Anda di halaman 1dari 28

CASE REPORT

STEMI INFERIOR

Disusun Oleh:
Amirtha Mustikasari : 1102013022
Fadilla Permatasari : 1102014088
Yolanda Syafitri : 1102011296

Pembimbing:
dr. ElfridaSp.JP

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT


DALAM PERIODE 06 AGUSTUS – 14 OKTOBER
RUMAH SAKIT TK. II MOHAMMAD RIDWAN MEURAKSA
JAKARTA TIMUR

1
BAB I
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS
Nama : Ny. H
Umur : 71 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Bambu apus

Tanggal Masuk : 27-09-2018


No. RM : 367964
Tanggal diperiksa : 27-09-2018

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis terhadap pasien pada tanggal 27-09-2018

1. Keluhan Utama:
Nyeri dada sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit, nyeri sampai ke
punggung
2. Keluhan Tambahan:
Pasien mengeluh mual, muntah, dan keluar keringat dingin
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RS MRM pada tanggal 27-09-2018 pada pukul 14.00
wib. Pasien datang keluhan nyeri dada sejak 2 jam sebelum masuk rumah
sakit, nyeri menembus kepunggung. Pasien mengeluh mual, muntah dan
keluar keringat dingin,
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Diabetes Mellitus (+)
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

2
A. Pemeriksaan Umum:
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Komposmentis
3. Tanda Vital :

Frekuensi nadi : 74 x/menit,


Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu : 36 Celsius
TD : 140/70 mmHg
B. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit : Sawo matang ,tidak kering, ekstremitas teraba
hangat, tidak sianotik , Turgor kembali <2detik).
2. Kepala : Normocephal, pertumbuhan rambut merata , warna
hitam.
3. Mata : Palpebra cekung( -/- ), pupil bulat isokor
konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik ( -/-
),reflek cahaya (+/+)
4. Leher : Normal, posisi trakea di tengah, tidak teraba
limfonodi
5. Telinga : Normal, membran timpani intak
6. Hidung : Septum deviasi -/- , secret -/- ,
7. Tenggorok : Faring tidak hiperemis, tonsil tenang
8. Mulut : Bibir kemerahan,mukosa bibir tidak kering,
sianosis (-), lidah kotor (-)
9. Dada
a. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada sela iga ke-5 linea mid
klavikularis sinistra
Perkusi : Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis kanan
Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis kanan
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis kiri
Batas kiri bawah : ICS V linea midklavikularis sinsitra

3
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler , murmur (-), gallop (-)

b. Paru

Depan Kanan Kiri


Depan:
Inspeksi Pergerakkan dada simetris Pergerakkan dada simetris
dalam keadaan statis dan dalam keadaan statis dan
dinamis. dinamis.

Palpasi Tidak teraba massa dan tidak Tidak teraba massa dan tidak
ada nyeri tekan ada nyeri tekan

Perkusi Sonor di hemithorax kanan Sonor di hemithorax kiri

Auskultasi Suara nafas vesikuler Suara nafas vesikuler


Rhonki (-), wheezing (-) Rhonki (-), wheezing (-)

Belakang Kanan Kiri


Inspeksi Gerakan dada simetris Gerakan dada simetris dalam
dalam keadaan statis dan keadaan statis dan dinamis
dinamis
Palpasi Thoraks simetris dan Thoraks simetris dan fremitus
fremitus vocal di kedua vocal di kedua hemithorax
hemithorax sama sama

Perkusi Batas bawah paru bagian Batas bawah paru bagian


belakang ialah paravertebral belakang ialah paravetebral
10 linea skapularis 10 linea skapularis

Auskultasi Suara nafas vesikuler Suara nafas vesikuler


Rhonki (-), wheezing (-) Rhonki (-), wheezing (-)

10. Abdomen:
 Inspeksi : dinding abdomen simetris, tampak datar
 Auskultasi : suara bising usus positif
 Perkusi : suara timpani pada ke empat kuadran

4
 Palpasi : NTE (+)

11. Ekstremitas:

TUNGKAI LENGAN
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Baik Baik Baik Baik
Tonus Baik Baik Baik Baik
Kekuatan Baik Baik Baik Baik
Klonus Negatif Negatif Negatif Negatif

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin
(27/09/2018)
Hemoglobin : 11.7 g/dl
Leukosit : 10 /mm3
Hematokrit : 34* %
Trombosit : 284.000 /mm3
Glukosa sewaktu : 221*
Troponin-I : 1.91* ng/Ml
EKG

5
Kimia Darah
(29/09/2018)
SGOT/ASAT : 94* U/L
SGPT/ALAT : 23
Ureum : 34 mg/dL
Creatinin : 0.69mg/dL
Uruc Acid : 6.8 mg/dL
Triglyserida : 462* mg/dL
Total Cholesterol : 204* mg/dL
HDL Cholesterol : 41 mg/dL
LDL Cholesterol : 149 mg/dL
HbA1c : 6.7*%

V. RESUME
Pasien datang ke RS MRM pada tanggal 27-09-2018 pada pukul 14.00
wib. Pasien datang keluhan nyeri dada sejak 2 jam sebelum masuk rumah
sakit, nyeri nyeri sampai kepunggung. Pasien mengeluh munal, muntah
dan keluar keringat dingin, Keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 140/70 mmHg, nadi 74 x/menit,
suhu 36 C,dan pernafasan 20 x/menit.

6
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Utama : STEMI Inferior
Diagnosis Sekunder : DM Tipe II

VII. PENATALAKSANAAN
- O2 2-4
- IVFD RL 10 tpm
- Loading aspilet 160 mg
- CPG 1x75mg
- Simvastatin 1x20mg
- ISDN 3x5mg
- Arixtra 2.5mg/24jam
- Inj Morfin 2mg
- Laxadin 1xCI
- Inj ranitidine 1amp/12jam

VIII. PROGNOSI
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

7
Follow up

28/09/2018 S: Nyeri dada (+) Planning


10.05 WIB  Bedrest
O:  O2 2-4
 Kes : CM  IVFD RL 10 gtt
 Vital sign :  Inj.Arixtra
o RR : 18 x/menit 2.5mg/24jam
o
o Suhu : 36 C (suhu aksila)  ISDN 3x10mg
o HR : 69 x/menit  Aspilet 1x80mg
o TD : 146/70 mmHg  CPG 1x75mg
 Kepala : Normochepal  Simvastatin 1x20mg
 Mata : CA (-/-), SI (-/-)  Inj.ranitidin
 Hidung : NCH (-) 1amp/12jam
 Mulut : Sianosis (-),bibir lembab,  Sucralfat 3xCI
Thorax : Retraksi (-)  Laxadin 1xCI
 Cor : S1S2 (N), murmur (-),  Inj. M.D 2 mg (k//p)
gallop (-)  Alprazolam 1x0.5mg
 Pulmo : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-
).
 Abdomen : datar, BU (+)
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-),
Sianosis (-).
 EKG: SR + ST elevasi II-III-avf
A: STEMI Inferior
DM Tipe II

8
29/09/2018 S : Pusing (+), Nyeri dada (+)
13.40 wib P:
O:  IVFD RL 10gtt
 Kes : CM  Inj.arixtra
 Vital sign : 2.5mg/24jam
o RR : 20 x/menit  ISDN 3x10mg

o
o Suhu : 36 C (suhu aksila) Aspilet 1x80mg
o HR : 82 x/menit  CPG 1x75mg
o TD :140/70 mmHg  Simvastatin 1x20mg
 Kepala : Normochepal  Inj ranitidin
 Mata : CA (-/-), SI (-/-) 1amp/12jam
 Hidung : NCH (-)  Sucralfat 3xCI
 Mulut : Sianosis (-),bibir lembab,  Laxadin 1xCI
 Thorax : Retraksi (-)  Alprazolam 1x0.5mg
 Cor : S1S2 (N), murmur (-),  Concor 1x2.5mg
gallop (-)
 Pulmo : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-
).
 Abdomen :BU(+), turgor baik,
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-),
Sianosis (-).
A : STEMI Inferior
Dyspepsia
DM Tipe 2

9
30/09/2018 S: Nyeri dada (-), sesak (-) Planning
08.50 WIB  IVFD RL 10gtt
O:  Inj.arixtra
 Kes : CM 2.5mg/24jam
 Vital sign :  ISDN 3x10mg
o RR : 20 x/menit  Aspilet 1x80mg
o
o Suhu : 37 C (suhu aksila)  CPG 1x75mg
o HR : 74 x/menit  Simvastatin 1x20mg
o TD :120/90 mmHg  Inj ranitidin
 Kepala : Normochepal 1amp/12jam
 Mata : CA (-/-), SI (-/-)  Sucralfat 3xCI
 Hidung : NCH (-)  Laxadin 1xCI
 Mulut : Sianosis (-),bibir lembab,  Alprazolam 1x0.5mg
Thorax : Retraksi (-)  Concor 1x2.5mg
 Cor : S1S2 (N), murmur (-),
gallop (-)
 Pulmo : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-
).
 Abdomen : datar, BU (+)
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-),
Sianosis (-).
 EKG: SR + ST elevasi II-III-avf
A: STEMI Inferior
DM Tipe II

10
01/10/2018 S : Nafas tidak lepas
13.40 wib P:
O:  IVFD RL 10gtt
 Kes : CM  Inj.arixtra
 Vital sign : 2.5mg/24jam
o RR : 20 x/menit  ISDN 3x10mg

o
o Suhu : 37 C (suhu aksila) Aspilet 1x80mg
o HR : 80 x/menit  CPG 1x75mg
o TD :120/80 mmHg  Simvastatin 1x20mg
 Kepala : Normochepal  Inj ranitidin
 Mata : CA (-/-), SI (-/-) 1amp/12jam
 Hidung : NCH (-)  Sucralfat 3xCI
 Mulut : Sianosis (-),bibir lembab,  Laxadin 1xCI
 Thorax : Retraksi (-)  Alprazolam 1x0.5mg
 Cor : S1S2 (N), murmur (-),  Concor 1x2.5mg
gallop (-)
 Pulmo : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-
).
 Abdomen :BU(+), turgor baik,
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-),
Sianosis (-).
A : STEMI Inferior
Dyspepsia
DM Tipe 2

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi STEMI


Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST merupakan bagian dari
spektrum SKA yang terdiri atas UAP, NSTEMI, dan STEMI. STEMI adalah
sindrom klinis yang didefiniskan sebagai gejala iskemia infark khas yang
dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi segmen ST yang persisten dan
diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard.

2.2 Epidemiologi STEMI


Sekitar 1,5 juta kasus infark miokard terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat. Tingkat insiden tahunan adalah sekitar 600 kasus per 100.000 orang.
Kebanyakan pasien yang menderita infark miokard akut lebih tua dari 60 tahun.
Orang tua juga cenderung memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih
tinggi akibat infark tersebut . Usia (≥75 tahun) adalah prediktor terkuat dari 90-
hari kematian pada pasien dengan STEMI yang menjalani terapi intervensi
koroner perkutan (IKP). Pada pasien STEMI didapatkan mortalitas 30 hari
sebesar 13% dengan medikamentosa dibandingkan dengan 6%-7% bila
menggunakan terapi fibrinolisis, dan sekitar 3%-5% pada pasien dengan IKP
dalam 2 jam onset nyeri. Literatur lain menyebutkan mortalitas 30 hari STEMI
sebesar 11.1%-14%.

2.3 Etiologi STEMI


Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Aterosklerosis adalah suatu proses
kronis yang progresif dan tiba-tiba muncul dengan karakteristik berupa
penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan molekul inflamasi pada dinding arteri
koroner. Aterosklerosis merupakan proses etiopatogenesis utama penyebab PJK
dan progresifitasnya berhubungan dengan faktor lingkungan dan genetik dimana
faktor tersebut akhirnya akan berubah menjadi faktor risiko dari PJK. Walaupun

12
kejadian PJK muncul di dekade ke-5 pada laki-laki dan dekade ke-6 pada
perempuan, namun proses aterosklerosis telah dimulai dari awal kehidupan,
bahkan dari masa perkembangan janin .

2.4 Faktor Risiko STEMI


Berdasarkan studi Framingham, faktor risiko STEMI dapat dibagi
menjadi dua, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.

2.4.1 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi


1. Usia
Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan usia.
Perubahan utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika intima
disertai tunika media yang mengalami fibrosis. Ketebalan dari tunika intima
yang diamati secara bertahap meningkat ketika dekade keempat dan kemudian
menipis secara bertahap. Umur berperan penting dalam terjadinya penyakit
jantung koroner karena dapat mempengaruhi faktor risiko lain, seperti tekanan
darah tinggi, obesitas, dan kadar lemak. Berat badan merupakan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi meningkat pada umur dewasa tua. Gangguan dalam
profil lemak, seperti nilai total kolesterol dan Low Density Lipoprotein (LDL)
meningkat disertai nilai High Density Lipoprotein (HDL) yang rendah, juga
berhubungan dengan pertambahan umur.
2. Jenis kelamin
Pria mempunyai risiko lebih besar dari perempuan dan mendapat serangan lebih
awal dalam kehidupannya dibandingkan wanita. Itu dikarenakan kebanyakan
faktor risikonya tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok, alkohol, dan kadar
HDL yang lebih rendah dari wanita dan sebelum menopause, estrogen
memberikan perlindungan kepada wanita dari penyakit jantung koroner.

2.4.2 Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


1. Merokok
Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida, ammonia,
formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya adalah nikotin (efek akut)

13
dan tars (efek kronis). Efek nikotin pada system kardiovaskuler adalah efek
simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar
sistol, meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac output,
dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik,
penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih mudah
memasuki dinding arteri yang berperan dalam patogenesis PJK. Merokok juga
meningkatkan oksidasi dari LDL dan meningkatkan berbagai faktor risiko lain,
yaitu dislipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus.
1. Dislipidemia.
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol sangat penting
bagi sel yang sehat, tetapi bila tubuh mengakumulasikannya dalam jumlah
banyak, kolesterol akan berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan
menyebabkan kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi,
risiko serangan jantung akan meningkat. Kolesterol terdiri dari 2 bentuk utama,
yaitu HDL yang berperan dalam membawa kadar lemak yang tinggi dalam
jaringan ke hati untuk dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang
berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL
yang tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan risiko penyakit
jantung, terutama PJK .
3. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding jantung
menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik.
Ini meningkatkan risiko kejadian stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan
penyakit jantung kongestif. Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan
faktor risiko yang lain, akan meningkatkan risiko penyakit jantung. Patofisiologi
dari hipertensi menyebabkan PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi
menyebabkan kerusakan pada endotel yang akan menyebabkan senyawa
vasodilator tidak dapat keluar dan membuat penumpukan okigen reaktif serta
penumpukan faktor-faktor inflamasi yang mendukung perkembangan dari
aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan pembuluh darah. Kedua, hipertensi
menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan hipertrofi dari ventrikel
kiri. Itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium dan

14
menurunnya aliran darah koroner. Semua hal di atas mendukung terjadinya
penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan kematian jantung tiba-tiba.
4. Diabetes melitus
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan pembentukan plak
ateromatous pada arteri. Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan banyak
perubahan pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide
adenine dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti sebagai
stresor oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP) N-
acetyl glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi enzimatik seluler, dan
pembentukan advanced glycation end product (AGE) yang secara langsung
menganggu fungsi sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta
peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit
oksida endotel dan menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur.

2.5 Patofisiologi STEMI


STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini dicetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Merokok, hipertensi, kadar
LDL, serta tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes melitus akan
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Lapisan endotel yang
rusak menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami
thrombogenik sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis
merupakan tahap awal pertahanan terhadap pendarahan.
Proses ini bermula hanya dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak
dan dicegah oleh adanya sirkulasi platelet. Platelet akan menempel pada kolagen
subendotel pembuluh darah dan beragregasi untuk membentuk “Platelet plug”.
Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah ini juga akan mengaktifkan cell
molecule adhesion seperti sitokin, TNF-α, growth factor, dan kemokin. Limfosit

15
T dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan endotel lalu berpindah
ke subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit berproliferasi menjadi
makrofag dan mengikat LDL teroksidasi sehingga makrofag membentuk sel
busa. Akibat kerusakan endotel menyebabkan respon protektif dan terbentuk lesi
fibrous, plak aterosklerotik yang dipicu oleh inflamasi. Respon tersebut
mengaktifkan factor Va dan VIIIa yang akan membentuk klot pada pembuluh
darah. Teraktivasinya kedua faktor tersebut dapat dipicu karena tidak
terbentuknya protein C oleh liver sehingga thrombin mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin sehingga terbentuk klot.
Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan trombus. Hal ini
disebabkan teraktivasinya faktor VII dan X yang mengakibatkan terpaparnya
sirkulasi darah oleh zat-zat trombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak
dan hilangnya respon protektif seperti antitrombin dan vasodilator pada
pembuluh darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan faktor kimiawi yang
tidak stabil pada lesi aterosklerosis dan faktor stres fisik penderita. Disebakan
adanya perkembangan klot pada pembuluh darah dan tidak terstimulusnya
produksi NO dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai vasodilator sehingga
terjadi disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi endotel,
teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan faktor jaringan dan terjadi
agregasi platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
terjadi trombosis koroner.
STEMI terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan
infark miokard dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard mulai
mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Akibat trombus
tersebut, kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi berkurang, hal ini
disebabkan kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan ATP berkurang.
Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga terjadi
perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis. Berkurangnya
ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+ dan Cl-
intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan mati.

16
2.6 Manifestasi Klinis STEMI
Keluhan pasien dengan iskemi miokard berupa nyeri dada typical (angina
typical) atau atypical (angina equivalen). Keluhan angina typical berupa rasa
tertekan atau berat daerah retrosternal, menjalar kelrngan kiri, leher, rahang, area
intraskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermitten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina typical
sering disertai keluhan penyerta seperti mual, muntah,nyeri abdominal, dan
sinkop.
Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri
retrosternal. Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik
SKA adalah:
1. Lokasi nyeri; di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa
nyeri.
2. Onset nyeri: sejak kapan nyeri dada sudah dirasakan.
3. Karakteristik nyeri; pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit,
ditekan, diremas, panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut
lebih dominan dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu
diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri epigastrik, sinkope atau
sesak napas (equivalent angina)
4. Penjalaran nyeri; penjalaran ke lengan kiri, bahu punggung,
epigastrium, leher rasa tercekik atau rasa ngilu pada rahang bawah
dan penjalaran ke lengan kanan atau kedua lengan
5. Lama nyeri; nyeri pada SKA berlangsung lama lebih dari 20 menit.
6. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
7. Gejala sistemik; disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat
dingin.

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum


yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di
dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50%

17
pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari,
jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak
berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah,
pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20%
sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut.
Namun harus dibedakan dengan nyeri dengan gambaran di bawah ini
yang bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak):
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau
batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah
apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada semua
pasien yang memiliki keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9
sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah
kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus
direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat
terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk

18
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia.

Gambar 2.1 Evolusi Gelombang EKG pada STEMI

b. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang
6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan

19
spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat
waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi
infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan spesifik
sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis NSTEMI/STEMI, di mana
peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4
jam setelah onset. Peningkatan kadar troponin biasanya menetap dalam 2 hingga
3 hari, namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi nekrosis luas.
Kadar troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah onset gejala,
sehingga jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama, perlu
dilakukan pemeriksaan ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.
Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat digunakan
penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase (CK-MB) yang akan
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap hingga 2 hari.

Gambar 2.2 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung 1

c. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan
diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi.

20
Multislice CardiacCT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK
sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga
menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.
d. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan Penyakit Jantung Koroner, sehingga sebaiknya segera
dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan
diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya
pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami
gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik.
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan
stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dengan
abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi
yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain
eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling
defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
f. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnose
banding, identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.

2.8 Diagnosis STEMI


Diagnosis infark miokard akut dengan elevasi segmen ST menurut
European Society Of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart Federation Task
Force for The Universal Definition Of Myocardial Infarction ditegakkan
berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi
ST baru pada titik J ≥ 2 mm pada pria atau ≥ 1.5 mm pada wanita, minimal pada

21
dua sadapan V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sandapan dada yang lain atau sadapan
ekstremitas.
Jejas pada miokard dapat dideteksi dari biomarker spesifik jantung
berupapeningkatan kadar Cardiac Specific Troponin (cTn) dan Creatine Kinase
MB (CKMB) dalam darah. cTn memiliki sensitifitas yang tinggi serta cukup
spesifik. Terdapat dua jenis troponin, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini
meningkat setelah dua jam bila terjadi infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam. cTn T masih dapat dideteksi dalam kurun waktu 5-14 hari
pasca infark, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Apabila pemeriksaan cTn tidak
tersedia, alternatif terbaik lainnya adalah pemeriksaan CKMB. CKMB
meningkat setelah tiga jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
waktu 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.

2.9 Tatalaksana STEMI


Tatalaksana STEMI mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun
konsensus dari para ahli sesuai pedoman pada Gambar 2.1
Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi
ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu
disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada.

22
Gambar. 2.3 Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI

Pasien dengan STEMI harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan

dalam 1,5 – 2 jam setelah terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa

sedini mungkin. Pasien dengan STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam

12 jam awal. Terapi fibrinolitik diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang

dilakukan pada 30 menit awal dari kedatangan di Rumah Sakit

Berdasarkan ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients

with ST-Elevation Myocardial Infarction (2013), tatalaksana pasien STEMI

dijabarkan sebagai berikut:

23
1. Pemberian Oksigen

Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri

< 94%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen

selama 6 jam pertama.

2. Nitrogliserin

Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4

mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian

seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena.

3. Analgesik

Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8

mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama

untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI.

4. Aspirin

Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan

aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg.

Selanjutnya aspirin diberikan secara oral dengan dosis 75-162 mg.

5. Beta Bloker

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,

selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol

5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis.

6. Klopidogrel

Pemberian Klopidogrel 600 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan dosis

rumatan sebesar 75 mg per hari. Obat-obat seperti penghambat reseptor beta dan

ACE inhibitor harus segera diberikan kecuali terdapat kontraindikasi dan pasien

24
harus dalam keadaan hemodinamik stabil. Statin dilaporkan memberikan hasil

yang baik. Suatu registri di Israel melaporkan pasien yang menjalani IKP dan

telah mendapat statin sebelumnya, mortalitas jangka pendeknya akan berkurang.

2.9.1 Terapi Reperfusi

Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi

reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,

meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi

kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia

ventrikular yang maligna.

Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau

medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90 menit7.

Reperfusi, dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan dalam waktu

kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien infark miokard

yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut:

 ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang berturutan,

 ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,

 Left bundle branch block baru2.

Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada

tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada,

langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat

kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang

atau lebih dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi

pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika

memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.

25
2.9.1.1 Terapi Fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada

tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam

waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12

jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP

primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak

kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak

awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,

fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama

dengan inflasi balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang

gawat darurat.

Jenis obat fibrinolotik sebagai terapi reperfusi adalah:

 Streptokinase

◦ Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline

0,9% dalam waktu 30-60 menit.

◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam

 Alteptase

◦ Dosis awal bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg selama 30 menit,

kemudian 0,5mg / kg selama 60 menit, dosis total tidak lebih dari

100mg

◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam

26
2.9.1.2 Pemberian Antikoagulan

Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan

terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap,

hingga maksimum 8 hari. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi,

dapat diberikan terapi antikoagulan selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari

pemberian. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight

Heparin (LMWH) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien

yang mendapat terapi fibrinolisis.

Jenis-jenis obat antikoagulan antara lain:

 Warfarin

o Dosis awal yang dapat diberikan yaitu 10 mg dan 5 mg pada hari

kedua dengan pengaturan dosis pada hari ketiga sekitar 3-7,5 mg.

o Pemberian obat ini secara oral.

o Kontraindikasi pemberian pada penyakit-penyakit dengan

kecenderungan perdarahan, tukak saluran cernaa, defisisensi

vitamin K, serta penyakit hati dan ginjal yang berat.

 Heparin

o Dosis awal yang diberikan yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000 U)

secara bolus. Kemudian pemberian lanjutan melalui infuse

dengan dosis 12 U/kgBB.

o Pemberian heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang

mengalami perdarahan misalnya pasien hemophilia, endokarditis

bacterial subakut, perdarahan intracranial, hipertensi berat, dan

syok.

27
 Enoxaparin (Lovenox)

o Dosis yang diberikan 1 mg/kg setiap 12 jam subkutan, ditambah

dengan pemberian aspirin 100-325 setiap harinya selama minimal

2 hari.

o Kontraindikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan

hemoragia dan pernah menderita trombositopenia selama

pengobatan.

2.10 Prognosis

Prognosis infark miokard berhubungan dengan lokasi infark dan luas

perubahan EKG. Infark inferior memilki mortalitas 30 hari sebesar 4,5 % dan

moratalitas 12 bulan sebesar 6,7 %. Determinan utama prognosis setelah infark

miokard adalah usia, tekanan darah sistolik, denyut jantung, lokasi infark, dan

kelas Killip.

28

Anda mungkin juga menyukai