Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

ANAK LAKI-LAKI 2 TAHUN DENGAN FEBRIS 10 HARI E.C DEMAM


TIFOID DD DHF, STATUS GIZI KURANG, UNDERWEIGHT,
NORMOHEIGHT

DISUSUN OLEH:

FADLAN AKHYAR FAUZI G99181026

Residen Konsulen Staff Pembimbing

dr. Firman Wahyudi dr Amiroh Kurniati, M.Kes, Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr
Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

Anak Laki-Laki 2 Tahun Dengan Febris 10 Hari E.C Demam Tifoid DD DHF,
Status Gizi Kurang, Underweight, Normoheight

Hari, tanggal : Kamis, 27 Februari 2020

Oleh:
Fadlan Akhyar Fauzi G99181026

Mengetahui dan menyetujui, Pembimbing Presentasi Kasus

dr Amiroh Kurniati, M.Kes, Sp.PK

1
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AAJ
Tanggal lahir : 27 November 2018 (2 Tahun)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cepogo, Boyolali
BB : 9,1 kg
TB : 83 cm
Tanggal masuk : 6 Oktober 2019
Tanggal Pemeriksaan : 7 Oktober 2019
No. CM : 17554XXX

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam hari 10 SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang diantar oleh kedua
orang tuanya dengan keluhan demam sejak 10 hari SMRS. Demam
dirasakan naik turun. Pasien sudah dikompres air hangat namun demam
tidak turun. Demam biasanya naik ketika sore hari namun suhu badan
pasien tidak diperiksa menggunakan termometer.
Ibu pasien juga mengeluhkan perut anaknya kembung sejak 10 hari
SMRS. Kembung dirasakan terus menerus dan tidak membaik. Keluhan
mual dan muntah disangkal oleh ibu pasien. Diare dan kesulitan BAB
disangkal. Pasien sudah lama berhenti minum ASI.
Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya menjadi rewel sejak 1 hari
SMRS. Keluhan batuk dan pilek disangkal. Tidak terdapat cairan yang
keluar dari telinga. Riwayat mimisan pada pasien disangkal. Ada bercak
kemerahan pada kulit juga disangkal. Tidak ada riwayat trauma kepala
2
maupun pijat pada pasien. Buang air kecil (BAK) berwarna kuning
jernih dan buang air besar (BAB) masih dalam batas normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kejang tanpa demam : disangkal
Riwayat batuk pilek : disangkal
Riwayat demam berdarah : disangkal
Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria : disangkal
Riwayat trauma kepala dan pijat : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat demam tiphoid : (+) diakui, satu tahun
sebelumnya dan sempat dirawat di RS selama beberapa hari

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : (-)
Riwayat batuk lama : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat diabetes mellitus : (-)

5. Riwayat Lingkungan Sekitar


Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien tinggal
dengan kedua orang tuanya. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami
keluhan serupa. Tetangga pasien juga tidak ada yang mengeluhkan
keluhan serupa dengan pasien.

3
6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Ibu pasien hamil dalam usia 24 tahun dan merupakan kehamilan
yang pertama. Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun
saat hamil. Ante natal care dilakukan secara rutin di bidan desa. Ibu
pasien mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan. Ibu
pasien tidak mengonsumsi obat-obatan. Kesan kehamilan normal.

7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan di bidan saat usia kehamilan 39 minggu,
dengan berat lahir 2700 gram, panjang badan 51 cm, menangis spontan
(+), kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).

8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


a. Pertumbuhan
BB lahir 2700 gram, PB lahir 51 cm. Sejak kecil anak selalu dibawa ke
posyandu dan tidak didapatkan penurunan berat badan Umur sekarang 2
tahun, BB 9,1 kg, PB 83 cm.
b. Perkembangan
i. Motorik kasar dalam batas normal ii.
Motorik halus dalam batas normal
iii. Bahasa dalam batas normal
iv. Personal sosial dalam batas normal
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

9. Status Imunisasi (kurang campak 9 bulan, lainnya lengkap)


Jenis 0 1 2 3 4
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
BCG 1 bulan
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan

Kesan : imunisasi dasar telah lengkap sesuai jadwal Kemenkes 2017

4
10. Riwayat Nutrisi
ASI eksklusif diberikan sejak lahir sampai usia 1.5 tahun. Saat ini
pasien sudah bisa makan makanan biasa dan biasanya makan sehari
sebanyak 2-3 kali dengan pilihan makanan nasi sayur dan lauk. Teteapi
pasien makan dengan porsi yang sedikit.. Kesan : kualitas dan kuantitas
asupan gizi kurang.

11. Riwayat Sosial


Pasien merupakan anak ketiga dari Tn T yang bekerja sebagai
karyawan swasta sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah tangga. Ayah
Ibu pasien merupakan suku Jawa. Ayah, Ibu, dan pasien beragama
Islam. Pasien memeriksakan diri ke RSUD Pandan Arang Boyolali
menggunakan layanan BPJS kelas III PBI.

12. Pohon Keluarga


I

II

Tn. T Ny A
28 tahun 25 tahun

An. A AJ
III 2 Tahun

5
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : baik
2. Tanda vital
BB : 9,1 kg
PB : 83 cm
SiO2 : 99%
Nadi : 92 x/menit, reguler
Pernafasan : 22 x/menit, reguler
Suhu : 38.3 C (per axilla)
3. Perhitungan Status Gizi
a) Secara klinis
Gizi kesan kurang
b) Secara Antropometris
BB : 9.1 kg, Umur : 2 tahun, PB : 83 cm
BB/U : -3 SD < Z score < -2 SD underweight
TB/U : -2 SD < Z score < +2 SD normoheight
BB/TB : -3 SD < Z score < -2 SD gizi kurang
Status gizi secara antropometri: gizi kurang, underweight,
normoheight
4. Kepala
Mesosefal , Normosefal, lingkar kepala (LK): 48 cm ( -2 SD < LK < +2
SD) (Nellhaus).
5. Mata
Oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (-/-),
cekung
(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm), air mata (+/+)
6. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)

6
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor (+) dan hiperemis (-)
8. Telinga
Sekret (-/-), tragus pain (-/-)
9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring hiperemis (-)
10. Leher
Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak
membesar
11. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan daerah epigastrium (+) supel, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba, ascites (-), pekak alih (-), undulasi (-),
nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat

13. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - - 7
ADP kuat
CRT < 2 detik

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan 19/5/19 Satuan Rujukan Metode


HEMATOLOGI RUTIN

Hemoglobin 11.9 g/dl 10.8 – 12.6 Autocounter


Hematokrit 35.0 % 35 - 43 Autocounter
Leukosit 10800 ribu/ul 6000-17000 Autocounter
Eritrosit 4.84 juta/ul 3.60 – 5.20 Imunodiagno
Trombosit 236 ribu/ul 217-497 Autocounter
Eosinofil 2.0 % 1-5 Giemsa
Basofil 0.1 % 0–1 Giemsa
Neutrofil Segmen 45.2 % 25-60 Giemsa
Limfosit 45.8 % 25 – 50 Giemsa
Monosit 6.9 % 1-6 Giemsa
MCV 72.3 /um 73.0 - 101.0 Standart
MCH 24.7 Pg 23.0 - 31.0 Standart
MCHC 34.2 g/dl 26.0 - 34.0 Standart
RDW 12.1 % 11.6 - 14.6 Standart
IMUNOSEROLOGI

IgM Salmonella 6↑ - <=2 negatif Chromatograp

URINE RUTIN (07/10/2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Metode
FISIS
8
Warma Kuning Muda Kuning Manual
Kejernihan Jernih Jernih Manual
Bau Khas Khas Manual
KIMIA
Blood Negatif Negatif Manual
Bilirubin Negatif Negatif Stick
Urobilinogen Negatif Negatif Stick
Benda Keton Negatif Negatif Stick
Reduksi Negatif Negatif Stick
Protein Negatif Negatif Stick
Nitrit Negatif Negatif Stick
Leukosit Negatif 1+/LBP Stick
Reaksi / pH 7.5 4.6 – 8.5 Stick
Berat Jenis 1.015 1.003 – 1.030 Stick
SEDIMEN
Epitel +1 +1 / LBP Sedimentasi
Leukosit +1 Sedimentasi
Eritrosit +1 +1 / LBP Sedimentasi
Silinder Negatif Negatif Sedimentasi
Kristal Negatif Negatif Sedimentasi
Bakteri Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif

E. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang diantar oleh kedua
orang tuanya dengan keluhan demam sejak 10 hari SMRS. Demam dirasakan
naik turun. Pasien sudah dikompres air hangat namun demam tidak turun.
Demam biasanya naik ketika sore hari namun suhu badan pasien tidak
diperiksa menggunakan termometer.

9
Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya diare sejak 1 hari SMRS.
Diare cair berlendir. Diare sebanyak 4x di pempes, lebih banyak cairan
dibandingkan ampas. Keluhan mual dan muntah disangkal oleh ibu pasien.
Perut kembung dan nyeri disangkal. Pasien masih mau minum ASI.
Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya menjadi rewel sejak 1 hari
SMRS. Keluhan batuk dan pilek disangkal. Tidak terdapat cairan yang keluar
dari telinga. Riwayat mimisan pada pasien disangkal. Tidak ada riwayat
trauma kepala maupun pijat pada pasien. Buang air kecil (BAK) berwarna
kuning jernih.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan didapatkan pasien tampak
sakit sedang, BB: 9,1 kg, PB: 83 cm, SiO2: 99%, nadi: 92 x/menit,
pernafasan: 22 x/menit, peningkatan suhu mencapai 38,3 ˚C, bising usus
normal dengan IgM Salmonella +6

F. DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis:
a. Demam sejak 10 hari SMRS
b. Demam Naik turun dimana demam terjadi ketika malam hari
c. Perut terasa kembung sejak 10 hari SMRS
d. Ada mual dan muntah, nyeri tekan abdomen didapatkan
e. Gizi Kurang
f. Underweight
g. IgM Salmonella meningkat

2. Pemeriksaan Fisik:
a. Nadi 92 kali/menit
b. Pernapasan 22 kali/menit
c. Suhu: 38,3o C per axilla
d. Bising usus normal
e. CRT < 2 detik
f. ADP kuat

10
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Demam Thphoid (A01.00)
2. Abdominal Pain with Vomitus (R10.9)
3. Demam Berdarah (A90)
4. Infeksi Saluran Kemih (N39.0)
5. Pneumonia (J18.9)
6. Leptospirosis (A27.9)
7. Gizi Kurang (E44.0)
8. Underweight (R63.6)

H. DIAGNOSIS KERJA
1. Demam Thphoid (A01.00)
2. Gizi Kurang (E44.0)
3. Underweight (R63.6)

I. PENATALAKSANAAN AWAL
1. Rawat inap bangsal anak
2. Bedrest total
3. Diet lunak 1275 kkal
4. IVFD KAEN 3A 8 tpm
5. Inj Colasentin 3x150 mg
6. Syr Paracetamol 3 x ¾ cth
7. Syr Pedilis 1 x 1 cth

J. MONITORING
Keadaan umum, tanda vital,

K. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien.
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien.
3. Mengenai kemungkinan dan cara pencegahan kekambuhan penyakit
pasien.

L. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
11
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam

M. FOLLOW UP
Follow up status pasien

Follow up 6/10/2019 7/10/2019 8/10/2019


S Demam (+) disertai Demam berkurang (+) Demam berkurang (+)
perut kembung (+). disertai perut kembung disertai perut kembung
Sulit makan (+) Batuk
(-) berdahak warna (+). Batuk (-) berdahak (+). Sulit makan (+)
kental berwarna putih warna kental berwarna Batuk (-) berdahak
kekuningan. Pilek (+)
putih kekuningan. Pilek warna kental berwarna
(+) putih kekuningan. Pilek
(+)
O KU: tampak sakit KU: tampak sakit KU: tampak sakit
sedang, gizi kesan sedang, gizi kesan sedang, gizi kesan
kurang kurang kurang

Tanda SiO2: 99%, RR 22 SiO2: 99%, RR 20 SiO2: 99%, RR 18


Vital x/menit, t 38.3oC, HR x/menit, t 37.3oC, HR x/menit, t 36.8oC, HR
95 x/menit 92 x/menit 88 x/menit
Kepala Normosefal, lingkar Normosefal, lingkar Normosefal, lingkar
kepala (LK): 48 cm, kepala (LK): 48 cm, kepala (LK): 48 cm,

Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)


Mata CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-)
Oedem palpebra (-/-) Oedem palpebra (-/-) Oedem palpebra (-/-)

Hidung Nafas cuping hidung (- Nafas cuping hidung (- Nafas cuping hidung (-
), sekret (-/-) ), sekret (-/-) ), sekret (-/-)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 hiperemis Tonsil T1-T1 hiperemis Tonsil T1-T1 hiperemis
(-), faring hiperemis (-) (-), faring hiperemis (-) (-), faring hiperemis (-)
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)

12
Cor I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak tampak I: ictus cordis tak tampak
tampak P: ictus cordis tidak kuat P: ictus cordis tidak kuat
P: ictus cordis tidak kuat angkat angkat
angkat P: batas jantung sulit P: batas jantung sulit
P: batas jantung sulit dievaluasi dievaluasi
dievaluasi A: BJ I-II intensitas A: BJ I-II intensitas
A: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising normal, reguler, bising
normal, reguler, bising (-) (-)
(-)
Pulmo I: pengembangan dada I: pengembangan dada I: pengembangan dada
kanan = kiri P: kanan = kiri P: kanan = kiri P:
fremitus raba fremitus raba fremitus raba
kanan=kiri P: kanan=kiri P: kanan=kiri P:
sonor/sonor A: suara sonor/sonor A: suara sonor/sonor A: suara
dasar: dasar: dasar:
vesikuler (+/+), RBK (- vesikuler (+/+), RBK (- vesikuler (+/+), RBK (-
/-) /-) /-)
Abdomen I: dinding dada = I: dinding dada = I: dinding dada =
dinding perut A: dinding perut A: dinding perut A:
bising usus (+) bising usus (+) bising usus (+)
P: timpani P: timpani P: timpani
P: supel, nyeri tekan (+ P: supel, nyeri tekan (-), P: supel, nyeri tekan (-),
), hepar tidak teraba, hepar tidak teraba, hepar tidak teraba,

ascites (-) dan lien tidak ascites (-) dan lien tidak ascites (-) dan lien tidak
teraba teraba teraba

Genital Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal

13
Ekstremitas Akral dingin (-), Akral dingin (-), sianosis Akral dingin (-), sianosis
sianosis (-), CRT < 2”, (-), CRT < 2”, (-), CRT < 2”,
ADP kuat ADP kuat ADP kuat
R. fisiologis: dalam R. fisiologis: dalam R. fisiologis: dalam
batas normal batas normal batas normal
R. patologis: (-) R. patologis: (-) R. patologis: (-)
Me. ningeal sign : (-) Me. ningeal sign : (-) Me. ningeal sign : (-)
Asessment Demam Typhoid Demam Typhoid Demam Typhoid

Terapi 1. IVFD KAEN 3A 1. IVFD KAEN 3A 1. IVFD KAEN 3A


8 tpm 8 tpm 8 tpm
2. Inj Colsansetin 2. Inj Colsansetin 2. Inj Colsansetin
3x150 mg 3x150 mg 3x150 mg
3. Syr Paracetamol 3. Syr Paracetamol 3. Syr Paracetamol
3 x ¾ cth 3 x ¾ cth 3 x ¾ cth
Syr Pedilis 1 x 1 cth 4. Syr Pedilis 1 x 1 4. Syr Pedilis 1 x 1
cth cth

14
BAB II ANALISIS KASUS

Pada kasus ini diagnosis Typhoid Fever

A. Anamnesis
1. Pasien mengalami demam sejak 10 hari SMRS, Demam dirasakan
ketika malam hari
2. Pasien mengalami nyeri perut, mual dan muntah pada pasien. Diare dan
nyeri disangkal pada pasien. Pasien masih mau minum ASI.
3. Pasien menyangkal keluhan batuk dan pilek. Buang air kecil (BAK)
berwarna kuning jernih dan pasien tidak menangis saat buang air kecil
serta BAB masih dalam keadaan normal.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
2. Tanda vital pasien: SiO2 : 99%, nadi: 92 x/ menit reguler, pernafasan :
22 x/menit reguler, suhu: 38,3 ºC (per axilla)
3. Bising usus (+)
4. ADP kuat, CRT < 2 detik

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hemoglobin 11.9 g/dL,
Hematokrit 35.0%, Eritrosit 4.84 juta/ul, Trombosit 236 103/Ul, dengan
leukosit sebanyak 10800/uL

2. Pemeriksaan Imunoserologi didapatkan IgM Salmonella +6

Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau Typhoid


fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.
Kriteria rawat inap pada pasien anak dengan diare akut tanpa dehidrasi
adalah apabila terdapat komplikasi lain, seperti tidak mau minum, muntah

15
terusmenerus, diare frekuen, kejang, atau memerlukan observasi lebih lanjut
untuk menegakkan etiologi dari diare tersebut.
Penegakan diagnosis pada pasien ini dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan demam tinggi
sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak turun walaupun sudah
dikompres dengan air hangat, disertai perut kembung dan tidak nyaman sejak
10 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ditemukan tanda dehidrasi pada
pasien ini dan pasien masih mau minum ASI dengan lahap.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam dan lidah kotor. Dari
hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap, didapati
adanya leukopeni, trombositopeni, dan Ig M Salmonella +6.

16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

I. Demam Typhoid
A. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau
Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

B. Etiologi
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid
disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Kuman
masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung
kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus
dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque
Peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi
darah (bakteremia primer) mencapai jaringan RES (hepar, lien,
sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami
bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk
menyerang organ lain (intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi
10-14 hari Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, yang
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar
dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.

17
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella,
fimbriae atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur
kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas di atas 60ºC, asam dan alkohol.
3. Antigen Vi adalah polimer polisakarida yang bersifat asam yang
terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.

C. Epidemiologi
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi
masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan
angka kejadian penyakit ini mencapai 16 juta kasus di Asia
tenggara dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per
tahun. Di . Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus
per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1-
10,4%. Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini
menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada
kelompok umur 5 – 14 tahun di daerah perkotaan. Demam tifoid
merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh
infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalens 91% kasus demam
tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah
umur 5 tahun.

D. Patofisiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam
tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang
biak. Menurut penelitian dibutuhkan kuman jumlah tertentu yaitu
106-109 untuk dapat menimbulkan penyakit. Bila respon imunitas
humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina

18
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag


dan selanjutnya dibawa ke Plaque Peyeri Ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik). Bekterimia pertama terjadi 24-72 jam
setelah kuman tertelan dan biasanya tanpa gejala karena jumlah
kuman tidak cukup banyak untuk dapat menimbulkan gejala, dan
kuman segera tertangkap oleh sel-sel sistem retikuloendotelial
tubuh terutama hati, limpa dan sumsum tulang . Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan
secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagain kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif
maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamsi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit perut, sakit kepala, instabilitas vascular, gangguan mental
dan koagulasi.
Seperti halnya mekanisme tubuh terhadap penyakit infeksi
umumnya, mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya
kuman Salmonella typhi pada manusia dapat timbul segera, yang
di periksa oleh mekanisme imunologik non spesifik dan

19
selanjutnya diikuti dengan mekanisme pertahanan imunologik
spesifik yang terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.
Asam lambung sebagian dari sistem pertahanan non spesifik,
merupakan salah satu barier utama yang dapat mematikan
mayoritas kuman penyebab infesksi saluran cerna. Adanya
penurunan keasaman lambung akan menyebabkan lebih banyak
kuman mencapai usus halus. Sebagian kuman Salmonella typhi
masih dapat bertahan dan tetap hidup dalam asam lambung.
Selanjutnya kuman dapat menembus epitel mukosa epitel usus
halus dan berhadapan dengan membrane basalis, yang fungsi
pertahananya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan proses
radang. Sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di
dalam lapisan subepitel, kuman akan mendapatkan perlawanan
dari 3 mekanisme pertahanan yang terdiri dari cairan jaringan,
sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi Salmonella
typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial, yang
juga terjadi pada jaringan limfoid seperti plaques, kelenjar, limfe
lain (hati,limpa dengan aktivitas fagositosis yang meningkat).
Mekanisme pertahanan imunologik spesisfik biasanya
menyangkut antibodi, lomfosit B dan T dan komplemen yang
terbagi atas imunitas seluler dan imunitas humoral. Respon
imunitas seluler sangat penting dalam penyembuhan penyakit
demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel limfosit T dan
fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang
tidak dapat diatasi oleh mekanisme mikrobial humoral dan fagosit
polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan merangsang
limfosit T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag, sehingga
akan berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.
Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral.
Akibat stimulasi antigen kuman , sel akan berubah menjadi sel
plasma dan mensintesa immunoglobulin. Imuniglobulin G dan M
adalah immunoglobulin yang di bentuk paling banyak. Peningkatan

20
titer terjadi mulai minggu pertama kemudian meningkat pada
minggu-minggu berikutnya , sedangkan imunoglobulin A
meningkat pada minggu kedua. Immunoglobulin M adalah antibodi
pertama yang dibentuk dalam respon imun. Karena itu kadar IgM
yang tinggi merupakan petunjuk adanya infeksi dini. Adanya
antibodi humoral ini bisanya dipakai sebagai dasar berbagai
pemeriksaan laboratorium.

Gambar 1. Sensitifitas Tubex TF vs Profil Respon Antibodi


Salmonella typhi Periode Fase Demam.

E. Pemeriksaan Laboratorium

A. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang
diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah,
karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%.
Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari
kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan
sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun
invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.

21
B. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi
sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang
membutuhkan waktu 5–7 hari.11In-flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki
sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nestedpolymerase
chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakanuntuk
mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan
pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68,1%). Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas
dilakukan dalam penelitian.

D. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas
pemeriksaan antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling
sering dilakukan saat ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test
Hemagglutinin (HA), Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE), dan test
cepat/ rapid test (Typhidot, TUBEX). Sedangkan pemeriksaan antigen S.
Typhii dapat dilakukan melalui pemeriksaan protein antigen dan protein Vibaik
menggunakan ELISA/ koaglutinasi namun sampai saat ini masih dalam
penelitian jumlah kecil.

C.1. Pemeriksaan serologis test cepat/ rapid test


Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini
merupakan diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan
dikembangkan, mengingat sebagian besar penderita demam tifoid adalah
penduduk negara berkembang dengan sarana laboratoriumnya terbatas.
Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP) dan O9
lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyakpenelitian yang membuktikan
bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100%
22
pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. Typhi.
Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi
(Tubex)R dan IgM terhadap S. Typhi (Typhidot)R memiliki sensitivitas dan
spesifisitas berkisar 70% dan 80%. Studi meta analisis di 2015
menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas 69% dan spesifisitas
88%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak
direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur
darah dan teknik molekuler tetap merupakan baku emas. Penelitian di
Bangladesh (2008) menunjukan bahwa Tubex memiliki sensitivitas 60%,
spesifisitas 58%, positive predictive value 90% dan negative predictive
value 58%; sedangkanTyphidot memiliki sensitivitas 67%, spesifisitas
54%, positive predictive value85% dan negative predictive value 81%.
Hari pemeriksaan terbaik adalah pada anak dengan demam ≥5
hari. Penelitian di Palembang (2014), menunjukan bahwa pemeriksaan
Tubex-TF untuk deteksi antibodi IgM S. Typhi pada anak demam hari ke-4
dengan nested PCR positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas 63% dan
spesifisitas 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif 83%,
sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak dengan demam < 5
hari.

Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat.


Namun, interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada kasus
tersangka demam tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella
dapat bertahan sampai 3 bulan dalam darah Positif palsu pada pemeriksaan
TUBEX bisa terjadi pada pasien dengan infeksi SalmonellaEnteridis, sedangkan
hasil negatif palsu didapatkan bila pemeriksaandilakukan terlalu cepat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam pemeriksaan serologis demam tifoid
masih terus berkembang, antara lain dari spesimen urin dan saliva.

23
Tabel 1 memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam
tifoid.
Tabel I. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.
Sensitivitas Spesifisitas
Uji diagnostik Keterangan
(%) (%)
Pemeriksaan mikrobiologi
Baku emas, namun sensitivitas rendah di daerah endemis
Biakan darah 40-80 NA karena penggunaan antibiotic yang tinggi, sehingga
spesifisitas sulit diestemasi
Biakan sumsum 55-67 30 Sensitivitas tinggi, namun invasif dan terbatas penggunaannya
tulang
Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi
Sensitivitas rendah di negara berkembang dan tidak
Biakan tinja 30 NA
digunakan secara rutin untuk pemantauan
Diagnostik molekular
Menjanjikan,namun laporan awal menunjukkan sensitivitas
PCR 100 100
mirip biakan darah dan spesifisitas rendah
Menjanjikan dan menggantikan biakan darah sebagai baku
Nested PCR 100 100
emas baru
Diagnostik serologi
Klasik dan murah. Hasil bervariasi di daerah endemis, perlu
Widal 47-77 50-92
standardisasi dan kualitas kontrol dari reagen
Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari Typhidot-M
Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjikan dan harus diuji ditingkat komunitas
Lainnya
Deteksi antigen urin 65-95 NA Data awal
NA = not available

C.2. Pemeriksaan Widal


Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap
antigen O dan H dari S. Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah,
sehingga penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di
daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya
antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak
awal penyakit.
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-
hati karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian
antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam
tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas

24
antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga
30% dari sampel biakan positif demam tifoid.

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas


83%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena
reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri
enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi
tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil negatif palsu dapat
terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik
sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.

Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak


mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid
baru dapat ditegakkan jika pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2
minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal
memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji
diagnostik tunggal.

D. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik.
Leukopeni sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan
adanya penyulit misalnya perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun
bersifat reversibel. Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi
sumsum tulang dan perdarahan intra intestinal. Pada hitung jenis dapat
ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif. Pada demam tifoid dapat
terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab
hepatitis yang lain.

25
I. Growth Chart

26
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan WHO

Cara Menggunakan Grafik Pertumbuhan WHO

1. Tentukan umur, panjang badan (anak di bawah 2 tahun)/tinggi badan (anak


di atas 2 tahun), berat badan.

2. Tentukan angka yang berada pada garis horisontal / mendatar pada kurva.
Garis horisontal pada beberapa kurva pertumbuhan WHO menggambarkan
umur dan panjang / tinggi badan.

3. Tentukan angka yang berada pada garis vertikal/lurus pada kurva. Garis
vertikal pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan panjang/berat
badan, umur, dan IMT.

4. Hubungkan angka pada garis horisontal dengan angka pada garis vertikal
hingga mendapat titik temu (plotted point). Titik temu ini merupakan
gambaran perkembangan anak berdasarkan kurva pertumbuhan WHO.

Cara Menginterpretasikan Kurva Pertumbuhan WHO

1. Garis 0 pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan median, atau


ratarata

27
2. Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan WHO
garis ini diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik temu yang
berada jauh dari garis median menggambarkan masalah pertumbuhan.

3. Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di bawah -
2.

4. Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.
5. Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan WHO
dapat menggunakan tabel berikut ini.

Tabel 2. Z-Skor Menurut Acuan WHO

Catatan :

1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini tidak
masih normal. Singkirkan kelainan hormonal sebagai penyebab
perawakan tinggi.

2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah pertumbuhan


tapi lebih baik jika diukur menggunakan perbandingan beratbadan
terhadap panjang / tinggi atau IMT terhadap umur.

3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukan berisiko gizi lebih.
Jika makin mengarah ke garis Z-skor 2 resiko gizi lebih makin
meningkat.

28
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek
memiliki gizi lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI
(Integrated Management of Childhood Illness in-service training.
WHO, Geneva, 1997

29
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang (IgM Salmonella positif 6) menunjukkan adanya infeksi
primer Salmonella Spp.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010.

B. Saran
1. Dilakukan pemeriksaan terhadap albumin, globulin, total protein,
parameter besi seperti SI, TIBC, Ferritin untuk mengetahui risiko
mengarah ke dalam jenis gizi buruk tertentu
2. Pemeriksaan Elektrolit, IgM, IgG Dengue, SGOT SGPT, LED, Ur,
Cr, Kultur Darah disarankan lebih lanjut untuk mengetahui risiko
komplikasi dan resistensi antibiotik pada pasien

3.

30
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M. (2006). Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah dan Perdarahan


Samar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Bagian
Penyakit Dalam FKUI, pp: 295.
Alba S, Bakker MI, Hatta M, Scheelbeek PFD, Dwiyanti R, Usman R, et al. Risk
Factors of Typhoid Infection in the Indonesian Archipelago. PLoS
ONE (2016) 11(6): e0155286. doi:10.1371/journal. pone.0155286
Ardhani Punky. (2008). Art of Theraphy: Ilmu Penyakit Anak, Pustaka Cendekia
Press: Jogjakarta
Conall H. Watson, W. John Edmunds. A review of typhoid fever
transmission dynamic models and economic evaluations of
vaccination. Elsevier Vaccine 33 (2015) C42–C54
De Jong HK, Parry CM, van der Poll T, Wiersinga WJ Host–Pathogen
Interaction in Invasive Salmonellosis. PLoS (2012) Pathog 8(10):
e1002933. doi:10.1371/journal.ppat.1002933
Farah Naz Qamar, Asma Azmatullah, Zulfiqar A. Bhutta Challenges in
measuring complications and death due to invasive Salmonella
infections. ElsevierVaccine 33 (2015) C16–C2Claire S. Waddington,
Thomas C. Darton, William E. Woodward, Brian Angus, Myron M.
Levine, Andrew J. Pollard. Advancing the management and control of
typhoid fever: A review of the historical role of human challenge studies.
ElsevierJournal of Infection (2014) 68, 405e418
Hasan Rusepno et al. (2007). Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11, Infomedika
: Jakarta.
Hassan R, Alatas H. (2007). Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 2. Jakarta:
Oanh H Pham and Stephen J. McSorley. Protective host immune responses to
Salmonella infection Future Microbiol. 2015 January ; 10: 101–110.
doi:10.2217/fmb.14.98.
Price SA, Wilson LM. (2007). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit 6th Edition. Jakarta: EGC, pp: 1332-1333.
Poorwo sumarso et al. (2003). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan
Penyakit Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
31
Pusponegoro hardiyono et al. (2004). Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak : Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pudjiadi, Antonius H. et al. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta Pusat: Badan Penerbit IDAI.
Souha S. Kanj, Zeina A. Kanafani, Marwa Shehab, Nisreen Sidani, Tania
Baban, Kedak Baltajian, Ghenwa K. Dakdouki, Mohamad Zaatari, et
al. Epidemiology, clinical manifestations, and molecular typing of
salmonella typhi isolated from patients with typhoid fever in Lebanon.
Elsevier Journal of Epidemiology and Global Health (2015) 5, 159– 165
Tia Sorrell, Daniel J. Selig, Mark S. Riddle and Chad K. Porter. Typhoid
fever cases in the U.S. military. BMC Infectious Diseases (2015)
15:424 DOI 10.1186/s12879-015-1159-6
Tamding Wangdi, Sebastian E. Winter and Andreas J. Bäumler. Typhoid fever
“You can’t hit what you can’t see” Gut Microbes 3:2, 88–92; March/April
2012; G 2012 Landes Bioscience
Tortora GJ, Derrickson B (2014). Principles of anatomy & physiology. Edisi ke
14. United States of America: John Wiley and Sons.
Vittal Mogasale, Brian Maskery, R Leon Ochiai, Jung Seok Lee, Vijayalaxmi
V Mogasale, Enusa Ramani, Young Eun Kim, Jin Kyung Park,
Thomas F Wierzba. Burden of typhoid fever in low-income and
middle-income countries: a systematic, literature-based update with
risk-factor adjustment. Lancet Glob Health 2014;2: e570–80

32

Anda mungkin juga menyukai