Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS II

BETA-THALASEMIA
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM LIPPO KARAWACI GEDUNG
B

Oleh
Kevin Feraldy
00000024925

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Thalasemia didefinisikan sebagai kelainan darah yang diturunkan dari orang

tua, di mana tubuh membentuk hemoglobin dalam bentuk yang abnormal atau

inadekuat. Hemoglobin merupakan protein yang ada di dalam sel darah merah yang

berfungsi untuk mengangkut oksigen. Kasus thalasemia di Indonesia meningkat setiap

tahunnya, data Yayasan Talasemia Indonesia atau Perhimpunan Orang Tua Penderita

(YTI/POPTI) diketahui bahwa penyandang thalasemia di Indonesia mengalami

peningkatan dari 4.896 orang di 2012 menjadi 9.028 orang di 2018. Skrining pada

masyarakat umum dari tahun 2008 menyatakan 5,41% memiliki trait thalasemia. Pada

anak-anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bagian hematologi mengatakan tahun

2016, prevalensi thalasemia mayor di Indonesia menurut data terdapat sebanyak 9.121

orang.1

Secara molekuler, thalasemia dibedakan atas talasemia alfa (α) dan beta (β),

sedangkan secara klinis dibedakan atas talasemia minor dan mayor. Penelitian

sebelumnya tentang data deskriptif thalasemia di Purwokerto mendapatkan bahwa

penderita thalasemia rata-rata berusia 12,28 tahun, berjenis kelamin laki-laki dengan

diagnosis thalasemia β mayor. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas utama pada

thalassemia alfa dan beta adalah anemia dan kelebihan zat besi. Anemia yang dibiarkan

dapat menyebabkan gagal jantung, sedangkan kelebihan zat besi dapat menyebabkan

deposisi zat besi tersebut dan merusak berbagai organ.2


BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien

a. Nama :Z

b. Jenis kelamin : Laki-laki

c. Umur : 3 Tahun 3 Bulan 13 Hari

d. Alamat : Ranca Serdang 15/04

e. No. MR : RSUS. 00-76-90-66

f. Agama : Islam

g. Tanggal pemeriksaan : 22 Oktober 2019

2.2 Data Dasar

Anamnesis Pasien

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 22 Oktober 2019 di

bangsal lantai 6 RSUS Lippo Karawaci.

Keluhan utama :

Anak terlihat pucat sejak tiga hari yang lalu

Keluhan tambahan :

Teraba benjolan di perut bagian kanan pasien


Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang :

Pasien datang bersama dengan ibunya. Ibu mengatakan wajah anak terlihat

pucat sejak tiga hari yang lalu. Selain itu, ibu juga mengatakan anak menjadi lesu

dan nafsu makan berkurang. Ketika sedang memandikan anak, sang ibu merasakan

adanya benjolan pada perut bagian kanan pasien dan anak tampak tidak nyaman

ketika benjolannya disentuh. Ibu belum memberikan obat apapun. Pasien tidak

disertai dengan demam. Pasien tidak mengeluhkan gangguan lain.

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Ibu mengatakan kejadian ini baru pertama kali terjadi.

Riwayat Kehamilan

 Ibu mengatakan tidak ada gangguan pada saat hamil dan ibu rutin datang ke

posyandu untuk check up kehamilannya. Anak lahir per vaginam tanpa ada

gangguan.

Riwayat Tumbuh Kembang dan Gizi

 Tidak ada hambatan dalam tumbuh dan kembang pasien. Pasien dapat

mengangkat kepala saat berusia 2 bulan, dapat menggenggam dan tengkurap saat

usia 5 bulan, dapat duduk usia 6 bulan, dapat memakai sendok dan berjalan

dengan berpegangan pada usia 10 bulan, dan dapat berjalan sendiri pada usia 15

bulan.

 Pasien diberikan asi ekslusif hingga 4 bulan, setelah 4 bulan pasien mulai

diberikan makanan pendamping ASI berupa bubur bayi 2 kali sehari. Pada saat
usia 1 tahun frekuensi pemberian makanan ditingkatkan menjadi 3 kali sehari.

Pada usia 2 tahun mulai diberi makanan padat 3 kali sehari ditambah dengan

susu sesuai permintaan pasien.

Riwayat imunisasi

 Ibu rutin datang ke posyandu untuk mengimunisasi anaknya, ibu mengatakan ia

selalu datang sesuai dengan jadwal namun tidak ingat dengan vaksin yang telah

diberikan kepada anak.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Pasien merupakan anak kedua.

 Ibu mengatakan anak pertama memiliki kejadian serupa dan memiliki

thalasemia.

Riwayat Operasi atau Tindakan:

 Pasien tidak pernah dioperasi.


2.3 PEMERIKSAAN FISIK

a. Pemeriksaan Umum

i. Keadaan Umum : Terlihat sakit ringan

ii. Kesadaran : compos mentis, E4M5V6

iii. Tanda-tanda vital

1. Tekanan darah : 120/80 mmHg

2. Nadi : 88 x/menit, isi cukup, regular, ekualitas di keempat

ekstremitas

3. Nafas : 18 x/menit, regular, torakoabdominal

4. Suhu : 37˚C peraxilla

iv. Keadaan gizi

1. Berat badan : 12,7 kg

2. Tinggi badan : 92,4 cm

3. Status Gizi : Normal (z-score: 0)

v. Aspek Kejiwaan

1. Tingkah laku : Wajar

2. Alam perasaan : Biasa

3. Proses pikir : Wajar

b. Status Generalis

i. Kelenjar getah bening

1. Submandibula : tidak teraba membesar


2. Supraklavikula : tidak teraba membesar

3. Lipat paha : tidak teraba membesar

4. Leher : tidak teraba membesar

5. Ketiak : tidak teraba membesar

ii. Kepala

1. Ukuran : normosefal

2. Rambut : distribusi rambut merata, rambut tidak mudah

dicabut

3. Ekspresi wajah : wajar

4. Simetri wajah : simetris

5. Pembuluh darah temporal : teraba pulsasi

iii. Mata

1. Exopthalmus : tidak ada

2. Enopthalmus : tidak ada

3. Kelopak : edema palpebra -/-

4. Pupil : isokor

5. Konjungtiva : anemis / anemis; tidak terdapat konjungtivitis

fliktenularis, tidak ada lid lag

6. Sklera : tidak ikterik / tidak ikterik

7. Refleks cahaya : baik / baik


8. Gerakan mata : normal

iv. THT

1. Telinga

a. Tuli :-/-

b. Liang telinga lapang :+/+

c. Serumen :-/-

d. Cairan :-/-

e. Penyumbatan :-/-

f. Perdarahan :-/-

2. Hidung

a. Nafas cuping hidung :-

b. Sekret :-/-

3. Tenggorokan

a. Faring tidak hiperemis

b. Tonsil T1-T1

v. Leher

1. Tekanan vena jugularis (JVP) : 5+0 cmH2O

2. Kelenjar tiroid : tidak membesar

3. Kelenjar limfe : tidak membesar


vi. Thoraks : normochest, tidak tampak pembuluh darah

1. Paru

a. Inspeksi

Tidak terdapat retraksi, tidak terlihat massa, tidak terlihat venektasi

ataupun spider naevi, posisi duduk pasien tegap. Gerak nafas simetris

kanan dan kiri.

b. Palpasi (pada depan dan belakang)

o Tidak ada nyeri pada penekanan

o Pengembangan paru baik dan seimbang

o Vocal fremitus simetris kanan dan kiri

c. Perkusi

Kanan : Sonor pada bagian depan dan belakang

Kiri : Sonor pada bagian depan dan belakang

d. Auskultasi

Kanan : Suara nafas vesicular (+), wheezing ( - ), rhonki basah kasar

(-), bronkofoni (-), egofoni (-)

Kiri : Suara nafas vesicular +, wheezing ( - ), rhonki ( - ), bronkogoni (-),

egofoni (-)

2. Jantung

a. Inspeksi

Iktus cordis tidak tampak

b. Palpasi
Iktus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicula sinistra dan kuat angkat

c. Perkusi

i. Batas jantung kanan : ICS 4 parasternal line dextra

ii. Batas jantung kiri : ICS 5 midclavicula line sinistra

iii. Batas pinggang jantung: ICS 3 midclavicula line sinistra

d. Auskultasi

Bunyi jantung I dan II regular, tidak ada murmur, dan tidak ada gallop

vii. Pembuluh darah

1. Arteri temporalis : teraba pulsasi +/+

2. Arteri karotis : teraba pulsasi +/+

3. Arteri brachialis : teraba pulsasi +/+

4. Arteri femoralis : teraba pulsasi +/+

5. Arteri poplitea : teraba pulsasi +/+

6. Arteri tibialis posterior : teraba pulsasi +/+

7. Arteri dorsalis pedis : teraba pulsasi +/+

viii. Abdomen

1. Inspeksi

Tampak benjolan pada perut kanan atas pasien, tidak tampak bekas luka, tidak

tampak venektasi

2. Auskultasi
Bising usus (+), normal

3. Palpasi

Supel, turgor kulit baik, tidak ada defense muscular, Tidak teraba pembesaran

hepar, ada pembesaran lien S2

4. Perkusi

Timpani pada seluruh lapang abdomen, CVA -/-, balotemen -/-, shifting

dullness -

ix. Alat Kelamin

Tidak diperiksa

x. Ekstrimitas

1. Lengan Kanan Kiri

Otot (Tonus dan massa) : Normotonus/- Normotonus/-

Sendi : Nyeri (-) Nyeri (-)

Gerakan : Bebas Bebas

Kekuatan : 5|5|5|5 5|5|5|5

Lain-lain : Tremor (-) Tremor (-)

CRT < 2`` CRT < 2``

2. Tungkai dan kaki Kanan Kiri

Luka : Tidak Ada Tidak Ada


Varises : Tidak Ada Tidak Ada

Otot (Tonus dan Massa) : Normotonus/- Normotonus/-

Sendi : Nyeri (-) Nyeri (+)

Gerakan : Terbatas Terbatas

Kekuatan : 5|5|5|5 5|5|5|5

Bentuk : Eutrofi Eutrofi

Edema : Tidak ada Tidak ada

Lain-lain : Tremor (-) Tremor (-)

CRT < 2`` CRT < 2``

II. Pemeriksaan Tambahan


Laboratorium Darah
Tanggal
Pemeriksaan Nilai Rujukan
11/04/14
Darah Rutin

Hb 7,60 13-18 g/dL


Hematokrit 21,90 40-52 %
Eritrosit 2,79 4.3-6.0 jut /ul
Leukosit 9.350 4.800-10.800/ul
266.000 150.000-
Trombosit
400.000/ul
MCV 74,50 75-96 fL

MCH 27,2 27-32 pg

MCHC 34,7 32-36 /dl


2.4 Resume

Ibu pasien datang ke rumah sakit karena wajah anaknya terlihat pucat sejak tiga

hari yang lalu. Ibu juga mengatakan pasien menjadi lesu dan nafsu makan

berkurang. Ketika sedang memandikan pasien, sang ibu merasakan adanya

benjolan pada perut bagian kanan pasien dan anak tampak tidak nyaman ketika

benjolannya disentuh.

2.5 Diagnosa

Suspek thalasemia beta intermedia

DD:

1. Defisiensi besi

2. Thalasemia alfa

2.6 Tatalaksana

Pasien diberikan normal saline 500ml/24 jam dan PRC LD 2 x 150ml.


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Epidemiologi

Thalasemia didefinisikan sebagai kelainan darah di mana tubuh membentuk

hemoglobin dalam bentuk yang abnormal. Hemoglobin yang normal memiliki 4

protein yang terdiri dari 2 alfa dan 2 beta (HbA), kurangnya sintesis dari salah satu

protein ini akan menimbulkan gangguan pada tubuh. Pada janin, hemoglobin yang

terbentuk terdiri dari 2 alfa dan 2 gamma (HbF), ketika bayi lahir, hemoglobin akan

mengalami masa transisi dari HbA menjadi HbF, saat bayi menginjak usia 6 bulan,

sebagian besar HbF telah berubah menjadi HbA.3

Kasus thalasemia di Indonesia meningkat setiap tahunnya, data Yayasan

Talasemia Indonesia atau Perhimpunan Orang Tua Penderita (YTI/POPTI) diketahui

bahwa penyandang thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan dari 4.896 orang

di 2012 menjadi 9.028 orang di 2018. Skrining pada masyarakat umum dari tahun

2008 menyatakan 5,41% memiliki trait thalasemia. Pada anak-anak, Ikatan Dokter

Anak Indonesia (IDAI) bagian hematologi mengatakan tahun 2016, prevalensi

thalasemia mayor di Indonesia menurut data terdapat sebanyak 9.121 orang.1


3.2 Patofisiologi dan Gejala Klinis

Thalasemia beta terjadi ketika sintesis dari rantai beta sedikit atau sama sekali

tidak terbentuk. Sintesis dari rantai beta diatur oleh satu gen yang terletak pada masing-

masing kromosom 11.4 Berikut tabel klasifikasi thalasemia beta.

Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi Thalasemia Beta dan Gejala Klinis

Tipe Kromosom 11 Gejala Klinis

Thalasemia beta minor Kerusakan pada salah satu Asimtomatik

gen

Thalasemia beta Kerusakan pada kedua gen Gejala mirip dengan

intermedia (penurunan sintesis dari thalasemia mayor namun

rantai globin ringan lebih ringan

hingga sedang)

Thalasemia beta mayor Kerusakan pada kedua gen Terjadi pada umur 6

(penurunan sintesis dari bulan – 24 bulan.

rantai globin yang parah) Pembengkakan perut,

retardasi pertumbuhan,

iritabilitas, ikterus, pucat,

kelainan tulang,

splenomegali;

membutuhkan transfusi

darah seumur hidup.


3.3 Diagnosis

Kebanyakan orang dengan thalasemia minor ditemukan secara kebetulan ketika

jumlah darah lengkapnya menunjukkan anemia mikrositik ringan. Penyebab anemia

mikrositik adalah kekurangan zat besi, thalasemia, keracunan timbal, anemia

sideroblastik, atau anemia karena penyakit kronis. Untuk membedakan penyebab

lainnya dengan thalasemia dapat dilakukan pemeriksaan Mean Corpuscular Volume

(MCV) dan Red Blood Cells Distribution Width (RDW). MCV biasanya kurang dari 75

fl pada thalasemia, pada defisiensi besi jarang kurang dari 80 fl sampai hematokrit

kurang dari 30 persen.5 Untuk anak-anak, indeks Mentzer (MCV / jumlah sel darah

merah) dapat membantu membedakan antara kekurangan zat besi dan thalasemia. Pada

defisiensi besi, rasio biasanya lebih besar dari 13, sedangkan thalasemia menghasilkan

nilai kurang dari 13.6

RDW dapat membantu membedakan defisiensi besi dan anemia sideroblastik

dari thalasemia. RDW biasanya meningkat pada anemia sideroblastik, RDW akan

meningkat pada lebih dari 90 persen orang dengan defisiensi besi, tetapi hanya pada 50

persen orang dengan thalasemia. Oleh karena itu, walaupun anemia mikrositik dengan

RDW normal hampir selalu terjadi karena thalasemia, orang dengan RDW tinggi akan

memerlukan tes tambahan.7


Tabel 2.2 Indikator Pemeriksaan Thalasemia Beta dan Diagnosis Lainnya

Pemeriksaan Defisiensi zat besi Thalasemia beta Thalasemia alfa

MCV (abnormal Rendah Rendah Rendah

jika <80 fl pada

orang dewasa; <70

fl pada anak-anak

usia enam bulan

hingga enam

tahun; dan <76 fl

pada anak-anak

usia tujuh hingga

12 tahun)

RDW Tinggi Normal; kadang Normal

tinggi

Feritin Rendah Normal Normal

Indeks Mentzer >13 <13 <13

untuk anak-anak

(MCV / jumlah sel

darah merah)

Elektroforesis Hb Normal (mungkin HbA2 meningkat, Dewasa: Normal

HbA2 berkurang) HbA berkurang, Bayi Baru Lahir:


dan mungkin HbF mungkin

meningkat menderita HbH

atau Hb Bart

Pemeriksaan penunjang meliputi serum feritin, apusan darah tepi, elektroforesis

hemoglobin, kadar serum timbal, dan aspirasi sumsum tulang belakang. Serum feritin

adalah tes terbaik untuk mengeksklusi anemia defisiensi besi. Tanpa adanya inflamasi,

kadar feritin yang normal umumnya mengeksklusi defisiensi besi. Serum zat besi,

kapasitas pengikatan besi total (TIBC), dan saturasi transferin jarang dibutuhkan.

Anemia sideroblastik dapat dieksklusi dengan pemeriksaan apus darah perifer atau

aspirasi sumsum tulang. Kadar timbal serum normal dapat mengeksklusi keracunan

timbal. Anemia akibat penyakit kronis paling sering merupakan anemia normokromik

normositik ringan. Jika semua eksklusi telah dilakukan dan thalasemia masih dicurigai,

elektroforesis hemoglobin dapat membantu mendiagnosis kondisi tersebut.8

Elektroforesis hemoglobin dengan sifat thalassemia beta biasanya berkurang

atau tidak ada HbA, kadar HbA2 meningkat, dan peningkatan HbF.2 Namun,

konsentrasi normal HbA2 tidak mengesampingkan sifat thalasemia beta, terutama jika

ada kekurangan zat besi yang ada secara bersamaan, yang dapat menurunkan level

HbA2 hingga ke kisaran normal. Pada periode bayi baru lahir, jika elektroforesis

menunjukkan Hb Bart atau HbH, bayi mengalami thalasemia alfa. Elektroforesis

hemoglobin biasanya normal pada orang dewasa dengan sifat thalasemia alfa.9
Thalasemia beta mayor didiagnosis selama masa bayi. Pucat, lekas marah,

retardasi pertumbuhan, pembengkakan perut, dan penyakit kuning muncul selama

enam bulan kedua kehidupan. Thalasemia intermedia ditandai dengan anemia

mikrositik tetapi gejala yang lebih ringan dibanding dengan thalasemia beta mayor.10

3.4 Tatalaksana

Thalasemia beta mayor membutuhkan transfusi darah berkala seumur hidup

untuk mempertahankan kadar hemoglobin lebih tinggi dari 9,5 g per dL dan

mempertahankan pertumbuhan normal. Kebutuhan transfusi darah dapat dimulai pada

usia enam bulan. Untuk thalasemia beta intermedia, keputusan untuk transfusi adalah

penilaian klinis secara subjektif. Persyaratan transfusi bersifat episodik dan menjadi

perlu ketika hemoglobin seseorang tidak memadai atau ketika anemia mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan.11

Pasien yang tergantung pada transfusi mengalami kelebihan zat besi karena

mereka tidak memiliki proses fisiologis untuk menghilangkan kelebihan zat besi dari

berbagai transfusi. Oleh karena itu, mereka memerlukan perawatan dengan terapi

khelasi yang dimulai antara lima dan delapan tahun dengan Deferoxamine (Desferal),

secara subkutan atau intravena yang menjadi pengobatan pilihan.12

Transplantasi sumsum tulang di masa kanak-kanak adalah satu-satunya terapi

kuratif untuk thalasemia beta mayor. Transplantasi sel induk hematopoietik umumnya

menghasilkan hasil yang sangat baik pada orang berisiko rendah, didefinisikan sebagai
mereka yang tidak memiliki hepatomegali, tidak ada fibrosis portal pada biopsi hati,

dan terapi khelasi teratur, atau paling banyak, dua dari kelainan ini.11
BAB IV

KESIMPULAN

Ibu pasien datang ke rumah sakit karena wajah anaknya terlihat pucat sejak tiga

hari yang lalu. Ibu juga mengatakan pasien menjadi lesu dan nafsu makan berkurang.

Ketika sedang memandikan pasien, sang ibu merasakan adanya benjolan pada perut

bagian kanan pasien dan anak tampak tidak nyaman ketika benjolannya disentuh.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami anemia dan terdapat

benjolan pada perut kanan atas pasien. Hal ini dapat menunjukkan adanya gangguan

darah pada pasien ini. Kasus yang paling sering terjadi adalah defisiensi besi, namun

pada defisiensi besi nilai MCV jarang lebih rendah dari 80, pada pasien ini MCV sudah

di bawah 75 yaitu 74, sehingga hasil MCV lebih menunjukkan ke arah thalasemia beta.

Riwayat keluarga pasien juga mendukung diagnosis thalasemia beta, pasien

memiliki saudara dengan penyakit serupa. Diduga pasien memiliki thalasemia beta

intermedia. Penyakit ini baru muncul setelah anak berusia 2 tahun karena sebelum

menginjak usia 2 tahun, tubuh masih memiliki HbF untuk kompensasi.

Untuk pengobatan kuratif thalasemia beta hingga saat ini belum ditemukan,

sehingga pengobatan dapat dilakukan secara simtomatik. Seperti pada pasien ini yang

memiliki kadar hemoglobin rendah, dapat diberikan kantong darah untuk memperbaiki

keadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Maharani EA, Soedarmono YSM, Nainggolan IM. Frequency of thalassemia
carrier and Hb variant and the quality of stored donor blood. Med J Indones.
2014 Nov 1;23(4):209–12.

2. Lie-Injo LE, Cai SP, Wahidijat I, Moeslichan S, Lim ML, Evangelista L, et al.
β-thalassemia mutations in Indonesia and their linkage to β haplotypes. Am J
Hum Genet. 1989;45(6):971–5.

3. Pdf TP, Journal O, Diseases R, Galanello R, Origa R, Article I, et al. Orphanet


Journal of Rare Beta-thalassemia. 2010;

4. Modell CB. Haemoglobinopathies. The pathophysiology of beta-thalassaemia


major. J Clin Pathol Suppl (R Coll Pathol). 1974;8:12–8.

5. Jameel T, Baig M, Ahmed I, Hussain MB, Alkhamaly M bin D. Differentiation


of beta thalassemia trait from iron deficiency anemia by hematological indices.
Pakistan J Med Sci. 2017 May 1;33(3):665–9.

6. Alam SLS, Purnamasari R, Bahar E, Rahadian KY. Mentzer index as a


screening tool for iron deficiency anemia in 6-12-year-old children. Paediatr
Indones. 2014 Oct 30;54(5):294.

7. Siswandari W, Rujito L, Indriani V, Djatmiko W. Mentzer Index Diagnostic


Value in Predicting Thalassemia Diagnosis. IOP Conf Ser Earth Environ Sci.
2019;255:12004.

8. Wirawan R, Setiawan S, Gatot D. Peripheral blood and hemoglobin


electrophoresis pattern in beta thalassemia major patients receiving repeated
blood transfusion. Med J Indones. 2004 Jan 1;13(1):8–16.

9. Harteveld CL, Higgs DR. Diagnosing Thalassemia With Electrophoresis.


Orphanet J Rare Dis. 2010;5(13):1–21.
10. Galanello R, Origa R. Beta-thalassemia Clinical Signs & Symptomps.
Orphanet J Rare Dis. 2010 Dec 21;5(1):11.

11. Olivieri NF, Brittenham GM. Management of the thalassemias. Cold Spring
Harb Perspect Med. 2013 Jun;3(6).

12. Chonat S, Quinn CT. Current standards of care and long term outcomes for
thalassemia and sickle cell disease. In: Advances in Experimental Medicine
and Biology. Springer New York LLC; 2017. p. 59–87.

Anda mungkin juga menyukai