasi dalam

otak. "Kejang epileptik" digunakan untuk membedakan kejang yang disebabkan

oleh hiperaktivasi neuron abnormal dari kejadian kejang nonepilepsi, seperti kejang

psikogenik. Epilepsi adalah kejang berulang tanpa penyebab yang jelas. Epilepsi

memiliki banyak penyebab, masing-masing mencerminkan disfungsi otak yang

mendasarinya. Kejang yang diprovokasi oleh kejadian reversibel (mis. demam,

hipoglikemia) tidak termasuk dalam definisi epilepsi karena merupakan kondisi

sekunder dan bersifat akut, bukan kondisi kronis.1

"Sindrom epilepsi" mengacu pada sekelompok karakteristik klinis yang

konsisten terjadi bersama-sama, dengan tipe kejang yang serupa, berdasarkan onset

penyakit, temuan EEG, faktor pemicu, genetika, riwayat alami, prognosis, dan

respons terhadap obat antiepilepsi (AED). Istilah yang tidak spesifik seperti

gangguan kejang (EN: seizure disorder) harus dihindari.1

Epilepsi merupakan kondisi neurologis yang umum, dengan insidensi

sekitar 50 kasus baru per tahun per 100.000 populasi menurut Hauser dan

Hersdorffer. Sekitar 1% populasi menderita epilepsi, dan sekitar sepertiga dari

pasien memiliki epilepsi refrakter (mis., kejang yang tidak dapat dikendalikan oleh

dua atau lebih obat antiepilepsi yang lebih tepat dipilih atau terapi lain). Sekitar

75% epilepsi dimulai selama masa kanak-kanak, mencerminkan kerentanan yang

meningkat bagi otak yang sedang berkembang untuk kejang. 1

3
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak,

di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada

16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak

mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang

menjadi penderita epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di

antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan

penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi

sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti.

Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki –

laki lebih tinggi daripada anak perempuan.2

Pada tinjauan pustaka kali ini penulis bermaksud untuk membahas berbagai

macam diagnosis diferential pada anak dengan kelainan kejang, penulis juga akan

menyajikan perbedaan-perbedaan antara kejang dan kejadian bukan kejang.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan

listrik di neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan kesadaran, tingkah laku,

emosi, motorik, sensorik dan atau otonom.3

Kejang dapat dibagi atas kejang fokal dan kejang umum. Kejang fokasl

berasal dari fokus lokal di otak, dapat melibatkan sistem motorik, sensorik maupun

psikomotor. Kejang umum melibatkan kedua hemisfer, dapat berupa kejang non-

konvulsif (absans) dan konvulsif. Kejang dapat sederhana, berhenti sendiri,

memerlukan pengobatan lanjutan, merupakan gejala awal suatu penyakit berat dan

menjadi status epileptikus. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah

memastikan bahwa anak memang kejang. Tata laksana kejang meliputi stabilisasi

pasien, identifikasi etiologi, terapí sesuai dengan etiologi, dan pemantauan secara

berkesinambungan.3

B. Epidemiologi
Kejang adalah kedaruratan neurologis yang sering dijumpai pada praktik

sehari-hari. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun minimal pernah

mengalami satu kali kejang. Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi pada 64%.3

C. Klasifikasi
Jenis kejang dapat ditentukan berdasarkan deskripsi serangan yang akurat.

Penentuan jenis kejang ini sangatlah penting untuk menentukan jenis terapi yang

akan diberikan. Pemilihan obat anti kejang/obat anti epilepsi (OAE) jangka panjang

5
sangat dipengaruhi oleh jenis kejang pasien. Ada obat diindikasikan untuk jenis

kejang tertentu, misalnya karbamazepin untuk jenis kejang fokal atau asam valproat

untuk kejang tipe absans. Pemilihan OAE yang salah dapat memperberat jenis

kejang tertentu, misalnya penggunaan karbamazepin dan fenitoin dapat

memperberat kejang umum. Idiopatik seperti kejang absans, atonik, dan

mioklonik.4

Saat ini klasifikasi kejang yang digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi

International League Against Epilepsy of Epileptic Seizures tahun 1981. Jenis

kejang harus ditentukan setiap kali pasien mengalami serangan. Tidak jarang

ditemukan bahwa jenis kejang saat ini berbeda dengan sebelumnya. Semakin

banyak jenis serangan kejang yang dialami pasien, semakin sulit penanganan

kejang dan pemilihan obat anti kejang.5

Kejang (seizure) diklasifikasikan secara garis besar menjadi 3 yaitu: general,

fokal, dan tidak terklasifikasi. Pada kejang general, kelainan aktivitas elektrik

berasal dari kedua sisi otak dan menyebar dengan cepat melalui jaringan saraf.

Kejang general tonik-klonik merupakan tipe kejang general yang sering ditemukan

dan merupakan tipikal kejang epilepsi. Kejang absans salah satu tipe kejang

general, yakni dimana individu kehilangan kesadaran dalam beberapa detik,

biasanya disertai dengan gerakan subtle seperti mengedip-ngedipkan kelopak mata

dan pergerakan mulut. Kejang mioklonik juga merupakan tipe kejang general

dimana kejang muncul mendadak dengan kontraksi yang cepat pada beberapa

kelompok otot. Kejang general lain seperti atonik (kehilangan tonus otot) dan tonik

(kontraksi otot meningkat).6,7

6
Kejang fokal berasal dari kelainan aktivitas elektrik pada salah satu sisi otak,

walaupun pada beberapa situasi bisa menyebar beberapa saat ke sisi yang lain.

Kejang fokal bisa menimbulkan beberapa gejala tergantung asal kelainan aktivitas

elektrik. Kesadaran bisa saja hilang, berkurang, atau tetap ada pada kejang jenis ini.

Kadang-kadang gerakan kejang ini terjadi pada satu tangan dan atau satu kaki. Pada

kejang yang tidak terklasifikasi, biasanya kejang tidak bisa atau sulit untuk

ditentukan apakah fokal atau general.6,7

Tabel 1. Klasifikasi Kejang8

Sumber: Berg AT, Berkovic SF., Brodie MJ, Buchhalter Jeffrey, et al. Revised terminology and concepts for organization
of seizures and epilepsies: Report of the ILAE Commission on Classification and Terminology, 2005-2009. Epilepsia.
2010;51(4):676–685.

D. Etiologi

Penentuan etiologi kejang berperan penting dalam tata laksana kejang

selanjutnya. Keadaan ini sangat penting terutama pada kejang yang sulit diatasi atau

kejang berulang. Etiologi kejang pada seorang pasien dapat lebih dari satu. Etiologi

kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada Tabel 2.

7
Tabel 2. Etiologi kejang pada anak3

E. Perbedaan Antara Kejang dan Serangan Menyerupai Kejang

Terdapat sejumlah kondisi yang terkait dengan kejadian paroksismal berulang

yang dapat menyerupai dan salah didiagnosis sebagai kejang epilepsi, penting untuk

membedakan kejang dan serangan mirip kejang. Penting bahwa beberapa diagnosis

diferensial ini dipertimbangkan dalam evaluasi kejadian kejang karena tingkat

kesalahan diagnosis epilepsi tergolong tinggi di seluruh dunia.

Tabel 3. Perbedaan antara Kejang dan Serangan Menyerupai Kejang

Perbedaan antara kejang dan serangan menyerupai kejang dapat dilihat pada

tabel diatas. Tampak bahwa proses kejang menimbulkan serangan onset yang

mendadak hal ini sesuai dengan proses patofisiologinya karena proses impuls listrik

8
yang tidak terkontrol (EN: uncontroll firing). Kesadaran yang selau terganggu saat

terjadi kejang, sianosis sering terjadi karena proses depresi nafas dari sentral.

Gerakan abnormal bola mata hampir selalu didapati pada kejang. Anamnesis tetap

menjadi kunci untuk diagnosis yang benar dengan rekaman video mungkin sangat

membantu. Ada beberapa kondisi di mana peristiwa epilepsi dan non-epilepsi dapat

terjadi bersamaan. Beberapa diagnosis diferensial yang dapat dijadikan perhatian

pada pasien yang datang dengan riwayat kejang adalah:

1. Syncope dan anoxic seizures

Syncope menggambarkan hilangnya kesadaran sementara, yang terjadi ketika

ada penurunan tiba-tiba dalam aliran darah dan pasokan oksigen ke otak. Kejang

anoxic adalah kolaps, muncul kaku dengan atau tanpa gerakan tonik-klonik yang

terjadi sebagai akibat dari kurangnya kontrol kortikal batang otak.9 Gerakannya

bukan karena aktifitas epileptogenik. Sinkop sering terjadi, dengan sinkop yang

dimediasi secara neurologis (sinkop vaso-vagal, reflex anoxic seizures, serangan

pernafasan) memiliki prevalensi seumur hidup sebesar 40%.10

Sinkop vasovagal memengaruhi semua usia mulai dari bayi hingga usia tua,

untuk anak-anak yang lebih muda mungkin awalnya mengalami kejang anoksik

refleks. Riwayat terperinci mudah mengidentifikasi pemicu termasuk berdiri lama,

dehidrasi, perubahan postur dan gangguan emosi. Pengaturan dan rangsangan,

misalnya menyikat rambut atau pengeringan setelah mandi, venopuncture dalam

operasi dokter atau berdiri di tempat ibadah adalah penting.9 Ada penurunan

tekanan darah dan perlambatan detak jantung yang menyebabkan kurangnya aliran

9
darah ke otak. Gejala awal termasuk kabur dan hilang penglihatan, dering di telinga

dan pusing.10

2. Behavioral, Psychological dan Psychiatric Disorders

Melamun/kurang perhatian (EN: daydreaming/inattention) sering salah

didiagnosis sebagai kejang absen. Lamunan sering bersifat situasional (terlihat

lebih sering pada saat-saat ketika anak lelah atau santai atau bosan) dan lebih lama

daripada kejang absens. Melamun muncul seperti anak menatap ke depan dengan

kosong, sementara tidak bergerak dan tidak menanggapi orang-orang di sekitar

mereka. Biasanya tidak ada kehilangan tonus otot dalam lamunan dan kelap-kelip

kelopak mata tidak terjadi. Beberapa diagnosis lain yang mungkin adalah eidetic

imagery, tantrums, serangan panik, dissociative states, dan nonepileptic seizures.10

Nonepileptic seizures (sebelumnya dikenal sebagai serangan non-epilepsi,

kejang psikogenik dan kejang pseudose) menyerupai kejang epilepsi, tetapi tidak

memiliki bukti elektrofisiologis atau bukti klinis untuk epilepsi. Etiologi kejang

non-epilepsi adalah heterogen, dengan berbagai faktor predisposisi, pencetus dan

penunjang pada individu yang terkena dampak berbeda.9 Faktor psikogenik dapat

mendorong munculnya kejang non-epilepsi, tetapi faktor psikogenik mungkin tidak

dapat diidentifikasi dalam semua kasus. Serangan seperti kejang dapat termasuk

gerakan atau gangguan kesadaran, dan dapat meniru kejang fokal motorik atau

kejang fokal dengan gangguan keasadaran.11,12

3. Kondisi terkait tidur (EN: Sleep related conditions)

Gangguan gerakan ritmis yang berhubungan dengan tidur meliputi guncangan

tubuh, berputar, dan memukul kepala. Muncul akibat gerakan berlebihan bersifat

10
jinak dari gerakan atau kebiasaan yang menghibur diri yang banyak bayi tunjukkan

dalam transisi bangun tidur. Parasomia termasuk teror malam hari, dan berjalan saat

tidur muncul dari tidur non-REM yang dalam (tahap 3 & 4), biasanya pada sepertiga

pertama tidur malam. Parasomnia dapat salah didiagnosis sebagai kejang lobus

temporal namun gairah kebingungan dan teror malam biasanya lebih lama.10

4. Gangguan gerakan paroksismal

Gangguan yang sering muncul adalah tics. Tics adalah gerakan yang tidak

disengaja, tiba-tiba, cepat, berulang, tidak berirama, sederhana atau kompleks. Tics

motorik sederhana melibatkan satu otot atau sekelompok otot (termasuk otot

okular) dan dapat salah didiagnosis sebagai kejang mioklonik.10

5. Gangguan terkait Migrain

Migrain dengan aura dan variannya sangat umum dan sudah diketahui bahwa

migrain dan epilepsi sering berdampingan sebagai gangguan komorbid. Fenomena

visual kejang oksipital lebih cenderung berwarna dan dapat mencakup berbagai

bentuk yang berbeda termasuk berlian, kotak, lingkaran, dan garis.10

6. Serangan mirip kejang lainnya

Jitteriness terjadi pada periode bayi baru lahir, biasa terjadi pada bayi yang

tampak baik pada hari pertama kehidupan sebagai temuan sementara yang hilang

sendiri. Penyebab jitteriness medis mungkin termasuk hipokalsemia dan sindrom

abstinensi neonatal.13 Jitteriness dapat dibedakan dari kejang epilepsi karena dapat

meningkat ketika bayi tidak tertutup, distimulasi, terkejut atau menangis, tetapi

menurun ketika bayi dibungkus atau anggota tubuh yang terkena dipegang.13

11
F. Patofisiologi dan Patogenesis Kejang

Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadinya

paroxysmal depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial pascasinaps

yang berlangsung lama (50 ms). Paroxysmal depolarization shift merangsang lepas

muatan listrik yang berlebihan pada neuron otak dan merangsang sel neuron lain

untuk melepaskan muatan listrik secara bersama-sama sehingga timbul

hipereksitabilitas neuron otak. 14

Paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan

membran sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi

oleh neurotransmiter asam gama amino butirat (GABA), atau meningkatnya

eksitasi sinaptik oleh neurotransmitter glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi

yang berulang.15

Pada pasien dengan epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron yang

bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik disebut sebagai fokus

epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel di sekitarnya untuk

melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau

gelombang paku iktal pada elektroensefalografi.14,15

Manifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi.

Pasien epilepsi umum pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur

korteks. Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang

ombak) pada kedua hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular dan talamokortikal.

Status epileptikus terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus

menerus yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna.

12
G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, dan histopatologi

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisis

Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih

pemeriksaan penunjang yang terarah dan tata laksana selanjutnya. Aloanamnesis

dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, dilanjutkan

dengan pertanyaan terarah untuk mencari kemungkinan faktor pencetus atau

penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat kejang sebelumnya, kondisi

medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, gangguan neurologis

baik umum maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat kejang.

Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai tanda vital, mencari tanda trauma

akut kepala, dan ada tidaknya kelainan sistemik. Pemeriksaan ditujukan mencari

cedera yang terjadi mendahului atau selama kejang, adanya penyakit sistemik,

paparan zat toksik, infeksi, dan kelainan neurologis fokal. Bila dijumpai kelainan

fokal, misalnya paralisis Todd's, harus dicurigai adanya lesi intrakranial. Bila terjadi

penurunan kesadaran perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor

penyebab. Edema papil yang disertai tanda rangsang meningeal menunjukkan

adanya peningkatan tekanan intrakranial akibat infeksi susunan saraf pusat.

2. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak,

diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium,

13
pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis. Pemilihan jenis

pemeriksaan penunjang ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan.

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna untuk mencari

etiologi dan komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan

bergantung pada kondisi klinis pasien. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien

dengan kejang lama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap,

dan masa protrombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin

pada kejang demam. Jika dicurigai adanya meningitis bakterialis perlu dilakukan

pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan serebrospinal. Pemeriksaan polymerase

chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks dilakukan pada kasus dengan

kecurigaan ensefalitis.3

b. Pungsi lumbal

Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai

penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk,

kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus

yang tidak didapatkan faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat

dilakukan dalam 48 atau 72 jam setelah pungsi lumbal yang pertama untuk

memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat. Bila didapatkan kelainan

neurologis fokal dan peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan melakukan

pemeriksaan CT Scan kepala terlebih dahulu untuk mencegah risiko terjadinya

herniasi.4

14
The American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa

pemeriksaan pungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan kejang pertama

disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan karena manifestasi klinis

meningitis tidak jelas atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12-18 bulan dianjurkan

melakukan pungsi lumbal, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan pungsi lumbal

dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).3

c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang

epileptiform. Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya interiktal

EEG. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis ternyata memperlihatkan gambaran

EEG epileptiform, sedangkan anak lain dengan epilepsi berat mempunyai

gambaran interiktal EEG yang normal. Sensitivitas EEG interiktal bervariasi.

Hanya sindrom epilepsi saja yang menunjukkan kelainan EEG yang khas.

Abnormalitas EEG berhubungan dengan manifestasi klinis kejang, dapat berupa

gelombang paku, tajam dengan/atau tanpa gelombang lambat. Kelainan dapat

bersifat umum, multifokal, atau fokal pada daerah temporal maupun frontal.

Pemeriksaan EEG segera dalam 24-48 jam setelah kejang atau sleep

deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya kelainan

EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya klinis. Gambaran EEG yang normal

atau memperlihatkan kelainan minimal menunjukkan kemungkinan pasien terbebas

dari kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.16

d. Pencitraan neurologis

15
Foto polos kepala memiliki nilai diagnostik kecil meskipun dapat

menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak pada trauma

kepala dideteksi dengan CT scan kepala. Kelainan gambaran CT scan kepala dapat

ditemukan pada pasien kejang dengan riwayat trauma kepala, pemeriksaan

neurologis yang abnormal, perubahan pola kejang, kejang berulang, riwayat

menderita penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal, dan riwayat keganasan.16

Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih superior dibandingkan CT scan

dalam mengevaluasi lesi epileptogenik yang tertutup struktur tulang misalnya

daerah serebelum atau batang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang

yang sulit diatasi, epilepsi lobus temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya

kelainan pada CT scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT scan.16

H. Tatalaksana
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila kejang

tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung lama. Status

epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari 30 menit atau kejang berulang tanpa

pulihnya kesadaran di antara kejang. Terdapat dua jenis status spileptikus yaitu SE

konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik klonik umum) dan SE non-konvulsif

(absans dan parsial kompleks). 3

Status epileptikus konvulsif pada anak merupakan kegawatan yang

mengancam jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini

tergantung pada penyebab dan lamanya kejang. Makin lama kejang berlangsung,

makin sulit untuk menghentikannya. Tujuan tata laksana kejang tonik klonik umum

16
lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status

epileptikus.3

Bagan 1. Alur Tatalaksana Kejang3

Sumber: Setyabudhy, Mangunatmaja Irawan. Kejang. In: Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2015:31–39.

Pada beberapa kasus alur tatalaksana diatas tidak juga harus selalu di ikuti, misalnya

kejang pada bayi, pilihan utama bukanlah golongan benzodiazepine tetapi Fenobarbital

maka penting juga untuk mengetahui dosis dan cara pemberian OAE (obat antiepilepsy).

Tabel 3. Dosis dan cara pemberian OAE17

17
Sumber: Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of Pediatric Febrile Seizures. 2018

I. Prognosis

Penatalaksanaan pada kasus kejang selain bertujuan untuk menghentikan

kejang juga penting untuk mencegah terjadinya rekurensi pada kejang, anak dengan

kondisi kejang berulang bahkan masuk kedalam status epileptikus berpotensi 10%

- 56% untuk mengalami status epileptikus lagi dikemudian hari, hal ini tentunya

sangat berpengaruh terutama bagi fungsi mental dan kemampuan otak anak, apalagi

anak yang masih dalam tahap perkembangan, melihat hal ini maka perlunya

pemberian terapi rumatan bagi anak sampai satu tahun bebas kejang terutama bagi

kasus-kasus kejang demam.18

18
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan ulasan pada bab sebelumnya didapatkan bahwa penyakit kejang

merupakan suatu komorbiditas utama dalam perkembangan otak anak, hal ini

tentunya sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Penatalaksanaan

yang komprehensif diperlukan agar mencegah terjadinya kejang berulang

dikemudian hari. Penyebab kejang terbanyak pada anak-anak terutama adalah

kejang demam yang diakibatkan oleh proses ekstrakranial.

Pada tinjauan pustaka kali ini, penulis memaparkan beberapa diagnosis

diferensial yang dapat digunakan oleh para tenaga medis ketika mendapatkan kasus

kejang. Tujuan utamanya adalah anak yang datang dengan kejang tidak mengalami

overtreatment atau undertreatment sehingga penatalaksanaan anak dengan kejang

atau curiga kejang dapat dilakukan dengan maksimal, dalam makalah ini juga

penulis menekankan pada gangguan-gangguan motorik dan psikologis yang

menyerupai kejang.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Stafstrom CE, Carmant Lionel. Seizures and Epilepsy: An Overview for

Neuroscientists Carl. Cold Spring Harb Perspect Med. 2015;5:1–8.

2. Shellhass RA. Seizure (Paroxysmal Disorders). In: Nelson Essentials of

Pediatrics. Edisi ke-7. Philadelphia; 2015:618.

3. Setyabudhy, Mangunatmaja Irawan. Kejang. In: Buku Ajar Pediatri Gawat

Darurat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015:31–39.

4. Kammerman Sandra, Lioyd W. Seizure disorders: Part 1. Classification and

diagnosis. Western Journal of Medicine. 2001;175(2):99–103.

5. IE S, Berkovic Samuel, Capovilla Guiseppe, Connolly MB, et al. ILAE

classification of the epilepsies: position paper of the ILAE Commission for

Classification and Terminology. Zeitschrift fur Epileptologie.

2018;31(4):296–306.

6. Brodie MJ, Zuberi SM, Scheffer IE, RS F. Seminar in Epileptology The 2017

ILAE classification of seizure types. Epileptic Disorders. 2018;20(2):77–87.

7. Schuele BSU. Evaluation of Seizure Etiology From Routine Testing to

Genetic Evaluation. American Academy of Neurology. 2019;1:322–342.

8. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, Jeffrey B, et al. Revised terminology and

concepts for organization ofseizures and epilepsies: Report ofthe ILAE

Commission on Classification and Terminology, 2005–2009. Epilepsia.

2010;1:676–685.

9. Smith PEM. If it’s not epilepsy. Neurology Neurosugery and Psychiatry.

20
200M;70(suppl II):ii9-14.

10. International League Against Epilepsy. Epilepsy Imitators.

https://www.epilepsydiagnosis.org/epilepsy-imitators.html#overview.

Published 2019.

11. Perez DL, Lafrance WC, Lafrance Curt. Nonepileptic Seizures: An Updated

Review HHS Public Access. CNS Spectr. 2016;21(3):239–246.

12. Patel Hema, Dunn DW, Austin JK, JL D, et al. Psychogenic nonepileptic

seizures (pseudoseizures). Pediatrics in Review. 2011;32(6).

13. Huntsman RJ, Lowry NJ, Sankaran Koravangattu. Nonepileptic motor

phenomena in the neonate. Pediatric Children Health. 2008;13(8):680–684.

14. Kumar Sandeep, Singh Govind. Pathophysiology of epilepsy : An updated

review. International Journal of Medical and Health Research International.

2016;2(10):32–36.

15. Engelborghs S, D’Hooge R, De Deyn P P. Review article Pathophysiology

of epilepsy. Acta neurol belg. 2000;100(May 2014):201–213.

16. Epert Commitee On Pediatric Epilepsy IA of P. Guidelines for diagnosis and

management of childhood epilepsy. Indian pediatrics. 2009;46:681–698.

17. Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of Pediatric Febrile

Seizures. 2018.

18. Sculier Claudine, Gaínza-Lein Marina, Fernández IS, Loddenkemper

Tobias. Long-term outcomes of status epilepticus: A critical assessment.

Epilepsia. 2018;59(June):155–169.

21
22

Anda mungkin juga menyukai