Anda di halaman 1dari 28

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : Adrean
Umur : 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Medi
Nama Ibu : Nevi
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. A. Yani Km. 6, Kemelak.
MRS : 27 April 2012

II. ANAMNESIS
Tanggal : 27 April 2012
Diberikan Oleh : Ibu Pasien

A. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan Utama : BAB cair
2. Keluhan Tambahan : Demam dan batuk disertai muntah.
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ± 1 bulan yang lalu pasien sering mengalami batuk, tidak berdahak dan sudah
seringkali berobat namun belum ada perbaikan. ± 3 hari sebelum masuk rumah sakit, Pasien
mengalami mencret dengan frekuensi >10 kali, @1-2 sendok makan, isi air lebih banyak
dibandingkan ampas, lendir (-), darah (-), berwarna kuning, sebelumnya makan dan minum
seperti biasa, anak gelisah, dan mau minum banyak. Batuk bertambah berat dan disertai
muntah, tidak menyemprot, frekuensi 5 kali, banyaknya ± ½ gelas belimbing, lendir (+),
darah (-) isi apa yang dimakan dan diminum, pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, mengi
tidak ada. Buang air kecil biasa, frekuensi >5x/hari, @ +100 ml, warna kuning. Selain itu
pasien juga demam, cukup tinggi, terus menerus, dan tidak disertai kejang. Menggigil tidak

1
ada. Keringat dingin tidak ada. Bintik-bintik merah di kulit (-), epistaksis (-), perdarahan gusi
(-). Riwayat kontak TB disangkal, Riwayat atopi (-). Pasien tinggal di rumah kontrakan yang
memiliki WC sendiri dengan sumber air minum mengguakan air galon sedangkan untuk
kebutuhan rumah tangga berasal dari sumur. Pasien lalu di bawa ke IGD di Rumah Sakit
Ibnu Sutowo.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat batuk lama sejak satu bulan yang lalu (+)
o Riwayat sering pilek disangkal
o Riwayat pernah sesak sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Ayah Ibu
22 thn 27 thn
SD SMA
Buruh IRT

Penderita
9 bulan

o Riwayat mencret dan batuk lama dalam keluarga disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


GPA : G1P1A 0
Masa kehamilan : Aterm
Partus : Spontan
Penolong : Bidan
Berat badan : 3000 gr
Panjang Badan : 48 cm
Keadaan saat lahir : Langsung menangis

2
Riwayat Makanan
ASI : lahir sampai dengan 40 hari
Susu formula : 40 hari – sekarang, SGM, >5x/hari, @140 ml, 25gram susu
bubuk ditambah air matang hingga 140 ml.
Bubur tim : 6 bulan – Sekarang, 3x/hari, ½ mangkok, dan selalu habis.
Kesan : kualitas kurang (tidak mendapat ASI eksklusif), kuantitas cukup.

Riwayat Vaksinasi
o BCG : (+), scar (+) pada lengan kanan.
o Polio : (+)
o DPT : (+)
o Hepatitis B :(+)
o Campak :(-)
kesan : imunisasi belum lengkap

Riwayat Perkembangan Fisik


Tengkurap : 6 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri dan Berjalan : belum bisa

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita merupakan anak pertama. Ayah penderita berumur 22 tahun, pendidikan SD,
bekerja sebagai buruh. Ibu penderita berumur 27 tahun, pendidikan SMK, dan tidak bekerja.
Penghasilan per bulan +Rp.600.000,- Secara ekonomi, keluarga penderita tergolong
menengah kebawah.

III. PEMERIKSAAN FISIK

3
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Posisi : Supinasi
Nadi : 128 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, reguler
Pernapasan : 52 kali/ menit
Suhu : 36,8 oC
Berat badan : 7,5 kg
Tinggi badan : 64 cm
Lingkar Kepala : 41 cm, normochepali
Anemis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Turgor : kembali cepat < 2 detik
Tonus : eutoni
Edema umum : tidak ada

Keadaan gizi : BB/U = 7,5 kg/9,3 kg x 100% = 80,6 %


TB/U = 64 cm/ 71 cm x 100% = 90,1 %
BB/TB = 7,5 kg/7 kg x 100% = 107 %
Kesan : Gizi cukup.

Keadaan Spesifik
Kulit
Tidak ada kelainan

Kepala
UUB : datar
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
refleks cahaya +/+, pupil bulat, isokor, ¢ 3 mm
Hidung : sekret tidak ada, NCH tidak ada

4
Telinga : sekret tidak ada
Mulut : sianosis sirkumoral tidak ada, bibir kering tidak ada
Tenggorok : dinding faring hiperemis, tonsil T2-T2 hiperemis
Leher : pembesaran KGB tidak ada

Thorax
Paru-paru
Inspeksi : dinamis simetris, retraksi (-).
Palpasi : stremfremitus kanan = kiri.
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) menguat, ronkhi basah halus nyaring di kedua basal paru,
wheezing (-).
Jantung
Inspeksi : pulsasi, iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : thrill tidak teraba
Perkusi : jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR=128 kali/ menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak ada
Bunyi Jantung I dan II normal
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada, CRT<2”

5
V. RENCANA PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan darah lengkap
- Pemeriksaan elektrolit darah untuk mengetahui keseimbangan elektrolit, terutama
natrium dan kalium.
- Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
- Pemeriksanan urin dan feses rutin
- Mantoux test / BCG test
- Rontgen thorax.

VI. DIAGNOSIS BANDING


Bronkopneumonia + GEA + TFA
Bronkiolitis akut + GEA + TFA
Asma Bronkial + GEA + TFA
TB Paru + GEA + TFA

VII. DIAGNOSIS KERJA


Bronkopneumonia + Gastroentertis Akut Tanpa Dehirasi + Tonsilo Faringitis Akut

VIII. PENATALAKSANAAN
o Bed rest
o P.O Oralit 75cc/BAB cair atau muntah
o Cairan maintenance modifiasi Sutejo (10:4:7) atau Kaen 3A gtt VI makro
o Zinc tablet 1x 20 mg per hari selama 10-14 hari
o Ampicillin 3 x 250 mg IV
o Kloramfenikol 3x125 mg IV
o Oksigen nasal 1-2 L/menit
o Diet oral susu formula dan bubur tim dilanjutkan, jika anak sesak stop oral.

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

BRONKOPNEUMONIA
Definisi
Bronkopneumonia atau disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia merupakan
peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).

Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah
penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.
Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan terjadi lebih 2 juta kematian balita karena
pneumonia. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 kematian balita
akibat pneumonia 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa pneumonia menyebabkan
kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun, atau hampir 300 balita setiap hari, atau 1 balita
setiap 5 menit

Etiologi
Bronkopneumonia terjadi secara umum dapat disebabkan oleh faktor infeksi dan non infeksi.
Faktor Infeksi
- Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
- Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.

7
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, B.
pertusis
- Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
- Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.

Faktor Non Infeksi.


Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
- Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung ( zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
- Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk
jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,
pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti
minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis
minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat
paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti
AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.

II.4 Klasifikasi

Pembagian secara anatomis :


-Pneumonialobaris yaitu radang paru yang mengenai satu atau lebih dari satu lobus.

8
-Pneumonialobularis (bronkopneumonia) yaitu radang yang mengenai lobulus-lobulus dan
tersebar di dalam paru.
-Pneumonia interstisialis (bronkiolitis) yaitu radang yang mengenai jaringan interstisial paru dan
bronchitis.

Pembagian secara etiologi :


- Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus pneumonia,
Haemofilus influenzae.
- Virus : Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
- Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis, Blastomycosis,
Cryptoccosis.
- Corpus alienum
- Aspirasi : Makanan, kerosene (benzene,minyak tanah) cairan amnion, benda asing
- Pneumoniahipostatik
- Sindroma loeffler

Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan
ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru
merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara,
antara lain :
- Inhalasi langsung dari udara
- Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
- Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
- Penyebaran secara hematogen
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari :
- Susunan anatomis rongga hidung
- Jaringan limfoid di nasofaring

9
- Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
- Refleks batuk.
- Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
- Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
- Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
- Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
antimikroba yang non spesifik.
- Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke
alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
- Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu :

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi
sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

10
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

II.6 Diagnosis

Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang
karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

11
 Dinding thorak terlihat retraksi intercostali dan kalau berat disertai retraksi
epigastrium. Stemfremitus teraba mengeras bila beberapa kelainan kecil menyatu.
Pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan, tetapi kalau sarang
bronkopneumonia menjadi satu, pada perkusi terdengar redup. Pada auskultasi
terdengar vesikuler mengeras, ronkhi basah halus dan sedang nyaring yang
terdengar pada stadium permulaan dan stadium resolusi sedangkan pada stadium
hepatisasi ronkhi tidak terdengar.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3 dengan
pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus
atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain kultur dahak ,
biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).
5. Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis metabolik.

Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena


pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab
tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata
laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan
berdasarkan:
1. Bronkopneumonia sangat berat : Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2. Bronkopneumonia berat : Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih
sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
3. Bronkopneumonia: Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
- 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
- 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun

12
- 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
4. Bukan bronkopenumonia : Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas,
tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.
Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1. kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2. kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. deteksi antigen bakteri

II.7 Penatalaksanaan
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan hasil resistensi dari kuman, akan tetapi
mengingat hal ini sulit dilakukan, maka di bagian IKA pengobatan langsung diberikan
1. Antibiotika pada penderita secara polifragmasi selama 10-15 hari:
 Ampisilin 100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis
 kloramfenikol dengan dosis:
o umur < 6 bulan : 25-50 mg/KgBB/hari.
o Umur >6 bulan :50-75 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
Atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis
2. Suportif
IVFD,oksigen,pembersih jalan nafas

II.8 DIAGNOSIS BANDING


Secara klinis pneumonia yang disebabkan oleh kuman (bakteri), virus tidak dapat dibedakan.
Keadaan yang menyerupai pneumonia secara klinik:
 Bronkhiolitis
 Payah jantung
 Aspirasi benda asing

II.9 KOMPLIKASI
Otitis media
Bronkiektasis
Abses paru

13
Empiema

II.11 PROGNOSIS
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat
memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial
tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh
terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan
malnutrisi apabila berdiri sendiri.

II.12 PENCEGAHAN
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita
atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh
kaitan terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan
bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lain-lain
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara
lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan.

14
DIARE
Secara epidemiologi, diare merupakan merupakan kumpulan penyakit dengan gejala
diare, yaitu defekasi dengan feces cair atau lembek dengan/tanpa lendir atau darah, dengan
frekuensi 3 kali atau lebih sehari, berlangsung belum lebih dari 14 hari, kurang dari 4
episode/bulan. Sedangkan definisi diare berdasarkan klinisnya, diare merupakan berak dengan
kandungan air lebih dari normal atau disertai darah/lendir atau bila orangtua menganggap
anaknya menderita berak-berak. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar
sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, bila
frekuensinya lebih dari 3 kali dalam satu hari.
Diare terbagi menjadi akut dan kronis. Dikatakan diare akut apabila diare terjadi
kurang dari 2 minggu. Jika diare lebih atau sama dengan 2 minggu dikatakan diare kronis.

Etiologi
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu:
1) Faktor infeksi
a. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama
diare pada anak.
Infeksi enteral ini meliputi:
- Infeksi bakteri (70%) : Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas dan sebagainya.
- Infeksi virus (10-20%) : Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis),
Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain. Infestasi parasit: Cacing
(Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), Protozoa (Entamoeba histolytica,
Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans).
b. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti
Otitis media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan
sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2
tahun.

15
2) Faktor malabsorbsi '
a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang
terpenting dan tersering ialah intoleransi laktosa.
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3) Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4) Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare
terutama pada anak yang lebih besar.

Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
1) Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang
usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2) Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare
timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare
pula.

Patogenesis diare akut akibat infeksi:


 Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung.
 Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) di dalam usus halus.

16
 Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin diaregenik)
 Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Patogenesis diare kronis:
Lebih kompleks dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit,
malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain.

Patofisisologi
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi:
1) Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan
keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik, hipokalemia dan sebagainya)
2) Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran
bertambah)
3) Hipoglikemia
4) Gangguan sirkulasi darah

Gejala klinis
1) Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat,
nafsu makan berkurang atau tidak ada,
2) Timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja
makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu.
3) Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan ia makin lama makin
asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang
tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.
4) Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh
lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan
elektrolit.
5) Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi
mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan
banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang dan

17
berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi
hipotonik, isotanik dan hipertonik.
6) Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga dapat terjadi renjatan
hipovolemik dengan gejala-gejalanya yaitu denyut jantung menjadi cepat, denyut nadi
cepat, kecil, tekanan darah menurun, penderita menjadi lemah, kesadaran menurun
(apatis, somnolen dan kadang-kadang sampai soporokomoteus). Akibat dehidrasi,
diuresis berkurang (oliguria sampai anuria). Bila sudah ada asidosis metabolik,
penderita akan tampak pucat dengan pernafasan yang cepat dan dalam (pernafasan
Kussmaul).

Asidosis metabolik terjadi karena:


a) Kehilangan NaHCO3 melalui tinja
b) Ketosis kelaparan
c) Produk-produk metabolik yang bersifat asam tidak dapat dikeluarkan (oleh karena
oliguria atau anuria)
d) Berpindahnya ion natrium dari cairan ekstrasel ke intrasel
e) Penimbunan asam laktat (anoksia jaringan tubuh).

Dehidrasi hipotonik (dehidrasi hiponatremia) yaitu bila kadar natrium dalam plasma
kurang dari 130 mEq/l, dehidrasi isotonik (dehidrasi isotonatremia) bila kadar natrium
dalam plasma 130-150 mEq/l, sedangkan dehidrasi hipertonik (hipernatremia) bila
kadar natrium dalam plasma lebih dari 150 mEq/l.

Beberapa patokan yang dapat digunakan untuk menentukan derajat dehidrasi:


MTBS (Managemen Terpadu Balita Sakit)
Penilaian ini praktis dan mudah diterapkan. Hal-hal yang perlu ditanyakan adalah sudah
berapa lama diare berlangsung dan adakah darah dalam feses. Kemudian lihat dan raba: keadaan
umum, mata cekung, rasa haus/tidak mau minum, dan turgor. Klasifikasikan diare berdasarkan
derajat dehidrasi dan berdasarkan lama diare (patokan 14 hari atau lebih) dan darah dalam tinja.

18
Algoritma klasifikasi diare menurut MTBS

Program P2 Diare
Penilaian ini sedikit lebih rumit, tetapi lebih baik dalam menentukan derajat dehidrasi
dibandingkan MTBS. Penilaian ini mirip dengan MTBS, tetapi terdapat penambahan penilaian
air mata dan keadaan mukosa mulut dan lidah.

19
Penilaian Derajat Dehidrasi Menurut Program P2 Diare

PENILAIAN A B C
1 Lihat
- Keadaan Baik, sadar *gelisah, rewel *lesu, lunglai atau tidak
umum sadar
- Mata Normal Cekung sangat cekung atau kering
- Air mata Ada tidak ada tidak ada
- Mulut dan Basah Kering sangat kering
lidah
- Rasa haus minum biasa, tidak *haus, ingin minum *malas minum atau tidak bisa
haus banyak minum
2. Periksa
- Turgor kulit kembali cepat *kembali lambat *kembali sangat lambat
3. Derajat tanpa dehidrasi dehidrasi ringan- sedang dehidrasi berat
dehidrasi Bila ada 1 tanda* Bila ada 1 tanda* ditambah
ditambah 1 atau lebih 1 atau lebih tanda lain
tanda lain

Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan tinja (makroskopis dan mikroskopis)
2) Pemeriksaan gangguan keseimbangan - asam-basa dalam darah, dengan menentukan
pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah
3) Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
4) Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam
serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
5) Pemeriksaan urin rutin
6) Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasit
secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik.

Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi
berbagai macam komplikasi seperti:

20
1) Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2) Renjatan hipovolemik
3) Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia,
perubahan pada elektrokardiogram)
4) Hipoglikemia.
5) Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena
kerusakan vili mukosa usus halus.
6) Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik
7) Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami
kelaparan.

Pengobatan
Dasar pengobatan diare adalah:
1) Pemberian cairan (rehidrasi awal dan rumat)
2) Dietik (pemberian makanan)
Pemberian cairan
1) Jenis cairan
2) Jalan pemberian cairan
3) Jumlah cairan
4) Jadwal (kecepatan) pemberian cairan

Pemberian cairan pada diare akut dengan penyulit.


Jenis cairan: DG aa atau Kaen 3A atau cairan modifikasi Sutejo (terdiri dari NaCl 15% 10cc,
KCl 10% 4cc, NaHCO3 2,5% 7 cc dalam D5% 500 cc.
Modifikasi sutejo dengan cairan yang mengandung:
Na : 63,3 mEq/L
K : 10,4 mEq/L
Cl : 61,4 mEq/L
HCO3 : 12,6 mEq/L
Kalori : 200 kalori
Koreksi diberikan secara intravena dengan kecepatan:

21
Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang:
4 jam pertama : 50 cc/kgBB
20 jam berikutnya : 150 cc/kgBB
Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi berat:
4 jam pertama : 60 cc/kgBB
20 jam berikutnya : 190 cc/kgBB
Bentuk penyulit, jenis dan jumlah cairan:

Jenis Penyakit Jenis/Cara Jumlah Terapi Medikamentosa


Pemberian Cairan

KKP I-II Modifikasi Sutejo Sesuai GEA Sesuai kausa/penyakit


penyerta
KKP III Modifikasi Sutejo Maras: 250 cc/kgbb -
Kwas: 200 cc/kgbb
BP Modifikasi Sutejo ¾ kebutuhan Sesuai BP

Ensafalitis Modifikasi Sutejo ¾ kebutuhan Sesuai ensefalitis


Meteorismus Modifikasi Sutejo ¾ kebutuhan Antibiotik profilaksis

Meningitis Modifikasi Sutejo ¾ kebutuhan Sesuai menpur


Purulenta
Dehidrasi Sesuai Skema 3 Sesuai skema 3 Sesuai etiologi
hipertonik
Gagal Ginjal Akut Sesuai GGA 30 cc kg/bb + volume urin 1 Sesuai GGA
hari sebelum

Impend Dekom Cairan rendah ¾ kebuthan Digitalisasi


cordis natrium

TONSILOFARINGITIS AKUT
Tonsilofaringitis biasanya terjadi pada anak, meskipun jarang terjadi pada anak di bawah usia 1
tahun. Insiden meningkat sesuai dengan beratambahnya usia, mencapai puncak pada umur 4-7
yahun, dam berlanjut hingga dewasa. Insiden tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-
18 tahun, jarang di bawah usia 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dengan perempuan.
Tonsilofaringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus.

22
Definisi
Tonsilofaringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi faring dan tonsil
yang berlangsung hingga 14 hari. Tonsilofaringitis merupakan peradangan membran
mukosafaring dan struktur lain di sekitarnya.
Etiologi
 Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi penyebab tonsilofaringitis, baik sebagai penyakit
tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi
terbanyak tonsilofaringitis akut, terutama pada anak berusia ”3 tahun (pra sekolah). Virus
penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, Parainfluenza virus, dapat
menjadi penyebab tonsilofaringitis. Virus Epstein Barr (EBV) dapat menyebabkan
tonsilofaringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan
limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, virus Rubella,
Citomegalovirus(CMV), dan berbagai virus lainnya juga dapat menyebabkan gejala
tonsilofaringitis akut. Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah penyebab
terbanyak tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% dari tonsilofaringitis akut
pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.
Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa
nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi seperti sikat
gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui
makanan. Penyebaran SBHGA memerlukan pejamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak
yang erat. Infeksi jarang terjadi pada nak berusia di bawah 2 tahun, mungkin karena kurang
kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel. Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan
organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA jarang
terjadi pada kelompok ini.Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal.
  Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah
terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga
menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi
lokal serta penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan

23
SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan
kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.
Manifestasi Klinis
Gejala tonsilofaringitis dapat dibedakan antara tonsilofaringitis yang disebabkan oleh virus dan
bakteri.
Gejala TFA e.c. Virus TFA e.c. Bakteri
Nyeri tenggorok + +
Nyeri menelan + +
Demam Subfebris Tinggi
Nyeri telinga + +
Tonsil Membesar, kemerahan Membesar, ditemukan nanah
dan selaput putih tipis yang
menempel
Sakit kepala + +
Pengobatan Self-limiting disease (dalam Antibiotik
10-14 hari)

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium.
Baku emas penegakan diagnosis tonsilofaringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan
kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan
untuk menegakkan adanya S. piogenes.

Tatalaksana
 Usaha untuk membedakan tonsilofaringitis bakteri atau virus bertujuan agar pemberian
antibiotik sesuai indikasi. Tonsilofaringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya
tonsilofaringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik.
Penggunaan antibiotik tidak diperlukan pada tonsilofaringitis virus karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan
pemberian cairan intravena yang sesuai tearpi suportif yang dapat diberikan. Selain

24
itu, pemberian obat kumur dan obat hisap, pada anak yang cukup besar dapat meringankan
keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri atau demam, dapat diberikan paracetamol atau
ibuprofen. Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasar pada gejala klinis dan hasil
kultur  positif pada pemeriksaan apusan tenggorok. Antibiotik pilihan pada terapi
tonsilofaringitis akut Streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selam 10 hari atau benzatin penisilin G IM dengan dosis 600.000 IU(BB<30kg) dan
1.200.000 IU (BB>30kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak
yang lebih kecil, karena selain efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak.
Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 6 hari, efektivitasnya
sama dengan penisilin V oral selama 10 hari.
 Untuk anak alergi dapat diberikan eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat
20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2-4 kali per hari selama 10 hari.

BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang penderita laki-laki berusia 9 bulan datang dengan keluhan utama BAB cair,
lebih dari 10 kali, air lebih banyak daripada ampas, lendir dan darah tidak ada. Dari anamnesis
didapatkan sejak 1 bulan yang lalu os sering batuk, tidak berdahak, seringkali berobat namun
tidak ada perbaikan. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit adanya riwayat pilek tidak ada, batuk

25
disertai muntah 5 kali, isi apa yang dimakan dan diminum, sebanyak setengah gelas belimbing,
lendir (+), darah (-), ada demam tinggi tidak disertai kejang, mengigil tidak ada, tanda
perdarahan (bintik merah di kulit, epistaksis, perdarahan gusi) tidak ada, , riwayat kontak dengan
penderita TB tidak ada, riwayat atopi sebelumnya tidak ada. Pasien tinggal di rumah kontrakan
yang memiliki WC sendiri dengan sumber air minum mengguakan air galon sedangkan untuk
kebutuhan rumah tangga berasal dari sumur. Pasien kemudian dibawa berobat ke RSUD Ibnu
Sutowo, Baturaja.
Dari anamnesis, didapatkan gejala-gejala yang mengarah pada diagnosis gastroenteritis
akut yaitu adanya BAB cair selama 3 hari sebanyak lebih dari 10 kali. Gejala yang mengarah
pada diagnosis bronkopneumonia yaitu adanya batuk yang semakin lama semakin berat, pilek
tidak ada, dan demam yang cukup tinggi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, nadi 128 kali/menit,
pernafasan 52 kali/menit, suhu 36,8ºC. Pada pemeriksaan khusus tidak didapatkan mata cekung,
ubun-ubun besar rata, nafas cuping hidung tidak ada, bibir kering tidak ada, ada pembesaran
tonsil T2-T2, tonsil hiperemis, faring hiperemis; pada inspeksi thorak tidak terlihat retraksi. Pada
palpasi didapatkan stem fremitus sama pada kedua lapangan paru, turgor kulit kembali cepat;
pada perkusi didapatkan sonor pada kedua lapangan paru; pada auskultasi vesikuler menguat di
kedua lapangan paru dan didapatkan ronki basah halus nyaring di kedua basal paru, wheezing
tidak ada.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis
penderita ini adalah gastroenteritis akut dengan bronkopneumonia dan tonsilofaringitis akut.
Maka penatalaksanaan pada penderita ini adalah dengan pemberian oksigenasi dengan O 2
intranasal 1-2 liter/menit, pemberian cairan dan elektrolit IVFD 10:4:7 atau KAEN 3A gtt VI
makro. Pemberian antibiotik yakni Ampicillin 3x250mg (IV) dan kloramphenikol 3 x 125 mg
(IV). Zinc elemental 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Pemberian susu formula dan bubur tim
dilajutkan jika pasien tidak sesak.
Prognosis penderita ini baik quo ad vitam dan quo ad functionam adalah bonam.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Pickering LK and Snyder JD. Gastroenteritis in Nelson Textbook of


Pediatric,17Edition. 2003. page1272-1276
2. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Gastroenterologi. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1998.

27
3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan
Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH. Palembang, 2010.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Gastroenterologi Anak.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Manajemen Terpadu Balita Sakit.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2010.

28

Anda mungkin juga menyukai