Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang

disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.1,2

Di Indonesia, saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan penyakit

endemik, terutama di kota-kota besar yang padat penduduknya, seperti halnya di

negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Hal ini berhubungan erat dengan

keadaan sanitasi, kebiasaan higiene yang tidak memuaskan dan tingkat pendidikan

yang rendah.3,4

Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-

undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini

merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak

orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.1 Penderita anak biasanya berumur di

atas satu tahun.5

Etiologi demam tifoid adalah kuman Salmonella typhi, basil gram negatif,

bergerak dengan rambut getar, dan tidak berspora.5 Ada dua sumber penularan

Salmonella typhi, yakni pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah

pembawa. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per gram

tinja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan

yang tercemar oleh pembawa merupakan sumber penularan yang paling sering.

Pembawa adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus

1
mengekskresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu

tahun.1

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala yang

timbul amat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,

tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran

penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran

penyakit khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa

seorang ahli yang sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk

membuat diagnosa klinis demam tifoid.1 Adapun gejala klinis yang umumnya

terjadi adalah demam 5 hari atau lebih, gangguan pencernaan, dan gangguan

kesadaran.6

Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal

dengan 5F yaitu (food, finger, fomitus, fly, feses) Feses dan muntahan dari

penderita demam tifoid dapat menularkan bakteri Salmonella typhi kepada orang

lain. Kuman tersebut ditularkan melalui makanan atau minuman yang

terkontaminasi dan melalui perantara lalat, di mana lalat tersebut akan hinggap di

makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang

memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang

tercemar oleh bakteri Salmonella typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui

mulut selanjutnya orang sehat tersebut akan menjadi sakit. Secara epidemiologis,

penyebaran penyakit berbasis lingkungan dikalangan anak sekolah di Indonesia

tergolong sangat tinggi. Terjadinya infeksi, seperti diare, demam berdarah dengue,

cacingan, demam tifoid serta berbagai dampak negatif akibat buruknya sanitasi.

2
Demam tifoid dapat menganggu dan menjadi persoalan utama sekaligus

berpotensi mengakibatkan keadaan bahaya jika menganggu aktivitas sehari-hari

sebab dalam interaksi setiap hari banyak terjadi kontak secara langsung maupun

tidak langsung yang dapat menyebabkan terjadinya penularan dan penyebab

penyakit. Terjadinya kejadian penyakit infeksi di negara berkembang khususnya

demam tifoid dihubungkan dengan masih rendahnya status sosial ekonomi dan

rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki kebanyakan masyarakat. masyarakat

sehingga keadaan kesehatan lingkungan buruk dan status kesehatan menjadi

semakin buruk. Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar

Salmonella typhi, maka setiap individu diharapkan untuk memperhatikan kualitas

makanan atau minuman yang akan dikonsumsi. Bakteri Salmonella typhi akan

mati dalam air yang dipanaskan dengan suhu tinggi yakni 57° C dalam beberapa

menit atau dengan proses iodinasi atau klorinasi. Pencegahan demam tifoid

melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak cukup besar

terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid. Data World Health

Organization (WHO) pada tahun 2009, memperkirakan terdapat 17 juta kasus

demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap

tahun Case Fatality Rate (CFR) = 3,5%. Berdasarkan Laporan Ditjen Pelayanan

Medis Departemen Kesehatan RI tahun 2008, demam tifoid menempati urutan ke

2 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di Rumah Sakit di Indonesia

dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15% (Depkes RI, 2009).

Prevalensi tertinggi demam tifoid di Indonesia terjadi pada kelompok usia 5–14

tahun. Pada usia 5–14 tahun merupakan usia anak yang kurang memperhatikan

3
kebersihan diri dan kebiasaan jajan yang sembarangan sehingga dapat

menyebabkan tertular penyakit demam tifoid. pada anak usia 0–1 tahun

prevalensinya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia lainnya

dikarenakan kelompok usia ini cenderung mengkonsumsi makanan yang berasal

dari rumah yang memiliki tingkat kebersihannya yang cukup baik dibandingkan

dengan yang dijual di warung pinggir jalan yang memiliki kualitas yang kurang

baik.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. NQ

Tanggal Lahir : 30/01/2010

Umur : 8 tahun 11 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jln Anggur Blok C

Agama : Islam

Ruangan : Dahlia

IDENTITAS ORANG TUA/WALI :

AYAH KANDUNG

Nama : Tn. A

Umur : 46 tahun

Pekerjaan : Karyawan swasta

Pendidikan : SMA

Status kesehatan : Sehat

IBU KANDUNG

Nama : Ny. K

Umur : 32 tahun

5
Pekerjaan : Karyawan swasta

Pendidikan : SMA

Status kesehatan : Sehat

1) Anamnesis

Keluhan utama : Demam

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan demam sejak 3 hari yang

lalu, demam naik-turun, demam meninggkat pada sore dan malam hari (+),

menggigil (-), sakit kepala (+), batuk (+), berlendir (+), pilek (+), mual (+),

muntah (+) frekuensi 3x, tenggorokan terasa pahit, sakit perut (+), perut

kembung (+)

Nafsu makan : Menurun

Nafsu minum : Menurun

Buang Air Besar : 2 hari tidak BAB

Buang Air Kecil : Lancar

Riwayat penyakit :-

Riwayat penyakit keluarga : -

Riwayat pengobatan :-

Riwayat alergi : - cotrimoxasole

6
Status neonatal

Tempat lahir : Rumah Sakit

Ditolong oleh : Dokter

Lahir secara : Spontan

Bayi cukup bulan dan sesuai masa kehamilan

BBL : 3200 gram PBL : 50 cm

Riw IMD :+

Vit K :+

Status imunisasi

Status
Belum pernah 1 2 3 Tidak tahu
imunitas
CACAR √ √ √
POLIO √ √ √
DIFTERI √ √ √
TETANUS √ √ √
PERTUSIS √ √ √
HIB √ √ √
HEP B √ √ √
BCG √

2) Pemeriksaan fisik

a. Status Pasien

KU : Sakit sedang / gizi kurang / composmentis

BB : 21 kg

7
PB/TB : 128 cm

b. Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/80 MmHg

Suhu : 38,8 0C

Nadi : 100 x/menit

Pernapasan : 26 x/menit

3) Status Generalis

Pucat (-) Telinga : Otorrhea (-)

sianosis (-) Mata : Cekung (-), anemis (-)

Tonus : Normal Hidung : Rhinorea (-)

Ikterus (-) Bibir : Kering (+)

Turgor : Baik Lidah : Kotor (+)

Busung (-) Sel. Mulut : Stomatitis (-)

Kepala : kesan normal Leher : Kaku kuduk (-)

Muka : kesan normal Kulit : Tidak ada kelainan

Rambut : hitam, mudah dicabut Tenggorok : Hiperemis (-)

Ubun ubun besar : Menutup (+) Tonsil : T1/T1 Hiperemis (-)

Thorax Jantung

Inspeksi Inspeksi:

 Simetris kiri dan kanan  Ictus cordis tidak tampak

 Retraksi dinding dada (-) Palpasi :

Perkusi:  Ictus cordis tidak teraba

8
 Sonor kiri dan kanan Perkusi :

Auskultasi :  Batas kiri :

 Bunyi Pernapasan : bronkovesikuler Linea midclavicularis sinistra

 Bunyi tambahan: Rh -/-, Wh -/-  Batas kanan :

Linea parasternalis dextra

 Batas atas : ICS III sinistra

Auskultasi :

 Bunyi Jantung I dan II regular, bising

jantung (-)
Abdomen

Inspeksi : Alat kelamin :

 Perut datar, ikut gerak napas Dalam batas normal

 Massa tumor (-) Tasbeh (-)

Palpasi : Col. Vertebralis : Skoliosis (-)

 Limpa : tidak teraba Pembesaran KGB (-) pada cervical

KPR : TDE
 Hati : Hepatomegali (-)
APR : TDE
 Nyeri tekan (+) regio epigastrium
TPR : TDE
Perkusi :
BPR : TDE
Tympani (+)

Auskultasi

Peristaltik kesan normal

4) Follow Up Pasien

9
Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter

15/03/2019 S : Pasien masuk rumah Terap


sakit Terapi UGD:

pelamonia dengan keluhan demam - - IVFD RL 20 tpm

sejak 3 hari yang lalu, demam terus - - inj Paracetamol 200mg

menerus (+), menggigil (-),nyeri /8jam/ drips

kepala (+) batuk (+), berlendir (+), - - little u 1x1 cth

flu (+), mual (+), muntah (+)

frekuensi 3x , nyeri perut (+),

kembung (+)

Nafsu makan : berkurang

Nafsu minum : baik

BAB : lancar

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

S: 38,80C

N: 105 x/menit

P: 26 x/menit

A : hiperpirksia

16/03/19 S : Demam (+) demam naik-turun Instruksi dari dokter

meningkat pada malam


- - IFVD Dextrose 5% (16 tpm)
hari,menggigil (-),nyeri kepala (-)

10
batuk (+), berlendir (+), flu (+), - - ceftriaxone 1,5 g/NSPB/hr

mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), - - Paracetamol 200mg/8jam/iv

kembung (-) - - litte u syr 1x1 cth

- Ambroxol syr 3x1 cth


Nafsu makan : berkurang
- makan biasa
Nafsu minum : baik

BAB : lancar

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

S: 36,80C

N: 92 x/menit

P: 22 x/menit

A : Demam Tifoid

17/03/19 S : Demam (+) demam naik-turun Instruksi dari dokter

menggigil (-),nyeri kepala (-) batuk


- - IFVD Dextrose 5% (16 tpm)
(+), berlendir (+), flu (+), mual (-),
- - ceftriaxone 1,5 g/NSPB/hr
muntah (-), nyeri perut (-),
- - Paracetamol 200mg/8jam/iv
kembung (-)
- - litte u syr 1x1 cth

Nafsu makan : berkurang - Ambroxol syr 3x1 cth

- - makan biasa
Nafsu minum : baik
-

11
BAB : lancar

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

S: 37,60C

N: 103 x/menit

P: 24 x/menit

A : Demam Tifoid

18/03/19 S : Demam demam naik-turun Instruksi dari dokter

menggigil (-),nyeri kepala (-) batuk


- - IFVD Dextrose 5% (16 tpm)
(+), berlendir (+), flu (+), mual (-),
- - ceftriaxone 1,5 g/NSPB/hr
muntah (-), nyeri perut (-),
- - Paracetamol 200mg/8jam/iv
kembung (-)
- - litte u syr 1x1 cth

Nafsu makan : berkurang - Ambroxol syr 3x1 cth

- - makan biasa
Nafsu minum : baik
-
BAB : lancar

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

S: 36,70C

N: 106 x/menit

12
P: 24 x/menit

Lidah kotor (+)

A : Demam Tifoid

19/03/19 S : Demam (demam naik-turun Instruksi dari dokter

menggigil (-),nyeri kepala (-) batuk


- - IFVD Dextrose 5% (16 tpm)
(+), berlendir (+), flu (+), mual (-),
- - ceftriaxone 1,5 g/NSPB/hr
muntah (-), nyeri perut (-),
- - Paracetamol 200mg/8jam/iv
kembung (-)
- - litte u syr 1x1 cth

Nafsu makan : berkurang - Ambroxol syr 3x1 cth

- - makan biasa
Nafsu minum : baik
-
BAB : lancar

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

S: 36,8 0C

N: 113 x/menit

P: 24 x/menit

Lidah kotor (+)

A : Demam Tifoid

13
5). Diagnosis kerja

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan

penunjang, pasien mengalami :

Diagnosis Masuk : hiperpirexia

Diagnosis Utama : Demam Tifoid

Hasil Laboratorium

Tanggal 15/03/2019 Tanggal 18/03/2019

Pemeriksaaan darah rutin : Pemeriksaaan darah rutin :

 WBC : 10,85  WBC : 6,24

 RBC : 4,48  RBC : 4,87

 PLT : 329  PLT : 325

 NEUT : 9,27  LED : 5

 LED : 2

Pemeriksaan Widal :

 salmonella typhi O : 1/320

 salmonella typhi AO : 1/80

 salmonella typhi BO : 1/320

 salmonella typhi H : 1/80

 salmonella typhi AH : 1/80

 salmonella typhi BH : 1/320

14
Resume :

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan demam sejak 3 hari

yang lalu, demam terus-menerus, demam meninggkat pada sore dan malam

hari (+), menggigil (-), sakit kepala (+), batuk (+), berlendir (+), pilek (+), mual

(+), muntah (+) frekuensi 3x, tenggorokan terasa pahit, sakit perut (+), perut

kembung (+). Pada pemeriksaan fisis didapatkan N: 105 x/menit, S :38,3 C , P:

26x/menit , pada hasil pemeriksaan penunjang didapatkan WBC : 6,24 , RBC :

4,87, HCT : 33,5. Pada pemerikssan widal didapatkan salmonella typhi O :

1/320, salmonella typhi AO : 1/80, salmonella typhi BO : 1/320, salmonella

typhi H : 1/80, salmonella typhi AH : 1/80, salmonella typhi BH : 1/320

Terapi yang diberikan pada pasien yaitu infus Dextrose 5% 16 tpm,

ceftriaxon 1,5 g/ NSPB/hr, paracetamol 200mg/8 jam/IV, little usyr 1x1 cth,

Ambroxol syr 3x1 cth , Makanan biasa

15
BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien masuk rumah sakit pelamonia dengan keluhan

demam sejak 3 hari yang lalu, demam terus menerus, nyeri kepala, batuk

berlendir , flu , mual- muntah frekuensi 3x , nyeri perut disertai kembung . Nafsu

makan menurun. Nafsu minum nenurun. Tidak buang air besar selama 2 hari.

Buang air kecil Lancar. Status gizi baik , keadaan umum compos mentis, lemas

(+), mata cekung (-), bibir kering (-), turgor baik, bunyi pernapasan

bronkovesikuler, bunyi tambahan Rh (-/-), Wh (-/-) nyeri tekan (+) regio

epigastrium. Pada pemeriksaan fisis didapatkan N: 105 x/menit, S :38,3 C , P:

26x/menit , pada hasil pemeriksaan penunjang didapatkan WBC : 6,24 , RBC :

4,87, HCT : 33,5. Pada pemerikssan widal didapatkan salmonella typhi O : 1/320,

salmonella typhi AO : 1/80, salmonella typhi BO : 1/320, salmonella typhi H :

1/80, salmonella typhi AH : 1/80, salmonella typhi BH : 1/320

16
Terapi yang diberikan pada pasien yaitu infus Dextrose 5% 16 tpm,

ceftriaxon 1,5 g/ NSPB/hr, paracetamol 200mg/8 jam/IV, little usyr 1x1 cth,

Ambroxol syr 3x1 cth , Makanan biasa

Demam tifoid adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Salmonella

typhi, kuman gram negatif berbentuk batang yang hanya ditemukan pada

manusia.7 Salmonella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae yang memiliki

lebih dari 2300 serotipe. Salmonella typhi merupakan salah satu Salmonellae yang

termasuk dalam jenis gram negatif, memiliki flagel, tidak berkapsul, tidak

bersporulasi, termasuk dalam basil anaerobik fakultatif dalam fermentasi glukosa,


18
mereduksi nitrat menjadi nitrit.8

Penularan penyakit demam tifoid adalah secara “faeco-oral”, dan banyak

terdapat di masyarakat dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik. Kuman

Salmonella typhi masuk ke tubuh melalui mulut bersama dengan makan atau

minuman yang tercemar. Sesudah melewati asam lambung, kuman menembus

mukosa usus dan masuk peredaran darah melalui aliran limfe. Selanjutnya, kuman

menyebar ke seluruh tubuh. Dalam sistem retikuloendotelial (hati, limpa, dll),

kuman berkembangbiak dan masuk ke dalam peredaran darah kembali

(bakteriemia kedua). Meskipun melalui peredaran darah kuman menyebar ke

semua sistem tubuh dan menimbulkan berbagai gejala, proses utama ialah di

ileum terminalis. Bila berat, seluruh ileum dapat terkena dan mungkin terjadi

perforasi atau perdarahan. Kuman melepaskan endotoksin yang merangsang

terbentuknya pirogen endogen. Zat ini mempengeruhi pusat pengaturan suhu di

17
hipotalamus dan menimbulkan gejala demam. Walaupun dapat difagositosis,

kuman dapat berkembang biak di dalam makrofag karena adanya hambatan

metabolisme oksidatif. Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada satu tempat

dalam tubuh penderita, dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya relaps atau

pengidap (pembawa).2

Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis, yaitu anamnesa dan

pemeriksaan fisik. Klinis didapatkan adanya demam, lidah tifoid, meteorismus,

dan hepatomegali serta roseola. Diagnosis ini disokong oleh hasil pemeriksaan

serologis, yaitu titer Widal O positif dengan kenaikan titer 4 kali atau pemeriksaan

bakteriologis didapatkan adanya kuman Salmonella typhi pada biakan darah.3,5,9

Pasien sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit tampak lesu, mengeluh

pusing, dan terlihat tidak bersemangat. Gejala ini diduga merupakan gejala

prodromal pada masa inkubasi Salmonella typhi, yakni perasaan tidak enak badan,

lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.5

Pada pasien ini didapatkan demam, tidak mendadak, muncul perlahan, tidak

terlalu tinggi, dan pada sore hingga malam hari demam lebih tinggi dibandingkan

pada pagi dan siang hari, dan berangsur-angsur meningkat setiap harinya. Tipe

demam demikian sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat infeksi

Salmonella typhi.10

Pada malam hari, pasien sering mengigau dalam tidurnya, tidak berkeringat.

Hal ini dimungkinkan adanya gangguan kesadaran yang merupakan salah satu

gejala dari demam tifoid.5

18
Selain demam, pasien juga mengalami mual dan muntah, di mana muntah

terjadi dari 3 kali dalam sehari, isi muntahan berupa air dan kadang-kadang

berupa apa yang dimakan, dan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien

tidak ada buang air besar disertai menurunnya nafsu makan. Pada demam tifoid,

dalam minggu pertama perjalanan penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit infeksi akut pada umumnya, yakni demam, nyeri kepala, pusing, nyeri

otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,

batuk dan epistaksis. Dan pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan

meningkat.1

Jika perjalanan penyakit demam tifoid pasien terus dimonitor, maka

biasanya pada minggu kedua didapatkan gejala-gejala yang lebih jelas. Gejala

yang timbul pada minggu kedua berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang

khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali,

splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,

delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.1

Oleh karena dari gejala yang diperoleh pada pasien ini belum terlalu jelas,

maka ada beberapa penyakit infeksi akut lain yang dapat dijadikan sebagai

diagnosa banding, yaitu :

1. Campak

Terdapat gejala demam, batuk, pilek, mata merah (konjungtivitis),

anoreksia, malaise, dan gejala khasnya adalah timbulnya enamtem di

mukosa bukal (bercak koplik) yang merupakan tanda patognomonis untuk

19
campak.2,6 Dari pasien hanya ditemukan gejala demam, anoreksia dan

malaise, tetapi gejala khas campak tidak ditemukan.

2. Demam berdarah dengue derajat I

Pada minggu pertama penyakit ini biasanya tidak ditemukan gejala umum

yang khas, hanya terdapat demam antara 2 hingga 7 hari tanpa adanya

manifestasi perdarahan. Akan tetapi, pada uji tourniquet didapatkan hasil


20
yang positif.2

3. Meningitis

Penyakit ini mempunyai gejala untuk anak berumur lebih dari 2 tahun

adalah panas, menggigil, muntah, dan nyeri kepala. Selain itu juga adanya

kejang, gangguan kesadaran, serta positifnya tanda-tanda rangsang

meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig.11 Pada pasien

tidak didapatkan adanya tanda-tanda perangsangan meningeal.

4. Tuberkulose paru

Pada anak kebanyakan penderita penyakit ini adalah asimptomatik. Keluhan

dapat berupa demam yang sering (sub febril), anoreksia, berat badan

menurun, keringat malam, hemoptoe jarang sekali. Yang terpenting adalah

adanya sumber penularan atau kontak di lingkungan pasien.6,12 Pasien pada

kasus ini memiliki status gizi yang normal dan tidak ada keringat malam

ataupun hemoptoe.

5. Malaria

20
Adanya demam yang turun naik atau intermitten disertai dengan menggigil,

diare, muntah, dan terkadang kejang merupakan beberapa gejala penyakit

malaria.13 Akan tetapi pada pasien ini tidak didapatkan menggigil serta tidak

adanya riwayat keluar kota atau ke hutan.


21
6. Infeksi saluran kemih

Penyakit ini memiliki beberapa gejala seperti demam tanpa diketahui

sebabnya, nyeri perut atau pinggang, tidak dapat menahan kencing,

polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna. 14 Pada

pasien ini tidak ditemukan nyeri perut atau pinggang, serta tidak adanya

kelainan dalam buang air kecil.

Agar semua diagnosa banding tersebut di atas dapat disingkirkan, maka

perlu dilakukan pemeriksaan penunjang guna membuktikan pemeriksaan yang

tidak didapatkan pada anamnesa maupun pemeriksaan fisik.

Biakan darah, pemeriksaan darah rutin, dan tes serologis Widal dilakukan

guna menegakkan diagnosis demam tifoid, pemeriksaan serologis IgM untuk

mendeteksi kemungkinan adanya infeksi campak, tes tourniquet untuk melihat

adanya manifestasi perdarahan pada penderita demam berdarah dengue. Biakan

liquor serebrospinal diharapkan dapat mengetahui ada tidaknya infeksi pada

selaput meningeal. Tes Mantoux digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya

infeksi tuberkulose. Pemeriksaan darah rutin dan hapusan darah tepi berfungsi

untuk mendeteksi adanya kemungkinan terinfeksi malaria.

21
Dari keseluruhan diagnosa banding yang ada, diagnosa klinis adalah suspect

demam tifoid. Di mana pada periksaan penunjang berupa biakan darah,

pemeriksaan darah rutin dan tes serologis Widal diharapkan dapat menegakkan

diagnosa klinis pasien ini.

Nur Qalbi / 8 tahun 11

bulan

TB Baku

TB Aktual

BB Baku

BB Aktual

22
BB : 21 Kg

TB : 128 cm

BB / TB = 21 / 25 x 100% = 84 %  Gizi kurang

TB / U = 128 / 132 x 100% = 96 %  Norma

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus

halus yang disebabkan kuman Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari

satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.

Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang

banyak orang dan masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis, terutama

di negara-negara sedang berkembang.

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi, biasanya kontaminasi dari bahan feses, muntahan

maupun cairan badan. Salmonella typhi dapat menyebar melalui tangan

penderita, lalat dan serangga lain. Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan kuman Salmonella thypi. Kontak langsung

berarti ada kontak antara orang sehat dan bahan muntahan penderita demam

tifoid. Kontak tidak langsung dapat melalui air misalnya air minum yang tidak

23
dimasak, air es yang dibuat dari air yang terkontaminasi, atau dilayani oleh orang

yang membawa kuman, baik penderita aktif maupun carrier.10

Etiologi

Salmonella typhi (S. typhi) merupakan kuman patogen penyebab demam

tifoid, yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang

berlangsung lama, adanya bakteremia disertai inflamasi yang dapat merusak usus

dan organ-organ hati.

Salmonella typhi merupakan kuman batang gram negatif yang tidak

memiliki spora, bergerak dengan flagel peritrik, bersifat intraseluler fakultatif dan

anerob fakultatif. Ukurannya berkisar antara 0,71,5X 2-5 pm, memiliki antigen

somatik (O),antigen flagel(H) dengan 2 fase dan antigen kapsul (Vi). Kuman ini

tahan terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang dapat membunuh bakteri

enterik lain, menghasilkan endotoksin, protein invasin dan MRHA (Mannosa

Resistant Haemaglutinin). S. typhi mampu bertahan hidup selama beberapa bulan

sampai setahun jika melekat dalam, tinja, mentega, susu, keju dan air beku. S.

typhi adalah parasit intraseluler fakultatif, yang dapat hidup dalam makrofag dan

menyebabkan gejala-gejala gastrointestinal hanya pada akhir perjalanan

penyakit,biasanya sesudah demam yang lama, bakteremia dan akhirnya lokalisasi

infeksi dalam jaringan limfoid submukosa usus kecil.

Epidemiologi

Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan

24
216.000– 600.000 kematian. Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa

negara Asia pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan

biakan darah positif mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada

usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–

200 per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per

100.000 penduduk. Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada

individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat

pengobatan yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4% dengan

rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak usia ≤4

tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat

meningkat hingga 20%.2 Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius

dari berbagai pihak, karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam

kesehatan masyarakat. Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya

kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang

dipakai, sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan.4 Pada tahun

2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000

penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1

tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan

51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak

adalah pada kelompok usia 2-15 tahun. Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar

di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid

dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan

kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%.4 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

25
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%.

Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun

(1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).

Tifoid dapat menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan angka

ketidakhadiran anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang

cukup lama, dan dari aspek ekonomi, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Hasil

penelitian di 5 negara Asia (Cina, Vietnam, India, Pakistan, dan Indonesia), biaya

perawatan per penderita di rumah sakit berkisar antara USD129 di Kolkata (India)

dan USD432 di Jakarta Utara (Indonesia), sedangkan biaya non perawatan

berkisar antara USD13 di Kolkata, USD67 di Hechi (Cina) dengan biaya tertinggi

di Hechi, diikuti Jakarta Utara, dan Karachi (Pakistan). Biaya semakin meningkat

bila disertai pemberian obat-obatan tambahan atau harga yang lebih mahal dan

hari perawatan yang lebih lama. Sebagian besar biaya tersebut ditanggung oleh

keluarga, yang merupakan 15% pendapatan keluarga per tahun. Mengingat

tingginya angka kesakitan tifoid dan akibat yang ditimbulkan, maka peneliti

tertarik untuk melakukan kajian. Tujuan kajian adalah untuk mengetahui program

pengendalian tifoid di Indonesia serta tantangan dan peluang dalam pelaksanaan

program tersebut.12

Patofisiologi

Salmonella typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang

tercemar. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian masuk

ke usus halus, mencapai jaringan limfoid plak peyeri di ileum terminalis yang

26
hipertrofi. S. Typhi memiliki fimria khusus yang dapat menempel ke lapisan

epitel plak peyeri sehingga bakteri dapat difagositosis. Setelah menempel, bakteri

memproduksi protein yang mengganggu lapisan brush border usus dan memaksa

sel usus untuk membentuk kerutan membran yang akan melapisi bakteri dalam

vesikel. Bakteri dalam vesikel akan menyebrang melewati sitoplasma sel usus dan

dipresentasikan ke makrofag.

Kuman memiliki berbagai mekanisme sehingga dapat terhindar dari

serangan sistem imun seperti polisakarida kapsul VI, penggunaan makrofag

sebagai kendaraan, dan gen salmonnella pathogenicity island 2(SPI 2).

Setelah sampai, kelenjar getah bening, mesenterika, kuman kemudian masuk ke

aliran darah melalui duktus thoracicus sehingga terjadi bakteremia pertama yang

asimptomatik. S. Typhi juga bersarang dalam sistem retikuloendotelial terutama

hati dan limpa, dimana kuman meninggalkan sel fagosit, berkembang biak dan

masuk sirkulasi darah lagi sehingga terjadi bakteremia kedua dengan gejala

sistemik. S. Typhi menghasilkan endotoksin yang berperan dalam inflamasi lokal

jaringan tempat kuman berkembang biak, merangsang pelepasan zat pirogen dan

leukosit jaringan sehingga muncul demam dan gejala sistemik lain. Perdarahan

saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri.

Apabila proses patologis semakin berkembang maka perforasi dapat terjadi.13

Pendekatan Diagnosis

1). Anamnesis

27
Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap

(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/ malam hari,

sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare. Demam

merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita

demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi

parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau

Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam

tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih

mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria

dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai

demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, disisi lain S. Typhi juga dapat

menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala

mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau

koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap

lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.

2). Pemeriksaan Fisis

Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak

diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,

tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen,

roseolae (jarang pada orang Indonesia).

3). Laboratorium Ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal,

aneosinofilia, limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, trombositopenia,

28
gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif . Dalam keadaan

normal darah bersifat steril dan tidak dikenal adanya flora normal dalam darah.

Ditemukannya bakteri dalam darah disebut bakteremia. Pasien dengan gejala

klinis demam tiga hari atau lebih dan konfirmasi hasil biakan darah positif S.

typhi paratyphi dapat dijadikan sebagai diagnosa pasti demam tifoid. Uji Widal

adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin

yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum demam tifoid,juga pada

orang yang pemah ketularan Salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi

terhadap demam tifoid. Peningkatan titer uji Widal >4 kali lipat setelah satu

minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan

diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai

gambaran klinis khas menyokong diagnosis. Hepatitis Tifosa bila memenuhi 3

atau lebih kriteria Khosla (1990) : hepatomegali, ikterik, kelainan laboratorium

(antara lain : bilirubin >30,6 umol/1, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks

PT), kelainan histopatologi. Tifoid Karier. Ditemukannya kuman Salmonella

typhi dalam biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau

pada seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid.11

Penatalaksanaan

1. Terapi antibiotik : Siprofloxacin oral/IV selama 10-14 hari pada orang

dewasa atau sefalosporin generasi ketiga(contoh : ceftriakson) pada

anak-anak.

2. Kloramfenikol merupakan alternatif lebih murah pada area dimana

organismenya masih sensitif.

29
3. Dexamethazone IV tambahan mengurangi mortalitas pada pasien toksik

berat.

4. 75% carier kronik dapat disembuhkan dengan paket 28 hari

siprofloxacin atau nerfloxacin.

5. Kolesistektomi harus dilakukan hanya bila gejala penyakit kandung

empedu memperberat.

6. Pembedahan penting dilakukan pada perforasi, namun perdarahan dapat

ditangani secara konservatif.

7. Di Negara non endemik, pemeriksaan epidemiologis penting untuk

mengidentifikasi sumber infeksi bila tidak didapatkan dari luar negeri.

8. Setelah pemulihan klinis, harus diambil 3 kultur tinja dan urin pada hari

yang berlainan, dan bila salah satunya positif, maka diambil kultur

bulanan hingga terdapat hasil tiga kali berturut-turut negatif atau telah

melewati 12 bulan.14

Komplikasi

A. Komplikasi Intestinal

- Perdarahan Intestinal

- Perforasi Usus

B. Komplikasi Ekstra Intestinal

- Komplikasi hematologi

- Hepatitis tifosa

- Pancreatitis tifosa

30
- Miokarditis

- Manifestasi neuropsikiatri/toksik tifoid.15

Prognosis

- Tifoid yang tidak diobati memiliki angka mortalitas yang mendekati 20%.

- Mortalitas hampir tidak ada pada pengobatan segera.

- Angka kematian yang tinggi tetap ada dibanyak negara endemik akibat

pengobatan yang tertunda atau tidak tepat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Juwono R. Penyakit tropik dan menular : Demam tifoid. Dalam: Noer MS,

Waspadji S, Rachman AM, et al, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid I. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 1996. h. 435-442.

2. Kaspan MF, Soejoso DA, Soegijanto S, et al. Penyakit tropik dan menular:

Demam tifoid. Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,

penunting. Pedoman diagnosis dan terapi lab/UPF ilmu kesehatan anak.

Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. 1994. h. 187-189.

3. Sumarno, Nathin MA, Ismael S. Tumbelaka WAFJ. Masalah Demam

Tifoid pada Anak. Medika 1980; 20.

4. Rampenan TH, Laurentz. Demam tifoid. Dalam: Rampenan TH,

penyunting. Infeksi tropik pada anak:. Jakarta: EGC. 1995. h. 53-71.

32
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Tifus abdominalis. Dalam: Hasan R, Alatas H, Latief A, et al,

penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak jilid 2. Jakarta: Infomedika.

1985. h. 593-598.

6. Gunawan G. Infeksi: Demam tifoid. Dalam: Yunanto A, Gunawan G dan

Muhyi R, penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi bagian/SMF ilmu

kesehatan anak. Edisi I. Banjarmasin: Rumah Sakit Umum Daerah Ulin.

2000. h. 16-17

7. Wheeler DT. typhoid fever. Department of ophthalmology, Oregon health

scienses university; 2001 (online). Available from: URL:

http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm.

8. Corales R. Typhoid fever. Department of infectious disease and tropical

medicine, Birmingham heartlands hospital; 2004 (online). Available from:

URL: http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm

9. Jonggu MCH. Demam Tifoid dengan Renjatan Septik. MKUH volume 7.

1986: 16-18.

10. Musnelina L, Afdhal AF, Gani A, dkk. Pola pemberian antibiotika

pengobatan demam tifoid anak dirumah sakit fatmawati jakarta tahun

2001-2002. ITS. Jakarta : juni 2014. Vol 8, No 1:27-32.

11. Cita YP. Bakteri salmonella typhi dan demam typhoid. Jurnal kesehatan

masyarakat. September 2011. Vol 6. No.1.

33
12. Purba IE, Wandra T, Nugrahini N, dkk. Program pengendalian demam

typhoid di indonesia : tantangan dan peluang. Media litbangkes : juni

2016. Vol 26 No.2;99-108.

13. Wibisono E, Susilo A, Nainggolan L. Demam typhoid. Dalam kapita

selekta. Edisi IV. Jakarta : media aeskulapius;2014.

14. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM,dkk. Demam typhoid dan

paratyphoid. Dalam Lecture Notes. Edisi VI. Penerbit erlangga;2006.

15. Widodo D. Demam Typhoid. Dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Edisi VI. Jakarta : pusat penerbitan ilmu penyakit dalam; 2014.

34

Anda mungkin juga menyukai