Anda di halaman 1dari 30

Presentasi Kasus

REHABILITASI MEDIK
SEORANG ANAK LAKI-LAKI BERUSIA 21 BULAN DENGAN
DOWN SYNDROME, MILESTONE DELAYED, DAN PJB ASIANOTIK

Periode 23 Agustus 2021 – 5 September 2021

Oleh:
Afifah Syifaul Ummah G992102064

Pembimbing:
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik


bagian Rehabilitasi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret –
RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Presentasi kasus dengan judul:

SEORANG ANAK LAKI-LAKI BERUSIA 21 BULAN DENGAN


DOWN SYNDROME, MILESTONE DELAYED, DAN PJB ASIANOTIK
Jumat, 27 Agustus 2021

disusun oleh:

Afifah Syifaul Ummah

G992102064

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing

dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

ii
BAB I

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : An. Arga Zavier Amanullah
Umur : 21 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Wonogiri
No RM : 0153XXXX
Tanggal pemeriksaan : 23 Agustus 2021

B. Data Dasar
Alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di poli pemeriksaan
rehabilitasi medik, RSUD Dr. Moewardi.

C. Keluhan Utama
Pasien terlambat dalam perkembangan berbicara
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan konsulan dari Bagian Anak. Dari hasil
alloanamnesis kepada orang tua pasien. Orang tua pasien datang
ke Poli RSDM dengan keluhan anak belum bisa bicara dan
berjalan. Pasien hanya bisa bicara satu kata yaitu “ta ta ta ta”.
Pasien hanya bisa berdiri dan berjalan 2-3 langkah dengan
berpegangan. Pasien kuat menggengam.
Pasien tidak memiliki gangguan tidur atau gangguan
pencernaan. Gigi pasien yang tumbuh hanya satu yaitu gigi
geraham tengah atas. Orang tua pasien mengeluhkan pasien sering
demam dua bulan ini dan pernah dirawat di rumah sakit. Pasien
tidak mengeluhkan batuk.

1
Pada awal kelahiran, pasien terlihat biru oleh orang tua
pasien, pasien dibawa ke dokter dan dilakukan pemeriksaan
didapatkan kelainan atrial septal defect dan regurgitasi trikuspid.

E. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : + (PJB Asianotik, PDA, TR Mild,
ASD)
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat Tumor : disangkal
Riwayat mondok : + (2 bulan yang lalu karena demam
selama 4 hari)
F. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa :-

Riwayat hipertensi : disangkal


Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat tumor/keganasan : disangkal

G. Status Pediatri
a. Riwayat Prenatal
Ibu pasien hamil pada usia 40 tahun dan merupakan
kehamilan yang ketiga. Ibu pasien juga mengaku tidak merasakan
keluhan apapun saat hamil. Ibu pasien rutin melakukan ANC
setiap bulan dan tiap minggu pada trisemester akhir dan mendapat
evaluasi baik dari bidan. Ibu pasien mengaku mendapatkan
suplemen tambah darah dari bidan dan tidak mengonsumsi obat-
obatan. Riwayat sakit berat atau trauma saat kehamilan

2
disangkal.
b. Riwayat Natal
Pasien lahir pervaginam saat usia kehamilan 38 minggu,
posisi lintang kepala, dengan berat lahir 2700 gr, panjang badan
47 cm, menangis spontan (-), kebiruan (+), dan geraknya aktif (+).
Kelahiran pasien dengan kakak ketiganya berjarak 12 tahun.

c. Riwayat Postnatal

1. Usia: 21 bulan

2. BB: 7.4 kg

3. TB: 65 cm

4. Status Gizi: BB/U: Gizi buruk, TB/U: Sangat pendek, BB/TB:


Gizi baik

5. Status Denver:

a. Motorik Kasar: Anak bisa berdiri dua detik. Pada status


Denver sesuai dengan anak umur 13 bulan.

b. Bahasa: Anak bisa berbicara satu silabel. Pada status


Denver sesuai dengan anak umur 8 bulan.

c. Motorik halus: Anak bisa mencorat-coret. Pada status


Denver sesuai dengan anak umur 16 bulan.

d. Personal sosial: Anak bisa menggapai mainan. Pada status


Denver sesuai dengan anak umur 6 bulan.

Kesan: perkembangan pasien tidak sesuai usia.

3
Riwayat Tumbuh Kembang

Umur sekarang 21 bulan, berat badan 7.4 kg, tinggi badan


65 cm

a. Perkembangan: Pasien saat ini masih belum kuat berdiri


lama dan berjalan, bicara pasien masih terbata dan tidak
bermakna

b. Kesan: perkembangan pasien tidak sesuai usia.

4
B. Riwayat Nutrisi

Pasien konsumsi ASI eksklusif sampai enam bulan dan


mengaonsumsi MPASI hingga sekarang.

C. Riwayat Imunisasi

Pasien mendapatkan imunisasi lengkap sesuai pedoman


Kementerian Kesehatan 2017.

D. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah anak keempat dari empat bersaudara. Ayah (45


tahun) sedang tidak bekerja dan ibu (44 tahun) seorang ibu rumah
tangga. Pasien berobat menggunakan BPJS.

A. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum: baik


b. Kesadaran : E4VNTM6
c. Vital Sign
i. Nadi : 96 x/menit
ii. Frekuensi napas: 24 x/menit

iii. Suhu : 36,2°C


iv. SpO2 : 99%
d. Status gizi : BB 7.4 kg; TB 65cm
5. Kepala : Bentuk kepala bulat, Facies dismorfik (+), low nasal bridge
(+), low set ear (+), drooling (-), hematom (-), nyeri (-)
6. Mata : Bentuk mata miring ke atas, epicanthal folds (+), sklera ikterik
(-/-), strabismus (-/-), ptosis (-)
7. Hidung : deformitas (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
8. Telinga : Microtia, sekret (-/-), pendengaran (+/+), dengung (-/-)
9. Mulut : Bibir pucat (-), papil lidah atrofi (-), makroglosia (-)
10. Leher : Benjolan pada daerah tiroid (-), nyeri tekan (-), spasme otot (-)
11. Thoraks: : simetris, normochest, pengembangan dada kanan = kiri,
retraksi (-),

5
12. Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
13. Paru
a. Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri, retraksi(-)
b. Palpasi : Fremitus kanan=kiri
c. Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
d. Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+)
14. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sama dengan dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

15. Ekstremitas

Pemeriksaan kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks


patologis

Kekuatan Tonus RF RP
555 555 ↓ ↓ +2/+2 +2/+2 - -
555 555 ↓ ↓ +2/+2 +2/+2 - -

16. Status Psikiatri


i. Deskripsi Umum
a. Penampilan : Laki-laki
b. Kesadaran : Compos mentis

6
c. Perilaku dan Aktivitas Motorik: Normal
d. Pembicaraan : Belum bisa bicara, hanya bersuara “ta, ta, ta”
e. Sikap terhadap Pemeriksa: tidak kooperatif, kontak mata
susah fokus
f. Afek : Sesuai, Mood : Eutimik
g. Gangguan Persepsi , Halusinasi : sde , Ilusi : sde
ii. Proses Berfikir
a. Bentuk : sde
b. Isi : sde
c. Arus : sde
iii. Sensorium dan Kognitif
a. Daya Konsentrasi : tidak fokus
b. Orientasi : sde
c. Daya Ingat : sde
d. Daya Nilai : sde
e. Insight : sde
17. Status Neurologis
Keadaan Umum : Baik
Keadaan kuantitatif : Compos mentis, GCS E4VNTM6
Orientasi : sde
Daya ingat : sde
Kemampuan bicara : sde
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-), brudzinsky I-II (-)kernig (-)
Fungsi Sensorik : sde
18. Nervus Cranialis
N. II, III : Pupil isokor (3mm/3mm), RCL (+/+), tidak ada ptosis
N. III, IV, VI : Gerakan bola mata dalam batas normal (sde)
N. V : Refleks kornea (+) dan dagu simetris
N. VII : dalam batas normal
N. XII : dalam batas normal
19. Status Tumbuh Kembang

7
Milestone delayed
20. Pemeriksaan Range of Motion (ROM)

Pemeriksaan ROM
Neck
ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0-70o 0-70o
Ekstensi 0-40o 0-40o
o
Lateral bending kanan 0-60 0-60o
Lateral bending kiri 0-60o 0-60o
o
Rotasi kanan 0-90 0-90o
Rotasi kiri 0-90o 0-90o

Ekstremitas ROM pasif ROM aktif


Superior Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o
o
Ekstensi 0-50 0-50o 0-50 o
0-50o
Abduksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o
o
Adduksi 0-30 0-30o 0-30 o
0-30o
External 0-45o 0-45o 0-45o 0-45o
Rotasi
Internal 0-55o 0-55o 0-55o 0-55o
Rotasi
Elbow Fleksi 0-150o 0-150o 0-150o 0-150o
Ekstensi 5-0o 5-0o 5-0o 5-0o
Pronasi 0-80o 0-80o 0-80o 0-80o
Supinasi 0-80o 0-80o 0-80o 0-80o
Wrist Fleksi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
Ekstensi 0-70o 0-70o 0-70o 0-70o
Ulnar 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o
deviasi
Radius 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o
deviasi
Finger MCP I 0-60o 0-60o 0-60o 0-60o
fleksi
MCP II- 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
IV fleksi
DIP II-V 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
fleksi
PIP II-V 0-100o 0-100o 0-90o 0-100o

8
fleksi
MCP I 0-0o 0-0o 0-0o 0-0o
ekstensi
ROM pasif ROM aktif
Ekstremitas Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
Ekstensi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o
o
Abduksi 0-30 0-30o 0-30 o
0-30o
Adduksi 30-0o 30-0o 30o-0o 30-0o
o
Eksorotasi 0-45 0-45o 0-45 o
0-45o
Endorotasi 0-35o 0-35o 0-35o 0-35o
Knee Fleksi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
Ekstensi 0-150 0-150o 0-150 o
0-150o
Ankle Dorsofleksi 0-30o 0-30o 0-20o 0-20o
o
Plantarfleksi 0-60 0-60o 0-50 o
0-50o
Eversi 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o
o
Inversi 0-30 0-30o 0-30 o
0-30o

21. Manual Muscle Testing (MMT)

Ekstremitas Superior Dextra Sinistra

Shoulder Flexor M.deltoideus antor


5 5
M.biceps brachii
Extensor M.deltoideus antor
5 5
M.teres major
Abduktor M.deltoideus
5 5
M.biceps brachii
Adduktor M.latissimus dorsi
5 5
M.pectoralis major
Rotasi M.latissimus dorsi
internal 5 5
M.pectoralis major
Rotasi M.teres major
eksternal 5 5
M.pronator teres

9
Elbow Flexor M.biceps brachii
5 5
M.brachialis
Extensor M.triceps brachii
Supinator M.supinator 5 5
Pronator M.pronator teres

Wrist Flexor M.flexor carpi


radialis
Extensor M.extensor
5 5
digitorum
Abduktor M.extensor carpi
radialis
Adduktor M.extensor carpi
ulnaris
Finger Flexor M.flexor digitorum
Extensor M.extensor 5 5
digitorum

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Hip Flexor M.psoas major


Extensor M.gluteus maximus
4 4
Abduktor M.gluteus medius
Adduktor M.adductor longus
Knee Flexor Hamstring muscles
Extensor M.quadriceps 4 4
femoris
Ankle Flexor M.tibialis
5 5
Extensor M.soleus

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG

10
1. Hasil Ekokardiografi (16 Maret 2020 RS Dr. Moewardi)

Kesan: ASD, TR Mild

2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Serologi Tiroid (22 Juli 2021 RS Dr.


Moewardi)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

SEROLOGI

TSH 1.90 uIU/mL 0.70 – 6.40

Free T4 13.74 pmol/l 10.30 –


25.80

C. Assessment

Down Syndrome

Milestone Delayed

PDA, TR Mild, ASD

D. Daftar Masalah
1. Masalah Medis
Down Syndrome, GDD, PDA, TR Mild, ASD
2. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi
Otot trunk dan ekstremitas kurang kuat, keseimbangan kurang
2. Terapi Okupasi
Motorik halus tidak kurang berkembang
3. Terapi wicara
Belum bisa berbicara yang bermakna
4. Sosiomedik

11
Tidak ada
5. Ortesa-protesa
flat foot, ligamentous laxity
6. Psikologi
motivasi kedua orang tua
E. Impairment, Disability, Handicap
Impairment : Down Syndrome, Milestone delayed, PDA, TR Mild, ASD

Disability : Tidak mampu berdiri sendiri dan berjalan lama

Handicap :-

F. Terapi

i. Fisioterapi : Stimulasi penguatan otot head trunk, ekstremitas


kontrol, balance
ii. Terapi Okupasi : Latihan motorik halus
iii. Terapi wicara : stimulasi oromotor
iv. Sosiomedik : tidak dilakukan
v. Ortesa-protesa : sepatu koreksi
vi. Psikologi : psikoterapi suportif untuk orang tua
G. Planning

a. Planing Diagnostik : Tidak ada

b. Planning Terapi : Stimulasi penguatan otot head trunk,


ekstremitas, kontrol, balance

c. Planning Edukasi :

i. Penjelasan penyakit dan komplikasi yang dapat


terjadi pada pasien

ii. Penjelasan tujuan pemeriksaan dan terapi yang


dilakukan

iii. Edukasi ketaatan untuk melakukan terapi

12
d. Planning Monitoring: Evaluasi hasil terapi.
H. TUJUAN
A. Tujuan Jangka Pendek
Meningkatkan kekuatan otot kaki agar dapat berjalan.
B. Tujuan Jangka Panjang
Pasien dapat berjalan dan berbicara, membantu proses tumbuh
kembang pasien, mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat
penyakit yang diderita pasien.
I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Down Syndrome atau Sindrom Down (SD) merupakan kelainan


genetik disebabkan oleh kelebihan kromosom 21 yang memiliki tiga
kromosom (trisomi 21). Kelebihan kromosom pada penderita Down
Syndrome mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan
keterlambatan perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit
jantung, tanda awal alzeimer, leukimia, dan gangguan fisik lainnya. Down
Syndrome terjadi sekitar 1 dari 700 kelahiran bayi dan lebih sering terjadi
pada ibu hamil berusia di atas 35 tahun.1,2

B. Epidemiologi
Frekuensi kejadian Sindrom Down (SD) di Indonesia adalah 1
dalam 600 kelahiran hidup. Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan
adalah 10 SD per 10.000 kelahiran hidup.3 Di beberapa negara di mana
aborsi merupakan tindakan illegal seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab,
prevalensi SD lebih tinggi. Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah.
Hal ini mungkin disebabkan karena persentase penghentian kehamilan
yang tinggi pada anak dengan terdeteksi SD. Semakin meningkat usia ibu
saat kehamilan, semakin besar risiko melahirkan anak dengan SD.
Walaupun demikian, sekitar 80% anak dengan SD lahir dari ibu yang
berusia kurang dari 35 tahun karena usia tersebut merupakan kelompok
usia subur. 4,5

Etiologi

Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab Sindrom Down.


Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel inti yang terjadi
pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu penyebab yang sering

14
dikemukakan. Secara umum etiologi SD merupakan kelainan kromosom
yang disebabkan oleh genetik, umur ibu dan ayah, radiasi, infeksi, dan
autoimun. Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-
21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom
tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah 46. Pada penderita
Sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga
total menjadi 47 kromosom 6,7.

C. Klasifikasi

o Trisomi 21 klasik
Bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita
Sindrom Down, terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21.
Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua
penderita Sindrom Down.

o Translokasi
Suatu keadaan ketika tambahan kromosom 21 melepaskan diri
pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang
lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13,
14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita
Sindrom Down. Pada beberapa kasus, translokasi Sindrom Down ini
dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang
ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang
ditimbulkan oleh trisomi 21.

o Mosaik
Bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, trisomi 21 mosaik
hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita Sindrom Down. Hanya
beberapa sel saja yang memiliki kelebihan kromosom 21. Bayi yang
lahir dengan Sindrom Down mosaik akan memiliki gambaran klinis
dan masalah kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang
lahir dengan Sindrom Down trisomi 21 klasik dan translokasi. 8

15
A. Patofisiologi
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada
saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga saat mitosis
awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya
terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut
sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-
disjunction.

Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang


mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa
normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah
anaphase lag yang merupakan kegagalan dari kromosom atau
kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk
pada pembelahan sel sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan
atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke
nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis

ataupun mitosis (Girirajan, 2009).

Gambar 1. Proses meiosis (a) Proses meiosis normal, (b)


Terjadi kesalahan pada meiosis I, (c) Terjadi kesalahan pada

16
meiosis II. Kesalahan proses meiosis menimbulkan mutasi genetik
yang memicu terjadinya Sindrom Down.9

B. Faktor Risiko
1. Infeksi virus
Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada
prenatal yang bersifat teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi
embriogenesis dan mutasi gen.

2. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctional
pada Sindrom Down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak
dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah perut
sebelum terjadinya konsepsi.

3. Penuaan sel telur


Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur.
Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut
terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada saat dibuahi oleh
spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan yang salah.
Faktor selanjutnya disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-
laki juga dapat berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang
berasal dari ayah.

4. Usia ibu
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko
melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan dengan ibu
usia muda (kurang dari 35 tahun). Perubahan endokrin seperti
peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormone LH
(Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)

17
secara mendadak pada saat sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.10

C. Karakteristik
1. Bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan
orang normal (microchephaly) dengan area datar di bagian
tengkuk.
2. Ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat
(rata-rata usia 2 tahun).
3. Bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds).
4. Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia)
sehingga tampak menonjol keluar.
5. Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan
dapat menyebabkan gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
6. Garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian
crease)
7. Penurunan tonus otot (hypotonia)
8. Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung
dan jalan napas lebih kecil sehingga anak sindrom down mudah
mengalami hidung buntu.
9. Tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan sindrom down tidak
mencapai tinggi dewasa rata-rata.
10. Dagu kecil (micrognatia)
11. Gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam
urutan yang tidak sebagaimana mestinya.
12. Spot putih
di iris
mata
(brushfiel
d spots).11

18
Gambar 2-3. Karakteristik
Sindrom Down

D. Masalah Kesehatan terkait


Sindrom Down
1. Kardiovaskular.
Kelainan jantung bawaan ditemukan
pada 40-60% bayi dengan Sindrom Down
berupa defek kanal atrioventrikuler
komplit (60%), defek septum ventrikel (32%), Tetralogi of Fallot (6%),
defek septum atrium sekundum (1%), dan Isolated Mitral Cleft (1%).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
kelainan jantung bawaan adalah ekokardiografi.

2. Endokrin/Hormon.
Masalah hormon pada anak Sindrom Down tersering yang
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan adalah gangguan
pada hormon tiroid dan gonad. Hipotiroid, baik kongenital maupun
didapat adalah kelainan yang paling sering dijumpai pada sekitar 16-
20% penderita SD Sekitar separuh anak dengan Sindrom Down
mengalami peningkatan Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dengan
nilai T3 dan T4 normal yang menyebabkan hipotiroid subklinis (tidak
memiliki gejala). Hambatan pematangan jalur hipotalamus pituitari
tiroid diduga sebagai penyebab gangguan hormon ini.

3. Hematologi dan Onkologi


Penelitian Hasle pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa pasien
dengan Sindrom Down memiliki 10-20 kali lipat peningkatan risiko
menderita leukemia dan sebesar 2% dapat terjadi hingga usia 5 tahun
dan 2,7% hingga usia 30 tahun. Sebesar 2% anak dengan Sindrom

19
Down menderita leukemia limfoblastik akut (LLA) dan sekitar 10%
menderita kelainan leukemia myeloid akut (LMA).

4. Saluran Cerna
Anak dengan Sindrom Down akan mengalami beberapa gejala
saluran cerna dari waktu ke waktu seperti muntah, diare, sulit buang air
besar (konstipasi), nyeri perut, dan ketidaknyamanan yang dapat hilang
dengan intervensi minimal atau bahkan tanpa terapi.

5. Infeksi dan Gangguan Imunologi


Anak dengan Sindrom Down lebih mudah terkena infeksi
dibandingkan anak normal. Adanya kelainan sistem pertahanan tubuh
(imunitas) berkaitan dengan Sindrom Down dihubungkan dengan
proses metabolik atau kekurangan nutrisi yang akan menjadi factor
predisposisi pencetus infeksi.

6. Neurologi
Pasien Sindrom Down memiliki risiko lebih besar untuk
menderita penyakit Alzheimer. Setelah umur 50 tahun, risiko untuk
berkembangnya demensia meningkat pada pasien Sindrom Down
mencapai hampir 70%. Selain penyakit Alzheimer, penelitian oleh
Jones EL pada tahun 2013 mengungkapkan adanya hubungan antara
umur dan prevalensi kejang pada SD, dengan puncak kejadian kejang
pada masa bayi dan berulang pada dekade keempat atau kelima dalam
hidupnya. Penurunan kejadian kejang menurun selama masa dewasa.

7. THT
Anak SD seringkali mengalami gangguan pendengaran, baik
sensorineural maupun konduktif. Obstruksi saluran napas adalah
masalah yang berat pada anak dan dewasa dengan SD. Gejala yang
muncul meliputi bunyi napas mendengkur, posisi tidur yang kurang
lazim (duduk atau membungkuk sampai kepala menyentuh lutut),
kelelahan di siang hari, atau adanya perubahan perilaku.

20
8. Mata
Anak dengan SD memiliki lipatan mata epikantus. Hal ini
disebabkan oleh bagian luar canthus lebih tinggi dari pada bagian
dalam, sehingga mata terlihat sipit dan agak ke atas. Kelainan mata
yang lain dapat berupa strabismus, nistagmus, kelainan refraksi, dan
katarak kongenital. Katarak kongenital adalah masalah serius pada
bayi dengan SD yang ditandai dengan tidak adanya red reflex,
terdapat nystagmus dan strabismus.12

E. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal pada kehamilan risiko tinggi dapat
mengurangi penurunan terjadinya Sindrom Down melalui
amniosintesis dan Chorion Villus Sampling (CVS).13

Tes skrining pada trimester I (nuchal translucency, free ß-hCG


dan PAPP-A) dan triple test pada trimester II (Feto Protein,
Unconjugated Estradiol 3 dan ß-hCG) merupakan metode yang sering
dipakai untuk skrining kelainan kromosom. Prosedur standar (gold
standard) untuk diagnosis prenatal adalah dengan fetal karyotyping
pada wanita hamil. Diagnosis definitif ini membutuhkan pemeriksaan
invasive yaitu CVS atau amniosintesis. Terdapat beberapa assay
molekuler seperti Fluorescent in situ Hybridization (FISH),
Quantitative Fluorescence PCR (QF-PCR), dan MLPA Multiplex
Probe Ligation Assay (MLPA) yang juga dapat digunakan untuk
diagnosis prenatal.14

F. Diagnosis Postnatal
Diagnosis Sindrom Down postnatal didasarkan pada gabungan
gambaran fisik yang khas dan konfirmasi dengan pemeriksaan
kariotipe genetik. Seringkali tanda awal yang dapat dijumpai pada
neonatus dengan SD adalah hipotoni. Gambaran khas lainnya adalah
brakisefal, fisura palpebra yang oblik, jarak antara jari kaki ke-1 dan
ke-2 yang agak jauh, jaringan kulit yang longgar di belakang leher,

21
hiperfleksibilitas, low set ears, protrusi lidah, depressed nasal bridge,
lipatan epikantus, bercak Brushfield (titik-titik kecil pada pupil yang
letaknya tidak beraturan dan berwarna kontras), jari ke-5 yang pendek
dan melengkung, simian crease, dan didapatkan tanda-tanda penyakit
jantung bawaan.

Analisis sitogenetik dari kariotipe metafase masih menjadi


standar praktis dalam identifikasi, tidak hanya trisomi 21, tetapi segala
aneuploidi lainnya dan translokasi yang seimbang. Kromosom dari
sel-sel tubuh (biasanya dari sel darah putih) dihitung jumlahnya
apakah normal atau tidak, dan struktur kromosom dilihat apakah ada
delesi atau duplikasi.

Indikasi dilakukan analisis sitogenetik yaitu gagal tumbuh,


keterlambatan perkembangan, perawakan pendek, alat kelamin
ambigu, dan disabilitas intelektual. Serta bayi lahir mati dan kematian
neonates, analisis sitogenetik mungkin dapat mengidentifikasi
penyebab kematian dan memberikan informasi penting untuk
diagnosis prenatal pada kehamilan yang mendatang.15,16

G. Pertumbuhan dan Perkembangan


Centers for Disease Control and Prevention (CDC) membuat
kurva pertumbuhan untuk anak Sindrom Down di Amerika untuk
membantu memonitor pertumbuhan anak. Kurva dibedakan dalam
kelompok usia 0-3 tahun dan 2-20 tahun untuk masing-masing jenis
kelamin. Pada pola pertumbuhan Sindrom Down, terdapat penurunan
kecepatan pertumbuhan dari lahir hingga remaja, khususnya di usia
sekitar 6 bulan hingga 3 tahun dan saat masa pubertas. Anak dengan
sindrom Down mencapai tinggi maksimal di usia yang relatif muda,
yaitu 16 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Di
Indonesia, rata-rata minimum untuk anak usia 6-12 tahun adalah 96-
128 cm untuk anak perempuan dan 96-125 cm untuk anak laki-laki.17

22
Perkembangan anak dengan Sindrom Down tentu berbeda
dengan perkembangan anak sehat. Ekspresi pada kromosom yang
berlebih menyebabkan gangguan komunikasi, konsentrasi, ingatan,
kemampuan melaksanakan tugas, perkembangan motorik, dan kontrol
tubuh. Berdasarkan penelitian tersebut, anak dengan Sindrom Down
memiliki kemampuan motorik dan membutuhkan waktu pencapaian
level perkembangan dua kali lipat lebih lama dibandingkan anak
normal. Hampir semua anak dengan Sindrom Down memiliki
gangguan intelektual derajat sedang dan perkembangan kognitif serta
motorik.18

1. Perkembangan Kognitif
Sindrom Down adalah etiologi genetik terbesar dari
disabilitas intelektual (DI). Tingkat keparahan DI pada individu
dengan Sindrom Down bervariasi dari nilai Intelligence
Quotient (IQ) 30 hingga 70, dengan rata-rata nilai IQ sebesar 50.

2. Perkembangan Bahasa
Komunikasi tidak hanya berarti bicara, namun juga ekspresi
wajah, senyuman, Bahasa tubuh, Bahasa isyarat, dan Bahasa.
Miller dkk (1987), meneliti 56 anak dengan Sindrom Down,
mendapati bahwa tidak ada keterlambatan sampai masa di mana
anak seharusnya sudah dapat mengucapkan kata-kata pertama
mereka. Pada umur di atas 18 bulan, 60-75% anak dengan
Sindrom Down mengalami keterlambatan. Kebanyakan anak
dengan Sindrom Down lebih lambat mengucapkan kata pertama
mereka, kosakata mereka juga bertambah dengan lambat.

Tabel 1. Perbandingan perkembangan bahasa anak Sindrom


Down dan anak dengan perkembangan normal.19

Perkembangan Bahasa Usia Kronologis Anak Perkembangan Normal

Sindrom Down

23
Tersenyum 2,9 bulan 2 bulan
Kata pertama 21,82 bulan 10 bulan
2 kata 23 bulan 12 bulan
5-7 kata 31 bulan 18 bulan

Perkembangan Motorik

Anak dengan Sindrom Down mempunyai kesulitan


memproses informasi yang diterima oleh saraf mereka untuk
kemudian dikoordinasikan membentuk gerakan. Proses ini
memakan waktu yang lebih lama. Semakin kompleks
keterampilan yang diberikan, maka semakin lama pula waktu
yang dibutuhkan oleh anak untuk menerjemahkan perintah ke
dalam aksi. Hipotoni dapat beragam derajatnya dari ringan,
sedang, sampai berat, serta dapat berkurang bahkan menghilang
seiring dengan umur, namun dapat juga menetap selama hidup.
Hipotoni akan menyebabkan gangguan motorik kasar dan halus.

3. Perkembangan Sensoris
Bayi dengan Sindrom Down memiliki keterlambatan proses
sensoris. Didapatkan efek stimulasi vestibular dan kombinasi
stimulasi vestibular sehingga terapi sensoris integrasi dan terapi
neurodevelopmental bermanfaat pada anak Sindrom Down.
Ketika tidak ada sensoris di tangan, koordinasi motorik halus
terganggu. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan kognitif.19

D. Tatalaksana

Anak dengan sindroma Down diperlukan penanganan secara


multidisiplin. Penatalaksanaan pada Sindrom Down dilakukan melalui
intervensi program terapi, latihan, dan aktivitas sistematis yang didesain

24
untuk mengatasi keterlambatan perkembangan yang spesifik untuk anak
dengan Sindrom Down.

Penanganan secara medis


Tatalaksana medis disesuaikan dengan kondisi medis terkait yang
ditemukan pada anak (THT, kardiologi, penglihatan, nutrisi, kelainan
tulang). Pemberian farmakoterapi pada penderita SD yang disertai gejala
ADHD atau depresi dapat diberikan stimulan atau antidepresan. Agitasi,
agresi, dan tantrum merespon baik terhadap pemberian antipsikotik.

Antipsikotik atipikal seperti risperidone (Risperidal) dan olazapine


(Zyprexal) lebih dipilih karena memiliki kecenderungan lebih kecil dalam
mengakibatkan gejala ekstrapiramidal dan diskinesia. Litium (Eskalith)
berguna dalam mengontrol sifat agresif atau menyakiti diri sendiri.
Carbamazepin (Tegretol), valproate (Depakene), dan propanolol (Inderal)
juga dapat digunakan untuk perilaku agresif dan tantrum. Pemberian
antibiotik yang adekuat sangat diperlukan pada pasien Sindrom Down
dengan infeksi karena terbukti mampu mencegah mortalitas.

4. Psikoterapi
Terapi perilaku dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan
kemampuan perilaku sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku
agresif dan destruktif. Terapi kognitif, seperti menanamkan nilai yang benar
dan latihan relaksasi dengan mengikuti instruksi, direkomendasikan untuk
anak yang mampu mengikuti instruksi. Terapi psikodinamik digunakan
untuk mengurangi konflik tentang pencapaian yang diharapkan yang dapat
mengakibatkan kecemasan, kemarahan dan depresi.

5. Tatalaksana Rehabilitasi Medik


a) Terapi Fisik (Fisioterapi). Terapi ini biasanya diperlukan
pertama kali bagi anak down syndrome. Dikarenakan
mereka mempunyai otot tubuh yang lemas, terapi ini
diberikan agar anak dapat berjalan dengan cara yang benar.

25
b) Terapi Wicara. Terapi ini perlukan untuk anak down
syndrome yang mengalami keterlambatan bicara dan
pemahaman kosakata. Membaca kata yang sering
digunakan dan kata sederhana, mengidentifikasi huruf awal
maupun bunyi akhir kata, dan menggabungkan bunyi untuk
membentuk kata-kata. Terapi oromotor bertujuan untuk
melatih fungsi motorik mulut dan memperbaiki artikulasi.
c) Terapi Okupasi. Terapi ini diberikan untuk melatih anak
dalam hal kemandirian, kognitif/ pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena
pada dasarnya anak down syndrome tergantung pada orang
lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa
ada komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain.
Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan
koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
d) Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang
mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang
dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari
sekolah biasa.
e) Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah
ketidakmampuan mengolah rangsangan/sensori yang
diterima. Terapi ini diberikan bagi anak down syndrome
yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya
pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll.
Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas
dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
f) Terapi Tingkah Laku (Behaviour Therapy). Mengajarkan
anak down syndrome yang sudah berusia lebih besar agar
memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai
dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di
masyarakat.

26
g) Terapi Musik. Terapi musik adalah anak dikenalkan nada,
bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat senang dengan musik
maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka
dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan
meningkat dan mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain
juga membaik.20,21
H. Prognosis
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga
usia 30-40 tahun. Selain perkembangan fisik dan mental terganggu,
juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan berpikir
penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan
jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk
prognosis. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung
bawaan. Sebesar 44% penderita sindroma Down hidup sampai 60
tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko
terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi
normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan
harapan hidup setelah umur 44 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pienaar, D. (2012) ‘Music Therapy for Children with Down Syndrome: Perceptions of Caregivers
in a Special School Setting.’, Kairaranga, 13(1), pp. 36–43.
2. Abdullah, King. 2016. Down Syndrome. Saudi Arabia: The Patient Education Institute, Inc
3. Marttala J, Yliniem O, Glissler M, Nieminen P, Ryynanen M. Prevalence of Down syndrome in a
pregnant population in Finlandia. Acta Obstet Gynecol. 2010; 89: 715–7.
4. Evans-Martin FF. Genes & disease: Down syndrome. Edisi ke-1. New York: Chelsea House
Books; 2009.
5. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology Down syndrome. Ment Retard Dev
Disabil Res Rev. 2007; 13: 221–7.
6. Kliegman & Robert, M. 2007.Nelson Textbook Of Pediatrics. Philadelphia: Saunders, Elsevier

27
7. Asim A, Kumar A, Muthuswamy S, Jain S, Agarwal S. Down syndrome: an insight of the disease.
J Biomed Sci. 2015; 22(1): 41.
8. Sommer, CA, Silva H. Trisomy 21 and Down syndrome - A short review. Braz J Biol.
2008;68:447-52.
9. Girirajan S. Parental-age eff ects in Down syndrome. J Genet. 2009; 88(1): 1–7.
10. Antonarakis SE, Lyle R, Dermitzakis ET, Reymond A, Deutsch S. Chromosome 21 and Down
Syndrome: from genomics to pathophysiology. Nat Rev Genet. 2005; 5: 725–38.
11. Thomas K, Bourke J, Girdler S, Bebbington A, Jacoby P, Leonard H. Variation over time in
medical conditions and health service utilization of children with Down syndrome. J Pediatr. 2011;
158: 194–200.
12. Irwanto et al. (2019) A-Z Down Sindrome. Edited by Irwanto. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Airlangga.
13. Reena MS, Pisani PO, Conversano F, Perrone E, Casciaro E, Renzo GCD et al. Sonographic
markers for early diagnosis of fetal malformations. World J Radiol. 2013; 10: 356–71.
14. Agathokleous M, Chaveeva P, Poon LC, Kosinski P, Nicolaides KH. Meta-analysis of second-
trimester markers for trisomy 21. Ultrasound Obstetrics Gynecol. 2013; 41: 247–61.
15. Alberry M, Maddocks D, Jones M, Abdel Hadi M, Abdel-Fatt ah S,Avent N, et al. Free fetal
DNA in maternal plasma in anembryonic pregnancies: confi rmation that the origin is the
trophoblast. Prenat Diagn. 2007; 27: 415–8.
16. Wright CF, Burton H. The use of cell-free fetal nucleic acids in maternal blood for non-invasive
prenatal diagnosis. Hum Reprod Update. 2009; 15: 139–51.
17. Batubara J, Alisjahbana A, Gerver-Jansen JGM, Alisjahbana B, Sadjimin T, Tasli Y, et al. Growth
diagrams of Indonesian children the nationwide survey of 2005. Paediatr Indones. 2006; 46: 5–6.
18. Rao PT, Guddatt u V, Solomon JM. Response abilities of children with Down syndrome and other
intellectual developmental disorders. Exp Brain Res. 2017; 22: 1–13.
19. Russell DC, van Heerden R, van Vuuren S, Venter A, Joubert G. The impact of the
Developmental Resource Stimulation Programme (DRSP) on children with Down syndrome.
South African J Occup Ther. 2016; 46: 33–40.
20. Purpura G, Tinelli F, Bargagna S, Bozza M, Bastiani L, Cioni G. Effect of early multisensory
massage intervention on visual functions in infants with Down syndrome. Early Hum Dev. 2014;
90: 809–13.118. Creek J. Occupational therapy defi ned as a complex intervention:
21. Wan Yunus F, Liu KPY, Bissett M, Penkala S. Sensory-based intervention for children with
behavioral problems: a systematic review. J Autism Dev Disord. 2015; 45: 3565–79.

28

Anda mungkin juga menyukai