Anda di halaman 1dari 39

Presentasi Kasus

ANAK PEREMPUAN 8 BULAN DENGAN PNEUMONIA, ANEMIA


MIKROSITIK HIPOKROMIK ET CAUSA PROSES INFEKSI, DIARE AKUTA
TANPA DEHIDRASI, SUSPEK ILEUS OBSTRUKSI LETAK RENDAH DAN GIZI
BAIK

Oleh:

Tia Putri Widayati G99172157 (I-04)


Hastika Dwi.O G99172085 (I-03)

Pembimbing:

dr. Hari Wahyu N, Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi.
Presentasi kasus dengan judul :

ANAK PEREMPUAN 8 BULAN DENGAN PNEUMONIA, ANEMIA


MIKROSITIK HIPOKROMIK ET CAUSA PROSES INFEKSI, DIARE AKUTA
TANPA DEHIDRASI, SUSPEK ILEUS OBSTRUKSI LETAK RENDAH DAN GIZI
BAIK

Hari, tanggal : September 2019

Oleh :

Tia Putri Widayati G99172157 (I-04)

Hastika Dwi .O G99172085 (I-03)

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Preskas

dr. Hari Wahyu N, Sp.A(K)

2
BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. E

Tanggal Lahir/ Usia : 11 Februari 2019 / 8 bulan

Jenis Kelamin : perempuan

Alamat : Boyolali

BB : 8.9 kg

PB : 69 cm

Tanggal masuk : 4 September 2019

Tanggal Pemeriksaan : 5 September 2019

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap orang tua pasien (alloanamnesis) saat
pasien pertama kali masuk rumah sakit di IGD Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Dr. Moewardi Surakarta.
1. Keluhan Utama
Sesak napas

2. Riwayat Penyakit Sekarang


1 minggu SMRS pasien batuk grok-grok, tidak demam, pilek
disangkal, sesak napas disangkal. Pasien BAK banyak, tidak ada
kebiruan, nafsu makan banyak. 3 hari kemudian pasien dikeluhkan batuk
disertai demam. Pasien sebelumnya sudah pernah diperiksakan ke dokter
dan mendapatkan obat untuk rawat jalan, namun tidak ada perbaikan

3
dalam 2 hari. Pasien kemudian mondok di RSUD Boyolali selama 2 hari
dan diperbolehkan pulang, saat pulang pasien tidak demam, sesak
berkurang, dan batuk (+).
Satu hari setelah pulang, pasien demam lagi + diare 3x. Nafsu
makan dan minum seperti biasa.
Hari SMRS pasien sesak kemudian dibawa ke IGD RSUD dr
Moewardi, saat di IGD pasien demam, batuk (+), tampak sesak napas.
BAB cair, BAB terakhir di pampers jam 09.00

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat rawat inap : (+) 5 hari yg lalu
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
 Riwayat asma : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
 Riwayat asma : disangkal

5. Riwayat Kehamilan
Saat hamil, ibu pasien rutin kontrol setiap bulan di bidan dan dokter
kandungan. Tidak ada keluhan selama kehamilan. Ibu pasien
mengonsumsi suplemen/vitamin dari bidan dan dokter kandungan. Ibu
pasien tidak mengonsumsi jamu atau obat selain yang diberikan oleh
bidan. Saat hamil usia ibu 28 tahun. Riwayat, pre-eklamsia (-) keguguran
(-), anak meninggal (-).

Kesan : Riwayat kehamilan dalam batas normal

6. Riwayat Kelahiran
Pasien merupakan anak pertama. Lahir secara normal pada usia
kehamilan 38 minggu di RSUD Boyolali. Bayi langsung menangis,

4
gerakan bayi aktif, biru (-), ketuban keruh (-) . Berat badan lahir 3100 gr
dan panjang badan 49 cm.

Kesan : Riwayat kelahiran aterm

7. Riwayat Postnatal
Ibu pasien rutin membawa pasien ke Puskesmas setiap bulan untuk
timbang badan dan melakukan imunisasi sesuai jadwal. BB dan TB
selalu bertambah setiap bulan.

8. Status Imunisasi
0 bulan : Hepatitis B0
1 bulan : BCG ,Polio 1
2 bulan : DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan : DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan : DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan :-
Kesan : Imunisasi belum lengkap menurut Kemenkes 2017

9. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pasien lahir dengan berat badan lahir 3100 gram, selalu bertambah berat
badannya sesuai kurva KMS. Panjang badan lahir 49 cm, selalu
bertambah panjang badannya sesuai kurva KMS. Saat ini, pasien berusia
8 bulan, dengan berat badan 8.9 kg dan panjang badan 69 cm. Saat ini
pasien sudah dapat melambaikan tangan, tepuk tangan membeturkan 2
kubus, mengucapkan papa dan mama, tengkurap dan merangkak.
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai umur

10. Riwayat Nutrisi


Usia 0 – 6 bulan : diberi ASI eksklusif
Usia 6-8 bulan : diberi ASI, susu formula, nasi tim 3x1/2 mangkok porsi,
sayur bening, ayam, tahu tempe dan telur.
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup.

11. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan anak pertama. Pasien merupakan anak yang
diinginkan. Ayah pasien bernama Tn. M, umur 30 tahun, pekerjaan

5
pegawai swasta. Ibu pasien bernama Ny. T , umur 28 tahun, pekerjaan
ibu rumah tangga.

12. Pohon Keluarga

An. E ( 8 bulan, 8,9 kg)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang

Derajat kesadaran : Kompos mentis

Derajat gizi : baik

2. Tanda vital
BB : 7.9 kg

PB : 69 cm

SiO2 : 96%

Nadi : 154 x/menit, kuat

Pernafasan : 48 x/menit

Suhu : 37.9º C

6
3. Perhitungan Status Gizi
a) Secara klinis
Nafsu makan : baik, makan 3 kali sehari , minum susu 2 kali

sehari

Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (-), wajah nampak

tua (-)

Mata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),

cekung (-/-)

Mulut : mukosa basah (+) & pecah-pecah (-)

Toraks : Iga gambang (-)

Ekstremitas : wasting muscle (-), baggy pants (-)

edema - - akral dingin - -

- - - -

Status gizi secara klinis : baik

b) Secara Antropometris
Umur : 9 bulan , BB : 7,9 kg, PB :69 cm

= 0 SD < Z score < -2 SD (normoweight)

= 0 SD < Z score < 2 SD (normoheight)

: 0 SD < Z score < -1 SD (gizi baik)

Status gizi secara antropometri : gizi baik, normoweight,


normoheight

7
4. Kepala
Mesocephal, normocephal lingkar kepala (LK): 45 cm (LK -2 SD < LK
<0 SD) (Nellhaus), wajah dismorfik (-), UUB belum menutup.

5. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), palpebra edema (-/-), cekung (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil isokor (+2 mm/ +2mm), reflek cahaya (+/+)

6. Hidung
Napas cuping hidung (+), sekret (+/+), darah (-/-)

7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-)

8. Telinga
Sekret (-/-)

9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1 hiperemis(-), faring hiperemis (-),pseudo
membran (-)

10. Leher
Bentuk : normocolli

Trakea : di tengah

Kelenjar tiroid : tidak membesar

JVP : tidak meningkat

11. Limphonodi
Retroaurikuler : tidak membesar

Submandibuler : tidak membesar

12. Toraks
Bentuk :normochest, retraksi (+) intercostal

Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri

8
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : suara dasar: bronkial (+/+), Suara nafas


tambahan (+/+), RBK (+/+), RBH (-/-) di
basal paru

Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat, teraba di


SIC IV LMCS

Perkusi : tidak ada pelebaran batas jantung

Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas nomal, regular,


bising (-)

13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-)

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba.

14. Urogenital : dalam batas normal


15. Anorektal : dalam batas normal
16. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -

- - - -

Spastik - - klonus - -

- - - -

ADP kuat

CRT < 2 detik

9
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Tanggal 14 Juni 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hb 9.4 g/dl 13.0 – 18.0
Hct 30.3 % 40 – 52
AE 3.98 juta/uL 4.5 – 8.6
AT 352 ribu/uL 150 – 450
AL 11.0 ribu/uL 3.8 – 10.6
Batang - % 3-5
Basofil - % 0-1
Limfosit 52.7 % 30 – 45
Monosit 6.6 % 2–8
Eosinofil - % 1-6
Granulosit 40.7 % 43-76
Netrofil 56.30 % 18 – 74
MCV 76.0 fL 80 – 100
MCH 23.5 Pg 26 – 34
MCHC 30.9 % 32 – 36

E. RESUME
Pasien dengan keluhan utama sesak nafas dan demam sejak ± 4
hari SMRS. Demam dirasakan tinggi dan terus menerus. Pasien juga
mengeluhkan batuk dan pilek. Batuk disertai dahak dan nafas pasien
berbunyi grok grok. Pasien dibawa ke Dokter Spesialis Anak dan
diberikan obat penurun panas serta puyer, namun orang tua pasien
tidak mengetahui isi puyernya. Setelah minum obat-obat tersebut

10
demam sempat turun namun masih batuk tetap masih ada. Demam
kembali naik keesokan harinya.
Sebelumnya pasien sudah dilakukan pemeriksaan laboratorium
(14/6/2019) dengan hasil Hb: 9,4, Hct: 30,3%, Leukosit 11.000,
Trombosit 352.000. Di Rumah Sakit sebelumnya dikatakan
memerlukan ventilator, namun karena tidak adanya ventilator, oleh
orang tua pasien segera di bawa ke RSDM tanpa menggunakan
oksigen.
Saat di IGD pasien tampak gelisah, sesak, batuk berdahak, dan
masih demam. Pasien tampak rewel. Keluhan muntah sudah tidak
didapatkan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat kehamilan, kelahiran, post natal, pertumbuhan dan
perkembangan serta nutrisi anak dalam kondisi baik. Imunisasi pasien
kurang untuk campak (9 bulan).

F. DAFTAR MASALAH
Anak laki-laki berusia 9 bulan, berat badan 7.9 kg dengan :
- Demam, batuk berdahak putih, pilek, sesak sejak 4 hari
SMRS. Tidak membaik dengan obat dari Dokter sebelumnya
- Muntah saat diberi susu, muntah berisi susu dan dahak
putih sebanyak susu yang diminum lebih sedikit
- Napas cuping hidung
- Retraksi intercostal disertai ronki basah kasar di basal paru
- Anemia hipokromik mikrositik (Hb = 9,4 , MCV =76,
MCHC 30.9)
- Leukositosis (AL = 11.000)

G. DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia dd Bronkiolitis
Anemia mikrositik hipokromik e.c. defisiensi besi dd proses infeksi

H. DIAGNOSIS KERJA
1. Pneumonia
2. Anemia mikrositik hipokromik e.c. defisiensi besi
3. Gizi baik, normoweight, normoheight

11
I. PENATALAKSANAAN
1. Rawat inap di bangsal respi anak
2. O2 2 lpm Nasal Kanul
3. Diet bubur 774 kkal/hari + susu on demmand
4. IVFD D1/4 NS 32,9 ml/jam
5. Injeksi Ampicilin (50 mg/kg/6 jam) ~ 400 mg / 6 jam IV
6. Injeksi gentamicin (7,5 mg/kg/24 jam) ~ 60 mg/24 jam
7. Inj paracetamol 15 mg/kg/8 jam ~ 120 mg/8 jam IV
8. Nebu pulmicort 1 respul + NaCl 0.9% 5 ml/ 8 jam

J. PLAN
1. Foto toraks
2. Kultur Sputum

K. MONITORING
1. KUVS/SiO2/per 3 jam
2. BCD/8 jam

L. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien, bahwa penyakit pasien merupakan
penyakit serius dan membutuhkan penangan ahli
2. Mengenai kesembuhan pasien dan kemungkinan adanya
komplikasi.

M. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

N. HASIL RADIOLOGI TORAKS AP/LATERAL (14 Juni 2019)

12
Cor: ukuran dan bentuk normal
Pulmo: tampak infiltrat disertai airbronchogram di paracardial kiri
Sinus Costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakea di tengah
Sistema tulang baik

13
Kesimpulan: Pneumonia

O. FOLLOW UP
Follow Up 15/06/2019 (DPH-1) 16/06/2019 (DPH-2) 17/06/2019 (DPH-3)
Subjektif Sesak napas (+) Sesak napas (+) Sesak napas berkurang,
berkurang, Demam (+), berkurang, Demam (-), bebas demam 1 hari,
Batuk Berdahak (+), Batuk Berdahak (+) batuk berdahak
kejang (-) grok grok, kejang (-), berkurang , kejang (-),
BAB cair (+) 1x sedikit BAB cair (-)
BAB cair (-)
Objektif
Keadaan Tampak sakit sedang, Tampak sakit sedang, Tampak sakit sedang,
umum kompos mentis kompos mentis kompos mentis
GCS E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6
Tanda 1) HR: 125x/menit 1) HR: 129 x/menit 1) HR: 123 x/menit
2) RR: 36 x/menit 2) RR: 36 x/menit 2) RR: 32 x/menit
Vital
3) T: 37,9 0C 3) T: 36.6 0C 3) T: 36,9
4) SiO2: 98% 4) SiO2: 98 % 4) SiO2: 98%
Kepala Mesocephal, UUB Mesocephal, UUB Mesocephal, UUB
Cekung (-) cekung (-) cekung (-)
Mata Konjungtiva pucat (-/-), Konjungtiva pucat (-/-), Konjungtiva pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-), mata sklera ikterik (-/-), mata sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), air mata cekung (-/-), air mata cekung (-/-), air mata
(+/+), refleks cahaya (+/+) (+/+)
(+/+)
Hidung Napas cuping hidung Napas cuping hidung Napas cuping hidung (-)
(-) (-)
Telinga Sekret (-),tidak nyeri Sekret (-),tidak nyeri Sekret (-),tidak nyeri
tekan tekan tekan
Mulut Mukosa basah , tonsil Mukosa basah , tonsil Mukosa basah , tonsil
T1-T1 T1-T1 T1-T1
Leher Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-)
Thorax Simetris, retraksi (+) Simetris, retraksi (+) Simetris, retraksi (-)

14
intercostal intercostal minimal
Cor Inspeksi : iktus cordis Inspeksi : iktus cordis Inspeksi : iktus cordis
tak tampak tak tampak tak tampak

Palpasi : iktus Palpasi : iktus Palpasi : iktus


cordis teraba di SIC 3 cordis teraba di SIC 3 cordis teraba di SIC 3
LMCS LMCS LMCS

Perkusi : batas Perkusi : batas Perkusi : batas


jantung dalam batas jantung dalam batas jantung dalam batas
normal normal normal

Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi


Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas
normal, regular, bising normal, regular, bising normal, regular, bising
(-) (-) (-)
Pulmo Inspeksi : Inspeksi : Inspeksi :
pengembangan dinding pengembangan dinding pengembangan dinding
dada kanan sejajar dada kanan sejajar dada kanan sejajar
dengan dinding dada dengan dinding dada dibandingkan dada kiri
kiri kiri
Palpasi : fremitus raba
Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
kanan=kiri sulit dievaluasi
Perkusi :
Perkusi : Perkusi : sonor/sonor
sonor/sonor sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+),
Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
RBH (+/+) RBK (-/-) RBK (+/+) menurun
Abdomen Inspeksi: dinding perut Inspeksi: dinding perut Inspeksi: dinding perut
sejajar dengan dinding sejajar dengan dinding sejajar dengan dinding
dada dada dada

Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising usus

15
(+) normal (+) normal (+) normal

Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, hepar Palpasi : Supel, hepar Palpasi : Supel, hepar


dan lien tidak teraba dan lien tidak teraba dan lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-),
turgor kulit kembali turgor kulit kembali turgor kulit kembali
cepat cepat cepat
Ekstremitas Akral hangat, ADP Akral hangat, ADP Akral hangat, ADP kuat,
teraba kuat, CRT < 2 kuat, CRT <2 detik CRT <2 detik
detik
Asesment 1) Pneumonia 1) Pneumonia 1) Pneumonia
2) Diare akut tanpa 2) Diare akut tanpa 2) Diare akut tanpa
dehidrasi dehidrasi dehidrasi
3) Anemia mikrositik 3) Anemia mikrositik 3) Anemia mikrositik
hipokromik ec hipokromik ec hipokromik ec
proses infeksi proses infeksi proses infeksi
4) Gizi Baik, 4) Gizi Baik, 4) Ileus obstruksi
Normoweight, Normoweight, letak rendah
5) Hipokalemia ec GI
Normoheight Normoheight
loss
6) Gizi Baik,
Normoweight,
Normoheight
Plan 1) RO thorax 1) Tunggu hasil 1) Tunggu hasil
2) Urinalisis Kultur Sputum Kultur Sputum
3) Kultur darah (5/9/19) (5/9/19)
4) Feses rutin 2) Tunggu hasil 2) Tunggu hasil
5) Kultur Sputum Kultur Darah Kultur Darah
(5/9/19) (5/9/19)
3) Pasang rectal tube
(TS Bedah)
Terapi 1) Diet bubur 774 1) Diet : puasa 1) Diet bubur 774 kkal

16
kkal / hari + susu sementara, NGT / hari + susu on
on demand dialirkan demand
2) O2 1 lpm Nasal 2) O2 1 lpm Nasal 2) O2 2 lpm Nasal
Kanul Kanul Kanul
3) IVFD D5 ¼ NS 37 3) IVFD D5 ¼ NS 37 3) IVFD D5 ¼ NS 37
ml/ jam ml/ jam KAEN ml/ jam
4) Inj. Ampicilin (50 3B 37ml/jam 4) Inj. Ampicilin (50
mg/Kg/6 Jam) = (maintanance) mg/Kg/6 Jam) =
450 mg/6 Jam 4) Inj. Ampicilin (50 450 mg/6 Jam
(Hari I) mg/Kg/6 Jam) = (Hari III)
5) Inj. Gentamicin 450 mg/6 Jam 5) Inj. Gentamicin (7,5
(7,5 mg/Kg/hari) = (Hari II) mg/Kg/hari) = 60
60 mg/hari 5) Inj. Gentamicin mg/hari (Hari III)
6) Inj. Paracetamol (7,5 mg/Kg/hari) = 6) Inj. Paracetamol
(15 mg/Kg/kp) = 60 mg/hari (15 mg/Kg/kp) =
100 mg/8jam (Hari 6) Inj. Paracetamol 100 mg/kp
I) (15 mg/Kg/kp) = 7) Zinc 1x20mg
7) Mmm 100 mg/8 jam 8) Oralit ,
8) mmm (Hari II) 50ml/muntah,
7) Zinc 20mg/24jam 100ml/BAB cair
P.O STOP
8) Oralit 50ml/muntah
, 100ml/BAB cair
STOP
Monitoring 1) KUVS/4 jam 1) KUVS/4 jam 1) KUVS/4 jam
2) SiO2/4 Jam 2) SiO2/4 Jam 2) SiO2/4 Jam
3) BCD/8 jam 3) BCD/8 jam 3) BCD/8 jam

17
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan keluhan demam tinggi dan terus menerus sejak 2
hari sebelum msuk rumah sakit pada seorang pasien anak perempuan 8 bulan,
yang dibawa orang tuanya ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan demam tinggi
dan terus menerus, batuk berdahak, dan napas berbunyi grok grok. Berdasarkan
anamnesis, pasien tersebut curiga mengalami pneumonia, dimana pasien
didapatkan trias pneumonia seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada pasien
demam, perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama demam, pola demam,
memperberat dan memperingan, gejala lain yang menyertai demam, riwayat
penyakit dahulu dan keluarga.

Pada hari masuk rumah sakit pasien masih demam, batuk berdahak, pilek,
sesak napas, dan BAB cair. Keluhan lain seperti batuk berdarah, berat badan
menurun, keringat malam disangkal pasien, BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Saat di IGD RSDM dari hasil pemeriksaan didapatkan keadaan umum


pasien sadar penuh, masih bergerak aktif. Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil
ronki basah halus pada auskultasi di bagian basal paru, disertai retraksi
interkostal, napas cuping hdung dan suhu meninggi.

Dari hasil anamnesis, pasien didiagnosis menderita pneumonia berat yang


mana telah memenuhi kriteria trias pmeumonia, yaitu sesak napas, demam, dan
batuk berdahak. Sesak ditunjukkan dengan napas cuping hidung dan retraksi
intercostal , terdengar suara ronkhi basah halus di basal paru dan dari hasil
pemeriksaan penunjang berupa foto toraks menunjukkan ke arah pneumonia. Dari
hasil laboratorium juga didapatkan angka leukosit yang meningkat disertai akan
tetapi untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kultur sputum.

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan pula hasil Hemoglobin menurun


menjadi 9,4 yang mana dalam klasifikasi WHO diklasifikan sebagai anemia
sedang disertai penurunan MCH menjadi 76 fl dan penurunan MCHC menjadi

18
30,9 %, yang mana menunjukkan bahwa pasien menderita anemia hipokromik
mikrositikdengan diagnosis banding yang dapat ditarik ialah anemia defisiensi
besi, anemia pada penyakit kronik, anemia pada thalassemia dan anemia
sideroblastik. Maka dari itu, perlu dilakukan pemeriksaan panel besi dalam darah
yang mencakup SI, TIBC, saturasi transferrin, dan ferritin serum. Apabila ferritin
serum dan SI menurun, maka dapat dipastikan bahwa pasien menderita anemia
defisiens besi.

Pada pasien diberikan infus sesuai kebutuhan cairan pasien, kebutuhan


cairan dapat dicari berdasarkan rumus darrow dimana 10 kg pertama pasien
diberikan 100 cc/KgBBhari, 10 kg selanjutnya diberikan 50 cc/KgBB, dan berat
selanjutnya diberikan sebanyak 20 cc/KgBB/hari. Pada pasien ini total cairan yang
diberikan selama sehari yakni 890 cc, apabila dibagi dalam 24 jam menjadi 37
cc/Jam. Selain itu, pasien tetap diberikan makanan seperti biasa karena masih bisa
makan dan tidak ada muntah. Kebutuhan kalori pasien dihitung berdasarkan
Recommended Dietary Allowance (RDA), yang mana dihitung dengan cara
mengalikan antara berat badan ideal dan kebutuhan kalori RDA berdasarkan uur
TB, yang dimana menghasilkan 774 kkal. Antibiotik Ampicillin dan Gentamicin
diberikan sebagai terapi, karena pneumonia merupakan infeksi dan penyebab
terbanyaknya adalah Streptococcus pneumonia sesuai dengan WHO 2013.
Diberikan dua antibiotik karena pada pasien termasuk dalam kriteria pneumonia
berat. Demam pada pasien di tatalaksana dengan pemberian anti inflamasi non
steroid, yaitu Parasetamol sesuai dosis berdasarkan berat badan, pada pasien ini
diberikan paracetamol dikarenakan memiliki efek antipiretik yang kuat. Terapi
nebulizer diberikan untuk mengurangi sesak napas pada pasien, sehingga
menurunkan kemungkinan terjadi gagal napas.

Anemia dalam kasus di atas masuk dalam defisiensi besi, hal ini sesuai
dengan teori yang menyebutkan tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di
Indonesia. Pada pasien tidak ditatalaksana karena pasien masih bisa makan seperti
biasa. Selain itu, pasien bisa makan dengan menu yang bervariasi. Pasien
menyukai daging ,telur dan aneka sayur. Semua menu tersebut dapat dikonsumsi

19
pasien selama di rumah sakit. Selain itu, pasien tidak disarankan untuk minum teh
terlebih dahulu, karena teh dapat menurunkan peyerapan besi dalam saluran
pencernaan.

Keluarga perlu diberikan edukasi untuk monitoring pasien. Monitoring perlu


memperhatikan apakah pasien tampak sesaknya memberat atau tampak gagal
napas. Bila terjadi perburukan perlu menghubungi tenaga medis segera untuk
ditatalaksana dan mencegah kematian. Nutrisi pasien perlu ditingkatkan, terutama
makanan yang kaya zat besi seperti daging. Konsumsi makanan kaya vitamin C
juga disarankan karena dapat meningkatkan absorpsi zat besi.

Prognosis pada pasien ini dubia. Secara keseluruhan pasien dapat sembuh
sempurna dengan pengobatan yang adekuat. Keluhan dapat timbul kembali
apabila pasien terkena infeksi berulang. Perlunya edukasi untuk menjaga
ketahanan tubuh pasien dengan asupan nutrisi.

20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. PNEUMONIA
A. Definisi
Pneumonia adalah infeksi pada ujung bronkhial dan alveoli yang
disebabkan oleh mikroorganisme (Misnadiarly, 2008). Pneumonia juga
diartikan sebagai peradangan akut di parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan merupakan
penyebab morbiditas serta mortalitas pada anak (Salih et al., 2014).
Pneumonia merupakan penyakit berbahaya karena tidak adanya asupan
oksigen pada paru-paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh (Kartasamita,
2010). WHO mendifinisikan pneumonia sebagai sakit yang terbentuk dari
infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara
spesifik mempengaruhi paru-paru (WHO dan UNICEF, 2006).
Pneumonia dapat ditemukan berdasarkan pemeriksaan inspeksi dan
frekuensi pernafasan (IDAI, 2009)
Ada 2 jenis pneumonia yaitu pneumonia komuniti dan pneumonia
nosokomial, pneumonia komuniti adalah pneumonia yang diperoleh di
komunitas maksudnya adalah penyakit yang dimulai dari luar rumah sakit
atau setelah masuk rumah sakit dan didiagnosis dalam waktu kurang dari
48 jam, pada pasien yang tidak tinggal dalam perawatan jangka panjang
(14 hari) atau lebih sebelum onset gejala. Sedangkan pneumonia
nosokomial adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit yaitu dimulai
48 jam setelah pasien mendapat perawatan di rumah sakit dan pasien
tersebut tidak sedang mengalami inkubasi infeksi pada saat masuk rumah
sakit (Tierney et al., 2002).
Anak dengan pneumonia akan lebih sulit bernapas jika mengalami
demam tinggi (> 38,5ºC), sehingga perlu diterapi dengan paracetamol tiap
6 jam selama 3 hari dengan dosis yang sesuai, sampai demamnya reda.
Demam itu sendiri bukan indikasi untuk pemberian antibiotik, kecuali
pada bayi yang berumur kurang dari 2 bulan. Bayi yang berumur kurang
dari 2 bulan jika menderita demam maka harus dirujuk, jangan diberikan
paracetamol untuk mengatasi demamnya (Kemenkes RI, 2010).

21
B. Epidemiologi
Pneumonia adalah penyakit infeksi saluran pernapasan penyebab
kematian utama pada balita di dunia. Diperkirakan setiap tahun lebih dari
2 juta anak di bawah usia 5 tahun meninggal dunia karena pneumonia,
sebanyak 5.500 anak meninggal setiap harinya atau 4 bayi meninggal tiap
satu menit karena pneumonia (Gauri et al., 2012) sedangkan di Indonesia
tahun 2007 angka kejadian pneumonia pada balita yaitu sebesar 15,5%
(Depkes RI, 2008). Di provinsi Jawa Tengah tahun 2014 penemuan
kejadian penderita pneumonia pada balita yaitu sebesar 25,77%,
sedangkan target standar pelayanan minimalnya untuk Jawa Tengah
sebesar 100% (Dinkes Jawa Tengah, 2015)

C. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme yaitu bakteri, virus, dan jamur. Streptococcus pneumonia
merupakan penyebab tersering pneumonia bakteri pada semua kelompok
umur. Virus lebih sering ditemukan pada anak usia kurang dari 5 tahun.
Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan virus penyebab tersering
pada anak usia kurang dari 3 tahun. Pada usia yang lebih muda
parainfluenza virus, adenovirus dan influenza virus juga ditemukan. Pada
usia lebih dari 10 tahun, penyebab terbanyak kasus pneumonia dan
berkurang dengan bertambahnya umur adalah Chlamydia pneumoniae
dan Mycoplasma pneumoniae. Streptococcus pneumonia dan
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang sering ditemukan
pada apusan tenggorok pasien pneumonia usia 2-59 bulan (IDAI, 2009;
WHO, 2013).

D. Patofisiologi
Biasanya mikroorganisme penyebab terhirup masuk melalui
saluran pernapasan menuju ke paru-paru bagian perifer. Awalnya terjadi
edema akibat reaksi jaringan yang memudahkan proliferasi serta
penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru-paru yang terkena

22
mengalami gangguan, yaitu terjadinya gangguan pada sel
polymorfonuklease (PMN), cairan edema, fibrin, eritrosit dan terdapat
kuman di paru-paru bagian alveoli. Stadium ini disebut hepaisasi merah.
Selanjutnya deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat
(hepatisasi kelabu). Makrofag di alveoli kemudian meningkat, sel
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang
(stadium resolusi). Sistem bronkopulmoner yang tidak terkena akan tetap
normal (Rahajoe et al, 2008).

E. Faktor Resiko
Faktor-faktor risiko kesakitan (morbiditas) pneumonia antara lain
umur, jenis kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, pemberian ASI yang
kurang memadai, defisiensi vitamin A, status imunisasi, polusi udara,
kepadatan rumah tangga, ventilasi rumah, dan pemberian makanan yang
terlalu dini. Orang tua yang merokok, asap dapur, asap kendaraan juga
menjadi faktor risiko dari pneumonia. Penyakit seperti HIV juga
meningkatkan risiko terkena pneumonia. Jika diklasifikasikan, maka
faktor-faktor risiko pneumonia dapat dibedakan atas faktor anak, faktor
orang tua, dan faktor lingkungan (IDAI, 2009; WHO, 2013).

F. Diagnosis
Penegakkan diagnosis dari pneumonia menggunakan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut (IDAI,
2009):
 Anamnesis
1. Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan
dahak purulen bahkan bisa berdarah.
2. Sesak napas.
3. Demam.
4. Kesulitan makan/minum.
5. Tampak Lemah.
6. Serangan pertama atau berulang untuk membedakan dengan
kondisi imunokopromais, kelainan anatomi bronkus, atau asma.
 Pemeriksaan Fisik (IDAI, 2009)

23
Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas dan nadi harus
dilakukan pada saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang
dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel.
1. Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan
kemampuan makan/minum.
2. Gejala distress pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal,
batuk, krepitasi, dan penurunan suara paru.
3. Demam dan sianosis.
4. Anak di bawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala
pneumonia yang klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut,
terdapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi
muda, terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipopnea.
 Pemeriksaan Penunjang (IDAI, 2009)
1. Pemeriksaan Radiologi
a) Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin
pada anak dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan
tanpa komplikasi.
b) Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita
pneumonia yang dirawat inap atau bila tanda klinis yang
ditemukan membingungkan.
c) Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila
didapatkan adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadinya
komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak ada respons terhadap antibiotik.
d) Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen
penyebab.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu
dilakukan untuk membantu menentukan pemberian antibiotic.
b) Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan
kualitas yang baik direkomendasikan dalam tata laksana anak
dengan pneumonia yang berat.
c) Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien
rawat jalan, tetapi direkomendasikan pada pasien rawat inap
dengan kondisi berat dan pada setiap anak yang dicurigai
menderita pneumonia bacterial.

24
d) Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk
mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa kultur virus jika
fasilitas tersedia.
e) Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan
dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur serta deteksi
antigen bakteri (jika fasilitas tersedia) untuk penegakkan
diagnosis dan menentukan mulainya pemberian antibiotik.
f) Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan
fase akut lain tidak dapat membedakan infeksi viral dan
bacterial dan tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
rutin.
g) Pemeriksaan uji tuberculin selalu dipertimbangkan pada anak
dengan riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa.
3. Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia
seharusnya dilakukan pemeriksaan pulse oxymetry.

Klasifikasi Pneumonia berdasarkan WHO (IDAI, 2009):


1. Bayi < 2 bulan, dklasifikasikan menjadi:
a. Pneumonia berat: ditandai dengan napas yang cepat dan
retraksi yang berat
b. Pneumonia sangat berat: napas cepat, retraksi berat, tidak mau
menetek/minum, kejang, letargis, demam atau hipotermia,
bradypnea atau pernafasan ireguler
2. Anak usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia ringan: napas cepat
b. Pneumonia berat: napas cepat disertai retraksi
c. Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang,
letargis, malnutrisi.

G. Diagnosis Banding
 Bronkiolitis
 Gagal jantung
 Aspirasi benda asing
 Abses paru
 Tuberculosis

H. Tatalaksana
Adapun tatalaksana pneumonia sebagai berikut (WHO, 2013):

25
Pneumonia ringan
Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat
saja. Napas cepat:
o pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
o pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
Pastikan bahwa anak tidak mempunyai tanda-tanda pneumonia berat
 Tatalaksana
o Anak di rawat jalan
o Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.
 Tindak lanjut
Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk
membawa kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau
keadaan anak memburuk atau tidak bisa minum atau menyusu.
Pneumonia berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini:
 Kepala terangguk-angguk
 Pernapasan cuping hidung
 Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
 Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas,

konsolidasi, dll)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
 Napas cepat:
o Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
o Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit
 Suara merintih (grunting) pada bayi muda
 Pada auskultasi terdengar:
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
 Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan

semuanya
 Kejang, letargis atau tidak sadar
 Sianosis
 Distres pernapasan berat.

26
Untuk keadaan di atas ini tatalaksana pengobatan dapat berbeda
(misalnya: pemberian oksigen, jenis antibiotik).
Tatalaksana
1. Terapi Antibiotik
 Beri ampisilin/amoksisilin (50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6

jam) selama 5 hari, ditambah


 Antibiotik Gentamisin (7.5 mg/kgBB IV atau IM setiap 24 jam)
selama 5 hari,atau
 Sebagai alternatif, beri seftriakson (80/kgBB IM atau IV setiap 24
jam) sebagai lini kedua.
2. Terapi Oksigen
 Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
 Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi

oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila
tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa
oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian
oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah
saat ini tidak berguna
 Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk
menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau
masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia
secara terus-menerus setiap waktu.
 Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas
> 70/menit) tidak ditemukan lagi.

II. ANEMIA DEFISIENSI BESI


A. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan
persediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
(depleted iron store) yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin
berkurang (Bakta, 2006), dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling
banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling

27
besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk
Indonesia (IDAI, 2009).

B. Epidemiologi
Prevalensi ADB pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan
prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita
berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. Penelitian kohort
terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan
didapatkan insidens ADB sebesar 40,8% dan 47,4%. Pada usia balita,
prevalens tertinggi defisiensi besi ( DB) umumnya terjadi pada tahun
kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan
pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian DB
lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-
85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa
suplementasi (Gatot et al., 2011).
Selain itu, prevalensi yang tinggi juga dijumpai pada akhir masa
bayi, awal masa anak, anak sekolah, dan masa remaja karena adanya
percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah,
penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang sehingga dapat
menyebabkan exudative enteropathy dan kehilangan darah akibat
menstruasi (Gatot et al., 2011).

C. Etiologi
Salah satu penyebab ADB ialah kekurangan gizi; beberapa penyebab
lain yang diklasifikasikan menurut umur tampak pada Tabel 3.2.1.
Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut umur ini penting
untuk diketahui, untuk mencari penyebab berdasarkan skala prioritas
dengan tujuan menghemat biaya dan waktu. Seorang anak yang mula-
mula berada di dalam keseimbangan besi kemudian menuju ke keadaan
anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu (Salam dan Daniel,
2002):

28
Tabel 3.2.1 Penyebab ADB Menurut Umur
1. Bayi di bawah umur 1 tahun
- Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir
kembar.
2. Anak berumur 1-2 tahun
- Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan
tambahan (hanya minum susu)
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
- Malabsorbsi
- Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi
parasit dan divertikulum Meckeli.
3. Anak berumur 2-5 tahun
- Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-
heme
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun.
- Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi
parasit dan divertikulum Meckeli.
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
- Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi
parasit dan poliposis.
5. Usia remaja – dewasa
- Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.

1. Stadium I (iron depleted state): hanya ditandai oleh kekurangan


persediaan besi di dalam depot. Keadaan ini dinamakan stadium deplesi
besi. Pada stadium ini baik kadar besi di dalam serum maupun kadar
hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan
dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang.
Disamping itu kadar feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat
mencerminkan kadar besi di dalam depot.
2. Stadium II (iron deficient erythropoiesis): Mulai timbul bila persediaan
besi hampir habis. Kadar besi di dalam serum mulai menurun tetapi
kadar hemoglobin di dalam darah masih normal. Keadaan ini disebut
stadium defisiensi besi.
3. Stadium III (iron deficiency anemia): Keadaan ini disebut anemia
defisiensi besi. Stadium ini ditandai oleh penurunan kadar hemoglobin
MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar feritin dan kadar
besi di dalam serum.

D. Patogenesis

29
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga
cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini
disebut iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi,
keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Selanjutnya
timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut sebagai iron
deficiency anemia. Pada saai ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel
serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku,
epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya (Bakta, 2006).

E. Manifestasi Klinik
Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak
spesifik. Pada ADB gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan zat
besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan
kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB akan menunjukkan
peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan
konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini dapat
menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang
berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB (Salam dan
Daniel, 2002).
Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena
defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan
berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau
mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta
gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di
mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom
oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung besi
berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa
permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku
seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia

30
terdapat pada 5,5% kasus ADB. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat
besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah
mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan
permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan
stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB (Salam
dan Daniel, 2002).

F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb,
leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan morfologi darah tepi dan
pemeriksaan status besi (Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC),
saturasi transferin, feritin) (Respati et al., 2006).
Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb merupakan
hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut
dalam menegakkan diagnosis ADB. Tabel 3.2.2. menunjukkan kadar
hemoglobin berdasarkan usia dan jenis kelamin untuk anemia (WHO,
2011). Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun
sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal,
pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat.
Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik,
mikrositik, anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel
target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen) (Soegijanto, 2004).
Tabel 3.2.2. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia (WHO, 2011)
Anemia
Populasi Non-Anemia Ringan Sedang Berat
Anak 6-59 bulan ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 <7.0
Anak 5-11 tahun ≥ 11.5 11.0-11.4 8.0-10.9 <8.0
Anak 12-14 tahun ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 <8.0
Wanita tidak hamil (≥ 15 tahun) ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 <8.0
Wanita hamil ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 <7.0
Pria (≥ 15 tahun) ≥ 13.0 11.0-12.9 8.0-10.9 <8.0

31
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung
lama dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan
infeksi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat
2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi pada penderita
dengan perdarahan yang masif. Kejadian trombositopenia dihubungkan
dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian
trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama,
yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28% (Behram et
al., 2000).
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun
yang terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah
transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe
serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara
menghitung Fe serum/TIBC x 100%, merupakan suatu nilai yang
menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai
penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan
cadangan besi dalam tubuh. SI (7%) dapat dipakai untuk mendiagnosis
ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan
lainnya. Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat
baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan (Respati et al.,
2006).
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum
tulang dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte
Protoporphyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin
porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan
besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam
sel. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya
FEP disertai saturasi transferin yang menurun merupakan tanda ADB
yang progresif (Respati et al., 2006).

32
Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran
yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya
hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui
dengan pewarnaan Prussian blue (Bakta, 2006).

G. Diagnosis
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO (IDAI., 2009):
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal 32 – 35 %)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl (Normal 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (Normal 20 – 50 %)
5. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositik yang dikonfirmasi
dengan kadar MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
6. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi
berkurang

H. Penatalaksanaan
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus
segera dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan
terdiri atas pemberian preparat besi secara oral berupa garam fero (sulfat,
glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan
mudah dibandingkan dengan cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi
elemental diberikan dengan dosis seperti pada Tabel 3.2.3; penyerapannya
akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut kosong dan diberikan
bersama asam askorbat atau asam suksinat. Bila diberikan setelah makan
atau sewaktu makan, penyerapan akan berkurang hingga 40-50%. Namun
mengingat efek samping pengobatan besi secara oral berupa mual, rasa
tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk mengurangi efek
samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan.
Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi dextran
dapat dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik
misalnya karena keadaan pasien tidak dapat menerima secara oral,
kehilangan besi terlalu cepat yang tidak dapat dikompensasi dengan
pemberian oral, atau gangguan saluran cerna misalnya malabsorpsi. Cara
pemberian parenteral jarang digunakan karena dapat memberikan efek

33
samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas,
artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons pengobatan
mula-mula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-24
jam. Hiperplasi seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam
waktu 36-48 jam yang ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam
waktu 48-72 jam, yang mencapai puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari
setelah pengobatan didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan
cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan. Untuk
menghindari adanya kelebihan besi maka jangka waktu terapi tidak boleh
lebih dari 5 bulan (Salam dan Daniel, 2002). Namun respon terapi juga
dapat dinilai dari kenaikan kadar Hb/Ht sebanyak 2g/dL setelah 1 bulan,
jika ditemukan kenaikan, terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan (IDAI.,
2009).
Transfusi darah hanya diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi
pasien ADB dengan Hb 6 g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut
risiko untuk terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan
fisiologis. Transfusi darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang
disertai infeksi berat, dehidrasi berat atau akan menjalani operasi besar/
narkose. Pada keadaan ADB yang disertai dengan gangguan/ kelainan
organ yang berfungsi dalam mekanisme kompensasi terhadap anemia
yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau penyakit jantung
hipertensif) dan atau paru (gangguan ventilasi dan difusi gas antara
alveoli dan kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi darah.
Komponen darah berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara
bertahap dengan tetesan lambat (Salam dan Daniel, 2002).
Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah
kurang gizi. Besi di dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-
heme. Besi non-heme yang antara lain terdapat di dalam beras, bayam,
jagung, gandum, kacang kedelai berada dalam bentuk senyawa ferri yang
harus diubah dulu di dalam lambung oleh HCl menjadi bentuk ferro yang
siap untuk diserap di dalam usus. Penyerapan Fe-non heme dapat
dipengaruhi oleh komponen lain di dalam makanan. Fruktosa, asam

34
askorbat (vitamin C), asam klorida dan asam amino memudahkan
absorbsi besi sedangkan tanin (bahan di dalam teh), kalsium dan serat
menghambat penyerapan besi. Berbeda dengan bentuk non-heme,
absorpsi besi dalam bentuk heme yang antara lain terdapat di dalam ikan,
hati, daging sapi, lebih mudah diserap. Disini tampak bahwa bukan hanya
jumlah yang penting tetapi dalam bentuk apa besi itu diberikan (Salam
dan Daniel, 2002).

Tabel 3.2 Dosis dan lama pemberian suplementasi besi

Usia (tahun) Dosis besi Lama pemberian


elemental
Bayi* : BBLR (< 2.500g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2 - 5 (balita) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3
bulan berturut-turut
> 5 - 12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu
setiap tahunselama 3
bulan berturut-turut
12 - 18 (remaja) 60 mg/hari# 2x/minggu
setiap tahunselama 3
bulan berturut-turut
Keterangan:
setiap tahun
* Dosis maksimum untuk bayi: 15 mg/hari, dosis tunggal
# Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat

I. Pencegahan
1. Pencegahan primer (Bakta, 2006; IDAI., 2009):
a. Pendidikan kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, pemakaian alas kaki.
b. Penyuluhan gizi: mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan;
menunda pemakaian susu sapi hingga 1 tahun; menggunakan
makanan tambahan yang difortifikasi sejak usia 6 bulan sampai 1
tahun; pemberian vitamin C serta menghindari bahan yang
menghambat absorbs besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada

35
makanan; menghindari minum susu berlebih dan meningkatkan
makanan yang mengandung besi hewani.
c. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber
perdarahan kronik.
2. Pencegahan sekunder (IDAI AH et al., 2009):
a. Skrining ADB, dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
hematokrit. American Academy of Pediatric (AAP) menganjurkan
antara usia 9-12 bulan, 6 bulan kemudian, dan 24 bulan. Pada
daerah beresiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun
hingga 5 tahun.
b. Suplementasi besi, merupakan cara paling tepat untuk mencegah
ADB pada daerah dengan prevalensi tinggi.
Anak yang sudah menunjukkan gejala ADB telah masuk ke dalam
lingkaran penyakit, yaitu ADB mempermudah terjadinya infeksi
sedangkan infeksi mempermudah terjadinya ADB. Oleh karena itu
antisipasi sudah harus dilakukan pada waktu anak masih berada di dalam
stadium I & II (Gatot D et al., 2011).

36
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan Pneumonia dan Anemia
Mikrositik Hipokromik et causa Defisiensi Besi, dan gizi baik,
normoweight, normoheight.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan sesuai.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien jika pasien tampak sesak, demam atau
tampak sianosis untuk segera menghubungi tenaga medis untuk segera
diberikan pertolongan. Selain itu pasien juga rutin dimonitor untuk dilihat
perkembangan dari terapi.
3. Edukasi untuk menambah asupan makanan penting terutama yang
mengandung besi hewani, agar penyerapannya lebih cepat maka
dikombinasikan dengan mengkonsumsi vitamin C dari buah-buahan dan
menghindari mengkonsumsi daging bersamaan dengan mengkonsumsi
tanin seperti pada teh.

37
DAFTAR PUSTAKA
Bakta IM (2006). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, hal: 26-39.

Behrma R et al. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

Depkes RI, 2008, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta, Depkes RI. Dinkes
Jawa Tengah, 2015, Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2014, Semarang, Dinkes Provinsi Jawa
Tengah.

Gatot D et al. (2011). Rekomendasi Suplemen Besi untuk Anak. IDAI

Gauri, S.S., Ashok K.D., Dheeraj S., Om P.M., 2012, Role of Zinc in
Severe Pneumonia: A Randomized Double Blind
Placebo Controlled Study, Italian Journal of Pediatrics
2012, 38:36.

IDAI, 2009, Pedoman Pelayanan Medis Ji;lid I, Jakarta: Pengurus Pusat


IDAI.

Kartasamita, 2010, Pneumonia Pembunuh Balita, Jakarta, Kemenkes RI,


Vol 3.

Kemenkes RI, 2010, Modul Tatalaksana Standar Pneumonia, Jakarta,


Kemenkes RI.

Misnadiarly, 2008, Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak,


Orang Dewasa, Usia Lanjut, Jakarta, Pustaka Obor
Popular.

Rahajoe, N.N., Supriyatno B., Setyanto D.B., 2008, Buku Ajar Respirologi
Anak, Edisi I, Jakarta, Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Raspati H et al. (2006). Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi


Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. Pp: 30-42

Salam MA, Daniel A (2002). Diagnosis, pengobatan dan pencegahan


Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2): 74-77.

Salih, K.E.M., Jalal A.B., Mona A.A., Yassin H., Widad E., Elfatih E.,
Salah A.I., Ishag A., 2014, Poor Adherence to The
World Health Organization Guidelines of Treatment of

38
Severe Pneumonia in Children at Khartoum, Sudan,
BMC Research Notes 2014, 7 :531.

Soegijanto S (2004). Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta:
IDI.

Tierney, L.M., McPhee S.J., Papadakis M.A., 2002, Diagnosis dan Terapi
Kedokteran (Penyakit Dalam), Jakarta, Salemba
Merdeka.

WHO (2011). Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia


and assessment of severity. Vitamin and Mineral
Nutrition Information System. Geneva, World Health
Organization.

WHO (2013). Pneumonia. https://www.who.int/en/news-room/fact-


sheets/detail/pneumonia diakses pada 17 Juni 2019.

WHO dan UNICEF (2006). The Forgotten killer of children. New York :
WHO

WHO, 2013, Pocket Book On Hospital Care For Children Guidlines For
The Management Of Common Childhood Illnesses,
Second Edition. WHO Press, Switzerland.

39

Anda mungkin juga menyukai