Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS

REHABILITASI MEDIK
SEORANG PEREMPUAN 44 TAHUN DENGAN HEMIPARESE
SINISTRA, PARESE N.VII DAN N.XII, SERTA SHOULDER HAND
SYNDROME PASCA STROKE NON HEMORAGIK DENGAN
DIABETES MELLITUS TIPE 2

Oleh:
FADHILA BALQIS NURFITRIA
G99162107

Pembimbing:
dr. Ninik Dwiastuti, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. P
Umur : 44 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sidodadi 14/4, RT/RW Mojodoyong,
Kedawung, Sragen, Jateng
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 30 Juli 2017
Tanggal Periksa : 01 Agustus 2017
No RM : 01372XXX

II. Keluhan Utama


Nyeri kepala.

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan utama nyeri
kepala cekot-cekot sejak 12 jam SMRS. Keluhan muncul saat pasien
sedang berbaring di tempat tidur. Nyeri di rasakan di seluruh kepala,
semakin lama semakin berat. Nyeri kepala dirasakan terus menerus dan
tidak membaik dengan pemberian obat (Paracetamol). Pasien sadar penuh
saat dibawa ke rumah sakit. Pasien merasa kaki kiri lebih berat dari kaki
kanan, mual muntah (+), kejang (-), tersedak (-), bicara pelo (+). Selain
nyeri, kepala pasien juga pusing berputar tiap bangun dari tempat tidur.
Enam bulan SMRS (Februari 2017) pasien pernah mondok di RSDM
karena stroke non hemoragik (SNH). Saat itu pasien mengalami nyeri
kepala, kelumpuhan di anggota gerak sebelah kiri, dan lidah pelo. Pasien
mondok selama satu minggu, dan sempat dikonsulkan ke bagian
Rehabilitasi Medis. Pasien menjalani program fisioterapi dan rutin kontrol
ke poli Rehabilitasi Medis satu bulan sekali setelah keluar dari rumah sakit.
Setelah keluar dari rumah sakit, aktivitas pasien lebih banyak di tempat
tidur, sambil diselingi latihan untuk menggerakkan otot-otot yang lumpuh.
Pasien mengaku, pasca serangan stroke yang pertama, pasien pulih hingga
dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain, namun untuk berjalan masih
membutuhkan bantuan.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan serupa : +, 6 bulan yang lalu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : debu, metamizol
Riwayat asma : disangkal
Riwayat stroke : + 6 bulan yang lalu riwayat mondok
karena SNH
V. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : ayah pasien
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat stroke : disangkal

VI. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Pasien makan 3 kali sehari dan hanya bisa makan makanan dengan
konsistensi lunak pasca serangan stroke yang pertama.
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat mengonsumsi alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : jarang
VII. Riwayat Sosial Ekonomi
Sehari-hari pasien bekerja sebagai penjaga toko kelontong milik
sendiri. Pasien tinggal bersama suami dan dua anaknya. Pasien mondok di
RSDM dengan menggunakan BPJS kelas III.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan umum pasien adalah sakit sedang, kesadaran pasien compos
mentis E4V5M6, dan gizi kesan cukup.

B. Tanda Vital
Tekanan darah : 137/88 mmHg
Nadi : 82x/ menit
Respirasi : 20x/ menit
Suhu : 36.6 C (per aksila)

C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), petechie (-), venektasi (-), spider naevi
(-), striae (-), hiperpigmentasi (-).

D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut
hitam beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).

E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung
dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-),
sekret (-/-), kelopak mata bisa membuka dan menutup (+/+)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),stomatitis (-), mukosa
pucat (-), gusi berdarah (-), wajah kesan simetris, apabila meringis mulut
mencong ke kanan, saat dijulurkan lidah miring ke arah kiri.

I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-).

J. Thorax
1. Retraksi (-)
2. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I dan II intensitas normal, reguler, dan
bising (-)
3. Paru
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
(statis dan dinamis), gerakan paradoksal (-)
Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler/vesikuler), suara
tambahan (-)
K. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada
dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal 10x/ menit
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar, dan lien kesan
normal

L. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
- + - -
- - - -

M. Status Psikiatri
1. Deskripsi Umum
a. Penampilan : perempuan, tampak sesuai umur,
berpakaian rapi, perawatan diri
cukup baik
b. Kesadaran :
1) Kuantitatif : compos mentis
2) Kualitatif : tidak berubah
c. Perilaku dan aktivitas motorik : normoaktif
d. Pembicaraan : koheren, menjawab pertanyaan
dengan cukup
tepat
e. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif, kontak mata baik
2. Afek dan Mood
a. Afek : appropiate
b. Mood : normal
3. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi :-
b. Ilusi :-
4. Proses Pikir
a. Bentuk : realistik
b. Isi : waham (-)
c. Arus : koheren
5. Sensorium dan Kognitif
a. Daya konsentrasi : cukup
b. Orientasi :
1) Orang : baik
2) Waktu : baik
3) Tempat : baik
6. Daya Nilai : daya nilai realitas dan sosial baik
7. Insight : derajat 5
8. Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya

N. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi luhur : dalam batas normal
Fungsi vegetatif : dalam batas normal
Fungsi sensorik :
1. Rasa ekseteroseptik Lengan Tungkai
Nyeri (+/) (+/)
Rabaan (+/) (+/)
2. Rasa propioseptik Lengan Tungkai
Rasa posisi (+/+) (+/+)
Rasa nyeri tekan (+/+) (+/+)
Rasa nyeri tusuk (+/+) (+/+)
3. Rasa kortikal
Stereogonsis : normal
Barognosis : normal
Pengenalan 2 titik : normal

Fungsi motorik dan reflek


Atas Tengah Bawah
ka/ki ka/ki ka/ki
a. Lengan
1) Kekuatan 5/1 5/1 5/1
2) Tonus n/ n/ n/
3) Reflek Fisiologis
a) Reflek Biseps +2/+3
b) Reflek Triseps +2/+3
4) Reflek Patologis
a) Reflek Hoffman -/-
b) Reflek Tromner -/-
b. Tungkai
1) Kekuatan 5/2 5/2 5/2
2) Tonus n/ n/ n/
3) Klonus
a) Lutut -/-
b) Kaki -/-
4) Reflek Fisiologis
a) Reflek Patella +2/+3
b) Reflek Achilles +2/+3
5) Reflek Patologis
a) Reflek Babinsky -/-
b) Reflek Chaddock -/-
c) Reflek Oppenheim -/-
d) Reflek Gordon -/-
e) Reflek Schaeffer -/-
f) Reflek Rosolimo -/-
g) Reflek Mendel Bechtrew -/-

Nervus Cranialis
1. Nervus II, III : pupil isokor 3 mm/3 mm, reflek pupil (+/+)
2. Nervus III, IV, VI : pergerakan bola mata normal
3. Nervus VII : kesan simetris, dapat mengangkat kedua
alis, senyum miring mencong ke kanan
4. Nervus XII : kesan tidak simetris, disatria (+), saat
Menjulurkan lidah mencong ke sisi kiri
Kesan parese UMN N. VII dan XII sinistra

Meningeal Sign
1. Kaku kuduk : (-)
2. Tanda Brudzinski I : (-)
3. Tanda Brudzinski II : (-)
4. Tanda Brudzinski III : (-)
5. Tanda Brudzinski IV : (-)
6. Tanda Kernig : (-)
O. Range of Motion (ROM) dan MMT
ROM
NECK MMT
Pasif Aktif
Fleksi 0 - 70 0 - 70 5
Ekstensi 0 - 40 0 - 40 5
Lateral bending kanan 0 - 60 0 - 60 5
Lateral bending kiri 0 - 60 0 - 60 5
Rotasi kanan 0 - 90 0 - 90 5
Rotasi kiri 0 - 90 0 - 90 5

ROM Pasif ROM Aktif MMT


Ektremitas Superior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra D S
Fleksi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
Ektensi 0-50 0-50 0-50 sde 5 1
Abduksi 0-180 0-180 0-180 sde 5 1
Shoulder
Adduksi 0-75 0-75 0-75 sde 5 1
Eksternal Rotasi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
Internal Rotasi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
Fleksi 0-150 0-150 0-150 sde 5 1
Ekstensi 0 0 0 sde 5 1
Elbow
Pronasi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
Supinasi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
Fleksi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
Ekstensi 0-70 0-70 0-70 sde 5 1
Wirst
Ulnar Deviasi 0-30 0-30 0-30 sde 5 1
Radius deviasi 0-20 0-20 0-20 sde 5 1
MCP I Fleksi 0-50 0-50 0-50 sde 5 1
MCP II-IV fleksi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
Finger DIP II-V fleksi 0-90 0-90 0-90 sde 5 1
PIP II-V fleksi 0-100 0-100 0-100 sde 5 1
MCP I Ekstensi 0-30 0-30 0-30 Sde 5 1
ROM Pasif ROM Aktif MMT
Ektremitas Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra D S
Fleksi 0-120 0-120 0-120 0-120 5 3

Ektensi 0-30 0-30 0-30 0-30 5 3

Abduksi 0-45 0-45 0-45 0-45 5 3


Hip
Adduksi 0-45 0-45 0-45 0-45 5 3

Eksorotasi 0-30 0-30 0-30 0-30 5 3

Endorotasi 0-30 0-30 0-30 0-30 5 3

Fleksi 0-120 0-120 0-120 0-120 5 1


Knee
Ekstensi 0 0 0 0 5 1

Dorsofleksi 0-30 0-30 0-30 0-30 5 2

Plantarfleksi 0-30 0-30 0-30 0-30 5 1


Ankle
Eversi 0-50 0-50 0-50 0-50 5 1

Inversi 0-40 0-40 0-40 0-40 5 1

P. Status Ambulansi
Skor ADL dengan Barthel Index
Activity Score
Feeding
0 = unable 10
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen 0
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri 5
5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
Dressing
0 = dependen 5
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan
sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita,
dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 5
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani 5
sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen 0
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal
sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk 15
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard 10
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun,
tongkat) > 50 yard
Stairs
0 = unable 0
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100) 55 (dependen
berat)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah (31 Juli 2017)
Hasil Satuan Rujukan
SITOLOGI
Hb 12.8 g/dl 12.0-15.6
HCT 39 33-45
Eritrosit 4.19 106/l 4.10-5.10
Leukosit 11.0 103/l 4,5-11
Trombosit 180 103/l 150-450
KIMIA KLINIK
HbA1c 10.1 % 4.8-5.9
GDS 103 mg/dl 60-140
GDP 80 mg/dl 70 110
GD2PP 99 mg/dl 80-140
Asam urat 3.1 mg/dl 2.4 -6.1
Kolesterol 101 mg/dl 50-200
HDL-L
Total 42 mg/dl 38-92
LDL-L 49 mg/dl 100-224
Trigliserida 73 mg/dl <150
ELEKTROLIT
Na 136 mmol/ L 136-145
K 4.2 mmol/ L 3.7-5.1
Ca 1.27 mmol/ L 1.17-1.29

B. Foto CT Scan (30 Juli 2017)


Kesimpulan:
1. Tromboemboli infark pada M, M2, M3, M5, M6, insula, nukleus
caudatus, nucleus lentiformis sesuai teritori arteri cerebri media kanan.
2. Infark kronis pada lobus frontalis kanan.

C. Foto Thorax PA (30 Juli 2017)

Cor dan pulmo tak tampak kelainan.


IV. ASSESSMENT
Klinis : Hemiparese sinistra, parese N. VII dan
parese N. XII Sinistra, Shoulder Hand
Syndrome
Topis : Subcortex cerebri
Etiologis : Stroke infark trombotik rekuren
Diagnosis lain : DM tipe II

V. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis : Hemiparese sinistra, parese N. VII dan
parese N. XII Sinistra, Shoulder Hand
Syndrome
A. Problem Rehabilitasi Medik :
1. Fisioterapi : penderita tidak bisa menggerakkan
anggota gerak kiri
2. Speech Terapi : gangguan dalam artikulasi
3. Okupasi Terapi : gangguan dalam melakukan aktivitas fisik
4. Sosiomedik : memerlukan bantuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari
5. Ortesa-protesa : keterbatasan saat ambulasi

VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Head up 30
2. Infus asering 20 tpm
3. Injeksi Ketorolac 30 mg/ 12 jam
4. Injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam
5. Injeksi diphenhidramin 10 mg/ 12 jam
6. Gabapentin 2 x 300 mg
B. Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi
a. Proper bed positioning
b. Wrist pumping
c. General ROM exercise
2. Speech Terapi:
Latihan peningkatan artikulasi
3. Okupasi Terapi:
Shoulder support
4. Sosiomedik:
Edukasi terhadap keluarga pasien mengenai bagaimana perawatan pasien
dan pentingnya peran keluarga dalam pengawasan dan membantu pasien
untuk melakukan latihan rehabilitasi di rumah serta evaluasi sosial
ekonomi.
5. Ortesa-protesa
Menyiapkan alat bantu jalan jika diperlukan (quadripod atau tripod).

VII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP


A. Impairment
Hemiparese sinistra, parese N. VII dan XII, shoulder hand syndrome.
B. Disabilitas
Terjadi disabilitas personal berdasarkan Barhel Index dengan skor ADL 55
(dependen berat) dengan gangguan mandi, berpakaian, menahan BAB dan
BAK, menggunakan toilet, mobilisasi, dan menaiki tangga.
C. Handicap
Sedikit gangguan berinteraksi dengan masyarakat luas, keterbatasan
menghadiri acara sosial seperti pengajian dan undangan pernikahan.
VIII. PLANNING
A. Planning diagnostik :-
B. Planning terapi : pasien dirawat inap di unit stroke untuk
penatalaksanaan rawat bersama bagian
Saraf dan Rehabilitasi Medik.
C. Planning edukasi :
1. Penjelasan penyakit dan komplikasi
yang bisa terjadi

2. Penjelasan tujuan pemeriksaan dan


tindakan yang dilakukan

3. Edukasi untuk home exercise dan


ketaatan untuk melakukan terapi

D. Planning monitoring : Evaluasi hasil fisioterapi

IX. GOAL
A. Jangka pendek
1. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat lama perawatan
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
3. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot
4. Meningkatkan dan memelihara ROM
B. Jangka panjang
1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada
fase akut, tetapi juga fase kronik.
2. Minimalisasi impairment dan disabilitas pada pasien
3. Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama seperti ulkus
decubitus, pneumonia, atrofi otot, hipotensi ortostatik dan lain
sebagainya.
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. STROKE
a. Definisi
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala
hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang
berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala gejala ini
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian (Ginsberg,
2008). Adapun definisi yang lain ialah, stroke merupakan penyakit
gangguan fungsional otak akut, fokal maupun global,akibat gangguan
aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun sumbatan dengan
gejala dan tanda yang sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat
sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau berakhir dengan
kematian (Junaidi, 2004).
Stroke adalah penyakit serebrovaskular mangacu pada setiap
gangguan neurologic mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau
terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak. Stroke
diklasifikasikan menjadi dua kategori utama, yaitu stroke iskemik dan
stroke hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh sumbatan pada
pembuluh darah, dibagi dua, akibat trombotik dan embolik. Sedangkan
stroke hemoragik disebabkan perdarahan, baik perdarahan intraserebral
maupun subarachnoid (Price dan Wilson, 2006; Sidharta, 2008).
b. Klasifikasi
Stroke dibagi dalam dua jenis. Yaitu stroke karena sumbatan dan
penyempitan pembuluh darah arteri otak atau stroke iskhemik dan
stroke karena perdarahan atau stroke hemoragik (Soeharto, 2004).
Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik. Penyumbatan pada
satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas.
Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energy yang
disebabkan oleh iskemia (Silbernagl dan Lang, 2007).
Stroke trombotik sebagian besar terjadi saat tidur, saat pasien
relative mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun.
Thrombosis pembuluh otak cenderung memiliki awitan bertahap, pola
ini menyebabkan timbulnya istilah stroke in evolution. Gejala hilang
timbul berganti-ganti secara cepat. Pasien mungkin sudah mengalami
beberapa kali TIA (transien iskemik attack) sebelum akhirnya
mengalami stroke (Price dan Wilson, 2006).
Stroke embolik dapat berasal dari embolus arteri distal atau
jantung. Stroke biasanya mendadak dengan efek maksimum sejak
awitan pertama. Biasanya serangan terjadi saat pasien sedang
beraktivitas.
Stroke akibat perdarahan intraserebrum paling sering dipicu oleh
hipertensi dan rupture salah satu arteri otak. Serangan paling sering
terjadi saat pasien terjaga dan aktif, sehingga kejadiannya disaksikan
orang lain. Karena lokasinya berdekatan dengan arteri-arteri dalam,
stroke menimbulkan defisist yang sangat merugikan. Hemplegia
merupakan tanda khas pertama keterlibatan capsula interna. Angka
kematian mendekati 50%.
Stroke akibat perdarahan subarachnoid memiliki dua kasus utama :
rupture aneurisma vascular dan trauma kepala. Tempat aneurisma yang
lazim adalah sirkulus willisi (Price dan Wilson, 2006).
Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke non hemoragik
dikelompokkan menjadi 4, yaitu :
1) Serangan Iskhemia Sepintas atau Transient Ischemic Attack
(TIA)
Gejala neorologik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah otak dan akan menghilang dalam waktu 24 jam
(Aliah dkk, 1996).
2) Defisit Neurologik Iskhemik Sepintas atau Reversible
Ischemic Neurologica Defisit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam
waktu yang lebih lama dari 24jam, tapi tidak lebih dari satu
minggu (Aliah dkk, 1996).
3) Stroke Progresif (Progresive Stroke / Stroke in
evolution)
Stroke yang semakin bertambah gawat keadaannya
(Ngoerah, 1991). Berlangsung secara bertahap dari yang
ringan sampai menjadi berat (Junaidi, 2004).
4) Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke)
Stroke yang memperlihatkan tanda tanda defisit
neurologis yang sudah menetap.Defisit neurologis itu dapat
merupakan hemiplegi, monoplegi, atau afasia (Ngoerah,
1991).
Sedangkan menurut WHO dalam International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problem 10th Revision,
stroke hemoragik dapat dibagi 2, yaitu (Aliah dkk, 1996):

1) Perdarahan Intra Serebral (PIS)


PIS adalah perdarahan primer berasal dari pembuluh darah
dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
2) Perdarahan Sub Arakhnoidal (PSA)
PSA adalah keadaan terdapatnya atau masuknya darah ke
dalam ruangan sub arakhnoid.
c. Patogenesis
1) Stroke Iskemik /stoke non hemoragik
Stroke iskhemik terjadi akibat turunnya tekanan perfusi
otak. Keadaan ini disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya
salah satu pembuluh darah otak di daerah sumbatan atau
tertutupnya aliran darah otak, penyebabnya antara lain
(Misbach, 1999) :
a) Perubahan patologik pada dinding arteri pembuluh
darah otak menyebabkan trombosis yang diawali
oleh proses arteriosklerosis di tempat tersebut.
b) Perubahan akibat proses hemodinamik, karena
sumbatan di bagian proksimal pembuluh arteri.
c) Perubahan akibat perubahan sifat darah.
d) Tersumbatnya pembuluh darah akibat emboli
daerah proksimal.
2) Stroke hemoragik
Stroke hemoragik terjadi akibat adanya perdarahan.
Perdarahan dapat terjadi bila arteri di otak pecah, darah
tumpah ke otak atau rongga antara permukaan luar otak dan
tengkorak.
a) Perdarahan Intra Serebral
Perdarahan intra serebral biasanya timbul karena
pecahnya mikroaneurisma (Charcot-Bouchard
aneurysms) akibat hipertensi maligna (Mitchell et
all, 2006). Hal ini paling sering terjadi di daerah sub
kortikal, serebelum, pons, dan batang otak. Gejala
neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke
jaringan otak yang menimbulkan nekrosis (Misbach,
1999).
b) Perdarahan Sub Arachnoid
Perdarahan sub arachnoid biasanya timbul karena
pecahnya dinding pembuluh darah yang lemah.
Apakah karena suatu malformasi arterivenosa
ataupun suatu aneurisma (pelebaran setempat pada
arteri) (Aliah dkk, 1996).
d. Faktor Risiko
Faktor risiko adalah faktor yang meningkatkan risiko untuk
terjadinya suatu penyakit (Fletcher et all, 1992). Faktor risiko stroke
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor faktor yang tidak dapat
diubah maupun yang dapat diubah (Bustami, 2007). Penjabaran faktor
risiko tersebut sebagai berikut (Sacco and Lipset, 1996) :
1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah :
a) Usia
b) Jenis kelamin
c) Ras dan etnis
d) Hereditas / riwayat keluarga
2) Faktor risiko yang dapat diubah
a) Hipertensi
b) Penyakit jantung
c) Diabetes Mellitus
d) Hiperkolesterol, dan lain lain.
e. Gejala dan Manifestasi Klinis
Pembagian tanda - tanda stroke sebagai berikut (Soeharto, 2004) :
1) Kehilangan rasa pada muka , bahu, atau kaki, terutama
bila hanya terjadi pada separuh tubuh.
2) Merasa bingung, sulit bicara, atau sulit menangkap
pengertian.
3) Sulit melihat dengan sebelah mata ataupun kedua mata.
Tiba tiba sulit berjalan, pusing, dan kehilangan
keseimbangan.
4) Sakit kepala yang amat sangat tanpa diketahui
penyebabnya dengan jelas.
f. Diagnosis
Penegakan diagnosa stroke didasarkan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik neurologik dan pemeriksaan penunjang (Misbach,
1999). Beberapa institusi telah mengembangkan sistem penilaian
berdasarkan gejala klinis untuk menentukan jenis GPDO (Gangguan
Peredaran Darah Otak), antara lain Siriraj score system, Djoenaidi
scoring system, atau algoritma Gajah Mada, tetapi penggunaannya
tetap kurang populer, mungkin karena kurang praktis akibatnya
banyaknya hal yang harus dinilai (Siriraj dan Djoenaidi scoring
system) atau karena kurang akurat meskipun sederhana (algoritma
Gajah Mada) (Wreksoatmodjo, 2006). Pemeriksaan LDL kolesterol
termasuk pemeriksaan profil lemak di laboratorium untuk menunjang
diagnosa tingkat risiko stroke. Sedangkan untuk membedakan jenis
stroke iskhemik dengan stroke hemoragik dilakukan pemeriksaan
radiologi CT Scan kepala (Misbach, 1999). Pada stroke hemoragik
akan terlihat adanya gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke
iskhemik akan terlihat gambaran hipodens.
A. Tata laksana
Menurut PERDOSSI (2007), tata laksana stroke dibagi menjadi
stadium hiperakut, akut dan subakut. Pada stadium hiperakut, tindakan
dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi
serebro-kardiopulmonal.Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
kerusakan otak yang lebih luas.Pasien diberi oksigen 2l/menit dan cairan
kristaloid/koloid.Pemberian cairan dekstrosa dan salin dihindari.Selain
itu, dilakukan pemeriksaan CT-Scan otak, EKG, foto toraks, darah perifer
lengkap, jumlah trombosit, protrombin time, APTT, glukosa darah, kimia
darah, dan analisis gas darah (jika terjadi hipoksia). Tindakan lain yang
harus dilakukan adalah pemberian dukungan mental ke pasien dan
menenangkan keluarga.
Selain itu juga dilakukan terapi medikamentosa. Obat-obatan yang
bias diberikan antara lain manitol atau diuretik untuk mengurangi edema
serebri. Makin awal obat tersebut diberikan, makin baik hasilnya dan
makin berkurangnya potensi komplikasi perdarahan dalam otak. Obat
kejang atau antikonvulsan dapat diberikan apabila terjadi kejang. Pasien
dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat
antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat
terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan mengkoreksi
INR, serta mendapat vitamin K intravena (PERDOSSI, 2011). Dalam
kondisi emergensi dapat diberikan transfusi darah, komponen pembekuan
darah, atau cairan untuk mengkoreksi kebutuhan (Suroto et al., 2004).
Pada stadium akut dilakukan penanganan faktor-faktor etiologi
maupun penyulit. Selain penanganan tersebut, dilakukan juga terapi
okupasi, terapi fisik, terapi wicara, dan psikologis serta telaah sosial untuk
membantu pemulihan pasien. Edukasi kepada pasien dan keluarga
mengenai dampak stroke dan tata cara perawatan yang dapat dilakukan.
Tata laksana stadium akut dilakukan atas tujuan penetapan diagnosis
secara pasti, meminimalisasi cedera otak, mencegah dan mengobati
komplikasi, mencegah stroke berulang, dan memaksimalkan kualitas
hidup (PERDOSSI, 2011).
Pada stadium subakut, tindakan medis dapat berupa prevensi
sekunder, edukasi keluarga, discharge planning, terapi lanjutan kondisi
akut sebelumnya, tata laksana komplikasi, serta rehabilitasi (fisioterapi,
terapi wicara, kognitif, dan okupasi). Tujuan penatalaksanaan
komprehensif ini adalah untuk mempercepat perbaikan fungsi neurologis
dan meminimalkan kerusakan sel (PERDOSSI, 2011).

B. Evaluasi Penderita Stroke dari Segi Rehabilitasi Medik


Pemeriksaan penderita meliputi empat bidang evaluasi:
1. Evaluasi neuromuskuloskeletal
Evaluasi ini mencakup evaluasi neurologi secara umum dengan
perhatian khusus pada:
a. Tingkat kesadaran
b. Fungsi mental termasuk intelektual.
c. Kemampuan bicara.
d. Nervus kranialis.
e. Pemeriksaan sensorik.
f. Pemeriksaan fungsi persepsi.
g. Pemeriksaan motorik
h. Pemeriksaan gerak sendi.
i. Pemeriksaan fungsi vegetatif.
2. Evaluasi medik umum
Mencakup sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem
endokrin serta sistem saluran urogenital.
3. Evaluasi kemampuan fungsional
Meliputi kegiatan sehari-hari (AKS) seperti makan dan minum,
mencuci, kebersihan diri, transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis
aktivitas tersebut ditentukan derajat kemandiriaan dan ketergantungan
penderita juga kebutuhan alat bantu.
Evaluasi psikososial-vokasional
Mencakup faktor psikologis, vokasional dan aktifitas rekreasi,
hubungan dengan keluarga, sumber daya ekonomi dan sumber daya
lingkungan. Evaluasi psikososial dapat dilakukan dengan menyuruh
penderita mengerjakan suatu hal sederhana yang dapat dipakai untuk
penilaian tentang kemampuan mengeluarkan pendapat, kemampuan
daya ingat dan orientasi (Ropper dan Brown, 2005).

C. Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke


Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa
fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk
menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan
diberikan, yaitu :
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil,
umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa
ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan perawatan di ruang
rawat biasa, pasien yang di rawat di unit stroke memberikan outcome
yang lebih baik. Pasien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali
dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai kualitas
hidup yang lebih baik. Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas
lebih lanjut dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan
spesialistik di rumah sakit.
Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah
stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang
memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan,
dan sebagian kecil lainnya (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala
sisa yang sangat berat dan memerlukan perawatan orang lain
sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa
yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi
rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang optimal.
Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis mungkin
dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Rehabilitasi fase ini
akan dibahas lebih rinci terutama mengenai tatalaksana sederhana
yang tidak memerlukan peralatan canggih.
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk
belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan
atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan reorganisasi
setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit
jaras otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui
rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai
kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien,
melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan
menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat
tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan
secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik
gerak.
Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda
dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit
gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru
menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil latihan masih tetap dapat
berkembang bila ditujukan untuk memperlancar sirkuit yang telah
terbentuk sebelumnya, membuat gerakan semakin baik dan
penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan
otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai
aktivitas aktif yang optimal. Tergantung pada beratnya stroke, hasil
luaran rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti mandiri
penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit, mandiri
penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai
kondisi, mandiri penuh namun tidak bekerja, aktivitas sehari-hari
perlu bantuan minimal dari orang lain, atau aktivitas sehari-hari
sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang lain

Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:


1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota
gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak
sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/ beraktivitas
menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin juga
mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali
beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan
terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara otomatis bisa
bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila
ada kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit
tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan
mengecil dan terlupakan.
2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak
fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak
fungsional misalnya gerakan meraih, memegang dan membawa
gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan dan
mengaktifkan bagian bagian dari otak, baik area lesi maupun area
otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.
Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi)
siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila
akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa
digunakan untuk gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi
latihan agar terbentuk sirkuit yang baru.
3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan
gerak fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak
abnormal. Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi
sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan
tenaga secukupnya dimana pasien masih menggunakan ototnya
secara aktif. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak
menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak pasif). Bantuan
tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan tenaga
secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan
memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang
sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan tenaga
yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan
pasien.
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh
sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas
duduk dibedakan dalam stabilitas duduk statik dan dinamik.
Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu
mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa berpegangan
dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi.
Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat
mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh doyong ke
arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat
bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan
meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan
stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik
dan dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu
melakukan aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional
optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan aktivitas
sambil berjalan.
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi
latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil
maksimal apabila pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik
harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua
persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan
pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan terapi
latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu
pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan
sesudah latihan perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada
stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang
tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya
sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan sesering
mungkin.
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang
oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas
sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi
kognitif tidak dapat dipisahpisahkan. Mengembalikan kemampuan
fisik seseorang harus melalui kemampuan kognitif, karena
rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu
belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas
fungsional dengan segala keterbatasan yang ada. Intervensi
rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk mencegah
timbulnya komplikasi akibat tirah baring,
menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan
pemulihan fungsional yang paling optimal, mengembalikan
kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
mengembalikan kebugaran fisik dan mental
Rangkaian program rehabilitasi stroke:
1. Fisioterapi
a. Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan
2 ke bawah)
b. Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan otot.
c. Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif tergantung dari
kekuatan otot.
d. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
e. Latihan fasilitasi / redukasi otot
f. Latihan mobilisasi.
2. Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari/AKS)
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian
dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas
yang terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan,
AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat
dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat
yang disesuaikan.
3. Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan
komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
a. Latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
b. Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.
c. Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
d. Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.
4. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti
dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering
digunakan antara lain: arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee
back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee
ankle foot orthotic (KAFO).
5. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase shok, fase penolakan, fase
penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-
fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara
lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang
telah lewat. Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai
untuk dapat menerima rehabilitasi.
6. Sosial Medik dan Vokasional
Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara
keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi
dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita (Ropper dan
Brown, 2005)

D. Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis yaitu :
1. Saat mulainya rehabilitasi medik, program dimulai kurang
dari 24 jam maka pengembalian fungsi lebih cepat.
2. Saat dimulainya pemulihan klinis, prognosis akan lebih
buruk bila ditemukan adanya : 1-4 minggu gerak aktif
masih nol (negatif); 4-6 minggu fungsi tangan belum
kembali dan adanya hipotonia dan arefleksia yang
menetap. (Ropper dan Brown, 2005)
II. PARESE NERVUS FASIALIS (N. VII)
a. Anatomi Nervus Fasialis
Nervus fasialis atau saraf otak ke VII tersusun dari dua bagian yaitu
saraf motorik dan saraf sensorik yang sering disebut dengan saraf
intermedius. Inti motorik yang merupakan penyusun utama saraf fasialis
terletak di pons. Serabutnya mengitari inti nervus VI dan keluar di bagian
lateral pons, sedangkan saraf intermedius keluar di permukaan lateral
pons. Kedua saraf ini kemudian bersatu membentuk berkas saraf yang
berjalan dalam kanalis fasialis dan terus menuju os mastoid. Setelah
melewati os mastoid kedua saraf keluar dari tulang tengkorak melalui
foramen stilomastoideus dan bercabang untuk mensarafi otot-otot wajah.
Namun selain mensyarafi otot-otot ekspresi wajah, saraf fasialis
juga membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan
selaput mukosa rongga mulut dan hidung, menghantar berbagai jenis
sensasi, termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi
pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah (Lumbantobing, 1998).
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.
levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di
dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh
nervus trigeminus.
b. Perbedaan Parese N. VII Sentral dan N. VII Perifer

Inti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan
bawah. Inti bagian atas mensarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian
bawah mensarafi otot wajah bagian bawah. Inti nervus fasialis bagian
bawah mendapat innervasi kontralateral dari korteks somatomotorik dan
inti nervus fasialis bagian atas mendapat inervasi dari kedua belah korteks
somatomotorik. Oleh karena itu, pada paresis nervus fasialis UMN
(karena lesi di korteks atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah saja
yang jelas paretik, sedangkan otot wajah atas tidak jelas lumpuh.
Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN (karena lesi
infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-duanya jelas
lumpuh.

Gambar 1. Perbedaan parese N. VII sentral dextra dan N. VII perifer dextra
III. PARESE NERVUS HIPOGLOSUS
a. Anatomi Nervus Hipoglosus
Nervus hipoglosus berinti di nukleus hipoglosus yang terletak di
samping bagian dorsal fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat
kaudal medulla oblongata. Radiksnya melintasi substansia retikularis di
samping fasikulus longitudinalis medialis, lemniskus medialis dan bagian
medial piramis. Ia muncul pada permukaan ventral dan melalui kanalis
hipoglosus ia keluar dari tengkorak. Di leher ia turun ke bawah melalui
tulang hioid. Dari situ ia membelok ke medial dan menuju ke lidah. Dalam
perjalanan ke situ ia melewati arteria karotis interna dan eksterna, dan
terletak dibawah otot digastrikus dan stilohiodeus. Otot-otot lidah yang
menggerakkan lidah terdiri dari muskulus stiloglosus, hipoglosus,
genioglosus, longitudinalis inferior dan longitudinalis superior. Mereka
semua dipersarafi nervus hipoglosus. Kontraksi otot stiloglosus
mengerakkan lidah keatas dan ke belakang. Jika otot genioglosus
berkontraksi, lidah keluar dan menuju ke bawah. Kedua otot longitudinal
memendekkan dan mengangkat lidah bagian garis tengah. Dan otot
hipoglosus menarik lidah ke belakang dan ke bawah.
b. Manifestasi Klinis
Lesi pada satu nervus hipoglosus akan akan terlihat di sisi pipi
lateral:
1. Separuh lidah yang menjadi atrofis, dengan mukosa yang menjadi
longgar dan berkeriput. Mungkin pula akan tampak fibrilasi pada otot-
otot lidah yang atrofis.
2. Bila lidah itu dijulurkan keluar akan tampak bahwa ujung lidah itu
memperlihatkan deviasi ke sisi yang sakit. Deviasi ujung lidah ke sisi
yang sakit timbul karena kontraksi M. genioglussus di sisi kontralateral
(bila M. genioglossus kanan dan kiri berkontraksi dan kedua otot itu
sama kuatnya, maka lidah itu akan dijulurkan lurus ke depan, Bila satu
otot adalah lebih lemah dari yang lainnya, maka akan timbul deviasi
dari ujung lidah ke sisi otot yang lumpuh).
3. Di dalam mulut sendiri akan tampak bahwa ujung lidah itu mencong
ke sisi yang sehat. Keadaan ini timbul karena tonus otot-otot lidah di
sisi yang sehat adalah melebihi tonus otot-otot lidah di sisi yang sakit.
4. Motilitas lidah akan terganggu sehingga di sisi yang sakit misalnya
akan tampak ada sisa-sisa makanan di antara pipi dan gigi-geligi.
5. Karena lidah berperanan dalam mekanisme menelan dan artikulasi,
maka gejala-gejala kelumpuhan paralysis nervus hipoglosus berupa
sukar menelan dan bicara pelo.

IV. SHOULDER HAND SYNDROME


Shoulder-hand syndrome (SHS) merupakan istilah lain dari complex
regional pain syndrome (CRPS) yang terjadi hanya pada ekstremitas superior.
SHS umumnya terjadi setelah stroke. Biasanya pada pasien dengan
stroke yang mengalami paralysis pada satu sisi. Untuk alasan yang tidak
diketahui, beberapa orang mengalami kelemahan dengan rasa sakit yang
menyakitkan pada ekstremitas atas. Ketika rasa sakit di tangan dan bahu berat,
kondisi ini dinamakan SHS.
a. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada pasien SHS:
- Nyeri pada bahu
- Nyeri pada tangan
- Rasa kebas
- Nyeri pada siku
- Nyeri pada pergelangan tangan
- Rasa geli. 2
Gejala muncul dalam 3 tahapan:
1. Pasien mengeluh rasa terbakar di tangan, yang secara kebetulan baik
dingin dan berkeringat atau dingin, merah, basah, kaku, dan bagian
superficial sensitive terhadap sentuhan atau tekanan
2. Tangan memutih, kulit menebal, dan tangan semakin dingin dan kaku
3. Tangan memucat dan mengurus, dan terjadi atrofi otot (talang air)
dengan kontraktur sendi (osteoporosis terlihat jelas dengan x-ray).
Pada akhir proses ini tangan dan lengan umumnya tidak berguna dan
tidak berfungsi.
b. Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut International Association for the Study
of Pain (IASP):
- Rasa sakit berkelanjutan yang tidak proporsional.
- Setidaknya 1 gejala dikeluhkan dari setidaknya 3 kategori dibawah ini:
o Sensori: Hiperestesia atau allodynia
o Vasomotor: Temperatur asimetris, warna kulit berubah, warna kulit
asimetris.
o Sudomotor/ edema: Edema, perubahan berkeringat, atau
berkeringat yang asimetris.
o Motor/ trofik: Berkurangnya jangkauan gerak, disfungsi motor
(misalnya kelemahan, tremor, diastonia), atau perubahan trofik
(misalnya rambut, kuku, kulit).
- Setidaknya 1 tanda pada saat evaluasi dari setidaknya 2 kategori
dibawah ini:
o Sensori: Adanya bukti hiperalgesia (dengan peniti), allodynia
(dengans entuhan ringan, sensasi temperatur, tengan somatic yang
dalam, atau gerakan sendi).
o Vasomotor: Adanya bukti temperatur asimetris (>1C), perubahan
warna kulit atau asimetris.
o Sudomotor/ edema: Adanya bukti edema, perubahan keringat, atau
berkerigat yang asimetris.
o Motor/ trofik: Adanya bukti berkurangnya jangkauan gerak,
disfungsi motor (misalnya kelemahan, tremor, distonia), atau
perubahan trofik (misalnya rambut, kuku, kulit).
Tidak ada diagnosis lain yang lebih baik dalam menjelaskan tanda
dan gejala.
c. Tatalaksana
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin. Hal ini penting
dilakukan untuk mencegah keadaan menjadi lebih buruk. Pengobatan
biasanya kombinasi beberapa terapi, seperti:
- Obat-obatan: Pereda nyeri, steroid, obat tekanan darah yang bekerja
pada sistem saraf simpatik, obat untuk mengatasi bone loss (seperti
Actonel), dan anti depresan.
- Fisioterapi
- Aplikasi panas dan dingin
- Penggunaan unit stimulator saraf transkutaneus elektrik
- Injeksi obat ke kolumna spinalis untuk mengatasi serabut saraf yang
nyeri
Pembedahan dengan memotong saraf untuk menghilangkan nyeri,
tetapi juga berdampak pada hilangnya sensasi lainnya.
d. Komplikasi
Apabila tidak terdiagnosa dan diobati sejak dini, hal ini
menyebabkan penyakit semakin progresif, seperti:
- Atrofi jaringan
- Pengetatan otot (kontraktur).
e. Prognosis
Sekitar 80% pasien sembuh. Pasien dengan kecacatan mengalami
keterbatasan dalam aktivitas keseharian mereka. Tanda dan gejala dalam
jangka lama, perubahan trofik, semuanya berkaitan dengan tingginya
angka kecacatan

V. DIABETES MELITUS TIPE 2


A. Pengertian dan Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus atau lebih dikenal dengan sebutan penyakit
kencing manis di masyarakat merupakan salah satu penyakit abadi
yang terus bermunculan penderitanya dalam kehidupan sehari-hari.
Diabetes melitus merupakan sekumpulan penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemi, yang terjadi akibat kerusakan pada sekresi
insulin, aksi insulin atau keduanya.
Berdasarkan etiologinya, American Diabetes Association (2005)
mengklasifikasikan diabetes mellitus menjadi empat tipe, yaitu:1,2
1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut): Melalui proses imunologik serta Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain:
a) Defek genetik fungsi sel beta
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyakit eksokrin pancreas
d) Endokrinopati
e) Karena obat/zat kimia
f) Infeksi
g) Imunologi (jarang)
h) Sindroma genetik lain
i) Diabetes Kehamilan (Gestasional)
Diabetes Mellitus Tipe-2 (DM tipe-2) adalah suatu kelompok
kelainan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemi kronis sebagai
akibat adanya defek sekresi insulin, kinerja insulin, atau kombinasi kedua-
duanya. Hiperglikemia kronis pada DM tipe-2 dihubungkan dengan
terjadinya kerusakan jangka panjang, disfungsi, kegagalan berbagai organ
tubuh, terutama pada mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah.
B. Diagnosis DM
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada diabetesi. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti
tersebut di bawah ini :
1. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara, yaitu :
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka kadar glukosa darah sewaktu
200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa sewaktu merupakan hasil
pemeriksaan sesaat pada waktu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir.
2. Jika keluhan klasik DM ditemukan, maka kadar glukosa darah puasa
126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau
DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi
Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)
tergantung dari hasil yang diperoleh.
a. TGT : glukosa darah plasma bronkiale 2 jam setelah beban antara 140
199 mg/dL (7,8 11,0mmol/L).
b. GDPT : glukosa darah puasa antara 100 -125 mg/dL (5,6 6,9
mmol/L).
Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa, namun
memiliki keterbatasan tersaendiri. TTGO sulit dilakukan berulang-ulang
dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. Dengan pemeriksaan glukosa
darah puasa lebih mudah dilakukan, mudah diterima pasien, seta murah,
sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk pemeriksaan DM
C. Faktor Risiko DM
Adapun faktor risiko DM antara lain :
1. usia > 45 tahun
2. berat badan lebih : BBR > 110 % BB Idaman atau Indeks Massa
Tubuh > 23 kg/m2
3. hipertensi ( 140/90 mmHg)
4. riwayat DM dalam garis keturunan (genetik)
5. riwayat abortus berulang.
D. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya
kualitas hidup diabetesi, yaitu :
1. jangka pendek
a. menghilangnya keluhan dan tanda DM
b. mempertahankan rasa nyaman
c. tercapainya target pengendalian glukosa
2. jangka panjang
a. tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
b. Tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas dini DM.
Untuk tujuan tersebut dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
tingkah laku. Pilar penatalaksanaan DM :
1. edukasi
2. terapi gizi medis
3. latihan fisik dan olahraga
4. intervensi farmakologis.
E. Penyulit DM
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan
menahun :
1. penyulit akut
a. ketoasidosis diabetik
b. hiperosmolar non ketotik
2. hipoglikemi.
Petunjuk Praktis Terapi Hipoglikemia dengan Rumus 3-2-1.
(Pengalaman Klinik : Askandar Tjokroprawiro 1996-2002)
Kadar glukosa Terapi hipoglikemia dengan Glukosa
(mg/dL) Rumus 3-2-1 1 flakon = 25 ml
40 % (10 gram)
< 30 mg/dl Injeksi i.v Dekstrosa 40 %, bolus 3 fl Rumus 3
30-60 mg/dl Injeksi i.v Dekstrosa 40 %, bolus 2 fl Rumus 2
60-100 mg/dl Injeksi i.v Dekstrosa 40 %, bolus 1 fl Rumus 1

3. Penyulit menahun.
a. makroangiopati yang melibatkan :
1) pembuluh darah jantung
2) pembuluh darah tepi
3) pembuluh darah otak
b. mikroangiopati
1) retinopati diabetik
2) nefropati diabetik
c. neuropati
DAFTAR PUSTAKA

Aliah A., Kuswara F.F, Limora R.A., Wuysang G. 1996. Gambaran umum
tentang gangguan peredaran darah otak. Dalam: Harsono (ed). Kapita
Selekta Neurologi.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, pp: 81, 86,
93.
Bustami M. 2007. Peduli faktor risiko. Dalam: Fauzan (ed). Parameter.Edisi Nov
Des 2007. Jakarta : Parameter Info Medika, p: 10.
Ginsberg L. 2008. Dalam: Wardhani, Indah Retno (terj). Lecture Notes Neurologi.
8th ed. Surabaya : Erlangga, pp: 89-91.
Guyton, A.C. and Hall,J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi-11.
Jakarta :EGC. Pp: 210, 282.
Hariyono T. 2006. Hipertensi dan Stroke. SMF Ilmu Penyakit Syaraf RSUD
Banyumas. http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/052002/pus-1.htm
Junaidi I. 2004. Stroke A-Z. Jakarta: Gramedia, pp: 1-47.
Mansjoer A, dkk. 2001. Nefrologi dan hipertensi. Dalam: Triyanti K, dkk (eds).
Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. 3rd ed. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI, p: 518.
Martono H. dan Kuswardhani R.A.T. 2006. Stroke dan penatalaksanaanya oleh
internis. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.,
Setiati S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departermen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, p: 1441.

Misbach J., 1999. Aspek Diagnostik, Patofisiologi, dan Manajemen Stroke.


Jakarta: Balai Pustaka FKUI, PP:19-24.
Mitchell R.N., Kumar V., Abbas A.K., Fausto N. 2006. Pocket Companion to
Robbins and Cotran Pathologic Basic of Disease. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier Inc, p:682.
Ngoerah I.G.N.G. 1991. Dasar Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga
University Press, pp:171, 247.
Wreksoatmodjo B.R., 2006. Profil penderita gangguan peredaran darah otak di
unit gawat darurat sebuah rumah sakit di Jakarta (januari-juli 2005).
Majalah Kedokteran Damianus. 5: 153-160.

Anda mungkin juga menyukai