Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Topik : Glomerulonefritis Pasca Streptococcus (GNAPS)


Penyusun : Yayu Puji Astuti, S.Ked

I. Identitas Pasien

Nama : An. TB.L


Umur : 8 Tahun 3 Bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
TTL : Serang, 2 November 2006
Agama : Islam
Alamat : Kadu Beruk
Masuk RS : 10 Februari 2015
Nama Ayah : Tn. TB.R
Pekerjaan : Karyawan
Pendidikan : Tamat S1

1
II. Anamnesis
Dilakukan secara anamnesis dan alloanamnesis dengan pasien dan ayah pasien pada tanggal
10 Februari 2015

a. Keluhan utama :
Bengkak pada wajah, kedua tangan dan kedua kaki sejak emapat hari SMRS
b. Keluhan tambahan :
Mencret, nafsu makan berkurang

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang diantar keluarganya ke Poli Anak RSUD Serang tanggal 10 Februari 2015
dengan keluhan bengkak pada wajah, kedua tangan, dan kedua kaki sejak Jumat, 6 Februari
2015 (4 hari SMRS). Awalnya bengkak timbul pada kelopak mata pasien lalu terutama
terasa pagi hari kemudian menyebar di seluruh bagian wajah, lalu bengkak timbul ke tangan
dan kedua kakinya. Bengkak yang dirasakan muncul secara tiba-tiba, dan dirasa semakin
membengkak Keluhan panas atau nyeri pada bagian yang bengkak disangkal oleh pasien.
Adanya keluhan batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan diakui pasien 3 hari sebelum bengkak.
Namun adanya infeksi kulit (koreng) di kaki kanan sudah ada sejak sekitar ±1 bulan sebelum
bengkak.

Pasien mengatakan tidak terdapat keluhan seperti nyeri kepala, muntah, pingsan,
pandangan ganda/ buram, lemah pada bagian tubuh, kejang, ataupun sesak nafas. Selain itu,
keluhan nyeri saat BAK, BAK sedikit, panas, BAK berwarna merah segar ataupun merah
seperti cucian daging disangkal. Pasien tidak pernah memiliki riwayat kencing berpasir,
ataupun anyang-anyangan.

Selain bengkak, pasien juga mengatakan terdapat BAB mencret (+) yang baru dialami
hari ini, 1x, konsistensi lembek seperti bubur berwarna kekuningan. Dan pasien juga
mengeluh nafsu makan berkurang.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat penyakit hipertensi disangkal.
Riwayat hiperkolesterol disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat ISK disangkal
Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat penyakit hipertensi disangkal.
Riwayat alergi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien adalah anak ke-4 dari 4 bersaudara dari Tn.TB.R yang bekerja sebagai
karyawan, dan Ny.Y yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Secara ekonomi, keluarga
pasien tergolong ekonomi menengah. Pasien merupakan peserta BPJS.

Riwayat Lingkungan:

Tinggal dirumah milik sendiri. Terdapat 4 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Ventilasi
baik, jendela cukup, cahaya matahari cukup masuk rumah, air minum dan air mandi berasal
dari air PAM. Rumah pasien terletak di rumah padat penduduk. Di sekitar perumahan
sanitasi yang cukup baik terdapat selokan yang jarang dibersihkan. Di rumah pasien tidak
terdapat hewan peliharaan.

Riwayat Persalinan dan Kehamilan :


Pasien lahir secara normal ditolong oleh bidan dengan usia kehamilan sesuai dengan
perkiraan kelahiran. Berat badan lahir pasien 4 Kg. Ibu pasien tidak pernah mendapatkan
imunisasi saat hamil. Riwayat pengobatan saat hamil, ibu pasien hanya meminum vitamin
untuk kehamilan saja dari bidan.

3
Riwayat Perkembangan :
Pertumbuhan gigi I : ± 6 bulan
Tengkurap : ± 3 bulan
Duduk : ± 6 bulan
Berjalan : ± 12 bulan
Bicara : ± 15 bulan
Membaca dan menulis : ± 3 tahun
Kesan : Perkembangan anak sesuai usia

Riwayat Imunisasi :
BCG : Ya
Polio 1,2,3,4 : Ya
DPT 1,2,3 : Ya
Hepatitis B 1,2 : Ya
Campak : Ya
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

III. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 10 Februari 2015

 Keadaan umum : Sedang


 Kesadaran : Compos mentis
 Berat badan : 25 Kg
 Tinggi badan : 122 cm
BB 25 25
 Status Gizi : IMT¿ 2
¿ 2 ¿ = 16,79
TB 1,22 1,4884
BMI for Age 0 – (-1) Normal
Height for age : < 0
Weight forage : > 0
 Tanda Vital : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Laju napas : 28 x /menit

4
Suhu : 36,0° C (axilla)
I. Status generalis
a) Kepala : Normocephale, wajah bengkak (+)
b) Rambut : Warna rambut hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
c) Mata : Konjungtiva anemis ( - /- ), Sklera ikterik ( - / - ),
Edema palpebra (+/+)
d) Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret -/-
e) Telinga : Bentuk normal, Discharge ( - / - )
f) Mulut : Bibir kering ( - ), Bibir sianosis ( - )
g) Tonsil : T1-T1 tenang
h) Leher : Simetris, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
i) Thorax : Inspeksi
Cor : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Pulmo : Pergerakan kedua hemithorax simetris saat statis
dan dinamis. Retraksi (-)
Palpasi
Cor : Ictus cordis tidak teraba
Pulmo : Fremitus taktil simetris kanan dan kiri
Fremitus vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi
Cor : Batas atas jantung ICS 2 line parasternal kanan
Batas kanan jantung ICS 4 linea para sternal kiri
Batas kiri jantung ICS 4 linea midclavicula kiri
Pulmo : Sonor pada lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi
Cor : BJ I & II reguler, Gallop ( - ), Murmur ( - )
Pulmo : Bronkoves +/+ , Rhonki-/-, Wheezing -/-
j) Abdomen : Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus ( + ) normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen.
Shifting dullness (-)

5
Palpasi : Undulasi (-) Ballotement (-) hepar dan lien tak teraba
k) Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
l) Ekstremitas :

Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Akral sianosis -/- -/-
Edema -/- +/+
Capillary Refill < 2 detik < 2 detik

IV. Pemeriksaan penunjang

Tanggal 10/02/15 Jam 14:05

Pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 11,10 g/dl 10,8 - 15,6 g/dl

Leukosit 8.040 /uL 4400 – 11000 /uL

Hematokrit 35,2 % 33 – 45 %

Trombosit 294.000 / uL 150.000 - 440.000 /uL

Netrofil batang 0% 3–6%

Netrofil segmen 67 % (↑) 25 – 60 %

Limfosit 22 % (↓) 25-60 %

Monosit 10 % (↑) 1-6%

Eosinofil 1% 1–5%

Basofil 0% 0–1%

Kimia Darah

6
Protein total 7.7 g/dl 6 – 8 g/dl

Albumin 3,5 g/dl 3,2 - 5,2 g/dl

Globulin 4,2 g/dl 2,5 – 5 g/dl

Ureum 47 mg/dl (↑) 6 – 46 mg/dl

Creatinin 0,6 mg/dl 0,6 - 1,5 mg/dl

Serologi

ASTO (+)/pos Negatif

CRP (Kuantitatif) < 5,0 mg/dL <10

Urine

Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Keruh Jernih
Berat jenis 1,025 1,015 - 1,035
Ph 6 4,5 - 8
Albumin (+) positif Negatif
Glukosa Neg Negatif
Keton Neg Negatif
Bilirubin Neg Negatif
Darah samar +++ Negatif
Nitrit Neg Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Sedimen
Leukosit 4 – 5 /LPB 1 – 4 /LPB
Eritrosit 20 – 25 /LPB 0 -1 /LPB
Epitel (+) positif +
Silinder 0 – 1 /LPK Negatif
Jenis Hyaline Tidak ditemukan

7
Kristal - Negatif
Jenis - Tidak ditemukan
Bakteri - Negatif
Jamur (-) negatif Negatif

Tanggal 14/02/15 Jam 10.00

Pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan

Urine

Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Keruh Jernih
Berat jenis 1,010 1,015 - 1,035
Ph 5 4,5 - 8
Albumin Neg Negatif
Glukosa Neg Negatif
Keton Neg Negatif
Bilirubin Neg Negatif
Darah samar +++/pos3 Negatif
Nitrit Neg Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Sedimen
Leukosit 3 – 5 /LPB 1 – 4 /LPB
Eritrosit 30 – 40 /LPB 0 -1 /LPB
Epitel (+) positif +
Silinder - Negatif
Jenis Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Kristal - Negatif
Jenis - Tidak ditemukan
Bakteri ++/pos2 Negatif

8
Jamur (-) negatif Negatif
V. Pemeriksaan Anjuran:
- Pemeriksaan komplemen C3
- Foto thorax AP

VI. Diagnosis :

GNAPS

VII. Diagnosis Banding

Nefritis IgA

VIII. Penatalaksanaan:

- Amoxicillin 2x1 tab


50mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 dosis
- Lasix 2x25 mg
Dosis furosemid 1-3 mg/kgBB/hr = 2 x 25 = 50 mg (dibagi 2 dosis)
- Diet nefritis RG 3x
- Periksa TD 3x/hr
IX. Prognosa :

 Quo ad vitam : ad bonam

 Quo ad functionam : ad bonam

 Quo ad santionam : dubia ad bonam

9
Follow Up

Tanggal Follow Up Terapi

11/02/2015 S/ Bengkak(+) BAB mencret 1x pagi ini


 Amoxicillin 2x1 tab
O/
 Lasix 2x25 mg
BB: 25 Kg KU : Sedang KS : Compos Mentis  Diet nefritis RG 3x
TD : 130/70 mmHg N : 80 x/menit  Periksa TD 3x/hr

T : 36,3 ͦC R : 24 x/
enit

Kepala : Normocephal, wajah edema (+)


Mata : Ca -/- Si -/- Edema palpebra +/+
Hidung : PCH (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : Pemb KGB (-)
Thorax : SSD
Cor : S1S2 Reg Murmur (-) Gallop (-)
Pulmo : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abd : Bu (+) Shifting dullnes (-)
Ballotement (-) hepar dan lien tak
teraba
Ext - -
+ +
: Akral hangat, Edema

 Captopril 3x7,5 mg
 Lasix 2x25 mg

Jam 21.00 WIB  TD: 170/100

*pasien mengaku makan nasi padang

10
Tanggal Follow Up Terapi

12/02/2015 S/ Bengkak (-) lemas (+) mencret (-)


 Amoxicillin 2x1 tab
O/
 Captopril 3x7,5 mg
BB: 25 Kg KU : Sedang KS : Compos Mentis (pulv)
TD : 130/100 N : 64 x/menit  Lasix 2x25 mg
mmHg  Diet nefritis RG 2000
T : 35,5 ͦC R : 24 x/menit kkal

I: 1500  Periksa TD 3x/hr

O: 700+500

B: +300

Kepala : Normocephal, wajah bengkak


(-)
Mata : Ca -/- Si -/- Edema palpebra -/-
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-) sianosis (-)
Leher : Pemb KGB (-)
Thorax : SSD, retraksi (-)
Cor : S1S2 Reg Murmur (-) Gallop (-)
P : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
lmo
Abd : Bu (+) hepar dan lien tak teraba,
shifting dullness (-)
Ext - -
- -
: Akral hangat, Edema

11
Tanggal Follow Up Terapi

13/02/2015 S/ Bengkak (-) lemas (-) mencret (-)


 Amoxicillin 2x1 tab
O/
 Captopril 3x7,5 mg
BB: 25 Kg KU : Baik KS : Compos Mentis (pulv)
TD : 110/70 mmHg N : 88 x/menit  Lasix 2x25 mg

T : 36,1 ͦC R : 20 x/menit  Diet nefritis RG 2000


kkal
I: 360
 Periksa TD 3x/hr
O: 750 + 500

B: -890 *9 jam

Kepala : Normocephal, wajah bengkak


(-)
Mata : Ca -/- Si -/- Edema palpebra -/-
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-) sianosis (-)
Leher : Pemb KGB (-)
Thorax : SSD
Cor : S1S2 Reg Murmur (-) Gallop (-)
Pulmo : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abd : Bu (+) Shifting dullnes (-) hepar
dan lien tak teraba
Ext - -
- -
: Akral hangat, Edema

12
Tanggal Follow Up Terapi

14/02/2015 S/ Bengkak (-) lemas (-) mencret (-)

O/ BLPL
BB: 25 Kg KU : Baik KS : Compos Mentis
 Amoxicillin 3x1 tab
TD : 100/60 mmHg N : 96 x/menit
 Captopril 3x7,5 mg
T : 35,3 ͦC R : 20 x/menit (pulv)

I: 480  Control poliklinik

O: 500+500

B: -520 *9 jam

Kepala : Normocephal, wajah bengkak


(-)
Mata : Ca -/- Si -/- Edema palpebra -/-
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-) sianosis (-)
Leher : Pemb KGB (-)
Thorax : SSD
Cor : S1S2 Reg Murmur (-) Gallop (-)
Pulmo : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abd : Bu (+) Shifting dullnes (-) hepar
dan lien tak teraba
Ext - -
- -
: Akral hangat, Edema

13
BAB II

ANALISA KASUS

1. Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat ? Sudah


Diagnosis GNAPS didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Pada kasus ini diagnosa GNAPS, ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesa :
Pada teori : Adanya riwayat infeksi streptokokus sebelumnya seperti silitis, atau
pioderma. Pada umumnya, periode laten selama 1-2 minggu setelah faringitis dan 3-6
minggu setelah infeksi kulit, edema periorbital, gejala nonspesifik, dan urin yang
bewarna gelap.
Pada kasus : Pasien terdapat koreng yang dirasakan pasien 30 hari yang lalu (26
hari sebelum timbulnya bengkak). Bengkak dikeluhkan pasien sejak 4 hari SMRS.
Bengkak pertama kali di kelopak mata, lalu keesokan harinya bengkak pada wajah
sampai ke kedua tangan dan kaki. Selain itu pasien juga mengeluh BAB mencret.
Nafsu makan berkurang. BAK cokelat seperti warna cucian daging (-)
2. Pemeriksaan Fisik :
Pada teori:
Ditemukannya tekanan darah yang tinggi. Bila disertai dengan hipertensi, dapat
timbul nyeri kepala. Demam tidak selalu ada. Pada kasus berat (GN destruktif) dapat
timbul proteinuria masif (sindrom nefrotik), edema anasarka atau asites, dan berbagai

14
gangguan fungsi ginjal yang berat. Oliguria,tampak pada 10-50% kasus, pada 15%
output urin <200ml, dan disfungsi ventrikel kiri
Pada kasus: Pada pengukuran tekanan darah pasien TB.L adalah 130/80 mmHg,
dan TD tertinggi adalah 170/100, namun tidak mengeluh adanya nyeri kepala.
Demam (-). Edema hanya pada kelopak mata dan seluruh wajah. BAK cokelat seperti
warna cucian daging (-) dan volumenya sehari sekitar sekitar 750 cc (per 9 jam)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada teori: Dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, dan
pemeriksaan pecitraan.
Laboratorium : Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberikan antimikroba.
Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk
membuktikan adanya infeksi streptokokus, antara lain antistreptozim, ASTO,
antihialuronidase, dan anti Dnase B. Serum kreatinin umumnya kembali normal pada
minggu ke emapat, tetapi hematuria dapat bertahan selama 6 bulan dan proteinuria
ringan dapat muncul dalam beberapa tahun. Pada pemeriksaan serologi didapatkan
penurunan komponen serum CH50 dan konsentrasi serum C3. Penurunan C3 terjadi
ada >90% anak dengan GNA PS. Pada urinalisis menggambarkan abnormalitas,
hematuria dan proteinuria muncul pada semua kasus. Pada sedimen urin terdapat
eritrosit, leukosit, granular. Terdapat gangguan fungsi ginjal sehingga urin menjadi
lebih terkonsentrasi dan asam.
Pemeriksaan Pencitraan : Foto toraks dapat menunjukkan Congestif Heart Failure.
Pada penelitian Akbar dkk di Ujung Pandang pada tahun 1980-1990 pada 176 kasus
didaptkan gambaran radiologis berupa kardiomegali 84,1%, bendungan sirkulasi paru
68,2 % dan edem paru 48,9%
Pada kasus : pada pasien dikasus selama perawatan tidak dilakukan biakan
tenggorokan. Hanya dilakukan uji serologis terhadap antigen streptococcus yaitu
ASTO. ASTO pada pasien + menunjukkan adanya infeksi Streptococcus. Pada hasil
pemeriksaan urinalisa tanggal 10 Februari 2015 urin kuning keruh menandakan
bahwa telah terjadi penurunan tekanan onkotik yang ditandai dengan protein-albumin
yang +1 pada pemeriksaan urin. Darah samar +3, serta eritrosit 20-25 menunjukkan

15
adanya hematuria pada pasien. Hematuria pada pasien terjadi karena adanya
kerusakan pada membran basalais ginjal. Ginjal merupakan salah satu organ paling
vital dimana fungsi ginjal sebagai tempat membersihkan darah dari berbagai zat hasil
metabolisme tubuh dan berbagai racun yang tidak diperlukan tubuh serta dikeluarkan
sebagai urine dengan jumlah setiap hari berkisar antara 1-2 liter. Selain fungsi
tersebut, ginjal berfungsi antara lain mempertahankan kadar cairan tubuh dan
elektrolit (ion-ion), mengatur produksi sel-darah merah.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan foto thoraks.

2. Mengapa palpebral lebih terasa bengkak pagi hari?


Hal ini dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu:

a. Anatomi palpebra tersusun oleh jaringan kulit yang tipis dan longgar  cairan
mudah terakumulasi disana
b. Gravitasi : posisi tidur dalam keadaan sejajar sehingga cairan berkumpul di
daerah orbita

3. Bagaimana bengkak dan hipertensi dapat terjadi pada pasien ini?


Bengkak atau edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel
tubuh atau dalam berbagai rongga tubuh yang disebabkan oleh perpindahan cairan
ekstrasel ke kompartemen cairan interstitial. Empat mekanisme dasar yang terjadi
pada edema :

1. Peningkatan tekanan hidrostatik (mis. gagal jantung kongestif)

2. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah (mis. radang akut)

3. Penurunan tekanan osmotik (mis. hipoalbuminemia)

4. Obstruksi limfatik (mis.mastektomi dngan pengangkatan kelenjar getah bening)

16
Namun penyebab TD pasien mencapai 170/100 adalah makanan padang yang dikonsumsi
pasien.
4. Apakah tatalaksana hipertensi pasien ini sudah tepat? Sudah

Istilah Batasan

Normal TD sistolik dan diastolik <90 persentil menurut umur dan jenis kelamin

Normal-tinggi* Rata-rata TD sistolik dan disatolik diantara 90 dan 95 persentil menurut


umur dan jenis kelamin

Hipertensi Rata-rata TD sistolik dan diastolik >95 persentil menurut umur dan jenis
kelamin pada pengukuran tiga kali berturut-turut

Menurut The Second Task Force on Blood Pressure Control in Children

*Jika tekanan darah yang terbaca normal-tinggi untuk umur, tetapi anak lebih tinggi atau
massa otot berlebih untuk umurnya, maka anak ini dianggap mempunyai nilai tekanan
darah yang normal.

Tabel Kriteria Derajat Hipertensi berdasarkan Kenaikan Tekanan Diastolik diatas Tekanan
Diastolik Normal sesuai dengan Umur
Derajat Presentase Umur (tahun)
Hipertensi kenaikan di atas 1-5 6-12

17
batas normal Td D (mmHg) Td D (mmHg)/
Ringan 5-15% 75-85 90-100
Sedang 15-30% 85-95 100-110
Berat 30-50% 95-112 110-120
Krisis >50% >112 >120

Pengobatan hipertensi non-krisis: (1) bila tekanan Diastolik 90-100 mmHg diberikan
Furosemid (2) pada tekanan diastolik 100-120 mmHg diberikan furosemid ditambah captopril
(3) jika tekanan darah diastolik belum turun, ditambah dengan pengobatan antihipertensi
golongan beta bloker atau golongan lain.
Kriteria krisis hipertensi adalah : (1) Tekanan sistolik ≥ 180mmHg dan/atau (2) Diastolik
≥120mmHg, atau (3) setiap kenaikan tekanan darah yang mendadak dan disertai gejala
ensefalopati hipertensif, gagal ginjal, gagal jantung maupun retinopati.
Pengobatan pada krisis hipertensi dapat diberika (1) Nifedipin dengan dosis 0,1
mg/kgBB/kali peroral. Bila tekanan darah tidak turun dinaikkan 0,1/mg/kgBB/kali setiap 30
menit dengan dosis maksimal 10 mg/kali. Bila belum turun ditambahkan furosemid 1
mg/kgBB/kali sebanyak 2x/hari. Pemberian harus disertai pemberian captopril 0,3 mg/kgBB/kali
sebanyak 2-3 kali/hari. (2) klonidin drip diberikan sebanyak 0,002 mg/kgBB/ba jam dalam
100ml Dekstrosa 5%. Deberikan dengan tetesan awal 12 mirkodrip.menit, bila belum turun
dinaikkan 6 mikrodrip/menit setiap 30 meniti, dengan maksimum pemberian 36 mikrodrip/menit.
Bila belum turun ditambah captopril 0,3 mg/kgBB/kali sebanyak 2-3x/hari, maksimum
pemberian 2 mg/kg/kali. Diberikan bersama furosemid 1 mg/kgBB/kali sebanyak 2x/hari.
5. Apa indikasi rawat pasien GNAPS?
Rawat inap ditujukan terhadap penyakit yang mendasari dan komplikasi yang ditimbulkan.
1. Tindakan umum
 Istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala edema dan kongesti vaskuler (dispnu,
edema paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang.
2. Pengobatan terhadap penyakit penyebab
a. GNAPS tanpa komplikasi berat
o Diuretika

18
Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah garam,
diberikan furosemide 1-2 mg/kg BB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema
dan tekanan darah turun.
o Antihipertensif
Bila hipertensi dalam derajat sedang sampai berat disamping pemberian diuretika
ditambahkan obat antihipertensif oral (propranolol atau kaptopril).
o Antibiotika
Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis
selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
b. Pengobatan GNAPS dengan komplikasi berat
o Kongesti vaskuler (edema paru, kardiomegali, hipertensi)
 Pemberian oksigen
 Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/kgBB/kali)
Antihipertensif oral (kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali 2-3 kali pemberian/hari)
Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian digitalis.
o Gagal ginjal akut
o Ensefalopati hipertensi
o Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik). Merupakan bentuk GNAPS
berat yang ditandai serangan hematuria makroskopis, perburukan fungsi ginjal
yang berlangsung cepat dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai gambaran
glomerular crescent.
Disamping penanggulangan hipertensi gagal ginjal diberikan pula pulse
methylprednisolon.
o 15 mg/kgBB metil prednisolon (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus sekitar 60-
90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau
 Tanda-tanda fungsi vital (denyut nadi, tekanan darah, pernafasan)
 Kadar elektrolit
o Lanjutkan dengan metil prednisolon oral, 2 mg/kgBB/hr selama 1 bulan. Lalu
dosis prednisolon diberikan secara alternate 2 mg/kgBB/ 2 hari selama 1 bulan,

19
kemudian dilanjutkan separo dosis dengan interval 1 bulan, setelah diberikan 0,2
mg/kg sekali 2 hari selama 1 bulan lalu obat dihentikan.
Tindak lanjut :
o Timbang berat badan 2 kali seminggu.
o Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari.
o Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada, kemudian 1 kali
sehari bila tekanan darah sudah normal.
o Pemeriksaaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai dirawat, diulangi 1
kali seminggu atau saat penderita atau saat penderita mau dipulangkan. Urinalisis
minimal 2 kali seminggu selama perawatan. Perlu dilakukan biakan urine untuk
mencari kemungkinan adanya ISK. Bila ditemukan diobati sesuai dengan hasil
sensitifitas.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan saat dirawat dan waktu dipulangkan.
6. Indikasi pulang pasien GNAPS?
• Diuresis normal, biasanya 7-10 hari setelah awal penyakit)
• Hilang sembab
• TD normal kembali
• Fungsu ginjal (Ur, Cr) membaik (biasanya dalam 1 minggu)
• Tidak tampak tanda peningkatan TIK
• Muntah
• Nyeri kepala
• Penurunan kesadaran
• Dapat dimonitoring saat rawat jalan
7. Perlukah dipasang infus pada pasien ini?
Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%.
Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan kebutuhan, sedangkan bila
ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oligouria,maka jumlah cairan
yang diberikan harus dibatasi.
8. Bagaimana memonitoring pasien rawat jalan?
a. 0-6 minggu setelah onset : hipertensi telah terkontrol, edema sudah perbaikan, gros
meaturia semakin membaik, azotemia telah membaik.
b. 8-10 minggu setelah onset : azotemia telah hilang, anemia telah terkoreksi, Hipertensi
telah membaik, C3 dan C4 telah kembali ke nilai normal.

20
c. 3,6,9 bulan setelah onset : Hematuria dan proteinuria telah menghilang sedikit demi
sedikit, tekanan darah telah kembali normal.
d. 12 bulan setelah onset : proteinuria telah menghilang, hematuria mikroskopik telah
menghilang.
e. 2,5 dan 10 tahun setelah onset : urin telah normal, tekanan darah dan kada keratinin
serum telah normal.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.3.1.    DEFINISI

Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus 


(GNAPS) adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (azotemia). Merupakan proses radang non-supuratif yang
mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe
nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak.

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap
bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam
penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu
mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya
korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit
dan prognosis.

3.3.2.  ETIOLOGI

Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup
A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-

21
14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar
10-15%.

Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa:

1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina


2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.

Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari
streptokokus, penyebab lain diantaranya:

1. Bakteri  :    streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus,


Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll

2. Virus    :    hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis


epidemika dl

3.   Parasit      : malaria dan toksoplasma

Streptokokus

Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk
pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang
heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh Streptococcus
hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes

S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:

a.     Sterptolisin O

22
adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan tereduksi
(mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Sterptolisin O
bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong cukup
dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisn O bergabung
dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap
sterptokokus yang menghasilkan sterptolisin O. antibody ini  menghambat hemolisis oleh
sterptolisin O. fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum
antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan
adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi
setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas.

b. Sterptolisin S

Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus yang tumbuh
pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat
oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan dan tidak
bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus.

Gambar 6. Bakteri Sterptokokus

23
Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan
diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan glomerulonefritis.

3.3.3.   PATOFISIOLOGI

Sebenarnya bukan streptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga


terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang merupakan unsur
membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan
bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
membran basalis, selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan
yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis
dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM).
Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel
mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk
oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-
antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai
bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan
cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN

Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi
hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap
di membran basalis glomerulus. Aktivasi komplemen yang menyebabkan destruksi pada
membran basalis glomerulus.

Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan mediator


utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar
dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau
menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam
kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah
atau gumpalan karateristik pada mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan

24
miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul
antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2
sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh
imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap
IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah
yang kemudian mengendap di ginjal.

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya
GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin
ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem
komplemen.

Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan
mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara sel-sel
endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks
terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek
imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran
basalis glomerulus berangsur- angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam
membran basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks


imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari
kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil
cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding
kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian
mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.

25
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen
bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik.
Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan
kerusakan dapat ringan dan berlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post
steroptokokus.

Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis
sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis


glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis
ginjal.

3.3.4.   PREVALENSI

GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada golongan umur
5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain menyebutkan paling sering ditemukan
pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki
laki dua kali lebih sering dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan
adalah 2:1. Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku
atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan prevalensi
meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga lingkungan tempat tinggalnya
tidak sehat.

3.3.5.   GEJALA KLINIS

Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak


jarang anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus

26
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-
kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya
edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium,
zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.

Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari
sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota GFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal)
akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari
sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada
berat peradangan glomerulus, apakah disertai dnegan payah jantung kongestif, dan seberapa
cepat dilakukan pembatasan garam.

Gambar 7.proses terjadinya proteinuria dan hematuria

Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada
akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka
tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan
penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada
hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang

27
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare
tidak jarang menyertai penderita GNA

Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang.
Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih
belum diketahui dengna jelas.

3.3.6.   GAMBARAN LABORATORIUM

Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria makroskopik


ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik,
leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-
lain. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal
seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tampak adanya
proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplomen hemolitik total serum (total
hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi
C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien.
Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.

Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus


dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan C3 tidak berhubungan
dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai kadar normal
kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada
glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.

Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit.
Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap antigen
sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antisterptozim,
ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup bermanfaat oleh
karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin
O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun
beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap

28
lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus
menunjukkan adanya infeksi sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada
awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan
secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.

Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3. kompleks
imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak
perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.

3.3.7.   DIAGNOSIS

Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan


gejalan klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut
setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya
infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis 
akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik.
Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera setelah
infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria
makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitas (synpharyngetic
hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari
setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-IgA.

Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria


makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang
menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membrano proliferatif, nefritis lupus, dan
glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut
pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit.

29
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya  cepat membaik
(hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria  masih
lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada
glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan
tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
glomerulonefritis kronik  yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu
6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada glomerulonefritis yang
lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd.

Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat


infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis
membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan
terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi.

3.3.8.   DIAGNOSIS BANDING

GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah :

1.   Nefritis IgA

Kecurigaan kearah nefropati IgA pada seorang anak dibuat bila timbulnya serangan
hematuria makroskopik secara akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan dengan
ISPA. Hematuria makroskopik biasanya bersifat sementara dan menghilang bila ISPA mereda,
namun akan berulang kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA.
Diantara 2 episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala, kecuali hematuria mikroskopik
dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan. Kadar IgA serum biasanya meningkat pada 10-20% dari
jumlah kasus yang telah dilaporkan, kadar komplemen (C3 dan C4) dalam serum biasanya
normal. Diagnosis pasti biasanya dibuat berdasarkan biopsi ginjal.

2. Lupus nefritis

30
Lupus nefritis adalah peradangan ginjal yang disebabkan oleh lupus eritematosus sistemik (SLE),
penyakit dari sistem kekebalan tubuh. SLE biasanya menyebabkan kerusakan pada kulit, sendi,
ginjal, dan otak.

Penyebab dari lupus tidak diketahui. Banyak faktor yang mungkin memainkan peran, termasuk

 SLE lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria


 keturunan-a gen diwariskan oleh orang tua
 infeksi
 virus

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan : Alopesia, butterfly rash, discoid lupus
photosensitivity, ulkus pada mulut / nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen,
asites, splenomegali.

Pemeriksaan laboratorium :

Darah tepi : Anemia normositik normokrom, retikulositosis, trombositopenia, leukopenia, waktu


protrombin / waktu tromboplastin partial biasanya memanjang. Imunoserologis : Uji Coomb (+),
Sel LE (+).

Diagnosis dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan gambaran biopsi
ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan sampai yang berat berupa
proliferatif difusa.

3. Glomerulonefritis kronis

Glomerulonefritis kronis merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penyakit pada
glomerulus ginjal dan penurunan progresif fungsi ginjal untuk waktu yang lama atau dapat
dikatakan suatu kelainan dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal
selama bertahun-tahun. Merupakan glomerulonefritis tingkat akhir (“end stage”) dengan
kerusakan jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi sehingga menimbulkan gangguan
fungsi ginjal yang irreversible.

31
Timbulnya GNK didahului oleh infeksi akut ekstra renal, terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus beta hemolitikus gol A. Faktor lain yang dapat
menyebabkan adalah faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi.

Glomerulonefritis kronis ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat


akibat  glomerulonefritis yang berlangsung lama. Gejala utama yang ditemukan adalah :
1.      Kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi gagal ginjal.
2.      Hematuri
3.      Edema, penurunan kadar albumin
4.      Hipertensi, Kadang-kadang ada serangan ensefalopatihipertensi
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
1.      Urinalisis
2.      Pemeriksaan darah lengkap
3.      Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan memastikan
diagnosis.

3.3.9.    PENATALAKSANAAN

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.

1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu
untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis
seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini
sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg

32
BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan
usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat
dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. Diuretikum diberikan pada glomerulonefritis akut, dengan pemberian furosemid (Lasix)
secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen

3.3.10.   KOMPLIKASI

1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.

33
2. Krisis Hipertensi dan ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena
hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, edema paru,
pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung
dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun.

2.3.11.   PROGNOSIS

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan


penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis
akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya
sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum,
kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen
serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat
selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.

Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok yang


terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna sangat
baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang
persisten. Sebaliknya prognosis glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa kurang baik.

Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut pascastreptokok


baik. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang
secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih dan hematuria
mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada

34
kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis  kresentik ekstra-kapiler dan gagal
ginjal kronik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Husein Alatas, 2002, Buku Ajar Nefrologi Anak Ed 2, FKUI: IDAI: Jakarta.
2. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15,
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus, EGC: Jakarta. Hal: 1813-1814
3. Noer MS,Soemyarso N.Hipertensi.Bagian Ilmu Kesehatan Anak UNAIR Surabaya.
[Internet]. Diunduh dari URL:http://www.pediatrik.com/isi03.php

35

Anda mungkin juga menyukai