Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

Demam Tifoid

Pembimbing :

dr. Tammy Utami Dewi, Sp.A

Disusun Oleh :

Sulfa Rizkiandini

20177301157

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Demam Tifoid”.
Laporan jurnal reading ini penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan kepanitraan klinik stase Pediatri di Program Studi Pendidikan
Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya. Atas
selesainya laporan jurnal ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada dr.
Tammy Utami Dewi, Sp.A yang telah memberikan persetujuan dan
pembimbingan. Semoga laporan ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi
penulis dan para pembaca.
Wassalamualaikum wr.wb

Cianjur, November 2022

Penulis

i
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN DAN ORANGTUA PASIEN


 Nama : an. DR
 Jenis kelamin : Perempuan
 Usia : 11 tahun
 Tanggal lahir : 01 Januari 2010
 No. RM : 980***
 Alamat : Kp. Sadewata 03/02, Bojong
 Tanggal masuk RS : 30 Mei 2022
 Tanggal periksa : 1 Juni 2022
 Nama ayah/usia : Tn. D / 48 tahun
 Pekerjaan ayah : Pedagang Sayur
 Nama ibu/usia : Ny. M / 43 tahun
 Pekerjaan ibu : Ibu Rumah Tangga
 Penghasilan : ± 5.000.000/ bulan

B. ANAMNESIS
 Keluhan utama
Demam sejak 11 hari SMRS.
Riwayat penyakit sekarang
11 hari SMRS pasien demam naik turun, demam naik ketika
sore sampai malam hari disertai tubuh yang menggigil dan mulai
turun saat pagi hari. Orangtua pasien tidak pernah mengukur
dengan termometer. Jika malam hari pasien tidur dan menggigau.
Pasien batuk namun tidak ada dahak. Keluhan pilek, sakit
tenggorokan dan sesak nafas tidak ada. Disertai nyeri ulu hati.
1 hari SMRS pasien juga mengeluhkan mual dan muntah
sebanyak 1 kali berisi makanan tidak ada darah. Pasien juga
merasakan lidahnya yang terasa pahit sehingga nafsu makan

1
berkurang namun pasien masih mau minum. Pasien buang air besar
cair sebanyak 2x dengan ampas kuning tidak ada lendir, darah
maupun bau yang menyengat. Saat masuk di RS sampai hari ini
pasien belum buang air besar lagi. Buang air kecil tidak ada
keluhan berwarna kuning bening dan tidak nyeri.
 Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
 Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga ataupun kerabat yang mengalami
keluhan serupa.
 Riwayat pengobatan
Pasien minum obat penururn demam (parasetamol) namun
demam naik kembali.
 Riwayat psikososial
Pasien tinggal dengan kedua orangtuanya dan kakak laki-
lakinya. Pasien tinggal di rumah yang memiliki ventilasi cukup
baik, beberapa jendela yang sering dibuka sehingga udara dan sinar
matahari yang masuk ke dalam rumah cukup. Sumber air bersih
menggunakan PAM untuk kegiatan cuci-mencuci dan mandi.
Kamar mandi dan jamban terbuat dari keramik. Sumber air minum
rumah dari gallon aqua. Pasien sering jajan disekolahnya dan beli
minuman yang menggunakan es batu. Ketika akan makan pasien
jarang mencuci tangan.
 Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi apapun baik makanan,
cuaca dan obat-obatan.
 Riwayat imunisasi

Ibu pasien mengatakan rutin mengunjungi posyandu dan


mengikuti imunisasi sesuai jadwal nya.

2
 Riwayat perkembangan

Menurut ibu pasien, pasien dapat mengikuti kegiatan


belajar di sekolah dengan baik dan dapat bersosialisasi
dengan teman-temannya. Perkembangan pasien sama
dengan teman-teman sebayanya.
Kesan: perkembangan sesuai usia.

 Riwayat kehamilan dan persalinan

Selama hamil, ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan


kehamilan di bidan. Ibu pasien pernah melakukan USG
sebanyak 2 kali. Ibu pasien sering mengonsumsi makanan
sumber protein, seperti ayam, ikan, tahu, tempe, dan telur
selama hamil. Berat badan ibu naik 8 kg selama hamil.
Riwayat darah tinggi, mual muntah berlebihan, atau
kurang darah selama hamil tidak ada. Ibu pasien tidak
memiliki kebiasaan merokok atau minum alkohol.
Pasien lahir secara spontan pervaginam ditolong oleh
bidan dengan usia kehamilan 9 bulan. Saat lahir, pasien
langsung menangis, dengan berat badan lahir 3500 gram
dan panjang badan lahir 51 cm. Pasien langsung
diberikan imunisasi saat lahir
.Kesan: ibu rutin melakukan ANC selama hamil,
gizi saat hamil baik. Neonatus cukup bulan, sesuai usia
kehamilan.
 Riwayat pola makan
 Usia 0 – 6 bulan: ASI eksklusif dan susu formula
 Usia 6 – 9 bulan: Susu formula, bubur saring (setengah mangkok, 1
– 2 kali sehari); biskuit yang dihaluskan (1 – 2 potong, 1 kali
sehari)
 Usia 9 – 12 bulan: Susu Formula, bubur nasi + sayur hijau + lauk
protein (1 mangkuk, 2 – 3 kali sehari); biskuit (1 – 2 potong, 1 kali
sehari)

3
 Usia 12 bulan – 7tahun : makanan keluarga, 1 piring, 3 kali sehari.
 Usia 7 tahun – sekarang : Semasa memasuki masa sekolah Pasien
lebih sering jajan diluar seperti bakso, mie ayam, seblak dan
sebagainya dan jarang makan dirumah.

4
C. PEMERIKSAAN FISIS
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis (E4M6V5)
 Tanda-tanda vital :
‐ Nadi : 130 x/menit
‐ Suhu : 38 °C
‐ Pernapasan : 22 x/menit
 Antropometri
‐ Berat badan : 25 kg
‐ Tinggi badan : 146 cm
 Status gizi (menggunakan kurva CDC )

5
25
 BB/U: x 100% = 65% (Gizi kurang)
38
146
 TB/U: x 100% = 94,1% (Gizi baik)
155
25
 BB/TB: x 100% = 69% (Gizi kurang)
36
 Status Generalisata

Kepala Normocephal, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak


mudah rontok
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung Sekret (-/-), pernapasan cuping hidung (-/-)
Telinga Normotia, sekret (-/-)
Mulut Mukosa bibir lembab, sianosis (-), perdarahan gusi (-), tonsil
T1-T1, faring hiperemis (-) coated tongue (+)
Leher Pembesaran KGB (-/-), pembesaran tiroid (-/-)
Thoraks  Paru:
I: pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-/-)
Pa: simetris
Pe: sonor (+/+)
A: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
I: ictus cordis tidak terlihat
Pa: ictus cordis sulit teraba
Pe: Batas jantung kanan  ICS 4 linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri ICS 4 linea midklavikularis sinistra
Batas jantung atas  ICS 2 linea parasternalis sinistra
A: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen  I: cembung, retraksi epigastrium (-)


 A: bising usus (+)
 Pe: hipertimpani pada seluruh lapang abdomen
 Pa: Nyeri tekan epigastrium (+) kembung (-), turgor

6
kembali dengan cepat, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas Akral hangat (+/+/+/+), CRT < 2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

21 Oktober 2022
Hematologi Rutin
Hemoglobin 9,2 11,5 – 15,5 g/dL
Hematokrit 26,5 32 – 42 %
Eritrosit 3.330 4.2 – 5.4 106/ µL
Leukosit 6.4 4.8 – 10.8 103/ µL
Trombosit 40 150-450 103/ µL
Limfosit 33.8 26 – 36 %
Neutrofil 63 40 – 70 %

Pemeriksaan imunoserologi (22 Oktober 2022 10.44)

Tubex T 8

E. RESUME
Anak perempuan usia 11 tahun, dengan keluhan demam sejak 11
demam step ladder dan demam septik. ketika tidur anak menggigau.
Keluhan disertai sakit kepala, batuk, sakit perut, mual, muntah 1x berisi
makanan dan belum BAB sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan lidah yang pahit dan nafsu makan yang menurun.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda tanda vital dengan
kesadaran composmentis, suhu 38C, HR 130x/menit, SpO2 98%, RR
28x/menit. Didapatakan coated tongue (+), nyeri tekan epigastrium (+),
kembung dan hipertimpani pada seluruh abdomen. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan penurun Hb 9.2 dan nilai tubex T 8.

7
F. DIAGNOSIS BANDING
Demam paratifoid

G. DIAGNOSIS

Demam Tifoid

H. SARAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi rutin 3 hari setelah antibiotic

I. PENATALAKSANAAN
 IVFD RL 3 cc/KgBB/jam
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
 Omeprazole 1x36 mg
 PO Parasetamol 3x500mg
 Diet bubur rendah serat

J. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam

8
K. FOLLOW-UP

23-10-2022
S : Demam (-), sakit kepala (-), mulut pahit (-),mual (+), muntah (-), nafsu makan
membaik, belum BAB
O:
Kes: CM
Nadi: 98x/menit
S: 36,7
RR: 22x/menit
SPO2: 98%
Kepala: normocephal
Mata: CA(-/-)
Mulut: mukosa bibir lembab, coated tounge (+)
Thorax: simetris (+), vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen: cembung, BU(+) nyeri tekan epigastrium (+), kembung (-),
hepatomegaly (-), turgor Kembali cepat
Ekstremitas: Akral Hangat
A: Demam Tifoid

P:
IVFD RL 3 cc/KgBB/jam
Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Omeprazole 1x49 mg
Ondancetron 1x 4 mg
PO Paracetamol 4x250mg

9
Diagnosis Akhir

Demam tifoid

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai
sistem retikuloendotalial, kelenjar limfe saluran cerna dan kandung empedu.
Disebabkan terutama oleh Salmonella enterica sevora thypi (S.thypi) dan
menular melalui jalur fecal-oral. Penyakit ini ditandai dengan demam
berkepanjangan, ditopang invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel
fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan plak pyeri.1,5

Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan paratifus
abdominalis. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enteric
dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3
bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe parathypi A, parathypi
B (S. schotsmuelleri), dan parathypi C (S. Hirschfeldii).2

B. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam
tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal
memiliki gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka
kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun
di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis)
dilaporkan antara 3 - 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang
lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan.3
Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di
berbagai benua, dilaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974
kasus demam tifoid dengan angka kematian 10%. Insidens demam tifoid

11
pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia
merupakan salah satu negara dengan insides demam tifoid, pada kelompok
umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100.000 penduduk.1,3

C. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan salmonella lain adalah bakteri gram
negatif, berbentuk batang, berflagel dan bersifat aerobik dan anaerob
fakultatif. Ukurannya antara 2-4x0,6 um. Suhu optimum untuk tumbuh
adalah 37oC dengan PH antara 6-8. Basil ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan
reservoir satu-satunya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang sakit
atau karier. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari pada anak, masa inkubasi ini
lebih bervariasi sekitar 5-40 hari dengan perjalanan penyakit kadang-kadang
juga tidak teratur.3
Telah dikenal lama bahwa basil Salmonella thypi mempunyai struktur
yang dapat diketahui secara serologis yaitu antigen somatik (O), antigen
flagel (H) dan antigen Vi.3

D. Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti


ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch,
2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch,
nodus limfatikus mesenterica, dan organ-organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membran usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.3

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam


tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di
lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,

12
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal

5
berjumlah 10 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan
obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.3

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (sel-M merupakan sel epitel
khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari
kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar
getah bening mesenterika.3

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ-organ RES ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda-tanda dan
gejala infeksi sistemik.3

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang


biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare
diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium.

13
Pada anak-anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa
mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-turut.3

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi


jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.3

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan


otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan
gangguan organ lainnya.3

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal


tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.3

14
E. Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala klinis umumnya tidak khas, dan bervariasi dari gejala
yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai
banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa
demam berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan
saraf pusat.2-4
Pada anak masa inkubasi demam tifoid antara antara 5-40 hari dengan
rata-rata 10-14 hari. Biasanya demam mulai dengan subfebris yang makin
hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus
menerus terutama pada malam hari. Demam yang terjadi biasanya khas
tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40oC dan cendurung
turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun
dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu
ada bentuk demam yang khas seperti diatas pada demam tifoid. Tipe demam
menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pangobatan
(penggunaan antipiretik atau antibiotik lebih awal) atau komplikasi yang
terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat
menyebabkan kejang.2-4
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme
demam akibat infeksi pada umumnya. Dimana bakteri salmonella typhi
yang memproduksi endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator-
mediator radang yang disekresi oleh sel-sel mukosa usus yang mengalami
infeksi (IL-1, IL-6 TNF-alfa dan IFN-6) yang merupakan pirogen endogen.
Kedua pirogen ini akan mengaktivasi pelepasan fosfolipase A2 pada
membran sel yang mana akan mengaktiasi asam arakidonat yang melalui
jalur siklooksigenase memproduksi prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin
E2 bersama dengan AMP siklik yang diaktivasinya akan mengubah seting
termostat yang terdapat di hipotalamus sehingga terjadilah demam.2-4
Gejala sistemik gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,
muntah, perut kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali.
Gastrointestinal problem biasanya mempengaruhi peredaran bakteri atau

15
endotoksinnya pada sirkulasi. Dari cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu
ditutupi selaput putih dengan tepi yang kemerahan kadang kala waktu lidah
dijulurkan lidah akan tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan
tifoid tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak-anaak tapi cukup
berati untuk diagnostik. Gejala-gejala lain yang tidak spesifik seperti mual,
anoreksia. Karena bakteri menempel pada mukosa usus dan berkembang
biak dalam payer patch di dalamnya maka tidak jarang akan muncul gejala-
gejala seperti diare atau kadang diselingi dengan konstipasi. Diare
merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu
untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai
menyebabkan dehidrasi, begitupun dengan konstipasi yang mungkin baru
dialami setelah diare beberapa kali. Penderita anak-anak lebih sering
mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang
kadang-kadang membuat sering mis diagnosis ketika penderita datang
berobat.2-4
Kuman yang mengalami perjalanan sirkulasi (bakteremia) juga
menimbulkan gejala pada organ retikulo endotelia sistem adalah salah
satunya hepar dan lien. Hepato-splenomegali terrjadi akibat dari replikasi
kuman dalam sel-sel fagosit atau sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien
ini tentunya akan menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan
mediator radang seperti interleukin (IL-1, IL-6), prostaglandin (PGE-2)
dimana menyebabkan permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi
edema. Pembesaran pada hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri tekan
dan hanya berlangsung singkat (terutama terjadi waktu bakteremia
sekunder). Penanda ini cukup spesifik dalam membantu diagnostik.2-4
Gangguan sistem saraf terjadi bila toksin yang menembus blood brain
barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat
sindrom otak organik yang berati kelainan extra cranial mengakibatkan
gangguan kesadaran seperti delirium, gelisah, somnolen, supor hingga
koma. Pada anak-anak tanda-tanda ini sering terjadi selama periode demam
tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada keadaan

16
ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu tidur
saja melainkan bisa timbul sewaktu-waktu.2-4
Rose spot merupakan ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1-5mm, sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas,
dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan
pada anak indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan
selama 2-3 hari. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.2-4

Bradikardi relatif adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi
tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh peningkatan
denyut nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid
peningkatan suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga
dikatakan bradikardi yang relatif pada demam. Bradikardi relatif ini juga
cenderung jarang terjadi pada anak.2-4

F. Diagnosis
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti
salmonella typhi.
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan
terhadap demam tifoid :
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai

17
dibawa ke pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada
malam hari dan turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak,
keringat dingin, sejak kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu
turun, disertai kejang atau tidak.
- Gejala gastrointestinal, diare (sejak kapan, frekuensi, ampas ada
atau tidak, konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lendir),
konstipasi (sejak kapan dimulai tidak BAB), mual atau muntah,
anoreksia, malaise, perut kembung.
- Gejala sususnan saraf pusat, apakah anak sempat tidak sadar atau
hanya sebatas ngelindur atau mengigau saja saat tidur.
- Riwayat penaykit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah
pernah sakit seperti ini, karena demam tifoid adalh infeksi yang
sangat mungkin menjadikan penderitanya sebagai karier atau
pembawa meskipun tidak menunjukkan gejala.
- Riwayat terapi, bila sudah mendapat terapi baik hanya antipiretik
dan atau antibiotik klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin
sudah mengalami perubahan.
- Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan
mengingat salah satu faktor risiko terjadinya penyakit adalah
lingkungan yang padat dan sanitasi yang kurang baik.
- Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau
minum sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah
dihinggapi lalat dan vektor penyakit yang lain. Riwayat
pemberian ASI juga perlu diketahui karena pentingnya ASI dalam
pembentukan IgA yang berperan dalam imunologi lokal dalam
slauran cerna. Anak yang minum susu formula sejak kecil
tentunya memiliki saluran cerna yang kurang diproteksi dengan
baik oleh imunoglobulin.
- Riwayat imunisasi, selain imunisasi wajib pemerintah juaga telah
ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah imunisasi
pasien tetap terinfeksi tifoid sangat memungkinkan titer antibodi
yang dibentuk oleh vaksin sebelumnya tidak cukup kuat untuk

18
mengantisipasi infeksi bakteri berikutnya. Atau terdapat
kegagalan dalam vaksinasi yang dipengaruhi banyak faktor.
Pemeriksaan fisik penderita sangat bergantung pada keadaan pasien yang
bervariasi sesuai perjalanan penyakitnya. Keadaan umum anak biasanya
tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada keadaan yang sudah
terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya
adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda-tanda dehidrasi yang
mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu gejala yang dapat terjadi pada
infeksi demam tifoid. Tanda-tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cekung
dan bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oaral
evaluasi lidah apakah didapatkan tifoid tongue dengan pinggir hiperemi
sampai tremor.
Pemeriksaan thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali
pada demam tifoid yang sanagt berat dengan komplikasi extraintestinal pada
cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jarang terjadi pada
anak-anak.
Pemeriksaan abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan
demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman
salmonella typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi
konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun
saat konstipasi. Palpasi organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali
ringan permukaan rata dengan nyeri tekan minimal.
Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan
rose spote atau roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan
diameter 1-5mm, namun sangat jarang terjadi pada anak.

Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap
pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukan leukositosis dengan
hitung jenis yang cnderung ke kiri (Diff. Count shift to br Left). Namun
untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia.

19
Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini
akibat replikasi kuman didalam payer patch yang merupakan makrofag
jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear
leukosit granul seperti netrofil stab ataupun segmen. Makrofag jaringan
merupakan limfosit sehingga tidak jarang terjadi limfositosis relatif, karena
makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun,
hitung jenis bissa jadi shift to right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit
yang meningkat (leukositosis) bisa primer maupun sekunder. Primer dari
penyakit demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat
infeksi tumpangan. Pada keadaan demam tifoid yang sudah terjadi
komplikasi berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia tipe
mikrositik hipokrom.3
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.3
Uji Widal

Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi.


Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari
tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai
kuman).3

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan


untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi
pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti
dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap

20
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Titer O >1:320 atau antibodi H >1:640 menguatkan
diagnosis pada gambaran klinis yang khas. Oleh karena itu uji Widal bukan
untuk menentukan kesembuhan penyakit.3

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1). Pengobatan
dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau non-
endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan
titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid
masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium,
akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk
suspensi antigen.3

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai
hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat
berbeda di berbagai laboratorium setempat.3

Uji tubex
Uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antibodi anti S.typhi 09.
Hasil positif menunjukkan infeksi Salmonellae serogroup D dan tidak
spesifik S. typhi. Infeksi S. paratyphi menunjukkan hasil negatif.
Sensitivitas 75-80% dan spesifisitas 75-90%.3
Sko Interpretasi Keterangan
r
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Tidak dapat disimpulkan
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Uji typhidot
dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan

21
2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi
IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada
strip nitroselulosa.3
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6%
dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas
dan spesfisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89%
dengan 78% dan 89%.3
Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus
infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian
dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini,
yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara
antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-
M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai
100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.3

Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal seperti berikut: 1). Telah mendapat terapi
antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5
cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif.
Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke
dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat
vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah

22
pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan
darah dapat negatif; 4). Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama,
pada saat aglutinin semakin meningkat.3

G. Diagnosa Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya
influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau
bronkopneumonia bila didapatkan tanda sesak, batuk dan demam. Pada
demam tifoid yang berat sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgin
dapat sebagai diagnosis banding.3
H. Penatalaksanaan
prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta
pemberian antibiotik. Pada kasus tifoid berat harus dirawat dirumah sakit
agar pemenuhan carian, elektrolit serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan penyulit.3
a. istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan
mencegah penyebaran kuman. Anak yang menderita demam tifoid
sebaiknya tirah baring/ Bed rest total dengan perawatan sepenuhnya
di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang
besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga
b. Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan
untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid terutama sekali pada anak-

23
anak, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun serta proses
penyembuhan yang akan menjadi lama.Pemberian diet penderita
demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan
pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Hal ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan. Pemberian
makanan padat dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging
dapat meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan keadaan
usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel oleh
kuman Salmonella typhi. Pemberian makanan tinggi kalori dan
tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu
dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk
kondisi usus.
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung
gejala yang muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus
pada anak- anak penting tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk
terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh karena itu pemberian infuse
sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan intake perOral
yang kurang. Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3
tahun D5 1⁄4 Normal saline, > 3 tahun D5 1⁄2 Normal saline. Jumlah
pemberian infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada anak.
Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling
aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali
minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan
saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat

24
keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah
yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
c. Antibiotik
Koramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan
penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 - 14 hari
atau sampai 5 - 7 hari setelah demam, sedang pada kasus dengan
malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21
hari, 4 - 6 menit untuk osteomielits akut, dan 4 minggu untuk
meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah angka relaps
dan karir. Namun pada anak hal tersebut jarang dilaporkan.
Ampisilin memberikan respon perbaikan yang kurang dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis yang disarankan adalah 200
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secari intravena.
Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan
kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi
trimethoprim sulfametoksazol (IMP-SMZ) memberikan hasil yang
kurang baik dibandingkan kloramfenikol. Dosis yang lebih
disarankan adalah TMP 10 mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa negara telah dilaporkan kasus
demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di India
resistensi ganda terhadap kloramfenikol, Ampisilin, dan TMP-SMZ
terjadi sebanyak 49 - 83%. Strain yang resisten umumnya rentan
terhadap sefalosporin generasi ketiga.Pemberian sefalosporin
generasi ketiga seperti Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1
atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) salama 5 - 7 hari atau
sefotaksim 150-200 mg/ kg/hari dibagi dalam 3 - 4 dosis efektif pada
isolat yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak disarankan
untuk anak. Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/KgBB/hari

25
selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila
jumlah leukosit <2000/ul atau resistensi terhadap S.typhi.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor,
koma dan syok, pemberian deksametason intravena (3 mg/kg dalam
30 menit untuk dosis awal, diberikan dilanjutkan dengan 1 mg/kg
tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang mencukupi,
dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.
Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang
memerlukan transfusi darah. Jika diduga terjadi perforasi, cairan
pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat
membantu terjadinya diagnosis. Laparatomi harus segera dilakukan
pada perforasi disertai penambahan antibiotik metronidazol untuk
memperbaiki prognosis. Reseksi 10 cm di setiap sisi perforasi
dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi
trombosit lebih disarankan untuk pengobatan trombositopenia yang
dianggap cukup berat sehingga menyebabkan perdarahan saluran
cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk
dilakukan intervensi bedah.
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis
peroral ditambah dengan probenesid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis
peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka
kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu, Bila
terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang
berhasil, kolesistektomi lebih dianjurkan setelah pemberian
antibiotik (ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama
7 - 10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30
mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari.
Kasus demam tifoid yang mengalami kekambuhan diberi
pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.
d. Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3

26
mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6
jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi
perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan
antibiotika metronidazol.

I. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. Salmonella typhi di udara akan mati apabila dipanasi
setinggi 57°C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan
endemisitas suatu negara/ daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan
sarana udara dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran
individu terhadap higiene pribadi: Imunisasi aktif dapat membantu menekan
angka kejadian demam tifoid.4
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid,
yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi
dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaksin) telah puluhan
tahun digunakan dengan cara mempersembahkan persembahan subkutan;
namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas,
disamping efek lokal pada tempat yang cukup sering. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya
perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2

27
tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang
berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi
komponen Vi dari Salmonella typhi yang diberikan secara intramuskular
memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.4

J. Komplikasi dan Penatalaksanaannya


Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi
intestinal dan komplikasi ekstra intestinal.
Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus.
Pada perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami infeksi
terutama pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi gangguan koagulasi
darah atau gabungan keduanya. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor dan tidak memerlukan tranfusi darah.
Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita dapat mengalami syok
hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor hemostasis yang
masih dalam batas normal.3,4
Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid
dengan perforasi usus akan mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah lalu menyebar ke seluruh lapang perut dan
disertai tanda-tanda ileus. Bising usus melemah, pekak hapar juga
menghilang yang menandakan adanya udara bebas dalam cavum abdomen.
Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi usus dapat dilakukan
pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana akan didapatka
gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.3,4
Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik
spectrum luas untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi

28
Chloramphenicol dan Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang
fakultatif anaerob pada flora usus digunakan Gentamisin atau
Metronidazole. Walaupun jarang terjadi pada anak- anak namun
mortalitasnya cukup tinggi bila sampai terjadi perforasi usus.3,4
Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak
adalah manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan
atau Sindroma Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai
tifoid toxic atau tofoid ensefalopati. Pengobatannya ditambah dengan
Kortikosteroid (dexamethasone) 3x5 mg.3,4

K. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju,
dengan terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara
berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis,
dan pneumonia dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.4
Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang
mengeluarkan Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya
menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada
carier kronis dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis
juga dapat terjadi, namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu
dengan schistosomiasis.4

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Hayani CH, Pickering LK. Infeksi Salmonella. Dalam: Feigin RD, Cherry
JD (penyunting). Buku teks penyakit menular pediatrik, edisi ke-3, Tokyo:
WB Saunders Co, 1992.h.620-33.
2. Sidabutar, S.Satari H. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri 2016;11:434.
3. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, K. M., Setiyohadi, B., &
Syam, A. F. (2014). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (VI). Interna Publishing.
4. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.
5. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. A. (2016). Kapita
Selekta Kedokteran Jilid II (IV). Media Aesculapius.

30

Anda mungkin juga menyukai