REHABILITASI MEDIK
SEORANG ANAK LAKI-LAKI BERUSIA 21 BULAN DENGAN
DOWN SYNDROME, MILESTONE DELAYED, DAN PJB ASIANOTIK
Oleh:
Afifah Syifaul Ummah G992102064
Pembimbing:
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR
SURAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN
disusun oleh:
G992102064
Pembimbing
ii
BAB I
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : An. Arga Zavier Amanullah
Umur : 21 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Wonogiri
No RM : 0153XXXX
Tanggal pemeriksaan : 23 Agustus 2021
B. Data Dasar
Alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di poli pemeriksaan
rehabilitasi medik, RSUD Dr. Moewardi.
C. Keluhan Utama
Pasien terlambat dalam perkembangan berbicara
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan konsulan dari Bagian Anak. Dari hasil
alloanamnesis kepada orang tua pasien. Orang tua pasien datang
ke Poli RSDM dengan keluhan anak belum bisa bicara dan
berjalan. Pasien hanya bisa bicara satu kata yaitu “ta ta ta ta”.
Pasien hanya bisa berdiri dan berjalan 2-3 langkah dengan
berpegangan. Pasien kuat menggengam.
Pasien tidak memiliki gangguan tidur atau gangguan
pencernaan. Gigi pasien yang tumbuh hanya satu yaitu gigi
geraham tengah atas. Orang tua pasien mengeluhkan pasien sering
demam dua bulan ini dan pernah dirawat di rumah sakit. Pasien
tidak mengeluhkan batuk.
1
Pada awal kelahiran, pasien terlihat biru oleh orang tua
pasien, pasien dibawa ke dokter dan dilakukan pemeriksaan
didapatkan kelainan atrial septal defect dan regurgitasi trikuspid.
G. Status Pediatri
a. Riwayat Prenatal
Ibu pasien hamil pada usia 40 tahun dan merupakan
kehamilan yang ketiga. Ibu pasien juga mengaku tidak merasakan
keluhan apapun saat hamil. Ibu pasien rutin melakukan ANC
setiap bulan dan tiap minggu pada trisemester akhir dan mendapat
evaluasi baik dari bidan. Ibu pasien mengaku mendapatkan
suplemen tambah darah dari bidan dan tidak mengonsumsi obat-
obatan. Riwayat sakit berat atau trauma saat kehamilan
2
disangkal.
b. Riwayat Natal
Pasien lahir pervaginam saat usia kehamilan 38 minggu,
posisi lintang kepala, dengan berat lahir 2700 gr, panjang badan
47 cm, menangis spontan (-), kebiruan (+), dan geraknya aktif (+).
Kelahiran pasien dengan kakak ketiganya berjarak 12 tahun.
c. Riwayat Postnatal
1. Usia: 21 bulan
2. BB: 7.4 kg
3. TB: 65 cm
5. Status Denver:
3
Riwayat Tumbuh Kembang
4
B. Riwayat Nutrisi
C. Riwayat Imunisasi
A. PEMERIKSAAN FISIK
5
12. Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
13. Paru
a. Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri, retraksi(-)
b. Palpasi : Fremitus kanan=kiri
c. Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
d. Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+)
14. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sama dengan dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
15. Ekstremitas
Kekuatan Tonus RF RP
555 555 ↓ ↓ +2/+2 +2/+2 - -
555 555 ↓ ↓ +2/+2 +2/+2 - -
6
c. Perilaku dan Aktivitas Motorik: Normal
d. Pembicaraan : Belum bisa bicara, hanya bersuara “ta, ta, ta”
e. Sikap terhadap Pemeriksa: tidak kooperatif, kontak mata
susah fokus
f. Afek : Sesuai, Mood : Eutimik
g. Gangguan Persepsi , Halusinasi : sde , Ilusi : sde
ii. Proses Berfikir
a. Bentuk : sde
b. Isi : sde
c. Arus : sde
iii. Sensorium dan Kognitif
a. Daya Konsentrasi : tidak fokus
b. Orientasi : sde
c. Daya Ingat : sde
d. Daya Nilai : sde
e. Insight : sde
17. Status Neurologis
Keadaan Umum : Baik
Keadaan kuantitatif : Compos mentis, GCS E4VNTM6
Orientasi : sde
Daya ingat : sde
Kemampuan bicara : sde
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-), brudzinsky I-II (-)kernig (-)
Fungsi Sensorik : sde
18. Nervus Cranialis
N. II, III : Pupil isokor (3mm/3mm), RCL (+/+), tidak ada ptosis
N. III, IV, VI : Gerakan bola mata dalam batas normal (sde)
N. V : Refleks kornea (+) dan dagu simetris
N. VII : dalam batas normal
N. XII : dalam batas normal
19. Status Tumbuh Kembang
7
Milestone delayed
20. Pemeriksaan Range of Motion (ROM)
Pemeriksaan ROM
Neck
ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0-70o 0-70o
Ekstensi 0-40o 0-40o
o
Lateral bending kanan 0-60 0-60o
Lateral bending kiri 0-60o 0-60o
o
Rotasi kanan 0-90 0-90o
Rotasi kiri 0-90o 0-90o
8
fleksi
MCP I 0-0o 0-0o 0-0o 0-0o
ekstensi
ROM pasif ROM aktif
Ekstremitas Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
Ekstensi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o
o
Abduksi 0-30 0-30o 0-30 o
0-30o
Adduksi 30-0o 30-0o 30o-0o 30-0o
o
Eksorotasi 0-45 0-45o 0-45 o
0-45o
Endorotasi 0-35o 0-35o 0-35o 0-35o
Knee Fleksi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
Ekstensi 0-150 0-150o 0-150 o
0-150o
Ankle Dorsofleksi 0-30o 0-30o 0-20o 0-20o
o
Plantarfleksi 0-60 0-60o 0-50 o
0-50o
Eversi 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o
o
Inversi 0-30 0-30o 0-30 o
0-30o
9
Elbow Flexor M.biceps brachii
5 5
M.brachialis
Extensor M.triceps brachii
Supinator M.supinator 5 5
Pronator M.pronator teres
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
10
1. Hasil Ekokardiografi (16 Maret 2020 RS Dr. Moewardi)
SEROLOGI
C. Assessment
Down Syndrome
Milestone Delayed
D. Daftar Masalah
1. Masalah Medis
Down Syndrome, GDD, PDA, TR Mild, ASD
2. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi
Otot trunk dan ekstremitas kurang kuat, keseimbangan kurang
2. Terapi Okupasi
Motorik halus tidak kurang berkembang
3. Terapi wicara
Belum bisa berbicara yang bermakna
4. Sosiomedik
11
Tidak ada
5. Ortesa-protesa
flat foot, ligamentous laxity
6. Psikologi
motivasi kedua orang tua
E. Impairment, Disability, Handicap
Impairment : Down Syndrome, Milestone delayed, PDA, TR Mild, ASD
Handicap :-
F. Terapi
c. Planning Edukasi :
12
d. Planning Monitoring: Evaluasi hasil terapi.
H. TUJUAN
A. Tujuan Jangka Pendek
Meningkatkan kekuatan otot kaki agar dapat berjalan.
B. Tujuan Jangka Panjang
Pasien dapat berjalan dan berbicara, membantu proses tumbuh
kembang pasien, mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat
penyakit yang diderita pasien.
I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Epidemiologi
Frekuensi kejadian Sindrom Down (SD) di Indonesia adalah 1
dalam 600 kelahiran hidup. Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan
adalah 10 SD per 10.000 kelahiran hidup.3 Di beberapa negara di mana
aborsi merupakan tindakan illegal seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab,
prevalensi SD lebih tinggi. Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah.
Hal ini mungkin disebabkan karena persentase penghentian kehamilan
yang tinggi pada anak dengan terdeteksi SD. Semakin meningkat usia ibu
saat kehamilan, semakin besar risiko melahirkan anak dengan SD.
Walaupun demikian, sekitar 80% anak dengan SD lahir dari ibu yang
berusia kurang dari 35 tahun karena usia tersebut merupakan kelompok
usia subur. 4,5
Etiologi
14
dikemukakan. Secara umum etiologi SD merupakan kelainan kromosom
yang disebabkan oleh genetik, umur ibu dan ayah, radiasi, infeksi, dan
autoimun. Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-
21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom
tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah 46. Pada penderita
Sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga
total menjadi 47 kromosom 6,7.
C. Klasifikasi
o Trisomi 21 klasik
Bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita
Sindrom Down, terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21.
Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua
penderita Sindrom Down.
o Translokasi
Suatu keadaan ketika tambahan kromosom 21 melepaskan diri
pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang
lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13,
14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita
Sindrom Down. Pada beberapa kasus, translokasi Sindrom Down ini
dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang
ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang
ditimbulkan oleh trisomi 21.
o Mosaik
Bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, trisomi 21 mosaik
hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita Sindrom Down. Hanya
beberapa sel saja yang memiliki kelebihan kromosom 21. Bayi yang
lahir dengan Sindrom Down mosaik akan memiliki gambaran klinis
dan masalah kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang
lahir dengan Sindrom Down trisomi 21 klasik dan translokasi. 8
15
A. Patofisiologi
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada
saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga saat mitosis
awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya
terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut
sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-
disjunction.
16
meiosis II. Kesalahan proses meiosis menimbulkan mutasi genetik
yang memicu terjadinya Sindrom Down.9
B. Faktor Risiko
1. Infeksi virus
Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada
prenatal yang bersifat teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi
embriogenesis dan mutasi gen.
2. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctional
pada Sindrom Down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak
dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah perut
sebelum terjadinya konsepsi.
4. Usia ibu
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko
melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan dengan ibu
usia muda (kurang dari 35 tahun). Perubahan endokrin seperti
peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormone LH
(Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)
17
secara mendadak pada saat sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.10
C. Karakteristik
1. Bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan
orang normal (microchephaly) dengan area datar di bagian
tengkuk.
2. Ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat
(rata-rata usia 2 tahun).
3. Bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds).
4. Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia)
sehingga tampak menonjol keluar.
5. Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan
dapat menyebabkan gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
6. Garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian
crease)
7. Penurunan tonus otot (hypotonia)
8. Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung
dan jalan napas lebih kecil sehingga anak sindrom down mudah
mengalami hidung buntu.
9. Tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan sindrom down tidak
mencapai tinggi dewasa rata-rata.
10. Dagu kecil (micrognatia)
11. Gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam
urutan yang tidak sebagaimana mestinya.
12. Spot putih
di iris
mata
(brushfiel
d spots).11
18
Gambar 2-3. Karakteristik
Sindrom Down
2. Endokrin/Hormon.
Masalah hormon pada anak Sindrom Down tersering yang
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan adalah gangguan
pada hormon tiroid dan gonad. Hipotiroid, baik kongenital maupun
didapat adalah kelainan yang paling sering dijumpai pada sekitar 16-
20% penderita SD Sekitar separuh anak dengan Sindrom Down
mengalami peningkatan Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dengan
nilai T3 dan T4 normal yang menyebabkan hipotiroid subklinis (tidak
memiliki gejala). Hambatan pematangan jalur hipotalamus pituitari
tiroid diduga sebagai penyebab gangguan hormon ini.
19
Down menderita leukemia limfoblastik akut (LLA) dan sekitar 10%
menderita kelainan leukemia myeloid akut (LMA).
4. Saluran Cerna
Anak dengan Sindrom Down akan mengalami beberapa gejala
saluran cerna dari waktu ke waktu seperti muntah, diare, sulit buang air
besar (konstipasi), nyeri perut, dan ketidaknyamanan yang dapat hilang
dengan intervensi minimal atau bahkan tanpa terapi.
6. Neurologi
Pasien Sindrom Down memiliki risiko lebih besar untuk
menderita penyakit Alzheimer. Setelah umur 50 tahun, risiko untuk
berkembangnya demensia meningkat pada pasien Sindrom Down
mencapai hampir 70%. Selain penyakit Alzheimer, penelitian oleh
Jones EL pada tahun 2013 mengungkapkan adanya hubungan antara
umur dan prevalensi kejang pada SD, dengan puncak kejadian kejang
pada masa bayi dan berulang pada dekade keempat atau kelima dalam
hidupnya. Penurunan kejadian kejang menurun selama masa dewasa.
7. THT
Anak SD seringkali mengalami gangguan pendengaran, baik
sensorineural maupun konduktif. Obstruksi saluran napas adalah
masalah yang berat pada anak dan dewasa dengan SD. Gejala yang
muncul meliputi bunyi napas mendengkur, posisi tidur yang kurang
lazim (duduk atau membungkuk sampai kepala menyentuh lutut),
kelelahan di siang hari, atau adanya perubahan perilaku.
20
8. Mata
Anak dengan SD memiliki lipatan mata epikantus. Hal ini
disebabkan oleh bagian luar canthus lebih tinggi dari pada bagian
dalam, sehingga mata terlihat sipit dan agak ke atas. Kelainan mata
yang lain dapat berupa strabismus, nistagmus, kelainan refraksi, dan
katarak kongenital. Katarak kongenital adalah masalah serius pada
bayi dengan SD yang ditandai dengan tidak adanya red reflex,
terdapat nystagmus dan strabismus.12
E. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal pada kehamilan risiko tinggi dapat
mengurangi penurunan terjadinya Sindrom Down melalui
amniosintesis dan Chorion Villus Sampling (CVS).13
F. Diagnosis Postnatal
Diagnosis Sindrom Down postnatal didasarkan pada gabungan
gambaran fisik yang khas dan konfirmasi dengan pemeriksaan
kariotipe genetik. Seringkali tanda awal yang dapat dijumpai pada
neonatus dengan SD adalah hipotoni. Gambaran khas lainnya adalah
brakisefal, fisura palpebra yang oblik, jarak antara jari kaki ke-1 dan
ke-2 yang agak jauh, jaringan kulit yang longgar di belakang leher,
21
hiperfleksibilitas, low set ears, protrusi lidah, depressed nasal bridge,
lipatan epikantus, bercak Brushfield (titik-titik kecil pada pupil yang
letaknya tidak beraturan dan berwarna kontras), jari ke-5 yang pendek
dan melengkung, simian crease, dan didapatkan tanda-tanda penyakit
jantung bawaan.
22
Perkembangan anak dengan Sindrom Down tentu berbeda
dengan perkembangan anak sehat. Ekspresi pada kromosom yang
berlebih menyebabkan gangguan komunikasi, konsentrasi, ingatan,
kemampuan melaksanakan tugas, perkembangan motorik, dan kontrol
tubuh. Berdasarkan penelitian tersebut, anak dengan Sindrom Down
memiliki kemampuan motorik dan membutuhkan waktu pencapaian
level perkembangan dua kali lipat lebih lama dibandingkan anak
normal. Hampir semua anak dengan Sindrom Down memiliki
gangguan intelektual derajat sedang dan perkembangan kognitif serta
motorik.18
1. Perkembangan Kognitif
Sindrom Down adalah etiologi genetik terbesar dari
disabilitas intelektual (DI). Tingkat keparahan DI pada individu
dengan Sindrom Down bervariasi dari nilai Intelligence
Quotient (IQ) 30 hingga 70, dengan rata-rata nilai IQ sebesar 50.
2. Perkembangan Bahasa
Komunikasi tidak hanya berarti bicara, namun juga ekspresi
wajah, senyuman, Bahasa tubuh, Bahasa isyarat, dan Bahasa.
Miller dkk (1987), meneliti 56 anak dengan Sindrom Down,
mendapati bahwa tidak ada keterlambatan sampai masa di mana
anak seharusnya sudah dapat mengucapkan kata-kata pertama
mereka. Pada umur di atas 18 bulan, 60-75% anak dengan
Sindrom Down mengalami keterlambatan. Kebanyakan anak
dengan Sindrom Down lebih lambat mengucapkan kata pertama
mereka, kosakata mereka juga bertambah dengan lambat.
Sindrom Down
23
Tersenyum 2,9 bulan 2 bulan
Kata pertama 21,82 bulan 10 bulan
2 kata 23 bulan 12 bulan
5-7 kata 31 bulan 18 bulan
Perkembangan Motorik
3. Perkembangan Sensoris
Bayi dengan Sindrom Down memiliki keterlambatan proses
sensoris. Didapatkan efek stimulasi vestibular dan kombinasi
stimulasi vestibular sehingga terapi sensoris integrasi dan terapi
neurodevelopmental bermanfaat pada anak Sindrom Down.
Ketika tidak ada sensoris di tangan, koordinasi motorik halus
terganggu. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan kognitif.19
D. Tatalaksana
24
untuk mengatasi keterlambatan perkembangan yang spesifik untuk anak
dengan Sindrom Down.
4. Psikoterapi
Terapi perilaku dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan
kemampuan perilaku sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku
agresif dan destruktif. Terapi kognitif, seperti menanamkan nilai yang benar
dan latihan relaksasi dengan mengikuti instruksi, direkomendasikan untuk
anak yang mampu mengikuti instruksi. Terapi psikodinamik digunakan
untuk mengurangi konflik tentang pencapaian yang diharapkan yang dapat
mengakibatkan kecemasan, kemarahan dan depresi.
25
b) Terapi Wicara. Terapi ini perlukan untuk anak down
syndrome yang mengalami keterlambatan bicara dan
pemahaman kosakata. Membaca kata yang sering
digunakan dan kata sederhana, mengidentifikasi huruf awal
maupun bunyi akhir kata, dan menggabungkan bunyi untuk
membentuk kata-kata. Terapi oromotor bertujuan untuk
melatih fungsi motorik mulut dan memperbaiki artikulasi.
c) Terapi Okupasi. Terapi ini diberikan untuk melatih anak
dalam hal kemandirian, kognitif/ pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena
pada dasarnya anak down syndrome tergantung pada orang
lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa
ada komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain.
Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan
koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
d) Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang
mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang
dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari
sekolah biasa.
e) Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah
ketidakmampuan mengolah rangsangan/sensori yang
diterima. Terapi ini diberikan bagi anak down syndrome
yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya
pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll.
Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas
dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
f) Terapi Tingkah Laku (Behaviour Therapy). Mengajarkan
anak down syndrome yang sudah berusia lebih besar agar
memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai
dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di
masyarakat.
26
g) Terapi Musik. Terapi musik adalah anak dikenalkan nada,
bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat senang dengan musik
maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka
dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan
meningkat dan mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain
juga membaik.20,21
H. Prognosis
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga
usia 30-40 tahun. Selain perkembangan fisik dan mental terganggu,
juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan berpikir
penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan
jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk
prognosis. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung
bawaan. Sebesar 44% penderita sindroma Down hidup sampai 60
tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko
terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi
normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan
harapan hidup setelah umur 44 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pienaar, D. (2012) ‘Music Therapy for Children with Down Syndrome: Perceptions of Caregivers
in a Special School Setting.’, Kairaranga, 13(1), pp. 36–43.
2. Abdullah, King. 2016. Down Syndrome. Saudi Arabia: The Patient Education Institute, Inc
3. Marttala J, Yliniem O, Glissler M, Nieminen P, Ryynanen M. Prevalence of Down syndrome in a
pregnant population in Finlandia. Acta Obstet Gynecol. 2010; 89: 715–7.
4. Evans-Martin FF. Genes & disease: Down syndrome. Edisi ke-1. New York: Chelsea House
Books; 2009.
5. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology Down syndrome. Ment Retard Dev
Disabil Res Rev. 2007; 13: 221–7.
6. Kliegman & Robert, M. 2007.Nelson Textbook Of Pediatrics. Philadelphia: Saunders, Elsevier
27
7. Asim A, Kumar A, Muthuswamy S, Jain S, Agarwal S. Down syndrome: an insight of the disease.
J Biomed Sci. 2015; 22(1): 41.
8. Sommer, CA, Silva H. Trisomy 21 and Down syndrome - A short review. Braz J Biol.
2008;68:447-52.
9. Girirajan S. Parental-age eff ects in Down syndrome. J Genet. 2009; 88(1): 1–7.
10. Antonarakis SE, Lyle R, Dermitzakis ET, Reymond A, Deutsch S. Chromosome 21 and Down
Syndrome: from genomics to pathophysiology. Nat Rev Genet. 2005; 5: 725–38.
11. Thomas K, Bourke J, Girdler S, Bebbington A, Jacoby P, Leonard H. Variation over time in
medical conditions and health service utilization of children with Down syndrome. J Pediatr. 2011;
158: 194–200.
12. Irwanto et al. (2019) A-Z Down Sindrome. Edited by Irwanto. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Airlangga.
13. Reena MS, Pisani PO, Conversano F, Perrone E, Casciaro E, Renzo GCD et al. Sonographic
markers for early diagnosis of fetal malformations. World J Radiol. 2013; 10: 356–71.
14. Agathokleous M, Chaveeva P, Poon LC, Kosinski P, Nicolaides KH. Meta-analysis of second-
trimester markers for trisomy 21. Ultrasound Obstetrics Gynecol. 2013; 41: 247–61.
15. Alberry M, Maddocks D, Jones M, Abdel Hadi M, Abdel-Fatt ah S,Avent N, et al. Free fetal
DNA in maternal plasma in anembryonic pregnancies: confi rmation that the origin is the
trophoblast. Prenat Diagn. 2007; 27: 415–8.
16. Wright CF, Burton H. The use of cell-free fetal nucleic acids in maternal blood for non-invasive
prenatal diagnosis. Hum Reprod Update. 2009; 15: 139–51.
17. Batubara J, Alisjahbana A, Gerver-Jansen JGM, Alisjahbana B, Sadjimin T, Tasli Y, et al. Growth
diagrams of Indonesian children the nationwide survey of 2005. Paediatr Indones. 2006; 46: 5–6.
18. Rao PT, Guddatt u V, Solomon JM. Response abilities of children with Down syndrome and other
intellectual developmental disorders. Exp Brain Res. 2017; 22: 1–13.
19. Russell DC, van Heerden R, van Vuuren S, Venter A, Joubert G. The impact of the
Developmental Resource Stimulation Programme (DRSP) on children with Down syndrome.
South African J Occup Ther. 2016; 46: 33–40.
20. Purpura G, Tinelli F, Bargagna S, Bozza M, Bastiani L, Cioni G. Effect of early multisensory
massage intervention on visual functions in infants with Down syndrome. Early Hum Dev. 2014;
90: 809–13.118. Creek J. Occupational therapy defi ned as a complex intervention:
21. Wan Yunus F, Liu KPY, Bissett M, Penkala S. Sensory-based intervention for children with
behavioral problems: a systematic review. J Autism Dev Disord. 2015; 45: 3565–79.
28