Anda di halaman 1dari 38

SKIZOFRENIA

DISUSUN OLEH:

Nabila Hanifa Fauzi 1102014180 Dharmaning Estu W. 1102013081


Muhammad Rayi W. 1102014170 Herwidyandari Permata P. 1102013126
Visi Islamiati 1102014275 Oktaviani Meiliza 1102013222
Dwi Pertiwi Ningsih 1102014079 Yolanda Syafitri 1102011296
Ashiela Nahda Kemala 1120214043 Amirtha Mustikasari 1102013022
Adelia Putri Sabrina 1102013005 Dea Melinda Sabila 1102013072
Adelina Annisa Permata 1102013006 Tuty Fajaryanti 1102013291
Kartika Widyanindhita Kusumawati 1102013145

Pembimbing:
dr. Hj. Prasila Darwin, SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN JIWA


PERIODE 15 OKTOBER – 17 NOVEMBER 2018
RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER
DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”,
dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara
afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental dengan


karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi
dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda,
ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak
dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.

Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.

Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun
hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Menurut Eugen Bleuler,
skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni
atara proses pikir, perasaan, dan perbuatan.

EPIDEMIOLOGI
Dari hasil penelitian besar di Amerika Serikat, Eropa dan Australia, tentang prevalensi
gangguan jiwa didapatkan penurunan dari prevalensi skizofrenia pada 1 dekade terakhir. Pada
negara maju, prevalensi gangguan ini lebih besar di pusat kota yang padat daripada di pedesaan.
Hal ini dapat dikarenakan individu dengan gejala skizofrenia mempunyai ketidakmampuan
bersosialisasi, sehingga jatuh ke arah kelompok sosial miskin di daerah perkotaan yang kumuh.
Penemuan terbaru berpendapat bahwa individu yang lahir dan dibesarkan di kota mempunyai
risiko yang lebih besar untuk menderita skizofrenia. Prevalensi penderita skizofrenia pada pria
dan wanita hampir seimbang, hanya saja onset pada pria lebih muda bila dibandingkan wanita.
Hal ini mungkin disebabkan karena pada wanita adanya hormon estrogen sebagai faktor proteksi.
Onset pada pria adalah 10-25 tahun, sedangkan pada wanita 25-35.

Epidemiologi Gangguan Skizofrenia di Dunia


Sebuah studi sistematik dari 188 studi di 46 negara, menyebutkan bahwa antara tahun
1965 dan 2002, menyebutkan bahwa perkiraan nilai tengah dari prevalensi skizofrenia adalah
4.6 per 1000 orang, dengan risiko terjadinya skizofrenia seumur hidup adalah sekitar 0,3% -
0,7%.

Epidemiologi Gangguan Skizofrenia di Indonesia


Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 di Indonesia, ditemukan bahwa prevalensi psikosis
tertinggi berada di Daerah Istimewa Jogjakarta dan Aceh, yaitu sebesar 2,7% pada masing-
masing daerah, sedangkan prevalensi psikosis terendah di Kalimantan Barat, yaitu sebesar 0,7%.
Adapun prevalensi gangguan jiwa berat nasional adalah sebesar 1,7 per mil.

ETIOLOGI
Belum ditemukan etiologi yang pasti menganai penyebab skizofrenia, namun ada
beberapa hasil penelitian yang dilaporkan saat ini:

Biologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktural yang patognomonik ditemukan pada
penderita skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat pada
subpopulasi pasien. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan
lateral yang stabil yang kadang-kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit; atropi bilateral
lobus temporal medial dan lebih spesifik yaitu girus parahipokampus, hipokampus dan amigdala,
disorientasi spasial sel piramid parahipokampus dan penurunan volume korteks prefrontal
dorsolateral. Beberapa penelitian melaporkan bahwa semua perubahan ini tampaknya statis dan
telah dibawa sejak lahir (tidak ada gliosis) dan pada beberapa kasus perjalanannya progresif.
Lokasinya menunjukkan gangguan perilaku yang ditemui pada skizofrenia, misalnya gangguan
hipokampus dikaitkan denganimpermen memori dan atropi lobus frontalis dihubungkan dengan
simtom negatif skizofrenia. Penemuan lain yaitu adanya antibodi sitomegalovirus dalam CSS,
limfosit atipikal tipe P (terstimulasi), gangguan fungsi hemisfer kiri, gangguan transmisi dan
pengurangan ukuran korpus kalosu, pengecilan vermis serebri, penurunan aliran darah dan
metabolisme glukosa di lobus frontal (dilihat dari PET), kelainan EEG, sulit memusatkan
perhatian, dan perlambatan waktu reaksi, serta berkurangnya kemampuan menamakan benda.

Biokimia
Hipotesis yang paling banyak mengenai etiologi skizofrenia yakni terjadinya peningkatan
aktivitas dopamin sentral (hipotesis dopamin). Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan
utama:
1. Efektivitas obat-obat neuroleptik (misalnya fenotiazin) pada skizofrenia yang bekerja
dengan memblok reseptor dopamin pasca sinaps (tipe D3).
2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar
dibedakan, secara klinik dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin
melepaskan dopamin sentral. Selain itu amfetamin juga memperburuk skizofrenia.
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D3 di nukleus kaudatus, nukleus akumbens, dan
putamen pada skizofrenia.
Teori lain yakni peningkatan serotonin di susunan saraf pusat dan kelebihan NE di
foramen limbik (terjadi pada beberapa penderita skizofrenia). Setelah pemberian obat yang
bersifat antagonis terhadap neurotransmiter tersebut terjadi perbaikan skizofrenia.

Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara signifikan, kompleks dan
poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia adalah gangguan
yang bersifat familial. Semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin tinggi resiko. Pada
penelitian anak kembar, kembar monozigot mempunyai resiko 4-6 kalilebih sering menjadi sakit
bila dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada penelitian adopsi, anak yang mempunyai
orangtua skizofrenia diadopsi, waktu lahir, oleh keluarga normal, peningkatan angka sakitnya
sama dengan bila anak-anak tersebut diasuh sendiri oleh orangtuanya yang skizofrenia.

Frekuensi kejadian gangguan non-psikotik meningkat pada keluarga skizofrenia dan


secara genetik dikaitkan dengan gangguan kepribadian ambang dan skizotipal (gangguan
spektrum skizofrenia), gangguan obsesif kompulsif, dan kemungkinan dihubungkan dengan
gangguan kepribadian paranoid dan antisosial.

Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan
kekambuhan dan mempertahankan emosi. Pasien yang pulang ke rumah sering relaps pada tahun
berikutnya bila dibandingkan pasien yang ditempatkan di residensial. Pasien yang berisiko
adalah pasien yang tinggal bersama keluargyang hostilitas, memperlihatkan kecemasan yang
berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, dan terlalu ikut campur.

Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh pada
keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas atau sedikit tidak
logis.

KLASIFIKASI
F20.0 Skizofrenia Paranoid
Pedoman diagnostik:
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Sebagai tambahan:
- Halusinasi dan/ waham arus menonjol;
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung
(humming), atau bunyi tawa (laughing).
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau lain-lain
perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity (delussion of passivity),
dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas;
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata / tidak menonjol.

Diagnosa Banding :
– Epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan
– Keadaan paranoid involusional (F22.8)
– Paranoid (F22.0)

F20.1 Skizofrenia Hebefrenik


Pedoman Diagnostik:
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa
muda (onset biasanya 15-25 tahun).
 Kepribadian premorbid menunjukan pemalu dan senang menyendiri (solitary), namun
tidak harus demikian untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini
 Untuk meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan
lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan:
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, serta
manerisme, ada kecenderungan untuk menyendiri (solitaris) dan perilaku
menunjukan hampa tujuan dan hampa perasaan.
- Afek pasien yang dangkal (shallow) tidak wajar (inapproriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum-senyum
sendiri (self absorbed smiling) atau sikap tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyerigai, (grimaces), manneriwme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks),
keluhan hipokondriakalI dan ungkapan dan ungkapan kata yang diulang-ulang
(reiterated phrases).
- Proses pikir yang mengalamu disorganisasi dan pembicaraan yang tak menentu
(rambling) dan inkoherens
 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir biasanya
menonjol, halusinasi dan waham biasanya ada tapi tidak menonjol (fleeting and
fragmentaty delusion and hallucinations) dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan
(determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku tanpa
tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang
dangkal, dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak lainnya,
makin mempersukar orang memahami jalan pikirannya.

F20.2 Skizofrenia Katatonik


Pedoman diagnostik
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara).
b. Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motoric yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh).
d. Negativism (tampak jeelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakan, atau pergerakan kearah yang berlawanan.
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakan dirinya).
f. Fleksibilitas cerea/waxy flexibility (mempertahankan anggota gerakn dan tubuh
dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar dan,
g. Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
 Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik,
diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai di peroleh bukti yang memadai
tentang adanya gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala
katatonik bukti petunjuk diagbostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan
oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga
terjadi pada gangguan afektif.

F20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)


Pedoman diagnostik:
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia

F20.4 Depresi Pasca Skizofrenia


Pedoman diagnostik:
 Diagnosa harus ditegakkan hanya kalau:
a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia) selama
12 bulan terakhir ini
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetap tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya), dan
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi kriteria paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2
minggu
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi Episode
Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah
satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

F20.5 Skizofrenia Residual


 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua:
a. Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan
telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

F20.6 Skizofrenia Simpleks


Pedoman Diagnostik:
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
- Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
- Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup,
dan penarikan diri secara sosial
 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofenia lainnya.

F20.8 Skizofrenia Lainnya


F20.9 Skizofrenia YTT

PATOGENESIS

Mekanisme molekuler
Beberapa teori dikemukakan tentang pathogenesis terjadinya skizofrenia. Teori tersebut
dikenal dengan hipotesis dopamine (dopamine hypotheses), hipotesis neuorodevelopmental (the
neurodevelopmental hypotheses), hipotesis glutamatergic (glutamatergic hypotheses), hypothesis
GABAergic (GABAergic hypotheses), dan hipotesis imun.
1. Hipotesis dopamine
Pada hipotesis ini diduga bahwa gejala skizofrenia muncul karena neurotransmiter
dopaminergic yang berlebihan di mesolimbic otak. Up-regulation dari reseptor dopamine D2 di
caudatus berkaitan dengan resiko terjadinya skizofrenia. Tingginya densitas reseptor dopamine
D2 di caudatus dihubungkan dengan kemunduran kognitif pada skizofrenia.
Postulat ini didukung dengan adanya fakta bahwa potensi obat antipsikotik berkorelasi dengan
afinitas obat tersebut terhadap reseptor dopamine D2. Disamping reseptor dopamin D2, reseptor
dopamine D3 yang banyak dijumpai di area limbik otak juga dikaitkan dengan skizofrenia.
Genotipe Ser9gly dari reseptor D3 meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia. Brain-derivad
neurotropic factor (BDNF) yang merupakan famili dari neurotropin memegang peranan penting
dalam sistem dopaminergic mesolimbic dan mengatur ekspresi reseptor dopamine. Hal ini
memberikan dugaan bahwa terdapat hubungan antar sifatsifat BDNF dengan pathway dopamine
pada skizofrenia.Polimorfisme C270T pada gen BDNF berhubungan dengan munculnya
skizofrenia.

2. Hipotesis neurodevelopmental
Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa perkembangan otak fetus dalam masa embrional
menyebabkan defektifkonektivitas neuron dan merubah fungsi biokimia neurotransmiter yang
mengakibatkan disfungsi kognitif dan emosional. Infeksi ibu hamil selama kehamilannya
terutama trimester 2 atau komplikasi pada perinatal/postnatal juga mempunyai korelasi positif
dengan kejadian skizofrenia. Seorang anak yang mengalami infeksi sistem saraf pusat atau
kondisi hipoksia selama kelahirannya mempunyai resiko 5 kali lebih besar terserang gangguan
psikosis termasuk skizofrenia.

3. Hipotesis glutamatergic
Reseptor glutamat dibagi 2 kelompok yaitu: Ionotropic ligand gated ion chanel dan
metabotropic G protein-coupled reseptor. Ionotropic ligand gated ion chanel dibagi dalam kelas
alpha-amino 3-hydroxy -5 metyl-4-isoxazole-propionic acid (AMPA) Kainate dan N-methyl d
aspartat Ionotropic ligand gated ion chanel receptor.

Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa hipofungsi glutamat pada kortikostriatal


menyebakan pembukaan loop thalamokortikal. Hal ini menyebabkan aliran sensorik berlebihan
dan menimbulkan gejala-gejala psikostik yang terjadi karena perubahan konsentrasi dopamine.
4. Hipotesis GABAergic
Banyak bukti yang mendukung bahwa pada skizofrenia terjadi abnormalitas glutamat dan
gamma amino butyric acid (GABA). Enzim yang mengkatalis biosintesis GABA adalah
glutamic acid decarboxylase (GAD). Enzim ini terekspresi berlebihan pada post mortem otak
penderita skizofrenia. Peningkatan ekspresi gen GAD1(2q31) (gen yang mengkode GAD67)
berkaitan dengan terjadinya skizofrenia yang menyebabkan abnormalitas glikoprotein neural dan
reelin.

5. Hipotesis imun
Beberapa bukti menunjukkan kuatnya dugaan bahwa skizofrenia berkaitan dengan
imunitas tubuh. Infeksi ibu selama kehamilannya meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia
pada keturunannya. Suatu meta analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan antibodi
Toxoplasma gondii pada individu penderita skizofrenia.

Peningkatan interleukin 6(IL-6), peningkatan immunoglobulin, IL-10 dan IL-4 ditemukan


pada cerebrospinal fluid pasien skizofrenia.
A. Faktor psikososial
 Teori psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari perkembangan yang terfiksasi. Fiksasi ini
mengakibatkan defek pada perkembangan ego dan defek-defek ini memberikan kontribusi
terhadap gejala-gejala skizofrenia.

 Dinamika keluarga
Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang disfungsi. Perilaku keluarga
patologis dapat meningkatkan stres emosional yang merupakan hal yang rentan pada pasien
skizofrenia untuk mengatasinya. Dinamika keluarga tersebut berupa double bind communication,
schisms and skewed family, pseudomutual dan pseudohostile families, dan emosi yang
diekspresikan secara tinggi.

B. Faktor genetik
Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua bentuk skizofrenia, dan
proporsi yang tinggi dari variasi dalam kecenderungan skizofrenia sehubungan dengan efek
genetik. Risiko menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada keluarga
yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia maka insidens untuk menderita
skizofrenia sebesar 12%. Insidens skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita
skizofrenia sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang tua menderita
skizofrenia insidensnya sebesar 40%.
DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisik
1. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu
pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi memerlukan
pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian dari proses somatik. Bila
ada, yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal yang sama dapat digunakan
pada gejala mental misalnya depresi, ansietas, halusinasi, dan waham kejar, yang bisa
jadi merupakan ekspresi dan proses somatik. Terkadang keadaan menyebabkan kita perlu
menunda pemeriksaan medis lengkap. Misalnya, pasien dengan waham atau panik dapat
menunjukkan perlawanan sikap bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis
harus diperoleh dari anggota keluarga bila memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan
mendesak untuk melanjutkan pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien
menurut. Pemeriksaan Neurologis Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat
kesadaran dan atensi pasien terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah,
cara bicara, postur, dan cara berjalan perlu diperhatikan.

Pemeriksaan neurologis
dilakukan untuk dua tujuan,Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan
neurologis rutin, yaitu terutama dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi motorik,
persepsi, dan refleks pada kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh penyakit hemisferik
fokal. Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama ini
dikaitkan dengan disfungsi otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi
refleks mengisap, mencucur, palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya
respons terhadap ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks genggam, tanda seperti itu
tidak berkaitan erat dengan patologi otak yang mendasari.
.
2. Status mental
Deskripsi umum
 Penampilan Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien
skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit, dan
teragitasihingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan imobil.
 Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata Kategori ini merujuk pada aspek
kuantitatif dan kualitatif dari perilaku motorik pasien. Termasuk diantaranya adalah
manerisme, tik, gerakan tubuh, kedutan, perilaku streotipik, ekopraksia,
hiperaktivitas, agitasi, sikap melawan, fleksibilitas, rigiditas, gaya berjalan, dan
kegesitan.
 Sikap terhadap pemeriksa Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan
sebagai kooperatif, bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif,
defensif, merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu,
menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-hati.

Mood dan afek


Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang mewarnai
persepsi orang tersebut terhadap dunia. Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi
pasien saat ini, yang tersirat dari ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran
perilaku ekspresif.

Kakteristik gaya bicara


Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam, tidak
spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara. Gaya bicara dapat
cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional, dramatis, monoton, keras, berbisik,
cadel, terputus-putus, atau bergumam. Gangguan bicara, contohnya gagap, dimasukkan
dalam bagian ini.

Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau
lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat (contohnya:
auditorik, visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi tersebut harus
dijelaskan.

Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan organ
tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi terbakar pada otak,
sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi tertusuk pada sumsum tulang.

Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang nyata,
sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang nyata. Ilusi dapat
terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun dapat pula terjadi dalam fase
prodromal dan selama periode remisi.

Isi pikir dan kecenderungan mental

 Proses pikir (bentuk pemikiran)


Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat
terjadi proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut flight
of ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang lambat atau
tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial,
sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai
diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya kemampuan berpikir yang
mengarah ke tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien menyertakan banyak
detail yang tidak relevan dan komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke
ide semula. Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang
merah pembicaraan pada seorang pasien dan kemudian ia mengikuti pikiran
tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal atau internal yang tidak
relevan dan tidak pernah kembali ke ide semula. Gangguan proses pikir dapat
tercermin dari word salad (hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau
inkoheren), clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi
berdasarkan makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh
pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata lain).

 Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia,
rencana, niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala
hipokondriakal, dan kecenderungan antisosial tertentu.

Sensorium dan kognisi


Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien,
kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
 Kesadaran Gangguan, kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan
organik pada otak.
 Orientasi dan memori, Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu,
tempat, dan orang.
 Konsentrasi dan perhatian, Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan.
Gangguan kognitif, ansietas, depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi
auditorik, semuanya dapat berperan menyebabkan gangguan konsentrasi.
 Membaca dan menulis
 Kemampuan visuospasial, Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya
bagian depan jam dinding atau segilima bertumpuk.
 Pikiran abstrak, Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin
memiliki gangguan dalam membuat konsep atau menangani ide.
 Informasi dan inteligensi

Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan


Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan
kognitif atau psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang kronik, seperti
yang dijumpai pada gangguan kepribadian. Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara
pasien skizofrenik yang tidak diobati. Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan
sebelumnya, dan defisit neurologis merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau
impulsif. Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10 sampai
15 persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri.
Mungkin faktor yang paling tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh
diri pasien ini adalah depresi yang salah diagnosis sebagai afek mendatar atau efek
samping obat. Faktor pemicu lain untuk bunuh diri mencakup perasaan kehampaan
absolut, kebutuhan melarikan diri dari penyiksaan mental, atau halusinasi auditorik yang
memerintahkan pasien mebunuh diri sendiri. Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar
melakukan pembunuhan, hal itu mungkin dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak
disangka-sangka yang didasarkan pada halusinasi atau waham.

Daya nilai dan tilikan


Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial.
Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi imajiner.
Contohnya: apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium asap dalam suasana gedung
bioskop yang penuh sesak?
Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien dapat
menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau mungkin menunjukkan sedikit
kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan orang lain, faktor eksternal, atau
bahkan faktor organik. Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun menganggap
hal tersebut sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya.

Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan
untuk melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila pasien terbuka mengenai
penyalahgunaan obat tertentu secara aktif mengenai keadaan yang menurut pasien dapat
berpengaruh buruk (mislnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat memperkirakan
bahwa realiabilitas pasien adalah baik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis-diagnosis yang juga memiliki gejala psikosis aktif di antaranya:
a) Gangguan kondisi medis umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus
temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus eritematosus
b) Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
c) Gangguan skizoafektif
d) Gangguan afektif berat
e) Gangguan waham
f) Gangguan perkembangan pervasif
g) Gangguan kepribadian skizotipal
h) Gangguan kepribadian skizoid
i) Gangguan kepribadian paranoid

TATALAKSANA

I. Terapi Biologik
Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi dan stabil atau
rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang membutuhkan penatalaksanaan segera.
Gejalanya dapat terlihat pada episode pertama atau ketika terjadinya kekambuhan skizofrenia. Fokus
terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. Fase akut biasanya berlangsung selama
4-8 minggu. Setelah fase akut terkontrol, ODS (orang dengan skizofrenia) memasuki fase stabilisasi.
Risiko kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS terpapar dengan
stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase
stabilisasi sama dengan pada fase akut. Fase ini berlangsung paling sedikit 6 bulan setelah pulihnya
gejala akut. Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini dalam keadaan
remisi. Target terapi pada fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki derajat fungsi.

1) Fase Akut
Agitasi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada fase akut skizofrenia. Pada agitasi
terlihat adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik, peningkatan respon terhadap
stimulus internal atau eksternal, peningkatan aktivitas verbal atau motorik yang tidak bertujuan.
Agitasi juga bermanifestasi sebagai iritabilitas, tidak kooperatif, ledakan kemarahan, sikap atau
ancaman secara verbal, destruktif, dan penyerangan fisik. Selain itu, sensitivitas sosialnya menurun
dan impulsivitasnya meningkat. Misalnya, secara tiba-tiba ODS melempar makanan ke lantai.

Tindakan impulsivitas yang serius dapat berupa melukai orang lain atau bunuh diri.Tindakan ini
dapat disebabkan oleh adanya waham atau halusinasi yang berbentuk perintah yang menyuruh ODS
melakukan tindakan tersebut. Adanya riwayat tindakan kekerasan sebelumnya atau perilaku yang
berbahaya selama di rumah sakit, halusinasi dan waham dapat memprediksi tindakan kekerasan.
Selama periode agitasi, ODS terlihat susah tidur, gejala-gejala berfluktuasi dengan cepat. Secara
subjektif, ODS sangat menderita akibat gejala-gejala yang ada. Selain itu, agitasi merupakan gejala
yang sangat menakutkan karena sering meningkat menjadi perilaku atau tindakan kekerasan
(violence) dan destruktif. Tindakan kekerasan yaitu agresi fisikoleh seseorang yang ditujukan kepada
orang lain. Yang sering menjadi korban kekerasan adalah keluarga, petugas medik atau ODS lainnya.
Oleh karena itu, intervensi cepat sangat diperlukan untuk mencegah ODS melukai dirinya, keluarga
atau orang lain.

Pada fase akut skizofrenia, perilaku agresif juga sering terlihat. Agresif merupakansikap melawan
secara verbal atau kekerasan fisik yang ditujukan kepada benda atauorang lain. Risiko terjadinya
perilaku agresif meningkat bila ia berkomorbiditas denganpenyalahgunaan alkohol atau zat,
kepribadian antisosial, tidak mempunyai pekerjaan, dan gangguan neurologi serta riwayat kekerasan
sebelumnya. Ide-ide kejaran dan/atau halusinasi perintah dikaitkan dengan agresivitas.
Mengidentifikasi faktor risiko terkait perilaku agresif dan menilai perilaku yang membahayakan
adalah hal yang penting pada fase akut.

Agitasi akut dapat dipresipitasi oleh berbagai faktor, baik psikiatrik maupun nonpsikiatrik.
Misalnya, agitasi dapat disebabkan oleh kondisi medik umum atau gangguan sistem saraf pusat
(SSP). Hal ini hendaklah menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan terapi.Untuk
menentukan adanya gangguan organik, derajat kesadaran ODS merupakan tandautama. Oleh karena
itu, sebaiknya dihindari menggunakan terapi yang menyebabkan sedasiberlebihan karena dapat
mengganggu penegakan diagnosis dan dapat pula mengganggu hubungan dokter-ODS. Terapi
yang tepat dengan awitan kerja yang cepat sangat diperlukan untuk mencegah atau mengurangi
penderitan ODS.
Tatalaksana Fase Akut
Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah ODS melukai dirinya atau orang lain,
mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait
lainnya, misalnya agitasi, agresi, dan gaduh gelisah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
berbicara kepada ODS dan memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya yaitu keputusan untuk
memulai pemberian obat oral. Pengikatan atau penempatan ODS di ruang isolasi (seklusi) mungkin
diperlukan dan hanya dilakukan bila ODS berbahaya terhadap dirinya dan orang lain Pengikatan
tersebut hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar dua-empat jam. Pengisolasian dan pengikatan
harus didokumentasikan dengan baik. Kondisi fisik dan psikologiknya harus selalu dipantau atau
ODS tidak boleh dibiarkan begitu saja. Semua perubahan dan kemajuannya harus dicatat. Isolasi
tidak boleh dilakukan terhadap ODS dengan penyakit fisik berat.

Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yanglebih
cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan. Trankuilisasi cepat yaitu
pengulangan pemberian obat dengan interval waktu yang pendek, biasanya dalam satu atau satu
setengah jam, kadang-kadang diperlukan. Pemberian haloperidol dengan dosis yang sangat tinggi
untuk mengatasi agitasi akut, dahulu, selalu direkomendasikan. Sekarang, pemberian dosis tinggi ini
tidak dianjurkan lagi karena tidak ada perbedaan efektivitas antara dosis tinggi dengan dosis
terapetik. Ada dua penelitianyang membuktikannya yaitu penelitian yang membandingkan rerata
dosis haloperidol 48 mmg/hari dengan 12,5 mg/ hari dan penelitian lainnya yang membandingkan
haloperidoldengan dosis eskalasi mulai dari 20 mg/hari atau 100mg/hari pada hari kelima, dan 100
mg pada hari kesepuluh yang dibandingkan dengan dosis stabil haloperidol 10 mg. Kedua penelitian
ini tidak memperlihatkan adanya perbedaan efektivitas antara penggunaan dosis tinggi dengan dosis
terapetik. Sebaliknya, efek samping lebih sering terlihat pada dosis besar.

Di samping intervensi farmakologik, intervensi nonfarmakologik, perilaku, dan intervensisosial,


serta lingkungan harus dilakukan secara komprehensif. Semua objek berbahaya yang dapat
digunakan ODS sebagai senjata, segera disingkirkan. Situasi yang dapat merangsang ODS, misalnya
radio atau televisi sebaiknya dimatikan. Jumlah petugas di ruang akut, hendaklah cukup.

2) Fase Stabilisasi
Tujuan terapi adalah mengurangi stres pada ODS dan memberikan dukungan untuk mengurangi
kekambuhan, meningkatkan adaptasi ODS terhadap kehidupan dalam masyarakat, memfasilitasi
pengurangan gejala secara terus-menerus dan konsolidasi remisi, dan meningkatkan proses
penyembuhan. Bila ODS memiliki perbaikan dengan obat tertentu, obat tersebut dapat dilanjutkan
dan dipantau selama 6 bulan. Penurunan dosis atau penghentian pengobatan pada fase ini dapat
menyebabkan kekambuhan. Penilaian efek samping yang sudah terlihat pada fase akut secara terus-
menerus perlu dilakukan. Selain itu, penyesuaian farmakoterapi untuk mengurangi efek samping
yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan kekambuhan perlu
dipertimbangkan.

3) Fase Stabil atau rumatan


Terapi selama fase stabil bertujuan untuk mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol,
meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses
kesembuhan (recovery).

Penilaian pada Fase Stabil


Pemantauan yang terus-menerus dan penilaian selama fase stabil penting untuk menentukan
manfaat obat yang didapat oleh ODS. Penilaian yang terus-menerus membuat ODS atau semua yang
berinteraksi dengan ODS dapat memantau setiap perubahan gejala dan fungsi.

Penggunaan Antipsikotik pada Fase Stabil


Penggunaan atipsikotika pada fase stabil dapat mengurangi risiko kekambuhan hingga 30% per
tahun. Tanpa terapi rumatan, sekitar 60%-70% ODS akan mengalami kekambuhan dalam satu tahun.
Dalam dua tahun, kekambuhan dapat mencapai 90%.

Dosis tinggi sering lebih efektif mengurangi kekambuhan bila dibandingkan dengan dosis rendah.
Meskipun demikian, dosis yang lebih tinggi sering menyebabkan besarnya efek samping sehingga
sering tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, menggunakan obat dengan dosis yang efek
sampingnya minimal tetapi masih dalam kisaran dosis efektif obat. Untuk sebagian besar ODS yang
diobati dengan APG-I menggunakan dosis dalam kisaran “ambang EPS” karena dosis yang lebih
besar tidak lagi bermanfaat tetapi hanya akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping yang
tidak dapat ditoleransi.

Obat APG-II dapat digunakan pada dosis terapetik karena tidak akan menginduksi efek samping
ekstrapiramidal. Keuntungan menurunkan dosis menjadi “dosis efektif minimal” harus menjadi
pertimbangan risiko kekambuhan dan sering terjadi eksasebasi skizofrenia. Saat ini terbukti bahwa
obat-obat APG-II berpotensi mencegah kekambuhan. Hal ini dapatd isebabkan oleh tingginya
kepatuhan, baiknya efikasi, atau kurangnya efek samping. Bila ada keputusan untuk menghentikan
pengobatan, penghentian harus berangsur- angsur (misalnya, penurunan dosis sekitar 10%
per bulan).

Di bawah ini adalah Bagan Penatalaksanaan Skizofrenia menurut fase pengobatan.

Gambar Terapi biologik untuk Skizofrenia


Jenis- jenis Obat Antipsikotika :
A. Antipsikotika Generasi Pertama (APG-I)
Obat golongan APG-I disubklasifikasikan lagi sesuai dengan struktur kimia dan efek klinik. Cara
lain untuk mengklasifikasikannya yaitu sesuai potensinya. Sesuai dengan potensinya, APG-I
diklasifikasikan sebagai potensi rendah,s edang dan tinggi. Pembagian ini berguna bagi klinikus
karena pembagian ini dapat memberikan informasi tentang banyak obat yang dibutuhkan untuk
mendapatkan efek klinik dan perkiraan efek samping yang akan terjadi.

Jenis Obat APG-I


1. Fenotiazin
Semua finotiazin mempunyai struktur yang sama yaitu tiga cincin. Perbedaannya terletak pada
rantai samping atom nitrogen cincin tengah. Fenotiazin terdiri dari tiga jenis, berdasarkan subsitusi
pada posisi sepuluh. Subsitusi ini memberikan pengaruh penting terhadap karakteristik farmakologi
fenotiazin.

Subsitusi pada rantai alifatik, seperti klopromazin, menyebabkan turunnya potensi AP. Obat ini
cenderung menyebabkan sedasi, hipotensi, dan efek antikolinergik, pada dosis terapetiknya.
Klopromazin mempunyai atom klorin pada posisi dua. Apabila atom klorin dibuang, akan dihasilkan
promazin yaitu antipsikotika lemah. Mensubsitusi piperidin pada posisi sepuluh dapat menghasilkan
kelompok antipsikotika seperti tioridazin (Melleril). Obat ini mempunyai potensi dan profil efek
samping yang sama dengan fenotiazin alifatik. Flufenazin dan trifluoperazin alifatik. Flunefazin dan
trifluoperazin merupakan antipsikotika dengan kelompok piperazin yang disubstitusi pada posisi
sepuluh. Piperazin memiliki efek otonom dan antikolinergik lebih rendah tetapi memiliki afinitas yang
tinggi terhadap D2 sehingga efek samping ekstrapiramidalnya lebih tinggi. Beberapa fenotiazin
piperazin diesterifikasi pada kelompok hidroksil bebas dengan etanoat dan asam dekanoat sehingga
terbentuk AP depo APG-I jangka panjang.

2. Tioksantin
Tioksantin mempunyai persamaan struktur cincin tiga dengan fenotiazin tetapi nitrogen pada
posisi sepuluh disubstitusi dengan atom karbon klorprotiksin merupakan tioksantin alifatik potensi
rendah dengan profil efek samping sama dengan klopromazin.

3. Butirofenon
Butirofenon mempunyai cincin piperidin yang melekat pada kelompok amino tertier. Haloperidol
merupakan antipsikotika yang termasuk kelompok ini. Ia dan butirofenon lain bersifat D2 antagonis
yang sangat poten. Efek terhadap system otonom dan efek antikolinergiknya sangat minimal.
Haloperidol merupakan piperidin yang paling sering digunakan.

4. Dibenzoksazepin
Obat antipiskotika ini mempunyai struktur cincin-3 dengan tujuh cincin pusat. Loksapin adalah
satu-satunya obat dari kelompok ini yang tersedoa di Amerika Serikat, saat ini. Klozapin,
fibenzodiazepin, berbeda dengan loksapin yaitu adanya nitrogen sebagai pengganti atom oksigen di
cincin tengah dan juga berbeda dalam rantai samping.

5. Dihindronidol
Dihindronidol secara struktur dikaitkan dengan serotonin, melatonin, dan halusinogen indol
seperti dimetiltriptamin. Molindon (moban) satu-satunya dihindronidol yang tersedia di Amerika
Serikat.

6. Difenilbutil piperidin
Difenilbutil piperidin sama dengan strukturnya dengan butirofenon. Pimozid )Orap), satu-satunya
difenilbutil piperidin yang tersedia.

Farmakokinetik
Obat-obat antipsikotika berbeda farmakologinya. Fenotiazin dan tioksantin mempunyai persamaan
struktur dan juga mempunyai cara metabolism yang sama. Begitu pula butirofenon dan difenilbutil
piperidin, juga mempunyai persamaan dalam struktur dan cara metabolismenya. Konsentrasi obat-obat
yang kerjanya pendek (short acting) meningkat dengan cepat selama fase absorbs dan menurun selama
fase distribusi, metabolism dan eliminase dipengaruhi oleh faktor yang berbeda bergantung dari sturktur
kimia antipsikotikanya.

 Absorbsi
Pada umumnya, obat-obatan antipsikotika diabsorbsi bila ia diberikan peroral atau perentral.
Absorbs pemberian oral kurang dapat diprediksi jumlahnya bila dibandingkan dengan pemberian
perentral. Obat dalam bentuk cairan diabsorbsi lebih cepat dibandingkan tablet. Puncak konsentrasi
plasma obat-obat antipsikotika dicapai 1-4 jam setelah pemberian oral dan 30-60 menit setelah
pemberian IM.
 Distribusi
Penurunan konsentrasi plasma terjadi karena pendistribusian obat ke berbagai bagian tubuh.
Karena obat antipsikotika bersifat lipofilik, ia cenderung terakumulsi dalam jaringan lemak, paru, dan
otak. Karena konsentrasi dalam otak cenderung seimbang dengan konsentrasi dalam plasma,
pengukutan konsentrasi, pengukuran konsentrasi plasma dapat memperkirakan konsentrasi dalam otak.
Sebagian besar APG-I terikat dengan protein. Lebih dari 90% flufenazin dan haloperidol terikat dalam
protein plasma. Sisanya atau yang terikat melewati sawar otak. Kondisi yang mengganggu jumlah
protein plasma (misalnya malnutrisi) memengaruhi jumlah biovaibilitas antipsikotika.

 Metabolism dan eliminasi


Sebagian besar metabolism APG-I dilakukan oleh hepar dan terjadi melalui konjugasi (dengan
asam glukorinat), hidroksilasi, oksidasi, demetilasi, dan pembentukan sulfoksida. Metabolism
fenotiazin dan tioksantin lebih kompleks. Tioridazin memiliki metabolit yang lebih aktif daripada
tioridazin induknya. Sebaliknya, haloperidol hanya mempunyai satu metabolit utama yang
mempunyaia aktivitas dopaminergik yang kurang bila dibandingkan dengan haloperidol induknya.
Haloperidol yang dalam bentuk ini diubah kembali kedalam bentuk aslinya dan ia berkontribusi dalam
aktivitas antipsikotika.

Farmakodinamik
Obat APG-I bekerja pada reseptor-reseptor neurotransmitter. Aktivitas reseptor akan
diteruskankedalam peristiwa intraseluler.

 Mekanisme kerja APG-I


Efek APG-I terhadap system dopamin
Obat APG-I memberikan efek antipsikotika dengan cara menurunkan aktivitas dopamine.
Haloperidol dan klorpromazin dapat meningkatkan metabolism dopamine pada daerah yang kaya
dopamine. Hal ini menunjukan bahwa kedua zat ini bekerja sebagai dopamine antagonis. Obat APG-I
dapat menghambat aktivitas dopamine yang diinduksi oleh amfetamin. Perilaku stereotipi yang
dimediasi oleh penggunaan dopamine dapat berkurang dengan pemberian APG-I.

Zat-zat seperto amfetamin, metilfenidat, kokain, dapat meningkatkan ativitas dopamine. Efek
APG-I sebagai antipsikotika dikaitkan dengan kemampuannya menurunkan aktivitas dopamine. Obat
APG-I dikaitkan dengan afinitasnya yang kuat terhadap D2. Ia bekerja efektif bila 65% D2 diotak dapat
dihambat. Bila hambatan terhadap reseptor D2 lebih besar, EPS dapat terjadi tanpa adanya penambahan
efektivitas APG-I sebagai antipsikotika.

Semua bentuk atau tipe skizofrenia dapat mengalami perbaikan dengan APG-I. Tidak ada bukti
bahwa suptipe skizofrnia tertentu berespons lebih baik terhadap jenis antipsikotika tertentu. Obat
APG-I yang berpotensi rendah lebih bersifat sedasi sehingga ia lebih efektif untuk pasien yang lebih
agitatif. Sedangkan obat berpotensi tinggi, nonsedasi, lebih efektif untuk pasien yang menarik diri.
Respon terapi pada perempuan lebih baik dan dosis antipsikotika yang dibutuhkan lebih rendah
dibandingkan dengan pria.

Tabel. Jenis-Jenis APG-I


Nama Generik Nama Dagang Dosis Akut mg/hari Dosis Pemeliharaan
mg,hari
Fenotiazin
Klorpromazin Prmaktil 200-1000 50-400
Tioridazin Melleril 200-800 50-400
Perfenazin Trilafon 12-64 8-24
Trifluoperazin Stelazine 10-6- 4-30
Butirofenon
Haloperidol Haldol 5-20 1-15
Difenibutlpiperidim
Pimozid Orap 2-10 2-10
Preparat infeksi
jangka panjang
Flufenazin dekanoat *modecate Injeksi
Haloperidol dekanoat **Haldol decanoate

*dosis 12,5 mg setiap 1-4 minggu


**dosis 25-299 setiap 2-4 minggu
Efek samping

Efek samping dapat dikelompokkan menjadi efek samping neurologis dan nonneurologis. Efek
samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut dan parkinsonism (acute extrapyramidal
syndrome). Dapat juga terjadi efek samping akut berupa Sindroma Neuroleptik Maligna (SNM) yang
merupakan kondisi emergensi karena dapat mengancam kelangsungan hidup pasien. Pada kondisi kronis
atau efek samping pengobatan jangka panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya diskinesia tardiva
(tardive dyskinesia).

 Akatisia : Suatu kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita berupa perasaan tidak nyaman,
gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakkan tungkai, terutama kaki. Pasien sering
menunjukkan kegelisahan dengan gejala-gejala kecemasan, dan atau agitasi. Sering sulit dibedakan
dari rasa cemas yang berhubungan dengan gejala psikotiknya. Bila terjadi peningkatan kegelisahan
setelah pemberian APG-I, kita harus selalu memperhitungkan kemungkinan akatisia.
 Distonia akut : Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai otot leher,
lidah, muka dan punggung. Kadang-kadang, pasien melaporkan awitan subakut rasa tebal di lidah atau
kesulitan menelan. Mungkin pula terjadi krisis okulogirik atau opistotonus. Kondisi ini dapat sangat
menakutkan dan tidak nyaman bagi pasien. Biasanya terjadi pada minggu pertama pengobatan dengan
APG-I
 Parkinsonisme : Dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri atas bradikinesia, rigiditas,
fenomena roda gerigi, tremor, muka topeng, postur tubuh kaku, gaya jalan seperti robot, dan drooling
(tremor kasar tangan seperti sedang membuat pil) sindroma
 Neuroleptik maligna : Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan gejala utama berupa
rigiditas, hiperpiretik, gangguan sistem saraf otonom dan delirium. Gejala biasanya berkembang dalam
periode waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah pemberian antipsikotika. Febris tinggi dapat
mencapai 41ᵒC atau lebih, rigiditas dengan ciri kaku seperti pipa disertai peningkatan tonus
otot kadang-kadang sampai terjadi mionecrosis. Bila pasien dehidrasi, mioglobinuria bisa sangat parah
sehingga terjadi gagal ginjal. Ketidakstabilan sistem autonom dapat bermanifestasi sebagai hipertensi
atau hipotensi, takikardi, diaporesis dan pallor. Aritmia jantung dapat pula terjadi. Kesadaran
berfluktuasi (delirium), kejang-kejang dan koma juga bisa ditemukan.. Efek terhadap sistem
kardiovaskuler yang sering adalah hipotensi ortostatik (postural hypotension) yaitu turunnya tekanan
darah pada saat perubahan posisi tubuh terutama dari posisi tidur ke posisi berdiri secara tiba-tiba.
Walaupun sangat jarang, sudden unexplained death dapat pula terjadi. Terhadap sistem gastrointestinal
sering dijumpai efek antikholinergik perifer, rasa kering di mulut, sehingga pasien sering merasa haus.
Tabel Efek samping APG 1

 Terapi Inisial
Diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan
perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai dicapai dosis optimal yang dapat
mengendalikan gejala.
 Terapi Pengawasan
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10
minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.
 Terapi pemeliharaan
Dalam tahap pemeliharaan ini dosis dapat dipertimbangkan untuk mulai diturunkan secara
bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih dapat dipertahankan tanpa menimbulkan
kekambuhan. Biasanya berlangsung jangka panjang tergantung perjalanan penyakit, dapat sampai
beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Diperoleh konsensus bahwa bila kondisi akut pertama kali
maka terapi diberikan sampai 2 tahun, dan bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali
kekambuhan maka terapi diberikan sampai 5 tahun bahkan seumur hidup bila dijumpai riwayat
agresifitas berlebih, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain misalnya bunuh diri atau
mencelakakan orang lain.
Efek Samping Penatalaksanaan
Tabel Tatalaksana efek samping obat psikotik

 Untuk relaksasi otot dapat diberikan dengan dosis 0,8- 2,5 mg/kgBB/hari, intravena dengan
dosis maksimal 10 mg/ hari. Bila telah nisa per-oral dapat diberikan obat dantrolen 100-
200mg/hari
 Gejala- gejala ekstrapiramidal dapat dikendalikan dengan bromokriptin 20-30mg/hari dibagi
dalam 4 dosis. Perbaiki kondisi hipotensi maupun hipertensi. Bila kondisi SNM sudah teratasi,
dan masih memerlukan antipsikotika, antipsikotika perlu diganti dengan golongan APG-II,
misalnya klozapin.
 Untuk diskinesia tardiva :
a) Perlu dipastikan efektifitas antipsikotika yang diberikan
b) Untuk pemakaian jangka panjang gunakan dosis minimal yang efektif
c) Hati-hati pemakaian untuk pasien anak-anak, orang tua, dan pasien-pasien dengan gangguan
mood
d) Lakukan evaluasi rutin terhadap adanya gejala-gejala diskinesia tardiva dan catat hasilnya
pada rekam medis pasien.
e) Bila ditemukan adanya gejala-gejala diskinesia tardiva turunkan dosis antipsikotika dan
minta informed consent.
f) Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis obat antipsikotika atau bahkan
memburuk, hentikan obat dan ganti dengan golongan APG-II terutama klozapin.
B. Antipsikotika Generasi II (APG-II)
Obat APG-II adalah obat-obat antipsikotika yang baru dengan efikasi yang lebih baik dan
efek samping minimal. Ada beberapa jenis APG-II
 Klozapin
Klozapin merupakan antipsikotika pertama yang efek samping ekstraprimidalnya dapat
diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi pertama, semua APG-II mempunyai rasio
blockade serotonin atau 5 hidroksitriptamin (5-HT2) terhadap reseptor dopamine 2 (D2) lebih
tinggi. Ia lebih banyak bekerja pada system dopamine mesolimbic daripada striatum.

Farmakokinetik
 Absorbs
Klozapin banya tersedia dalam bentuk preparat oral konsentrasi plasma puncak dicapai
setelah dua jam pemberian oral. Waktu paruh eliminasi adalah dua belas jam (antara 10-16
jam). Pemberian bersama-sama dengan obat yang terikat dengan protein dapat meningkatkan
konsentrasi klozapin bebas.
 Distribusi
Volume distribusi klozapin lebih rendah.
 Metabolism dan eliminasi
Metabolism utama di hati dan saluran cerna. Bioavailabilitas absolut (persentase klozapin
yang mencapai sirkulasi sistemik yang tak mengalami perubahan) setelah pemberian oral
berkisar antara 27%-47%. Ada dua bentuk metabolit (setelah demetilasi dan oksidasi) yaitu N-
demethyl dan N-oxide. Kedua metabolit ini dikeluarkan dengan cepat. Sekitar 80% klozapin
yang diberikan ditemukan dalam urin dan fesef, yaitu bentuk metabolitnya. Sekitar 5%
ditemukan dalam urin dalam bentuk aktif.

Famakodinamik
Konsentrasi plasma klozapin bervariasi pada pasien-pasien yang menggunakan klozapin.
Hal ini disebabkan adanya variasi dalam absorbs. Wanita memerlihatkan konsentrasi plasma lebih
tinggi dan perokok lebih rendah (20%-30%). Konsentrasi plasma pada lanjut usia (lansia) dua kali
lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang muda. Terdapat kaitan antara konsentrasi plasma
klozapin dengan respons klinik. Pemantauan konsentrasi plasma klozapin mungkin berguna pada
kondisi-kondisi tertentu. Konsentrasi plasma klozapin berkisar antara 10-80ng/mL per mg obat
yang diberikan perkilogram berat badan (BB). Dosis 300-400 mg (5mg/kgBB) dikaitkan dengan
konsentrasi plasma yang berkisan antara 200-400 ng/mL. respons klinik baru didapat bila
konsentrasi plasma lebih dari 350 ng/mL, bila dengan konsentrasi plasma 250 ng/mL, tidak
berespons setelah enam minggu, dosis obat harus dinaikkan sampai konsentrasi 350 ng/mL
tercapai. Rerata dosis klizapin adalah 150-600 mg/hari.
 Risperidon
Risperidon merupakan antipsikotika pertama, setelah klozapin, yang mendapat
persetujuan FDA. Risperidon termasuk ke dalam kelompok benzioksazol. Nama dagangnya
adalah Risperdal dan tersedia dalam bentuk tablet yaitu 1mg, 2 mg, dan 3 mg. dosis berkisar
antara 4-16 mg terapi dosis yang biasa digunakan berkisar antara 4-8mg. selain dalam bentuk
tablet, risperidon juga tersedia dalam bentuk depo (long acting) yang dapat digunakan setiap
dua minggu, obat ini disuntikkan secara IM dan tidak ada rasa sakit ditempat penyuntikannya
karena pelarutnya air.

Farmakokinetik
 Absorbs
Risperidon di metabolism di hati menjadi 9-hydroxyrisperidone, yang profil
farmakologinya sama dengan komponen induknya. Puncak plasma level, komponen induk,
dicapai setelah satu jam pemberian sedangkan untuk hasil metabolitnya setelah tiga jam.
 Metabolism dan eliminasi
Bioavaibilitas risperidon adalah 70%. Enzim hepar yang memetabolismenya adalah CYP
2D6. Enzim ini tidak atif pada sekitar 7% orang kulit putih (genetic poliomorfisme). Oleh
karena metabolitnya mempunyai aktivitas yang hamper sama dengan komponen induknya,
variasi ini tidak begitu pengaruh.

Farmakodinamik
Tidak terdapat hubunga yang jelas antara konsentrasi risperidon dalam darah dengan efikasi
klinik.
 Paliperidon
Paliperidon merupakan metabi=olit aktif risperidon atau disebut juga 9-hidroksi
risperidon. Ia bekerja sebagai antagonis reseptor serotonin 5HT2A dan dopamine D2. Profil
ikatannya sama dengan risperidon. Paliperidon tidak dimetabolisme di hati. Ia diekskresi
melalui urin dan interaksi farmakokinetiknya sangat sedikit dan preparat oralnya tersedia dalam
bentuk lepas lambat. Hal ini mengubah karakteristik klinis paliperidon bila diubandingkan
dengan risperidon. Tablet paliperidon lepas lambat diberikan saku kali sehari.
Efek samping sedasi, ortostatik, dan EPS pada paliperidon lebih rendah bila
dibandingkan dengan risperidon. Oleh karena itu, toleransi paliperidon lebih baik. Namun,
penambahan berat badan, resistensi insulin, diabetes dan hiperprolaktinemia juga terdapat pada
paliperidon.
 Olanzapine
Olanzapine merupakan obat yang aman dan efektif untuk mrngobati skizofrenia baik
symptom positif maupun negative. Efek sampingnya sangat ringan.

Farmakokinetik
 Absorbs
Tidak dipengaruhi oleh makanan.
 Distribusi
Kadar puncak plasma dicapai setelah lima jam pemberian. Waktu paruh 31 jam (rata-rata
21-54 jam) dengan satu kali dosis. Obat terikat dalam protein plasma sekitar 93%. Pengaruh
umur, gender, dan etnik terhadap konsentrasi olanzapine sangat rendah.
 Metabolism dan eliminasi
Afinitas olanzapine terhdap enzim cytochrome p450 (CYP 2D6, CYP 1A2, CYP 3A4,
CYP 2C19) sangat rendah, sehingga pengaruh terhadap metabolism obat lain sangat kecil, atau
konsentrasi obat-obat lain dalam darah sangat sedikit sekali terpengaruh.

Farmakodinamik
Konsentrasi olanzapine cenderung lebih tinggi pada wanita daripada pria.
 Quetiapine
Quetiapine merupakan dibenzotiazepin dengan potensi menghambat 5-HT2 lebih kuat
daripada D2.

Farmakokinetik
Waktu untuk konsentrasi maksimum (T max), setelah pemberian oral, sekitar dua jam. Waktu
paruh berkisar antara tiga-lima jam. Konsentrasi steady-state dicapai dalam waktu 48 jam.
Quetiapine menempati reseptor D2 dengan dosis tunggal, sebanyak 42% dan reseptor 5-HT2
sebanyak 72%. Setelah 8-12 jam, reseptor masih tetap diduduki, tetapi konsentrasi dalam darah
sudah turun, sehingga dianjurkan dosis dua kali perhari. Quetiapine mempunyai banyak metabolit.
Sekitar 95% metabolit quetapin adalah (3H) quetiapine. Ia ditemukan dalam urin dan feses. Hanya
satu persen yang ditemukan dalam bentuk quetapin utuh.

Farmakodinamik
Dosis untuk lansia harus lebih rendah, terutama dosis awal. Pasien dengan gangguan ginjal
dan hepar membutuhkan dosis 30%-50% lebih rendah. Tidak ditemukan adanya perbedaan jender
dan etnik yang berhubungan dengan aktivitas klinik dan konsentrasi dalam darah.

 Alpiprazol
Aripirazol bekerja parsial agonis terhadap reseptor dopamine D2. Kerjanya berbeda dengan
obat serotonin-dopamin antagonis yang tersedia saat ini. Karena kerjanya yang parsial agonis
pada D2 efek samping EPS dan hiperprolaktinemianya hampir tidak ada. Aripiprazol juga
berefek parsial agonis pada 5HT1A. Efeknya pada 5HT1A lebih kuat bila dibandingkan dengan
efek antagonisnya terhadap 5ht2A tetapi kurang kuat bila dibandingjan dengan terhadap D2.
Efek sedasi aripiprazol juga kurang karena ia bersifat antagonis lemah pada kolinergik
muskarinik –M1 dan histiminergik-H1.
Dosis aripriprazol yaitu antara 10-30 mg/hari aripiprazol oral tersedia dalam bentuk tablet,
cairan, dan tablet disintegrasi. Aripiprazol juga tersedia dalam bentuk injeksi jangka pendek
yang digunakan untuk pasien gaduh gelisah. Selain itu, aripiprazol juga tersedia dalam bentuk
injeksi jangka panjang yang diberikan setiap empat minggu.
 Ziprasidon
Merupakan kombinasi antagonis 5-HT2A dan reseptor D2, tanpa gejala ekstrapiramidal,
antimuskarinik, antihistaminergik.

Farmakokinterik
 Absorbs
Konsentrasi puncak, setelah pemberian dosis tunggal dan beberapa dosis, adalah
sama. Kadar puncak dicapai dua – enam jam setelah pemberian obat. Kisaran Tmax antara
empat – lima jam. Absorbs tidak berubah dari hari ke-1 s.d. ke-18. Bioavaibilitas obat
menjadi dua kali lipat, bila ziprasidon diberikan bersamaan dengan makanan.
 Metabolism dan eliminasi
Steady state didapat setelah satu – tiga hari pemberian. Rerata waktu paruh ziprasidon
berkisar antara lima – sepuluh jam. Gangguan hati dan renal, taraf ringan – sedang, tidak
berpengaruh terhadap farmakokinetik, sehingga penyesuaian dosis tak diperlukan. Ziprasidon
dimetabolisme secara ekstensif dan kurang dari 1% diekskresikan dalam bentuk tak berbuhah
melalui urin dan feses.
II. Intervensi Psikososial
Intervensi psikososial adalah proses yang memfasilitasi kesempatan untuk individu meraih
tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas.
Anthony, Cohen, dan Farkas, 1990 menyatakan bahwa intervensi psikososial adalah
dukungan pada orang dengan penurunan fungsi akibat gangguan jiwa yang dialami sehingga
mereka dapat menjalani kehidupan dan merasa puas dengan pilihannya untuk hidup di masyarakat
dengan sedikit mungkin bantuan dari professional kesehatan. Saat ini intervensi psikososial
dikembangkan dengan mengadaptasi konsep dan pendekatan Recovery, yaitu sebuah pendekatan
yang melihat proses pemulihan sebagai sebuah perjalanan penyembuhan dan transformasi yang
memampukan orang dengan masalah kesehatan jiwa untuk hidup secara bermakna di masyarakat
berdasarkan pilihannya dan mencapai potensi yang dimilikinya.

Tabel 4. Intervensi psikososial


Tujuan Langkah- langkah

Menurunkan gejala Memberikan terapi yang sesuai (farmako dan


psikoterapi), intervensi psikososial

Menurunkan efek negatif dari perawatan Mengurangi dan menghilangkan konsekuensi


serta dampak fisik dan perilaku akibat
intervensi medik. Mencegah efek perawatan
jangka panjang

Meningkatkan kompetensi sosial Meningkatkan kapasitas individu dalam


keterampilan sosial, koping psikologis, dan
fungsi okupasi

Menurunkan stigma dan diskriminasi

Dukungan keluarga Untuk keluarga yang salah satu anggota


keluarganya mengalami gangguan jiwa

Dukungan sosial Membangun dan memelihara dukungan


terutama untuk kebutuhan dasar (rumah,
pekerjaan, jaringan sosial, dan waktu luang)

Pemberdayaan konsumer Meningkatkan autonomi konsumer dan


keluarga
Pendekatan psikososial diterapkan secara individual sesuai dengan kebutuhan spesifik dari
masing masing orang dan harus berbasis bukti yang dianggap efektif. untuk skizofrenia adalah :
1. Psikoedukasi
Psikoedukasi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman orang dengan skizofrenia dan
keluarga tentang perjalanan penyakit, pengenalan gejala, pengelolaan gejala, pengobatan (tujuan
pengobatan, manfaat dan efek samping), peran orang dengan skizofrenia dan keluarga dalam
pengobatan.
2. Intervensi keluarga
Melibatkan keluarga dan pelaku rawat dari sejak awal perencanaan terapi sangat
dianjurkan. Intervensi keluarga hendaknya dimulai dengan penilaian terhadap relasi dan fungsi
keluarga. Telah dibuktikan oleh banyak penelitian bahwa keluarga dengan eskpresi emosi yang
tinggi berisiko meningkatkan angka kekambuhan orang dengan skizofrenia skizofrenia. Intervensi
keluarga meliputi edukasi keluarga, meningkatkan keterampilan koping dan penyelesaian
masalah, memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga, reduksi stress dan membangun
dukungan.
3. Terapi kognitif perilaku (CBT)
Terapi kognitif perilaku pada orang dengan skizofrenia lebih ditujukan untuk
mengembangkan pemahaman orang dengan skizofrenia tentang gejala- gejala penyakit dan
mengajaknya terlibat secara aktif untuk mengelolanya atau mengembangkan strategi penyelesaian
masalah (problem solving strategy).
4. Rehabilitasi
Meliputi terapi vokasional, pelatihan keterampilan sosial, dan remediasi kognitif.
Modalitas ini dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dalam
keterampilan bersosialisasi, menjalin relasi interpersonal, integrasi ke komunitas dan memperoleh
keterampilan kerja.

PROGNOSIS

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun
setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia, hanya kira-kira 10-20
% pasien dapat digambarkan memliki hasil yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan
memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala,
episode gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang bagus
tersebut, skizofrenia memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan
sejumlah faktor telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.
Rentang angka pemulihan yang dilaporkan di dilam literatur adalah dari 10- 60% dan perkiraan
yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia mampu untuk menjalani
kehidupan yang agak normal.
Kira-kira 20-30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang, dan 40-60% dari
pasien terus terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya.

Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:


1. Usia pertama kali timbul ( onset): makin muda makin buruk.
2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut lebih baik.
3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik.
4. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat.
5. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya: jika ada lebih baik.
6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada lebih jelek.
7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek.
8. Keadaan sosial ekonomi: bila rendah lebih jelek

Anda mungkin juga menyukai