Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia berasal dari bahasa yunani schizein (σχίζειν, "untuk split")

dan phrēn, (φρήν, φρεν-, "pikiran") yang dikenalkan oleh Eugen Bleuler pada

tahun 1908. Secara harfiah skizofrenia memiliki makna yaitu “membelah pikiran”

dalam mengambarkan pemisahan fungsi antara kepribadian; berpikir; memori;

hingga persepsi. Hal ini telah menyadarkan Bleuer mengolongkan manifestasi

utama sebagai 4A, yaitu autisme; gangguan asosiasi ide; ambivalensi; dan rata

mempengaruhi. Kondisi tersebut telah memungkinkan pemisahan bermakna serta

eksplist dengan demensia, karena skizofrenia turut mengalami remisi gejala;

dipengaruhi berbagai faktor terkait; hingga kepatuhan psikoterapi keluarga. Pada

bahasan lebih lanjut, Bleuler turut mengolongkan sebagai sindroma klinis 4A,

yaitu autisme; gangguan asosiasi ide; ambivalensi; dan rata mempengaruh

sehingga menimbulkan penyimpangan fundamental.

Penyimpangan fundamental secara khusus telah memiliki kharakteristik

pikiran hingga persepsi terkait dengan afek yang tidak wajar, seperti tumpul

(inappropriate), kesadaran jernih, hingga kemunduran fungsi kongnitif.

Prevalensi kejadian skizofrenia Indonesia menurut Riskesdas 2013 diperkirakan

dialami pada 1,7 / 1000 penduduk dengan insiden kejadian skizofrenia 0,2/1000

penduduk setiap tahunnya. Pada pembahasan lebih lanjut prevalensi kejadian

skizofrenia telah mengalami peningkatan cukup pesat di tahun 2018 sekitar 2

miliar penduduk dunia. Prevalensi kejadian skizofrenia paling sering dijumpai

pada rentang usia 15-35 tahun dengan ratio pengantaran perempuan dan laki-laki
seimbang 1:1, namun awitan lebih dini banyak dialami oleh laki-laki. Dengan

demikian penyimpangan fundamental pada skizofrenia seiring meningkatnya

prevalensi kejadian turut mengembangkan berbagai penelitian dan studi di bidang

ilmu kesehatan jiwa.

Pada berbagai studi ilmiah terkait skizofrenia faktor genetika merupakan

salah satu predominan utama disamping stressor psikososial; neurobiologi; proses

psikologis; hinggapenyalahgunaan obat relaksan. Penelitian tersebut dewasa ini

terkait peranan neurobiologi dengan pertimbangan tidak ada keterkaitan dengan

penyebab kelainan organik lainnya. Hal ini menimbulkan berbagai hipotesis

terkait, salah satunya dikenal kelainan sindrom diskrit oleh Eugen Bleuler.

Dengan pendekatan berbagai studi ilmiah tertentu, maka Pedoman Penggolongan

dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ketiga (PPDGJ III) Indonesia telah

menentukan klasifikasi dalam kelompok penting.

Pendekatan ilmiah Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan

Jiwa edisi ketigadi Indonesia mengolongkan dalam kode F 20-F 29 yaitu

Skizofrenia, Gangguan Skizotipal, dan Gangguan Waham. Pendekatan lain yang

turut berkembang ialah Kay et al sebagai sindrom klinis yang terdiri atas positif,

negatif, kongnitif, agresif, dan ansietas / depresi. Pada pembahasan lainnya,

Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition Text

Revised ( DSM-IV-TR) menentukan sindrom klinis sesuai subtipe yang paling

menonjol yaitu tipe katatonik; tipe disorganized; tipe paranoid; hingga tak terinci

(undifferentiated).

Skizofrenia tak terinci merupakan


Skizofrenia tak terinci (undifferentiated) adalah skizofrenia dengan adanya

2
ganbaran simtom fase aktif tetapi tidak sesuai dengan criteria untuk skizofrenia
katatonik, disorganized atau paranoid. Atau semua criteria untuk skizofrenia
katatonik, disorganized dan paranoid terpenuhi.

Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan


karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul, kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang yang berat dan
dialami manusia sejak muda dan dapat berkelanjutan menjadi sebuah gangguan
yang kronis dan menjadi lebih parah ketika muncul pada lanjut usia (lansia)
karena menyangkut perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial budaya.
Sebenarnya skizofrenia tidak hanya banyak dialami oleh orang lanjut usia saja,
banyak orang dewasa bahkan sampai anak-anak dan remaja pun bisa
mengalaminya. Gangguan ini bisa timbul pada usia 18-45 tahun, bahkan ada juga
usia 11-12 tahun sudah menderita skizofrenia.1

Kesehatan mental masih menjadi masalah yang sulit untuk diselesaikan,


baik secara global maupun di Indonesia sendiri. Data Riskesdas 2013 menunjukan
prevelansi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala
depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun keatas sekitar 14 juta orang atau 6%
dari jumlah penduduk di indonesia. Sedangkan prevelansi gangguan jiwa berat
seperti skizofrenia mencapai 400.000 orang atau sebanmyak 1,7/1000 penduduk.

Pada laporan kasus ini penulis melaporkan pasien laki-laki berusia 36


tahun dengan gangguan psikotik sejak berusia 17 tahun yang didiagnosa sebagai
skizofrenia tak terinci.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang artinya retak atau pecah,
dan frenia yang artinya jiwa, dengan demikian, seseorang yang menderita
skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakkan
kepribadian. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
suatu gangguan pskiatri mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, afek dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.3 Skizofrenia mengakibatkan penderitanya
kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan
masalah.4

B. Epidemiologi

Data Riskesdas 2013 menunjukan prevelansi gangguan mental emosional


yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan yag ditunjukan
dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun keatas sekitar 14
juta orang atau 6% dari jumlah penduduk di indonesia. Sedangkan prevelansi
gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400.000 orang atau sebanmyak
1,7 / 1000 penduduk.5

Skizofrenia mempengaruhi sekitar 0,3-0,7% orang pada suatu saat dalam


kehidupan mereka atau 24 Juta orang didunia terhitung mulai 2011. Skizofrenia
terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Gejala-gejala awal
biasanya terjadi pada masa remaja atau dekade kedua. Pria sering mengalami
awitan yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak serangan awal adalah 20-28
tahun untuk pria dan 26-32 tahun untuk wanita.6

4
C. Etiologi

Sampai saat ini etiologi skizofrenia masih belum jelas. Kemungkinan besar
skizofrenia adalah suatu gangguan yang heterogen. Hal yang menonjol pada
gangguan skizofrenia adalah adanya stressor psikososial yang mendahuluinya.
Seseorang yang mempunyai kepekaan spesifik bila mendapat tekanan tertentu dari
lingkungan akan timbul gejala skizofrenia.3
Etiologi skizofrenia diuraikan menjadi dua kelompok teori yaitu :
1). Teori Somatogenetik
Teori yang menganggap bahwa penyebab skizofrenia karena factor
kelainan organik atau badaniyah .
2). Teori Psikogenik
Teori yang menganggap skizofrenia disebabkan oleh suatu gangguan
fungsional. Dan penyebab utamanya adalah konflik , stres psikologik dan
hubungan antar manusia yang mengecewakan .
Adapun faktor resiko yang menyebabkan seseorang menderita skizofrenia
antara lain:4
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan
diri, dan/atau impulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah
karena dideritanya gangguan ini
5. Komplikasi masa kehamilan dan persalinan.
6. Bentuk tubuh astenik.
7. Penyalahgunaan obat-obatan.

D. Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia terbagi menjadi tiga fase, yaitu:1,3

a. Gejala prodormal

5
Gejala awal dari skizofrenia bisa berlangsung berminggu-minggu sampai

berbulan-bulan. Apabila pasien memiliki minimal 2 gejala dibawah ini, maka

pasien masuk ke fase prodormal dan pasien di rawat jalan. Gejala-gejala

prodormal: 1,3

 Melamun

 Menyendiri

 Tingkah laku aneh

 Tersenyum-senyum sendiri

 Memiliki panca indra ke-6 (seolah-olah tahu)

 Pikiran tidak masuk akal

 Gangguan perawatan diri

 Hendaya pekerjaan (mencuci tidak bersih, memasak gosong)

 Hubungan sosial terganggu (memilih-milih teman)

b. Fase aktif

Apabila pasien memiliki minimal 1 gejala fase aktif, maka pasien di rawat

inap. Gejala-gejala fase aktif: 1,3

 Gaduh gelisah (mengamuk)

 Halusinasi

 Waham

 Inkoherensi

6
 Perilaku katatonik

c. Fase residual

Apabila pasien memiliki minimal 2 gejala dibawah ini, maka pasien masuk

ke fase residual dan di rawat jalan. Gejala-gejala fase residual: 1,3

 Riwayat satu episode mengamuk

 Gejala sama seperti prodormal

 Ada halusinasi auditorik namun tidak mengganggu

 Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok :

Gejala-gejala primer atau yang biasa dikenal dengan 4A’s

 Affect (gangguan emosi)

 Autism (berada didunianya sendiri, biasanya menarik diri dari

lingkungan)

 Ambivalance (gangguan kemauan)

 Associations (gangguan proses pikir)

Gejala-gejala sekunder :

 Waham

 Halusinasi

 Gejala katatonik

E. Tipe Skizofrenia

Diagnosis skizofrenia Berdasarkan PPDGJ III, yaitu:

7
1. Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Adalah gangguan skziofrenia dengan tambahan halusinasi dan atau waham


harus menonjol : a) suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah atau halusinasi audiotorik tanpa ada bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming) atau bunyi tawa (laughing) , b)
halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lain lain
perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol , c) waham
dapat berupa hampir setiap jenis , tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi dan
keyakinan dikejar-kejar oleh beraneka ragam adalah yang paling khas. Gangguan
afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif
tidak nyata atau tidak menonjol.

2. Skizofrenia Hebrefrenik (F20.1)

Diagnosis hebefrenik untuk pertama kalinya hanya ditegakan pada usia


remaja atau dewasa muda (Onset biasanya 15-25 tahun), Kepribadian Hebefrenik
premoid menujukan ciri khas pemalu dan sering menyendiri, Untuk diagnosis
hebefrenia yangmeyakinkan , umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama
2-3 bulan lamanya , untuk memastikannya ; a) perilaku tidak bertanggung jawab
dan tak dapat diramalkan , ada kecendrungan untuk menyendiri, b) afek pasien
dangkal (Shallow) dan tidak wajar , swring disertai oleh cekikkan atau perasaan
berpuas diri atau oleh sikap tinggi hati, tertawa menyeringai , mengibuli secara
senda gurau dan ungakapn kata yang diulang ulang, c) proses pikir mengalami
disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Gangguan afektif dan
dorongan kehendak biasanya menonjol.

3. Skizofrenia Katatonik (F20.2)

Satu atau lebih dari gambaran perilaku sebegai berikut:

a) Stupor atau mutisme

b) Gaduh gelisah yang tidak ada penyebabnya

8
c) Menampilkan sisi tubuh tertentu

d) Negativisme, perlawanan yang tidak bermotif.

e) Rigiditas mempertahankan posisi kaku untuk meklawan upawa menggerakan


dirinya

f) Flekbiliktas cerea / waxy flexibility

g) Command automatism

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi kataktonik, diagnsosi


skizofrenia mungkin harus ditunda sampai memperoleh bukti-bukti memadai
tentang adanya gejala lain.

4. Skizofrenia tak terinci (F20.3)

Memenuhi kriteria umum skizofrenia, tidak memenuhi kriteria untuk


diagnosis skizofrenia lainnya.

5. Depresi pasca skizofrenia (F20.4)

Diagnosis ditegakan jika : Pasien telah menderita skizofrenia selama 12


bulan terakhir ini, beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada tetapi tidak
menonjol dan gejala-gejala depresif menojol dan menggangu memenuhin
kriteria depresif.

6. Skizofrenia Residual (F20.5)

Persyaratan diagnosis adalah :

a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan


psikomotor, aktivitas menurun, afek tumpul, sikap pasien yang pasif dan
tidak adanya inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunkasi non verbal, yang buruk, seperti ekspresi muka

b) Setidaknya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau
yang memenuhi kriteria umum diagnosis

c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun

d) Tidak terdapat dementia

9
7. Skizofrenia simpleks (F20.6)

8. Skizofrenia lainnya (F20.8)

9. Skizofrenia YTT (F20.9)

F. Kriteria Diagnosis dan Gejala Klinis

Harus ada satu gejala yang jelas atau dua gejala atau lebih jika gejala kurang
tajam.

1. Thought echo
2. Delusion
3. Halusinasi
4. Waham
Atau paling sedikit 2 gejala dibawah ini :
5. Halusinasi menetap
6. Arus pikiran terputus
7. Perilaku katatonik
8. Gejala negatif
Adanya gejala tersebut khas diatas telah berlangsung 1 bulan atau lebih.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan


terapi psikososial. Terapi biologis terbagi menjadi 3 jenis yaitu terapi dengan
menggunakan obat/farmakologi, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian
otak. Terapi farmakologi masih merupakan pilihan utama pada skizofrenia.
Pilihan terapi pada skizofrenia dipilih berdasarkan target gejala pada pasien
skizofrenia. Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah bahaya pada pasien,
mengontrol perilaku pasien dan untuk mengurangai gejala psikotik pada pasien. 7

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi


pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton
dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah

10
diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa
gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai
pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikososial terdapat dua bagian
yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga. Ada 3 jenis psikoterapi yang dapat
diberikan. Psikoterapi suportif, untuk memperkuat mekanisme defens
(pertahanan) pasien terhadap stress. Psikoterapi reedukatif, untuk meningkatkan
pengetahuan pasien terhadap penyakitnya, meningkatkan pengetahuan keluarga
untuk mendukung kesembuhan pasien, dan mengembangkan kemampuan pasien
untuk menunjang kesembuhan. Psikoterapi rekonstruktif, untuk dicapainya tilikan
akan konflik-konflik nirsadar dengan usaha untuk mencapai perubahan struktur
luas kepribadian.

H. Prognosis

Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien


tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya
mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya,
sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan
kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab
atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan
aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta
kegunaannya.7

11
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Usia : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Jl. Berangas RT 05 Kec. Alalak Kab. Batola
Pendidikan : SMA Kelas 1
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Suku : Banjar
Bangsa : Indonesia

Status Perkawinan : Belum Menikah

Berobat Tanggal : 26 Agustus 2019

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan heteroanamnesis tanggal
26 Agustus 2019 di Rumah Sakit Ansari Saleh Banjarmasin
A. Keluhan Utama
Pasien mengamuk ± 1 minggu kemarin.
B. Riwayat gangguan sekarang
Pasien datang ke poliklinik psikiatri Rumah Sakit Ansari Saleh
Banjarmasin pada pukul 11.30 WITA tanggal 26 Agustus 2019 diantar
oleh kakak pasien. Pasien menggunakan baju kemeja levis warna biru
lengan pendek dan celana jeans biru sampai lutut. Tidak nampak adanya
luka atau gambar tato di tubuh pasien. Rambut pasien pendek dan rapi.
Kuku pasien tampak pendek dan bersih. Penampilan pasien tampak
terawat dan sesuai usia. Ekspresi wajah pasien nampak datar, terkadang
pasien menjawab pertanyaan dengan tersenyum tanpa berbicara. Saat

12
diajak komunikasi pasien tidak menatap lawan bicaranya, pandangan
pasien mengarah ke dinding atau terkadang pasien juga menunduk.
Pasien tidak merespon dengan baik saat diajak berbicara, pasien hanya
menatap sebentar lawan bicara kemudian tersenyum lalu menunduk.
Terkadang pasien terkesan acuh saat diberi pertanyaan dan pasien juga
kadang menjawab dengan 1 kata atau ya/tidak.

Heteroanamnesis: Tn. Syaifullah/38 tahun (Kakak pasien)


Pasien dibawa oleh kakak pasien ke poli psikiatri RS Ansari
Saleh. Menurut kakak pasien, adiknya terlihat mengamuk sendiri
dengan cara marah-marah tanpa sebab ± 1 minggu yang lalu .
Awalnya keluhan muncul 19 tahun lalu saat pasien berumur 17 tahun,
pasien nampak mengamuk dan berbicara sendiri. Pasien berkata
“bejauh” sambil membanting pintu. Ketika sedang berbicara sendiri,
pasien bisa memecahkan atau merusak barang disekitarnya. Setelah
berbicara sendiri, pasien menangis tanpa diketahui apa sebabnya.
Keluhan tersebut hilang timbul, bisa 1 kali per minggu atau per bulan,
tanpa diketahui apa pencetusnya selama 19 tahun. Pada usia 17 tahun,
pasien juga pernah mengatakan kepada kakak pasien bahwa dia
melihat ada buaya namun kakak pasien tidak melihat buaya dimana
pun. Menurut kakak pasien, sebelumnya pasien memang pribadi yang
pendiam dan pemalu, tapi semenjak usia 17 tahun pasien semakin
sering menyendiri, berdiam di rumah dan jarang berinteraksi dengan
orang lain. Pasien juga jarang berbicara, adapun berbicara hanya 1
kata saja. Pasien memiliki waktu tidur yang tidak benar polanya,
pasien tidur saat maghrib pukul 18.30 dan terbangun pukul 02.00
kemudian pasien terjaga sampai pukul 08.00 pagi. Pasien melanjutkan
tidur pukul 08.00 sampai pukul 10.00. Aktivitas pasien setiap hari
lebih banyak tidur, melamun, menonton tv dan terkadang membantu
ibunya menimbang gula. Aktivitas pasien dihabiskan di rumah saja.
Nafsu makan pasien baik. Menurut kakak pasien, pasien tidak pernah
mencoba menyakiti diri sendiri atau orang lain. Saat ini pasien tinggal

13
berdua dengan ibu pasien.
Genogram:

Keterangan :

: laki-laki : perempuan

: meninggal (laki-laki) : meninggal (perempuan)

: pasien

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya


1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami gangguan psikiatri.
2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Tidak terdapat riwayat penggunaan zat psikoaktif
3. Riwayat penyakit dahulu (medis)
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelum ini, tidak pernah
dirawat ke rumah sakit
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat pranatal
Kakak pasien tidak tau bagaimana proses kehamilan dan kelahiran
pasien.
2. Masa kanak-kanak awal
Kakak pasien tidak ingat bagaimana adiknya saat masih balita.
Dari kecil pasien dirawat dengan ibu pasien. Di sekolah pada saat
SD sampai dengan SMP, pasien dapat mengikuti pelajaran dengan

14
baik, bahkan pasien sering masuk peringkat 3 besar di kelasnya.
3. Masa kanak-kanak akhir
- Hubungan sosial: menurut kakak pasien, pasien tidak memiliki
banyak teman.

- Riwayat sekolah: Paien awalnya bersekolah di SMA, lalu pasien


meminta pindah ke Aliyah, namun setelah beberapa bulan
bersekolah di Aliyah pasien tiba-tiba tidak mau bersekolah lagi
tanpa diketahui penyebabnya dan tidak mau menceritakan pada
keluarganya.
4. Riwayat pekerjaan
Pasien tidak bekerja, hanya berdiam diri di rumah.
5. Riwayat agama
Pasien beragama islam, namun sudah lama pasien tidak sholat.
6. Aktivitas sosial
Pasien tidak dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar.
E. Situasi sosial sekarang
Pasien seorang laki-laki berusia 36 tahun. Pasien belum
menikah. Pasien saat ini tinggal di rumah dengan ibu pasien. Saat ini
pasien tidak bekerja dan biaya hidup ditanggung oleh kakaknya dan
ibunya. Pasien tidak dapat bersosialisasi dengan baik terhadap orang -
orang di lingkungan sekitar.
F. Persepsi (tanggapan) pasien tentang dirinya dan kehidupannya
1. Pasien sadar dia sakit, tapi tidak tahu sakit apa

III. STATUS MENTAL


A. DESKRIPSI UMUM
1. Penampilan
Pasien seorang laki-laki berusia 36 tahun, tampak terawat,
memakai baju jeans biru dan celana jeans pendek warna biru,
ekspresi wajah pasien datar, warna kulit sawo matang tidak
nampak ada luka maupun gambar tato.

15
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Pasien tampak tenang.
3. Sikap pasien terhadap pemeriksa
Kurang kooperatif
B. Keadaan afektif (mood), perasaan, ekspresi afektif (hidup emosi) serta
empati :
1. Mood : Hipotimik
2. Afek : Datar
3. Keserasian : Serasi
C. Gangguan persepsi
Sulit dievaluasi, menurut kakak pasien tidak pernah ada bercerita kalau
mendengar bisikan atau melihat bayangan.

D. Pembicaran
Tidak spontan dan terbatas
E. Pikiran :
1. Proses pikir :
a. Bentuk pikiran : Austistik
b. Arus pikiran : Sulit dievaluasi
2. Isi pikiran : Waham (-), miskin isi pikir
F. Sensorium dan kognitif
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Orientasi : Waktu, orang dan tempat baik
3. Daya ingat: Pasien dapat mengingat jangka segera, pendek dan
menengah, namun pasien tidak dapat mengingat ingatan jangka
panjang.
4. Konsentrasi : kurang
5. Perhatian : kurang
6. Kemampuan membaca dan menulis : buruk
7. Kemampuan visuospasial : buruk
8. Pikiran abstrak : buruk
9. Kapasitas intelegensia : buruk

16
10. Bakat kreatif : buruk
11. Kemampuan menolong diri : pasien dapat merawat diri sendiri
G. Kemampuan mengendalikan impuls :
Pasien tidak dapat mengendalikan impuls
H. Tilikan
1
I. Taraf dapat dipercaya Pasien
Tidak dapat dipercaya
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda vital
- Tekanan darah: 140/90 mmHg - Frekuensi nadi: 82x / menit
- Frekuensi napas: 21x / menit - Suhu: 36,5O C
4. Bentuk badan : Kesan dalam batas normal
5. Sistem kardiovaskular : Tidak ada kelainan
6. Sistem muskuloskeletasl : Tidak ada kelainan
7. Sistem gastrointestinal : Tidak ada kelainan
8. Sistem urogenital : Tidak ada kelainan
9. Gangguan khusus : Terdapat gangguan jiwa

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


1. Pasien laki-laki usia 47 tahun, datang bersama kakak pasien dengan
keluhan dan riwayat mengamuk dan bicara sendiri.
2. Pasien sering berbicara sendiri.
3. Pasien sering merusak barang ketika mengamuk.

4. Pasien sering melamun dan berdiam diri.

5. Pasien menangis setelah mengamuk.

6. Pasien tidak dapat bersosialisasi dengan baik terhadap orang - orang

17
di lingkungan sekitar.
7. Pasien menempuh pendidikan SD, SMP dan Aliyah hanya sampai
kelas 1.

8. Kegiatan pasien saat ini tidak bekerja, penghasilan didapatkan dari


Ibu dan kakaknya.

VI. DIAGNOSTIK MULTIAKSIAL


1. Diagnosis Aksis I
F.20.3 Skizofrenia tak terinci
2. Diagnosis Aksis II
Sejakkecil pasien memang merupakan pribadi yang pendiam dan
pemalu. Pasien juga lebih sering mengerjakan tugasnya sendiri dan
tidak memiliki banyak teman. Karena hal tersebut pasien memiliki
ciri kepribadian skizoid. Pasien juga memiliki fungsi kognitif baik
maka pada pasien tidak terdapat retardasi mental.
3. Diagnosis Aksis III
Pasien tidak ada penyakit-penyakit yang yang membahayakan dan
juga tidak ada riwayat penyakit, sehingga Aksis III tidak ada
diagnosis

4. Diagnosis Aksis IV

Penyebab munculnya keluhan tidak diketahui oleh keluarga dan


pasien pernah terbuka terhadap masalahnya, sehingga axis IV tidak
terdiagnosis.
5. Diagnosis Aksis V
Pada pasien didapatkan gejala berat (serious) dan disabilitas berat
dalam beberapa fungsi. Maka pada aksis V didapatkan GAF Scale
50-41.

VII. EVALUASI MULTIAKSIAL


Aksis I : F20.3 Skizofrenia tak terinci

18
Aksis II : Ciri kepribadian skizoid

Aksis III : Tidak ada diagnosis

Aksis IV : Tidak ada diagnosis

Aksis V : GAF scale 50-41

VIII. PROGNOSIS
Prognosis ke arah baik
-Respon terhadap pengobatan baik
-Mendapat dukungan sepenuhnya dari keluarga terhadap kesembuhan
pasien

Prognosis ke arah buruk


- Perjalanan penyakit sudah berlangsung selama 19 tahun
- Pasien tidak dapat bersosialisasi dengan baik

Berdasarkan data-data diatas, dapat disimpulkan


prognosis pasien adalah:
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

IX. TERAPI
Psikofarmaka:
PO Risperidon 2mg 3 x 1
PO Triheksifenidil 2mg 2x 12
Psikoterapi
Sosioterapi

19
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Diagnosis

Fakta Teori

Anamnesis
o Pasien laki-laki, usia 36 tahun Diagnosis Skizofrenia menurut
o Pasien tidak bisa memotong PPDGJ III, DSM- IV adalah
kukunya sendiri harus dibantu
menggunakan kriteria sebagai
oleh ibunya tetapi pasien masih
berikut.8
mampu mandi dan makan secara
mandiri.
a. Harus ada sedikitnya satu gejala
o Pasien memiliki emosi yang tidak
berikut ini yang amat jelas (dan
stabil, kadang pasien
biasanya dua gejala atau lebih bila
mengamuk(marah marah sendiri)
gejala – gejala itu kurang tajam
kemudian pasien tiba-tiba
atau kutang jelas) :
menangis tanpa alas an yang
jelas. 1) – “thought echo” = isi pikiran
dirinya sendiri berulang atau
o Pasien jarang berbicara dan saat bergema dalam kepalanya
berbicara hanya satu kata saja. (tidak keras), dan isis pikiran
ulangan, walaupun isisnya
o Pasien sering melamun dan sama, namun kualitasnya
berdiam diri. berbeda; atau
o Pasien tidak dapat bersosialisasi - “thought insertion or
withdrawal” = isi pikiran yang
dengan baik terhadap orang -
asing dari luar masuk ke
orang di lingkungan sekitar. dalam pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
Riwayat Penyakit Dahulu - “thought broadcasting” = isi
o Tidak pernah dirawat di Rumah pikirannya tersiar ke luar
Sakit Jiwa sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
Riwayat Kebiasaan
o Riwayat konsumsi alkohol (-) 2) – “delusion of control” =

20
dan Napza (-) waham tentang dirinya
o Riwayat merokok (-) dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
Status Psikiatrikus
o Kesan umum kurang terawat - “delusion of influence” =
o Kontak verbal (<), kontak visual waham tentang dirinya
(<) dipengaruhi oleh suatu
o Kesadaran compos mentis, tidak kekuatan tertentu dari
ada disorientasi tempat, waktu luar;atau
dan orang
- “delusion of passivity” =
o Pasien tampak tenang dan dapat
waham tentang dirinya tidak
mengikuti perintah pemeriksa.
berdaya dan pasrah terhadap
o Emosi tidak stabil, afek sempit
suatu kekuatan dari luar;
o Tidak dapat merawat diri (tentang “dirinya “ = secara
sepenuhnya jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/ anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan atau
penginderaan khusus);
- “delusion perception” =
pengalaman inderawi yang tak
wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya
bersifat mistik atau mukjizat;
3) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang
berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku
pasien; atau
- Mendiskusikan perihal pasien
di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang
berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain
yang berasal dari salah satu
bagian tubuh
4) Waham – waham menetap jenis
lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu,

21
atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca
atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dari dunia lain).

b) Atau paling sedikit dua gejala


dibawah ini yang harus selalu ada
secara jelas :

5) halusinasi yang menetap dari


panca indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun setengah
berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide – ide berlebihan
(over-valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu –
minggu atau berbulan – bulan
terus menerus;

6) arus pikiran yang terputus


(break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan,
atau neoligisme;

7) perilaku katatonik, seperti


keadaan gaduh-gelisah (ex-
citement), posisi tubuh tertentu

22
(posturing), atau fleksibilitas
carea, negativisme, mutisme, dan
stupor;

8) gejala – gejala “negatif”,


seperti sikap sangat apatis, bicara
jarang, dan respons emosional
yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;

c) Adanaya gejala – gejala khas


tersebut diatas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase nonpsikotik
prodromal);

d) Harus ada suatu perubahan


yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dari beberapa aspek
prilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, hidup
tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri

23
sendiri (self absorbed attitude),
penarikan diri secara sosial.

Diagnosis Skizofrenia menurut DSM-


IV adalah menggunakan kriteria
sebagai berikut.
1) Memenuhi kriteria umum untuk
diagnosis skizofrenia
2) Tidak memenuhi kriteria untuk
diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik;
Tidak memenuhi kriteria untuk
skizofrenia residual atau depresi pasca-
skizofrenia.

Gangguan Jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik


seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan
suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam
satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan
bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologi,
dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan dengan dirinya
sendiri tetapi juga antara orang itu dan masyarakat. Gangguan jiwa terdiri atas
psikotik dan non-psikotik, sedangkan psikotik terbagi atas sindrom psikotik
organik dan sindrom psikotik fungsional.1
Terdapat beberapa butir-butir diagnosis sindrom psikosis, diantaranya:2
a. Hendaya berat dalam kemampuan menilai realitas, bermanifestasi dalam gejala
berupa kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai norma sosial
(judgement) terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.
b. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala positif
berupa gangguan asosiasi pikirian (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar
(waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai

24
dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized).
Sedangkan gejala negatif berupa (afek tumpul, respons emosi minimal),
gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses pikir
(lambat, terhambat), isi pikiran yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku
yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia).
c. Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam
gejala berupa tidak mampu berkerja, menjalin hubungan sosial, dan
melakukan kegiatan rutin.
Diagnosis skizofrenia tak terinci (F20. 3) ditegakkan apabila berdasarkan
anamnesis dan status mentalis pasien memenuhi kriteria umum skizofrenia dan
tidak memenuhi kriteria untuk diagnosia skizofrenia paranoid, hebefrenik atau
katatonik. Serta tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau pasca
depresi. Skizofrenia paranoid biasanya didapatkan halusinasi pembauan atau
pengecapan rasa, bersifat seksual, atau perasaan tubuh dan halusinasi visual yang
mungkin ada tetapi jarang menonjol. Pada pasien ini tidak ditemukan halusinasi
pembauan, pengecapan rasa, bersifat seksual, dan terdapat halusinasi visual pada
pasien. Pasien tidak termasuk skizofrenia hebefrenik karena pasien baru
didiagnosis pada usia 47 tahun, sedangkan pada skizofrenia hebefrenik biasanya
ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda. Menurut pengakuan keluarga,
pasien mulai terlihat mempunyai kelainan perilaku sejak usia 17 tahun, namun
tidak dapat dipastikan penyebab mengamuk pasien apa. Skizofrenia katatonik
salah satunya ditandai dengan penderita yang sama sekali tidak menunjukkan
perhatian kepada lingkungannya atau gaduh gelisah yang ditandai dengan
meningkatnya aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh
stimuli eksternal. Reaktivitas pasien terhadap lingkungan kurang baik, pasien
masih bisa menjawab dan melakukan apa yang diperintahkan kepada pasien, tidak
ada reaksi negativisme. Tidak ada gejala depresif yang menonjol pada pasien.

25
B. Penatalaksanaan

Fakta Teori

a. Farmakoterapi a. Farmakoterapi
- Anti psikosis tipikal yang
PO Risperidon 2mg 3 x 1 tab
diberikan untuk gejala positif
PO Triheksifenidil 2mg 2x 12 tab
yang lebih menonjol yaitu :
b. Psikoterapi
Haloperidol, Chlorpromazine,
c. Sosioterapi
dan pimozide. Bekerja pada
dopamine receptor antagonist
yang memblokade dopamin
pada reseptor pasca sinaptik
neuron di otak.
- Anti psikosis atipikal yang
diberikan untuk gejala negatif
yang lebih menonjol yaitu
Sulpride, Clozapine, dan
Risperidone. Bekerja sebagai
serotonine – dopamine
receptor antagonist.
b. Psikoterapi
 Memberikan kesempatan

kepada pasien untuk

menceritakan keluhan dan isi

hati serta perasaan sehingga

pasien merasa lega.

 Memberikan penjelasan dan

pengertian kepada pasien agar

memahami penyakitnya dan

26
bagaimana cara

menghadapinya.

c. Sosioterapi
 Memberikan penjelasan kepada

pasien, keluarga pasien dan

orang-orang di sekitarnya.

Sehingga dapat menerima dan

menciptakan suasana

lingkungan yang membantu.

Terapi yang diberikan yaitu risperidon dan trihexyphenidyl. Risperidon


merupakan antipsikotik atipikal yang mempunyai efektivitas yang lebih baik
dalam mengontrol gejala negatif pada pasien ini ditemukan lebih banyak gejala
negatif yang menonjol seperti afek tumpul, gangguan hubungan social (menarik
diri, pasif dan apatis) penarikan diri, hipobulia, miskin isi pikiran). Obat ini
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2) dan aktivitas
menengah terhadap reseptor dopamine (D2), alpha 1 dan 2 adrenergik, serta
histamine. Sindrom psikosis berkaitan dengan aktivitas neurotransmitter
dopamine yang mengikat (hiperaktivitas sistem dopaminegik sentral), obat ini
dapat memblokade dopamine pada reseptor post sinaps di otak khususnya di
system limbic dan system ekstrapiramidal (dopamine d2 receptor antagonis).
Dengan demikian obat ini efektif untuk gejala negatif.

Pasien juga mendapat trihexyphenidyl 2 mg 2x 12. Trihexyphenidil diberikan


sebagai antiparkinson profilaksis untuk mencegah efek samping yang dapat
ditimbulkan dalam penggunaan obat antipsikotik. Trihexyfenidil merupakan obat
golongan antikolinergik. Antikolinergik digunakan bersama dengan antipsikotik
bertujuan untuk meminimalisir terjadinya efek samping dari obat psikotik dan

27
kemungkinan terjadinya gejala ekstra piramidal syndrome seperti distonia akut,
akatisia, tremor, bradikinesia dan rigiditas. Trihexyphenidyl merupakan obat yang
sering digunakan apabila didapatkan sindrom ekstrapiramidal sebagai akibat
penggunaan antipsikotik. Antipsikotik mengurangi aktivitas dopamin di jalur
nigrostriatal (melalui blokade reseptor dopamin), sehingga tanda ekstrapiramidal
dan gejalanya mirip penyakit Parkinson’s. Secara umum dianjurkan penggunaan
obat anti parkinson tidak lebih lama dari 3 bulan (risiko timbul “atropine toxic
syndrome”).5
Trihexyphenidyl bekerja melalui neuron dopaminergik. Mekanismenya
mungkin melibatkan peningkatan pelepasan dopamin dari vesikel prasinaptik,
penghambatan ambilan kembali dopamin ke dalam terminal saraf prasinaptik atau
menimbulkan suatu efek agonis pada reseptor dopamin pascasinaptik.
Trihexyphenidyl memiliki efek menekan dan menghambat reseptor muskarinik
sehingga menghambat sistem saraf parasimpatetik, dan juga memblok reseptor
muskarinik pada sambungan saraf otot sehingga terjadi relaksasi. Pemberian
secara oral triheksiphenidil diabsorbsi cukup baik dan tidak terakumulasi di
jaringan. Ekskresi terutama bersama urin dalam bentuk metabolitnya. Sindrom
ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan
adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine
pusat.5,9 Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori, yaitu
reaksi distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom
Parkinson).9
Selain farmakologik, pada pasien skizofrenia juga penting diberikannya
psikoterapi, untuk mencegah dan membatasi munculnya gejala kembali, yaitu:3
 Psikoterapi suportif, untuk memperkuat mekanisme defens (pertahanan) pasien
terhadap stress
 Psikoterapi reedukatif, untuk meningkatkan pengetahuan pasien terhadap
penyakitnya, meningkatkan pengetahuan keluarga untuk mendukung
kesembuhan pasien, dan mengembangkan kemampuan pasien untuk
menunjang kesembuhan

28
 Psikoterapi rekonstruktif, untuk dicapainya tilikan akan konflik-konflik
nirsadar dengan usaha untuk mencapai perubahan struktur luas kepribadian.

29
BAB V

KESIMPULAN

Laporan kasus ini menampilkan laki-laki usia 39 tahun dengan riwayat


mengamuk, merusak barang dan menangis tanpa alasan yang jelas. Diagnosis
ditegakkan melalui riwayat penyakit yang didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Gambaran klinis yang menyokong diagnosis skizofrenia
pada pasien ini mengarah ke diagnosis skizofrenia tak terinci.
Terapi untuk skizofrenia meliputi terapi farmakoterapi berupa terapi
untuk menangani gejala psikosis dan memperbaiki perilaku. Tujuan
pengobatan adalah untuk mencegah bahaya pada pasien, mengontrol perilaku
pasien dan untuk mengurangai gejala psikotik pada pasien. Penyakit lain pada
skizofrenia ini dapat diterapi untuk mengontrol faktor komorbid yang dapat
memperparah penyakit ini sehingga faktor-faktor utama yang dapat
menyebabkan faktor organik dari pasien tidak cenderung meningkat dalam
perjalanan penyakit pasien.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Arif, Iman Setiadi. Skizofrenia : Memahami Dinamika Keluarga Pasien.
Bandung : Refika Aditama. 2006.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Schizophrenia.2015 Diunduh


dari
http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333
-schizophrenia.pdf.

3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of


Psychiatry.Behavior Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott
Williams &Wilkins, 2007, p.527-30.th.

4. Stuart, G. W. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. EGC: Jakarta, 2007.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peran keluarga dukung


kesehatan jiwa masyarakat.2016 Diakses dari
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-
dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html.

6. Zahnia SDWS. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. J Major. 2016;5(4):160–


6.

7. Barlow, HD, Durand MV. Psikologi abnormal. Penerbit Pustaka Belajar:


Jakarta, 2007.

8. Maslim, Rusdi. Buku saku diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas dari
PPDGJ – III dan DSM 5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atma Jaya, 2013.

9. Maramis WF, Maramis Albert A. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi 2.


Surabaya: Airlangga University Press, 2009.

31

Anda mungkin juga menyukai