DISUSUN OLEH:
Anak Laki-Laki 2 Tahun Dengan Febris 10 Hari E.C Demam Tifoid DD DHF,
Status Gizi Kurang, Underweight, Normoheight
Oleh:
Fadlan Akhyar Fauzi G99181026
1
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AAJ
Tanggal lahir : 27 November 2018 (2 Tahun)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cepogo, Boyolali
BB : 9,1 kg
TB : 83 cm
Tanggal masuk : 6 Oktober 2019
Tanggal Pemeriksaan : 7 Oktober 2019
No. CM : 17554XXX
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam hari 10 SMRS
3
6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Ibu pasien hamil dalam usia 24 tahun dan merupakan kehamilan
yang pertama. Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun
saat hamil. Ante natal care dilakukan secara rutin di bidan desa. Ibu
pasien mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan. Ibu
pasien tidak mengonsumsi obat-obatan. Kesan kehamilan normal.
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan di bidan saat usia kehamilan 39 minggu,
dengan berat lahir 2700 gram, panjang badan 51 cm, menangis spontan
(+), kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).
4
10. Riwayat Nutrisi
ASI eksklusif diberikan sejak lahir sampai usia 1.5 tahun. Saat ini
pasien sudah bisa makan makanan biasa dan biasanya makan sehari
sebanyak 2-3 kali dengan pilihan makanan nasi sayur dan lauk. Teteapi
pasien makan dengan porsi yang sedikit.. Kesan : kualitas dan kuantitas
asupan gizi kurang.
II
Tn. T Ny A
28 tahun 25 tahun
An. A AJ
III 2 Tahun
5
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : baik
2. Tanda vital
BB : 9,1 kg
PB : 83 cm
SiO2 : 99%
Nadi : 92 x/menit, reguler
Pernafasan : 22 x/menit, reguler
Suhu : 38.3 C (per axilla)
3. Perhitungan Status Gizi
a) Secara klinis
Gizi kesan kurang
b) Secara Antropometris
BB : 9.1 kg, Umur : 2 tahun, PB : 83 cm
BB/U : -3 SD < Z score < -2 SD underweight
TB/U : -2 SD < Z score < +2 SD normoheight
BB/TB : -3 SD < Z score < -2 SD gizi kurang
Status gizi secara antropometri: gizi kurang, underweight,
normoheight
4. Kepala
Mesosefal , Normosefal, lingkar kepala (LK): 48 cm ( -2 SD < LK < +2
SD) (Nellhaus).
5. Mata
Oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (-/-),
cekung
(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm), air mata (+/+)
6. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
6
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor (+) dan hiperemis (-)
8. Telinga
Sekret (-/-), tragus pain (-/-)
9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring hiperemis (-)
10. Leher
Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak
membesar
11. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan daerah epigastrium (+) supel, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba, ascites (-), pekak alih (-), undulasi (-),
nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat
13. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - - 7
ADP kuat
CRT < 2 detik
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
E. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang diantar oleh kedua
orang tuanya dengan keluhan demam sejak 10 hari SMRS. Demam dirasakan
naik turun. Pasien sudah dikompres air hangat namun demam tidak turun.
Demam biasanya naik ketika sore hari namun suhu badan pasien tidak
diperiksa menggunakan termometer.
9
Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya diare sejak 1 hari SMRS.
Diare cair berlendir. Diare sebanyak 4x di pempes, lebih banyak cairan
dibandingkan ampas. Keluhan mual dan muntah disangkal oleh ibu pasien.
Perut kembung dan nyeri disangkal. Pasien masih mau minum ASI.
Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya menjadi rewel sejak 1 hari
SMRS. Keluhan batuk dan pilek disangkal. Tidak terdapat cairan yang keluar
dari telinga. Riwayat mimisan pada pasien disangkal. Tidak ada riwayat
trauma kepala maupun pijat pada pasien. Buang air kecil (BAK) berwarna
kuning jernih.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan didapatkan pasien tampak
sakit sedang, BB: 9,1 kg, PB: 83 cm, SiO2: 99%, nadi: 92 x/menit,
pernafasan: 22 x/menit, peningkatan suhu mencapai 38,3 ˚C, bising usus
normal dengan IgM Salmonella +6
F. DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis:
a. Demam sejak 10 hari SMRS
b. Demam Naik turun dimana demam terjadi ketika malam hari
c. Perut terasa kembung sejak 10 hari SMRS
d. Ada mual dan muntah, nyeri tekan abdomen didapatkan
e. Gizi Kurang
f. Underweight
g. IgM Salmonella meningkat
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Nadi 92 kali/menit
b. Pernapasan 22 kali/menit
c. Suhu: 38,3o C per axilla
d. Bising usus normal
e. CRT < 2 detik
f. ADP kuat
10
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Demam Thphoid (A01.00)
2. Abdominal Pain with Vomitus (R10.9)
3. Demam Berdarah (A90)
4. Infeksi Saluran Kemih (N39.0)
5. Pneumonia (J18.9)
6. Leptospirosis (A27.9)
7. Gizi Kurang (E44.0)
8. Underweight (R63.6)
H. DIAGNOSIS KERJA
1. Demam Thphoid (A01.00)
2. Gizi Kurang (E44.0)
3. Underweight (R63.6)
I. PENATALAKSANAAN AWAL
1. Rawat inap bangsal anak
2. Bedrest total
3. Diet lunak 1275 kkal
4. IVFD KAEN 3A 8 tpm
5. Inj Colasentin 3x150 mg
6. Syr Paracetamol 3 x ¾ cth
7. Syr Pedilis 1 x 1 cth
J. MONITORING
Keadaan umum, tanda vital,
K. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien.
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien.
3. Mengenai kemungkinan dan cara pencegahan kekambuhan penyakit
pasien.
L. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
11
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
M. FOLLOW UP
Follow up status pasien
Hidung Nafas cuping hidung (- Nafas cuping hidung (- Nafas cuping hidung (-
), sekret (-/-) ), sekret (-/-) ), sekret (-/-)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 hiperemis Tonsil T1-T1 hiperemis Tonsil T1-T1 hiperemis
(-), faring hiperemis (-) (-), faring hiperemis (-) (-), faring hiperemis (-)
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)
12
Cor I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak tampak I: ictus cordis tak tampak
tampak P: ictus cordis tidak kuat P: ictus cordis tidak kuat
P: ictus cordis tidak kuat angkat angkat
angkat P: batas jantung sulit P: batas jantung sulit
P: batas jantung sulit dievaluasi dievaluasi
dievaluasi A: BJ I-II intensitas A: BJ I-II intensitas
A: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising normal, reguler, bising
normal, reguler, bising (-) (-)
(-)
Pulmo I: pengembangan dada I: pengembangan dada I: pengembangan dada
kanan = kiri P: kanan = kiri P: kanan = kiri P:
fremitus raba fremitus raba fremitus raba
kanan=kiri P: kanan=kiri P: kanan=kiri P:
sonor/sonor A: suara sonor/sonor A: suara sonor/sonor A: suara
dasar: dasar: dasar:
vesikuler (+/+), RBK (- vesikuler (+/+), RBK (- vesikuler (+/+), RBK (-
/-) /-) /-)
Abdomen I: dinding dada = I: dinding dada = I: dinding dada =
dinding perut A: dinding perut A: dinding perut A:
bising usus (+) bising usus (+) bising usus (+)
P: timpani P: timpani P: timpani
P: supel, nyeri tekan (+ P: supel, nyeri tekan (-), P: supel, nyeri tekan (-),
), hepar tidak teraba, hepar tidak teraba, hepar tidak teraba,
ascites (-) dan lien tidak ascites (-) dan lien tidak ascites (-) dan lien tidak
teraba teraba teraba
Genital Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal
13
Ekstremitas Akral dingin (-), Akral dingin (-), sianosis Akral dingin (-), sianosis
sianosis (-), CRT < 2”, (-), CRT < 2”, (-), CRT < 2”,
ADP kuat ADP kuat ADP kuat
R. fisiologis: dalam R. fisiologis: dalam R. fisiologis: dalam
batas normal batas normal batas normal
R. patologis: (-) R. patologis: (-) R. patologis: (-)
Me. ningeal sign : (-) Me. ningeal sign : (-) Me. ningeal sign : (-)
Asessment Demam Typhoid Demam Typhoid Demam Typhoid
14
BAB II ANALISIS KASUS
A. Anamnesis
1. Pasien mengalami demam sejak 10 hari SMRS, Demam dirasakan
ketika malam hari
2. Pasien mengalami nyeri perut, mual dan muntah pada pasien. Diare dan
nyeri disangkal pada pasien. Pasien masih mau minum ASI.
3. Pasien menyangkal keluhan batuk dan pilek. Buang air kecil (BAK)
berwarna kuning jernih dan pasien tidak menangis saat buang air kecil
serta BAB masih dalam keadaan normal.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
2. Tanda vital pasien: SiO2 : 99%, nadi: 92 x/ menit reguler, pernafasan :
22 x/menit reguler, suhu: 38,3 ºC (per axilla)
3. Bising usus (+)
4. ADP kuat, CRT < 2 detik
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hemoglobin 11.9 g/dL,
Hematokrit 35.0%, Eritrosit 4.84 juta/ul, Trombosit 236 103/Ul, dengan
leukosit sebanyak 10800/uL
15
terusmenerus, diare frekuen, kejang, atau memerlukan observasi lebih lanjut
untuk menegakkan etiologi dari diare tersebut.
Penegakan diagnosis pada pasien ini dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan demam tinggi
sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak turun walaupun sudah
dikompres dengan air hangat, disertai perut kembung dan tidak nyaman sejak
10 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ditemukan tanda dehidrasi pada
pasien ini dan pasien masih mau minum ASI dengan lahap.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam dan lidah kotor. Dari
hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap, didapati
adanya leukopeni, trombositopeni, dan Ig M Salmonella +6.
16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
I. Demam Typhoid
A. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau
Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
B. Etiologi
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid
disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Kuman
masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung
kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus
dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque
Peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi
darah (bakteremia primer) mencapai jaringan RES (hepar, lien,
sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami
bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk
menyerang organ lain (intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi
10-14 hari Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, yang
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar
dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
17
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella,
fimbriae atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur
kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas di atas 60ºC, asam dan alkohol.
3. Antigen Vi adalah polimer polisakarida yang bersifat asam yang
terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
C. Epidemiologi
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi
masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan
angka kejadian penyakit ini mencapai 16 juta kasus di Asia
tenggara dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per
tahun. Di . Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus
per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1-
10,4%. Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini
menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada
kelompok umur 5 – 14 tahun di daerah perkotaan. Demam tifoid
merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh
infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalens 91% kasus demam
tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah
umur 5 tahun.
D. Patofisiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam
tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang
biak. Menurut penelitian dibutuhkan kuman jumlah tertentu yaitu
106-109 untuk dapat menimbulkan penyakit. Bila respon imunitas
humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina
18
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
19
selanjutnya diikuti dengan mekanisme pertahanan imunologik
spesifik yang terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.
Asam lambung sebagian dari sistem pertahanan non spesifik,
merupakan salah satu barier utama yang dapat mematikan
mayoritas kuman penyebab infesksi saluran cerna. Adanya
penurunan keasaman lambung akan menyebabkan lebih banyak
kuman mencapai usus halus. Sebagian kuman Salmonella typhi
masih dapat bertahan dan tetap hidup dalam asam lambung.
Selanjutnya kuman dapat menembus epitel mukosa epitel usus
halus dan berhadapan dengan membrane basalis, yang fungsi
pertahananya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan proses
radang. Sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di
dalam lapisan subepitel, kuman akan mendapatkan perlawanan
dari 3 mekanisme pertahanan yang terdiri dari cairan jaringan,
sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi Salmonella
typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial, yang
juga terjadi pada jaringan limfoid seperti plaques, kelenjar, limfe
lain (hati,limpa dengan aktivitas fagositosis yang meningkat).
Mekanisme pertahanan imunologik spesisfik biasanya
menyangkut antibodi, lomfosit B dan T dan komplemen yang
terbagi atas imunitas seluler dan imunitas humoral. Respon
imunitas seluler sangat penting dalam penyembuhan penyakit
demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel limfosit T dan
fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang
tidak dapat diatasi oleh mekanisme mikrobial humoral dan fagosit
polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan merangsang
limfosit T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag, sehingga
akan berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.
Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral.
Akibat stimulasi antigen kuman , sel akan berubah menjadi sel
plasma dan mensintesa immunoglobulin. Imuniglobulin G dan M
adalah immunoglobulin yang di bentuk paling banyak. Peningkatan
20
titer terjadi mulai minggu pertama kemudian meningkat pada
minggu-minggu berikutnya , sedangkan imunoglobulin A
meningkat pada minggu kedua. Immunoglobulin M adalah antibodi
pertama yang dibentuk dalam respon imun. Karena itu kadar IgM
yang tinggi merupakan petunjuk adanya infeksi dini. Adanya
antibodi humoral ini bisanya dipakai sebagai dasar berbagai
pemeriksaan laboratorium.
E. Pemeriksaan Laboratorium
A. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang
diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah,
karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%.
Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari
kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan
sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun
invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.
21
B. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi
sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang
membutuhkan waktu 5–7 hari.11In-flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki
sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nestedpolymerase
chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakanuntuk
mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan
pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68,1%). Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas
dilakukan dalam penelitian.
D. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas
pemeriksaan antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling
sering dilakukan saat ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test
Hemagglutinin (HA), Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE), dan test
cepat/ rapid test (Typhidot, TUBEX). Sedangkan pemeriksaan antigen S.
Typhii dapat dilakukan melalui pemeriksaan protein antigen dan protein Vibaik
menggunakan ELISA/ koaglutinasi namun sampai saat ini masih dalam
penelitian jumlah kecil.
23
Tabel 1 memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam
tifoid.
Tabel I. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.
Sensitivitas Spesifisitas
Uji diagnostik Keterangan
(%) (%)
Pemeriksaan mikrobiologi
Baku emas, namun sensitivitas rendah di daerah endemis
Biakan darah 40-80 NA karena penggunaan antibiotic yang tinggi, sehingga
spesifisitas sulit diestemasi
Biakan sumsum 55-67 30 Sensitivitas tinggi, namun invasif dan terbatas penggunaannya
tulang
Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi
Sensitivitas rendah di negara berkembang dan tidak
Biakan tinja 30 NA
digunakan secara rutin untuk pemantauan
Diagnostik molekular
Menjanjikan,namun laporan awal menunjukkan sensitivitas
PCR 100 100
mirip biakan darah dan spesifisitas rendah
Menjanjikan dan menggantikan biakan darah sebagai baku
Nested PCR 100 100
emas baru
Diagnostik serologi
Klasik dan murah. Hasil bervariasi di daerah endemis, perlu
Widal 47-77 50-92
standardisasi dan kualitas kontrol dari reagen
Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari Typhidot-M
Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjikan dan harus diuji ditingkat komunitas
Lainnya
Deteksi antigen urin 65-95 NA Data awal
NA = not available
24
antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga
30% dari sampel biakan positif demam tifoid.
D. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik.
Leukopeni sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan
adanya penyulit misalnya perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun
bersifat reversibel. Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi
sumsum tulang dan perdarahan intra intestinal. Pada hitung jenis dapat
ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif. Pada demam tifoid dapat
terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab
hepatitis yang lain.
25
I. Growth Chart
26
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan WHO
2. Tentukan angka yang berada pada garis horisontal / mendatar pada kurva.
Garis horisontal pada beberapa kurva pertumbuhan WHO menggambarkan
umur dan panjang / tinggi badan.
3. Tentukan angka yang berada pada garis vertikal/lurus pada kurva. Garis
vertikal pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan panjang/berat
badan, umur, dan IMT.
4. Hubungkan angka pada garis horisontal dengan angka pada garis vertikal
hingga mendapat titik temu (plotted point). Titik temu ini merupakan
gambaran perkembangan anak berdasarkan kurva pertumbuhan WHO.
27
2. Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan WHO
garis ini diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik temu yang
berada jauh dari garis median menggambarkan masalah pertumbuhan.
3. Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di bawah -
2.
4. Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.
5. Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan WHO
dapat menggunakan tabel berikut ini.
Catatan :
1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini tidak
masih normal. Singkirkan kelainan hormonal sebagai penyebab
perawakan tinggi.
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukan berisiko gizi lebih.
Jika makin mengarah ke garis Z-skor 2 resiko gizi lebih makin
meningkat.
28
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek
memiliki gizi lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI
(Integrated Management of Childhood Illness in-service training.
WHO, Geneva, 1997
29
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang (IgM Salmonella positif 6) menunjukkan adanya infeksi
primer Salmonella Spp.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010.
B. Saran
1. Dilakukan pemeriksaan terhadap albumin, globulin, total protein,
parameter besi seperti SI, TIBC, Ferritin untuk mengetahui risiko
mengarah ke dalam jenis gizi buruk tertentu
2. Pemeriksaan Elektrolit, IgM, IgG Dengue, SGOT SGPT, LED, Ur,
Cr, Kultur Darah disarankan lebih lanjut untuk mengetahui risiko
komplikasi dan resistensi antibiotik pada pasien
3.
30
DAFTAR PUSTAKA
32