Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Anestesi Lokal


Anestesi lokal merupakan teknik-teknik untuk menginduksi
ketiadaan sensasi di lokasi yang spesifik pada tubuh (O’Toole, 2017).
Teknik ini memanfaatkan anestetik lokal untuk mencegah nyeri saat
operasi atau meredakan nyeri setelah prosedur operasi.
B. Struktur Kimia
Struktur molekuler seluruh anestetik lokal terdiri atas tiga
komponen: (a) cincin aromatik lipofilik, (b) rantai penghubung dari
golongan ester atau amida, (c) rantai amino hidrofilik (Gambar 3.1).
Anestetik lokal merupakan basa lemah yang membawa muatan positif
pada rantai amino hidrofilik pada keadaan pH tubuh normal. Rantai
penghubung antara cincin aromatik lipofilik dengan rantai amino hidrofilik
merupakan dasar klasifikasi anestetik lokal (Butterworth et al., 2013).

Gambar 3.1 Struktur anestetik lokal

C. Farmakodinamik
Anestetik lokal bekerja pada kanal natrium pada akson saraf
perifer. Kanal natrium merupakan protein terikat membran yang terdiri
atas sebuah subunit α, yang merupakan jalur lewatnya ion Na+, dan satu
atau dua subunit β yang lebh kecil. Kanal Na berpintu listrik dalam tubuh
dapat berada pada tiga kondisi: istirahat (nonkonduksi), teraktivasi/terbuka

2
(konduksi), dan terinaktivasi (nonkonduksi) (Gambar 3.2). Anestetik lokal
berikatan pada daerah spesifik di subunit α dan menghambat kanal Na+
berpintu listrik, mencegah aktivasi kanal, dan aliran masuk Na+ sehingga
mencegah depolarisasi membran (Butterworth et al., 2013).

Gambar 3.2 Kerja anestetik lokal pada kanal Na+ berpintu listrik

Anestetik lokal yang berikatan dengan kanal Na dengan tidak


mengubah potensial istirahat membran. Semakin tinggi konsentrasi
anestetik lokal, semakin banyak kanal Na+ yang terikat dan tidak mampu
mengalirkan ion Na+. Keadaan ini menyebabkan aliran impuls yang
melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala macam rangsangan atau
sensasi tidak sampai kesusunan saraf pusat. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya parastesia sampai analgesia dan vasodilatasi pembuluh darah
pada daerah yang terblok (Butterworth et al., 2013).
Potensi anestetik lokal bervariasi, tergantung pada kelarutannya
dalam lipid. Sebagai contoh, bupivacaine merupakan anestetik lokal yang
memiliki solubilitas dalam lipid yang lebih tinggi dari articaine, sehingga
konsentrasi bupivacaine 0.5% (5mg/mL) memiliki solubilitas lipid yang
sama dengan articaine 4% (40mg/mL). Namun, onset efek obat tidak
berbanding lurus dengan solubilitas lipid karena banyak faktor yang
berperan dalam proses sampainya molekul obat ke serabut saraf. Saat
anestetik lokal diinjeksikan, timbul efek vasodilatasi yang dapat

3
mendukung absorbsi sistemik sebelum molekul obat sampai ke serabut
saraf. Solubilitas lipid yang tinggi juga dapat menyulitkan perpindahan
molekul obat dalam cairan jaringan dan mendukung sekuestrasi molekul
obat ke jaringan lemak subkutan atau selubung mielin. Akibatnya, sedikit
molekul obat yang mampu mencapai serabut saraf dan onset terjadinya
efek yang diinginkan menjadi tertunda. Karena itu, injeksi obat dalam
konsentrasi yang lebih besar dapat membuat lebih banyak molekul obat
sampai ke serabut saraf sehingga mempercepat terjadinya efek. Jadi,
walaupun bupivacaine 0.5% memiliki solubilitas lipid sama dengan
articaine 4%, onset terjadinya efek lebih cepat pada articaine 4%
(Butterworth et al., 2013; Becker and Reed, 2012).
Terlepas dari banyak faktor yang mempengaruhi kuantitas anestesi
lokal yang mencapai serabut saraf, faktor paling penting yang menentukan
onset anestesi adalah proporsi molekul-molekul yang larut dalam lipid air
dibandingkan dengan yang larut dalam air. Amino terminal dapat berada
dalam bentuk tersier (3 ikatan) yang larut dalam lemak, atau sebagai
bentuk kuartener (4 ikatan) yang bermuatan positif dan membuatnya larut
dalam air. Basa anestesi lokal harus diformulasikan sebagai garam
hidroklorida agar stabil dalam larutan. Dengan demikian, molekul-molekul
tersebut ada dalam keadaan kuartener yang larut dalam air saat
diinjeksikan dan tidak dapat menembus neuron. Karena itu, waktu
terjadinya onset anestesi lokal secara langsung berhubungan dengan
proporsi molekul yang berubah menjadi struktur tersier yang larut lipid
saat terpapar. pH fisiologis (7,4). Proporsi ini ditentukan oleh konstanta
ionisasi (pKa) untuk anestesi dan dihitung dengan menggunakan
persamaan Henderson-Hasselbalch:

log(bentuk kation/bentuk tidak bermuatan) = pKa – pH

Dalam istilah yang lebih sederhana, jika anestesi lokal memiliki


pKa 7,4 dan disuntikkan ke dalam jaringan yang memiliki pH fisiologis

4
7,4, 50% molekul akan ada dalam bentuk kuartener (kationik) dan 50%
akan ada di tersier (tidak bermuatan); Hanya setengah molekul yang bisa
larut dalam lipid dan mampu menembus neuron. Sayangnya, pKa untuk
semua anesitik lokal lebih besar dari 7,4 (pH fisiologis), dan selanjutnya
ada lebih banyak proporsi molekul yang berada dalam bentuk kuartener
dan larut dalam air saat disuntikkan ke jaringan normal. Semakin tinggi
pKa untuk anestesi lokal, semakin sedikit molekul yang tersedia dalam
bentuk lipid-soluble. Hal ini akan menunda onset. Selanjutnya, lingkungan
asam pada jaringan yang meradang menurunkan pH jaringan dibawah 7,4
dan semakin menggeser kecenderunga molekul ke arah konfigurasi
kuartener. Hal ini telah diusulkan sebagai satu penjelasan mengenai
kesulitan saat mencoba membius jaringan yang meradang atau terinfeksi.
Dalam situasi ini, misalnya, bupivakain (pKa 8.1) kurang dianjurkan
daripada mepivakain (pKa7.6).
Meskipun secara universal disebut sebagai konstanta, konstanta
disosiasi pKa sebenarnya tidak benar-benar konstan; konstanta ini
tergantung pada suhu (T), kekuatan ion (I), dan konstanta dielektrik
pelarut (ɛ).
D. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Absorbsi lokal agen anestesi topikal melalui kulit harus
melewati stratum korneum, yang dapat terjadi melalui tiga jalur: rute
interseluler (melalui celah interseluler keratinosit yang mengalami
kornifikasi), rute para- atau transeluler (melalui keratin yang
mengalami kornifikasi), dan rute transapendase atau rute pirau
(melalui celah folikel rambut dan kelenjar keringat). Agen anestesi
topikal juga mampu menembus permukaan mukosa, seperti mulut,
genital, dan konjungtiva. Penetrasi mukosa lebih mudah terjadi karena
ketiadaan stratum korneum pada mukosa.
Absorbsi sistemik anestetik lokal yang diinjeksi ke tubuh bergantung
pada aliran darah, yang ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

5
a. Lokasi penyuntikkan
Laju absorbsi sistemik anestetik lokal tergantung pada
vaskularisasi dari lokasi penyuntikkan: intravena/intraarterial >
trakea > interkosta > paraservikal > epidural> pleksus brakialis > n.
Ischiadicus > subkutan
b. Adanya vasokonstriktor
Penambahan epinefrin menyebabkan vasokonstriksi pada
lokasi penyuntikan anestetik lokal. Akibatnya terjadi penurunan
absorbsi sistemik yang juga menurunkan konsentrasi puncak
anestetik lokal darah, memfasilitasi ambilan obat ke neuron,
meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang masa kerja obat,
dan membatasi efek samping toksik (Butterworth et al., 2013).
c. Jenis anestetik lokal
Anestetik lokal yang memiliki solubilitas dalam lipid yang
tinggi cenderung berikatan dengan jaringan dan diabsorbsi lebih
lambat. Efek vasodilator juga berbeda tergantung jenis anestetik
lokal (Butterworth et al., 2013; Becker and Reed, 2012).
2. Distribusi
Distribusi tergantung pada ambilan organ, yang ditentukan oleh
faktor-faktor berikut:
a. Perfusi jaringan
Jaringan yang kaya pembuluh darah (otak, paru, hepar, dan
jantung) mengambil molekul obat anestesi lokal lebih banyak
dibandingkan dengan dengan jaringan dengan pembuluh darah
yang lebuh sedikit (otot dan usus).
b. Koefisien partisi jaringan/darah
Peningkatan solubilitas dalam lipid berkaitan dengan
peningkatan ikatan dengan protein plasma dan peningkatan
ambilan jaringan dari kompartemen cairan.
c. Massa jaringan

6
Otot menyediakan reservoir terbesar untuk distribusi
anestetik lokal di pembuluh darah karena massanya yang besar
(Butterworth et al., 2013).
3. Metabolisme dan Ekskresi
a. Golongan Ester
Metabolisme anestesi lokal golongan ester didominasi oleh
pseudokolinesterase (kolinesterase plasma atau
butirilkolinesterase). Hidrolisis ester terjadi sangat cepat, dan
metabolit yang larut dalam air diekskresikan dalam urin. Procaine
dan benzocaine dimetabolisme menjadi p -aminobenzoic acid
(PABA), yang telah dikaitkan dengan reaksi anafilaksis, namun hal
ini yang jarang terjadi. Abnormalitas genetik pseudokolinesterase
dapat secara teoritis meningkatkan risiko efek toksisitas ester,
karena metabolisme menjadi lebih lambat, namun bukti klinis
mengenai hal ini masih kurang (Butterworth et al., 2013).
b. Golongan Amida
Anestesi lokal golongan amida dimetabolisme (N-dealkilasi
dan hidroksilasi) oleh enzim P-450 mikrosomal di hati. Tingkat
metabolisme amida bergantung pada agen spesifik (prilocaine>
lidocaine> mepivacaine> ropivacaine> bupivacaine) namun secara
keseluruhan lebih lambat dibandingkan dengan hidrolisis golongan
ester. Penurunan fungsi hati (misalnya sirosis hati) atau aliran
darah hati (misalnya, gagal jantung kongestif, penghambat β, atau
penghambat reseptor H2) akan mengurangi tingkat metabolisme
dan berpotensi meningkatkan risiko toksisitas sistemik. Sangat
sedikit anestesi lokal golongan amida yang tidak diekskresikan
melalui ginjal, walaupun ekskresi metabolit larut air tetap
bergantung pada fungsi ginjal.
Prilocaine adalah satu-satunya anestetik lokal yang
dimetabolisme menjadi o-toluidine, yang menyebabkan
methemoglobinemia yang berbanding lurus dengan peningkatan

7
dosis. Ajaran klasik bahwa dosis minimal prilokain minimal
diperlukan untuk menghasilkan methemoglobinemia yang penting
secara klinis (dalam kisaran 10 mg / kg) dipatahkan oleh penelitian
terbaru yang menunjukkan bahwa pasien yang lebih muda dan
lebih sehat dapat menderita methemoglobinemia pasca injeksi
prilokain dosis rendah. Prilokain umumnya tidak digunakan untuk
anestesi epidural selama persalinan atau dalam dosis lebih besar
pada pasien dengan cadangan kardiopulmoner terbatas
(Butterworth et al., 2013).

Tabel 3.1 Penggunaan Klinis Agen-Anestetik lokal

E. Penggunaan Anestesik Lokal


1. Penggunaan Anestetik Lokal untuk Anestesi Topikal
Krim eutectic mixtures of local anesthetics (EMLA) merupakan
krim emulsi minyak dalam air yang mengandung campuran lidocaine
5% dan prilocaine 5% dengan konsentrasi 1:1. Krim EMLA

8
diaplikasikan secara tebal di kulit dengan dosis 1-2 g/10 cm2 (dosis
maksimal 20 g/200 cm2 ). Setelah diaplikasikan, krim EMLA ditutup
dengan tegaderm atau plastic wrap untuk memfasilitasi penetrasi krim
melalui stratum korneum. Kedalaman anestesi krim EMLA tergantung
pada durasi kontak antara krim dengan kulit. Efek anestesi krim
EMLA mencapai kedalaman 3 mm setelah 60 menit dan 5 mm setelah
120 menit. Efek analgesia dapat bertahan lebih dari 3 jam dibawah
balutan oklusif dan 1-2 jam setelah krim dibersihkan dari kulit. Krim
EMLA hanya boleh di aplikasikan pada kulit intak dan tidak boleh
digunakan pada membran mukosa, kulit yang tidak intak, bayi
dibawah umur 1 bulan, dan pasien dengan predisposisi terhadap
methemoglobinemia (Kumar et al., 2015).
2. Penggunaan Anestetik Lokal untuk Anestesi Infiltrasi
Tujuan infiltrasi lokal adalah untuk membius ujung saraf di
daerah jaringan yang terbatas dengan suntikan anestesi lokal di
dekatnya. Infiltrasi lokal berbeda dengan blok saraf perifer, di mana
akson saraf adalah sasaran dan injeksi dapat dilakukan di daerah yang
jauh dari dari tempat operasi (misalnya blok pleksus brakialis untuk
operasi tangan). Kedalaman daerah yang akan dioperasi biasanya
menentukan tingkat infiltrasi yang diinginkan. Untuk prosedur kulit
superfisial seperti penjahitan laserasi dan biopsi kulit, infiltrasi
subkutan atau intradermal sudah cukup. Operasi yang lebih luas
mungkin membutuhkan infiltrasi ke otot, fasia, dan jaringan dalam
lainnya (Hazdic, 2009).
Terdapat dua pendekatan umum untuk infiltasi kulit dan
jaringan subkutan. Yang pertama melibatkan penyuntikan anestetik
lokal langsung ke garis sayatan dan jaringan di dekatnya, secara efektif
membanjiri ujung saraf lokal lokal untuk menghasilkan anestesi. Ini
bisa sangat efektif, namun mungkin memerlukan anestesi lokal dengan
volume besar untuk mencapai cakupan yang lengkap (Hazdic, 2009).

9
Sebaliknya, ring block atau field block mengelilingi lokasi
sayatan dengan dinding larutan anestesi lokal yang harus dilewati serat
saraf sebelum bercabang sampai ujung saraf terminal. Field block
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan injeksi langsung ke jalur
insisi. Pertama, lebih sedikit larutan agen anestesi diperlukan,
meskipun beberapa saraf tidak terhambat secara khusus. Selanjutnya,
karena larutan tidak disuntikkan langsung di luka, tidak ada distorsi
anatomi di tempat operasi. Field block juga berguna saat injeksi
langsung ke tempat operasi mungkin menyulitkan atau berbahaya
(misalnya, untuk menghindari pecahnya kista atau menyebarkan sel
ganas) (Hazdic, 2009; Butterworth et al., 2013).
a. Infiltrasi Luka
Infiltrasi larutan anestesi lokal ke tepi luka biasanya cukup
untuk pembersihan luka, debridemen, dan perbaikan jahitan. Laserasi
biasanya diirigasi dengan garam fisiologis atau dicuci dengan sabun
sebelum infiltrasi larutan anestesi lokal, namun prosedur ini bisa jadi
tidak nyaman. Pembersihan yang lebih menyeluruh dapat dilakukan
setelah anestesi. Infiltrasi anestesi lokal dari dalam luka lebih tidak
nyeri daripada injeksi melalui kulit utuh. Persarafan somatosensori
kulit beragam dan terdiri dari ujung saraf bebas nosiseptif dan reseptor
khusus yang mentransmisikan rangsangan mekanis, termal, dan
kimiawi. Dulu, epidermis dianggap tidak memiliki persarafan, tapi
lapisan terluar ini sebenarnya kaya akan serat nociceptive kecil dan
tidak termielinisasi. Saat melakukan anestesi kulit, penting untuk
memasukkan anestetik lokal ke dalam atau di bawah lapisan dermis
karena infiltrasi terlalu banyak di jaringan lemak subkutan mungkin
melewatkan beberapa serat-serat saraf yang lebih dangkal. Persarafan
jaringan adiposa pada umumnya sedikit, dan menempatkan anestesi
lokal jauh di dalam lemak subkutan hanya membuang obat sekaligus
meningkatkan dosis total yang diberikan - oleh karena itu
meningkatkan risiko toksisitas sistemik (Hazdic, 2009).

10
b. Eksisi Lesi Superfisial
Biopsi tumor kulit, jaringan lunak, rongga mulut, dan
jaringan getah bening dapat dilakukan dengan anestesi lokal.
Aspirasi harus dilakukan sebelum suntikan untuk mencegah injeksi
intravaskular. Semprotan topikal kadang bisa digunakan, tapi
anestesi terbaik dicapai dengan suntikan di dekat tempat
pembedahan. Sebaiknya gunakan teknik field block dan hindari
injeksi langsung ke tumor (Hazdic, 2009).
c. Meminimalisasi Nyeri pada Anestesi Infiltrasi
1) Persiapan Agen Anestesi
a) Menyangga lidocaine + epinefrin dengan natrium
bikarbonat
Lidocaine 1% dengan epinefrin 1:100.000 memiliki
pH 4.2, yang 1000 kali lebih asam dibandingkan pH
fisiologis, sehigga penyuntikan langsung cairan ini
menyakitkan. Penyanggaan campuran lidocaine + epinefrin
dengan natrium bikarbonat sehingga menghasilkan pH 7.4
mengurangi nyeri saat pemasukan obat. Hal ini dapat terjadi
karena penyanggan anestetik lokal dapat mempercepat
lewatnya molekul yang tidak bermuatan melalui membran
sel lipofilik dan mempercepat onset timbulnya efek obat.
Agar mencapai pH fisiologis, perbandingan
konsentrasi lidocaine + epinefrin dengan natrium bicarbonat
harus mencapai rasio 1:10. Hal ini dilakukan dengan
menarik 1 ml natrium bicarbonat dengan spiut 10 ml, lalu
menambahkan 10 ml larutan lidocaine + epinefrin sehingga
tercapai rasio 1:10 (Strazar et al., 2013).
b) Menghangatkan anestetik lokal
Pengangatan anestetik lokal sebelum penyuntikan
mampu mengurangi rasa nyeri saat injeksi obat,
kemungkinan karena suhu dingin menstimulasi lebih

11
banyak serat nosiseptor dibandingkan dengan suhu hangat.
Dengan suhu yang lebih tinggi, molekul obat anestesi lokal
dapat berdifusi menyebrang membran sel lebih cepat
sehingga onset terjadinya efek lebih cepat terjadi (Strazar et
al., 2013).
2) Faktor Peralatan untuk Mengurangi Nyeri
a) Menggunakan jarum berdiameter kecil
Penggunaan jarum yang ukuran 30 dilaporkan
menurunkan nyeri injeksi dibandingkan dengan jarum
ukuran 25. Karena itu, untuk penyuntikan agen anestesi
direkomendasikan penggunaan jarum dengan ukuran 27 –
30 jika memungkinkan. Penggunaan jarum berukuran kecil
juga membuat penyuntikan jadi lebih pelan, yang juga dapat
meringankan nyeri penyuntikkan. Jarum berukuran 27 dapat
digunakan di badan dan ekstremitas, sedangkan jarum
berukuran 30 dapat digunakan di wajah.
b) Menggunakan jarum baru: penggunaan berulang
menumpulkan jarum dan meningkatkan nyeri
Jarum yang lebih tajam mengurangi gaya yang
dibutuhkan untuk menusuk kulit sehingga menurunkan
jumlah serat nosiseptif yang teraktivasi dan meringankan
nyeri.
3) Strategi untuk Meminimalisasi Nyeri Tusukan Jarum
a) Menggunakan anestesi topikal dan mendinginkan kulit
dengan es
Penggunaan krim EMLA dapat mengurangi nyeri
injeksi secara signifikan pada pemasangan jalur intravena.
Namun kekurangan penggunaan krim EMLA adalah krim
ini harus diaplikasikan dalam waktu yang lama (60 – 120
menit) sebelum efek anestesi yang adekuat muncul.

12
Aplikasi es sebelum penusukan jarum telah terbukti mampu
meringankan nyeri injeksi.
b) Menggunakan distraksi taktil
Distraksi taktil di tempat penyuntikan dapat juga
digunakan untuk meringankan nyeri. Serat yang bermielin
dapat menutup gerbang sensori terhadap nyeri dengan
efektif jika ada stimulus baru seperti tekanan atau sentuhan
yang dipersepsi dekat dengan sumber nyeri (Gambar 3.3).
Bentuk stimulasi yang lain meliputi pencubitan, peregangan
dan penekanan.

Gambar 3.3 Pencubitan di area penyuntikan dapat memberikan


distraksi taktil dan tekanan yang membantu penyuntikkan jarum.

c) Insersi jarum tegak lurus dengan kulit


Dengan menyuntikkan jarum tegak lurus ke kulit
(bukan dengan sudut 45o), jarum akan melewati lebih sedikit
serabut saraf nosiseptif sehingga dapat mengurangi nyeri
(Gambar 3.4).

13
Gambar 3.4 Penyuntikan dengan sudut 90o dan 45o.

4) Strategi untuk Meminimalisasi Nyeri Injeksi Anestetik lokal


a) Stabilisasi tangan pemegang semprit untuk mengurangi
gerakan jarum
Goyangan jarum yang tidak disengaja
meningkatkan rasa sakit yang dirasakan oleh pasien.
Teknik sederhana untuk mengurangi gerakan saat injeksi
adalah menstabilkan jarum suntik dengan tangan yang
disandarkan pada kulit, mirip dengan teknik yang
digunakan saat microsurgery (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Stabilisasi jarum suntik.

14
b) Injeksi via subdermis
Peregangan jaringan dermal kaya serat nosiseptor
mengaktifkan lebih banyak serat nosiseptif daripada
peregangan jaringan subkutan yang longgar. Rasa sakit
dapat diminimalisir dengan menyuntikkan tepat di bawah
dermis ke dalam jaringan subkutan (Gambar 3.6). Dengan
menggunakan analogi pohon, penyuntikan di bawah kulit
menghalangi saraf dermal di percabangan yang lebih
rendah. Dengan menyuntikkan tepat di bawah dermis ke
dalam jaringan subkutan, nyeri injeksi dapat
diminimalkan. Cara mudah untuk menentukan apakah
injeksi intradermal adalah untuk melihat langsung
pemutihan, pengencangan, atau tampilan peau d'orange
pada kulit.

Gambar 3.6 Penyuntikan via intradermal akan mengaktifkan


lebih banyak serat nosiseptif dibandingkan dengan via subkutan

c) Injeksi gelembung subdermal lalu berhenti sejenak


Untuk meminimalkan rasa sakit pada gerakan
jarum dan infiltrasi pasca penyuntikan jarum, masukkan
0,2 sampai 0,5 ml pertama sehingga Anda bisa melihat
benjolan subkutan, dan kemudian tahan. Tunggu hingga
bius lokal untuk menganestesi lokasi penyuntikan jarum,

15
yang bisa memakan waktu hingga 45 detik. Tanyakan ada
pasien "apakah rasa sakit akibat penyuntikan jarum sudah
hilang" sebelum melanjutkan. Setelah rasa sakit itu hilang,
tambahkan 2 cc anestetik lokal tanpa menggerakkan jarum
sama sekali (Gambar 3.7). Kemudian, injeksi agen
anestesi dapat dilanjutkan dengan memiringkan jarum
sejajar dengan kulit dan menyuntikkan perlahan dalam
mode antegrade.

Gambar 3.7 Penyuntikan gelembung cairan sebesar 0.5 cc


diikuti dengan penghentian selama 45 detik akan menurunkan
rasa nyeri yang disebabkan suntika cairan dengan volume yang
lebih banyak sesudahnya.

d) Injeksi obat dengan pelan.


Nyeri lebih dirasakan dengan penyuntikan cepat.
Memperlambat laju injeksi dapat membuat injeksi "hampir
tidak menimbulkan rasa sakit." Rasa sakit akibat infiltrasi
berasal dari nociceptors kulit aktif yang merespons
distensi cepat dan peregangan jaringan. Tingkat injeksi
yang lambat memudahkan "akomodasi" dari ujung saraf,
dan menyediakan waktu untuk anestesi untuk menyebar

16
dan menghalangi transduksi saraf dari serat yang
distimulasi.
e) Jaga jarak antara ujung jarum dengan bagian kulit berisi
anestetik lokal yang menggembung minimal 10 mm.
Menjaga volume injeksi anestesi lokal yang
cukup dari pada ujung jarum tajam dan memberi waktu
anestesi lokal untuk bekerja adalah kunci untuk
meminimalisasi nyeri. Jangan pernah membiarkan jarum
masuk ke saraf yang tidak teranestesi di depan bius lokal.
f) Masukkan kembali jarum dengan jarak minimal 1 cm dari
benjolan anestetik lokal yang telah disuntikkan.
Jika dibutuhkan anestesi di tempat yang luas,
jarum harus ditarik dan dimasukkan kembali lebih dari
satu kali untuk membius seluruh area. Jarum harus selalu
diinjeksikan dalam 1 cm daerah kulit pucat untuk
memastikan adanya kerja epinefrin, yang menandakan
adanya lidokain, di lokasi penyuntikan jarum. Dengan cara
ini, penyuntikkan jarum bisa diulang berkali-kali tanpa
rasa sakit (Gambar 3.8) (Strazar et al., 2013).

Gambar 3.8 Ilustrasi injeksi anestetik lokal dengan nyeri minimal. (Kiri atas)
Suntikkan jarum tegak lurus dengan kulit, masukkan gelembung cairan kecil

17
via subkutan, tunggu 15-45 menit. (Atas, kanan dan bawah) Beri jarak antara
benjolan cairan anestesi 10 mm di depan ujung jarum selama jarum bergera
melewati dermis. Tangan lainnya dapat digunakan untuk mempalpasi
benjolan.

3. Penggunaan Anestetik Lokal untuk Blok Saraf Perifer


Blok saraf perifer merupakan teknik anestesi yang cocok untuk
operasi superfisial pada ekstremitas. Keuntungan blok saraf perifer
adalah tidak menganggu kesadaran dan refleks saluran napas atas.
Teknik ini menguntungkan bagi pasien penyakit pulmoner kronik,
gangguan jantung berat, atau gangguan fungsi ginjal. Akan tetapi
pencapaian efek anestetik yang adekuat pada teknik ini kurang dapat
diprediksi sehingga dapat mempengaruhi jalannya operasi.
Keberhasilan teknik blok ini sangat dipengaruhi oleh keterampilan
petugas/dokternya. Pasien juga harus kooperatif untuk mendapatkan
hasil blok saraf perifer yang efektif.
Blok saraf perifer selain untuk anestesi, dapat digunakan untuk
analgesia setelah operasi dan tatalaksana nyeri kronik. Pada saat
evaluasi preoperatif perlu diperiksa dengan teliti adanya infeksi kulit di
lokasi blok, selain itu perlu memastikan fungsi koagulasi yang
normal(Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
a. Blok Saraf Perifer Ekstremitas Atas
1) Blok Pleksus Servikalis
Pleksus ini dibentuk oleh empat saraf servikal
pertama. Kepala pasien dimiringkan ke sisi berlawanan
sehingga pleksus servikal superfi sial dapat diblok dengan
infiltrasi obat anestesi lokal sedalam muskulus platysma dan
di titik tengah dari batas lateral posterior muskulus
sternokleidomastoideus. Penggunaan blok ini untuk operasi di
daerah leher seperti endarterektomi karotis. Penggunaan blok
ini kurang efektif jika tidak dikombinasikan dengan blok

18
pleksus servikalis profunda(Irawan, 2013; Butterworth et al.,
2013).
2) Blok Pleksus Brakialis
Pleksus brakialis dibentuk oleh rami anterior C5-C8
dan T1. Rami tersebut akan bergabung membentuk tiga
trunkus di rongga antara muskulus skalene anterior dan media
kemudian melewati kosta pertama dan berjalan di bawah
klavikula untuk memasuki daerah aksila. Trunkus akan
membentuk divisi anterior dan posterior lalu akan membentuk
tiga fasikulus (cord) dan akhirnya akan membentuk cabang
terminal yang mempersarafi sensorik dan motorik seluruh
ekstremitas superior kecuali bagian bahu yang dipersarafi oleh
pleksus servikalis dan lengan atas medial dipersarafi oleh
nervus interkostobrakial dan kutaneus brakial medial(Irawan,
2013; Butterworth et al., 2013).
3) Blok Interskalene
Blok ini dilakukan dengan memberikan 25- 40 ml
anestetik lokal ke celah interskalene yang berdekatan dengan
prosesus transversus C6 (area vena jugularis eksterna). Lokasi
ini terletak di lateral dari kartilago krikoid yang berpotongan
dengan celah interskalene setinggi C6. Respon motorik
stimulator saraf ekstremitas superior dapat dibangkitkan
sebelum pemberian anestesi lokal, dan perlu diingat bahwa
pleksus brakialis berada di superfisial (1-2 cm dari kulit).
Pemberian 40 ml anestesi lokal akan memblok pleksus
servikal dan brakial sehingga dapat dilakukan operasi daerah
akromioklavikular walaupun saraf yang mempersarafi daerah
ulna (C8-T1, trunkus inferior) mungkin tidak terblok.
Pneumotoraks jika pasien batuk atau nyeri dada saat
mencari pleksus brakialis dan blok saraf phrenikus ipsilateral
(hemiparesis diafragma) merupakan efek samping blok ini

19
karena nervus phrenikus berada di muskulus skalene anterior.
Pasien normal dapat mentoleransi paralisis unilateral
diafragma tanpa gejala (asimptomatik), akan tetapi berbahaya
bagi penderita insufi siensi respirasi atau kelumpuhan
kontralateral nervus phrenikus. Blok nervus laringeal rekuren
jarang terjadi, dapat menyebabkan obstruksi total jalan napas
pada pasien dengan kelumpuhan pita suara kontralateral
(vocal cord palsy). Riwayat preoperatif sesak napas atau
operasi daerah leher perlu diperhatikan(Irawan, 2013;
Butterworth et al., 2013).
4) Blok Supraclavicular
Keuntungan blok ini adalah dapat dilakukan pada
berbagai posisi lengan. Blok ini dapat dilakukan dengan cara
pasien berbaring telentang, lengan ipsilateral blok di sisi
samping, dan leher mengarah ke sisi berlawanan. Jarum
dimasukkan di sisi lateral muskulus sternokleidomastoideus
yang berbatasan dengan klavikula dari anterior ke posterior
hingga menemukan trunkus pleksus brakialis yang berada di
antara muskulus skalene anterior dan media dan berada di atas
arteri subklavia. Blok dilakukan dengan 25-40 ml anestesi
lokal. Komplikasi tersering blok ini adalah pneumotoraks
dengan gejala batuk, dispnea, dan nyeri dada. Paralisis nervus
phrenikus dapat terjadi (50% tindakan) meskipun tidak
menunjukkan gejala klinis bermakna, oleh karena itu blok
supraklavikular bilateral tidak direkomendasikan, terutama
pada pasien penyakit paru obstruktif kronik(Irawan, 2013;
Butterworth et al., 2013).
5) Blok Infraclavicular
Blok ini dilakukan dengan posisi lengan bebas; lengan
abduksi dapat mempermudah menentukan lokasi anatomi dan
menggunakan marker prosesus coracoid. Lokasi blok 2 cm

20
medial dari prosesus coracoid lalu 2 cm kaudal, jarum 18-22G
dimasukkan tegak lurus kulit hingga tercapai respon motorik.
Pleksus brakialis berada di atas arteri aksilaris. Setelah
teridentifikasi, kecilkan stimulasi < 0,5 mA dan repson
motorik berkurang, lalu aspirasi, jika tidak ada darah maka
masukkan 30-40 ml anestesi lokal. Adanya aktivitas nervus
muskulokutaneus (kontraksi bisep atau brakialis) menandakan
blok tidak sempurna, karena nervus muskulokutaneus dapat
bercabang lebih awal dari pleksus brakialis (Irawan, 2013;
Butterworth et al., 2013).
6) Blok Aksilaris
Blok ini dapat digunakan untuk anestesi tangan,
lengan, dan bahu. Pasien posisi berbaring, lengan abduksi 90°,
rotasi eksternal, dan siku fl eksi 90°. Identifikasi arteri
aksilaris dan muskulus coracobrachialis, lalu tusukkan jarum
paralel di celah dua marker tersebut, di atas arteri aksilaris ke
arah proksimal dengan sudut 30-40° dari kulit, kedalaman
jarum kirakira 2,5-3,75 cm. Risiko blok ini jika jarum terlalu
dalam akan mengenai arteri aksilaris, tarik jarum perlahan
hingga darah tidak teraspirasi lagi. Hal ini menunjukkan
bahwa posisi jarum berada superfi sial dari arteri aksilaris dan
masih berada di dalam selubung saraf, lalu masukkan larutan
anestesi lokal(Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
7) Blok Saraf Digital Ekstremitas Superior
Anestesi di daerah tangan dapat dengan anestesi lokal
di nervus medianus, ulnaris, dan radialis. Teknik ini
digunakan dalam operasi tangan, sehingga tidak memerlukan
torniket untuk mengontrol perdarahan. Blok ini juga dapat
membantu blok pleksus brakialis yang tidak merata memblok
sensorik daerah distal. Saat ini blok saraf daerah tangan lebih

21
baik dilakukan di pergelangan tangan dibandingkan di
siku(Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
8) Blok Saraf Medianus
Nervus medianus mempersarafi sensorik terbanyak di
telapak tangan. Di pergelangan tangan nervus medianus
diblok dengan memberi 3-5 ml anestesi lokal antara tendon
palmaris longus dan fleksor karpi radialis(Irawan, 2013;
Butterworth et al., 2013).
9) Blok Saraf Ulnaris
Blok saraf ini dilakukan dengan memasukkan jarum
3-4 cm ke arah medial antara tendon fleksor karpi ulnaris dan
arteri ulnaris 3-5 ml anestetik lokal(Irawan, 2013; Butterworth
et al., 2013).
10) Blok Saraf Radialis
Banyak pasien dominan sensasi nervus radialis di
daerah dorsal tangan, oleh karena itu blok nervus radialis
dapat dilakukan dengan infi ltrasi subkutan 3-5 cm proksimal
sendi pergelangan tangan. Selain dengan infiltrasi subkutan,
dapat dilakukan blok cabang sensorik ke arah sisi lateral ibu
jari yang berada di antara arteri radialis dan tendon fleksor
karpi radialis. Kemudian masukkan 1-2 ml anestetik lokal di
daerah tersebut, pada beberapa orang nervus ini dapat
terpalpasi dari volar ke dorsal, maka dapat diberikan 2-3 ml
anestetik lokal langsung ke nervus di lateral radius. Anestesi
ini akan memblok punggung tangan 3½ jari lateral (Irawan,
2013; Butterworth et al., 2013).
b. Blok Saraf Interkostalis
Blok ini dapat dilakukan dalam berbagai posisi, akan tetapi
lebih optimal dalam posisi pronasi. Masing-masing kostae yang akan
diblok, dipalpasi terlebih dahulu, dan diberi tanda 5-7 cm dari midline
punggung. Kostae 6 hingga 11 dapat mudah dipalpasi, sedangkan

22
kostae di atasnya terhalang skapula dan muskulus paraspinous. Jarum
ditusukkan dengan sudut 80° hingga mengenai kostae, lalu jarum
diarahkan ke kaudal sehingga berada di sisi inferior kostae. Kedalaman
jarum 3-5 mm dan diberikan 3-5 ml anestetik lokal (Irawan, 2013;
Butterworth et al., 2013).
c. Blok Saraf Ilioinguinal dan Iliohipogastrik
Blok ini digunakan untuk operasi daerah inguinal dan
genital, seperti herniorafi inguinal atau orchidopexy. Nervus ini
merupakan cabang akhir pleksus lumbal L1 dan beberapa cabang dari
T12. Lokasi blok ini 2 cm medial di atas spina iliaka anterior superior
dan tusuk tegak lurus hingga di bawah fasia, lalu masukkan 10-20 ml
anestetik lokal. Cabang genital nervus genitofemoral diblok dengan 2-3
ml anestetik lokal lateral dari tuberkel pubis dan cabang femoral dapat
diblok dengan 3-5 ml anestetik lokal subkutan di bawah ligamen
inguinal (Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
d. Blok Saraf Perifer Ekstremitas Bawah
1) Blok Saraf Femoral
Blok ini mempengaruhi bagian anterior dan medial
tungkai atas. Ligamen inguinal diidentifi kasi lalu membuat
garis antara spina iliaka anterior superior dan tuberkel pubis.
Di pertengahan garis tersebut arteri femoralis diidentifikasi
dengan palpasi, lokasi penusukan tegak lurus kulit di 2 cm
lateral dari arteri femoralis dan 2 cm distal dari garis ligamen
inguinal dengan kedalaman 2-3 cm. Identifikasi kontraksi
muskulus kuadriseps atau patellar snap, lalu turunkan < 0,5
mA, lalu injeksi 20-30 ml anestetik lokal (Irawan, 2013;
Butterworth et al., 2013).
2) Blok Safenus
Saraf ini merupakan cabang nervus femoralis yang
mempersarafi tungkai di bawah lutut. Saraf ini berjalan
bersamaan dengan vena safenus di medial tungkai. Lokasi
blok di sekitar vena safenus setinggi tuberositas tibia. Vena ini

23
sulit dipalpasi, dapat dibantu dengan ultrasonografi . Blok ini
biasanya dikombinasi dengan blok saraf poplitea. Dilakukan
dengan infi ltrasi subkutan 7-10 ml anestetik lokal mulai dari
tuberositas tibia dan menuju medial hingga mendekati bagian
posterior tungkai (Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
3) Blok Saraf Kutaeus Femoralis Lateralis
Saraf ini merupakan saraf sensorik yang mempersarafi
bagian lateral femur, memiliki banyak percabangan dan
bervariasi tiap individu. Blok dilakukan dengan menginfi
ltrasi 5-10 ml anestetik lokal di 2 cm medial dan 2 cm distal
dari spina iliaka anterior superior. Blok ini untuk anestesi
operasi superfi sial, seperti biopsi dan dapat membantu blok
lain untuk operasi di atas lutut. Blok saraf femoral dengan
jumlah anestetik lokal yang banyak, dapat memblok saraf ini
(Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
4) Blok Saraf Obturator
Saraf ini dapat bervariasi mempersarafi femur, ada
yang sisi medial (20%), posterior (23%), atau tidak
mempersarafi (57%). Blok saraf ini dengan menusukkan
jarum 1-2 cm lateral dan distal dari tuberkel pubis. Jika telah
menyentuh tulang, jarum diarahkan ke lateral dan kaudal
dengan kedalaman 2-4 cm memasuki foamen obturator
sehingga terdapat respon motorik aduktor. Setelah itu
menurunkan stimulator < 0,5 mA dan aspirasi untuk
memastikan tidak mengenai vaskular, lalu masukkan 10-20 ml
anestetik lokal (Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
5) Blok Saraf Skiatik
Pleksus sakralis (L4-5, S1-3) membentuk saraf
skiatik, sekitar 2 cm lebarnya ketika keluar dari pelvis. Pasien
diposisikan lateral dekubitus (Sim’s position) ke arah
berlawanan dengan saraf yang akan diblok. Batasan yang

24
digunakan adalah trokanter mayor, spina iliaka posterior
superior, dan hiatus sakral. Garis pertama dibuat dari trokanter
mayor dan spina iliaka posterior superior dan garis kedua dari
trokanter mayor dan hiatus sakral. Titik tengah dari garis
trokanter mayor dan spina iliaka posterior superior diberi
tanda dan dibuat garis tegak lurus dengan titik tengah itu ke
arah kaudal hingga bersilangan dengan garis trokanter mayor
dan hiatus sakral (kurang lebih 5 cm), titik persilangan itu
merupakan lokasi blok. Jarum dimasukkan tegak lurus hingga
terdapat respon motorik muskulus gluteal, pergelangan kaki,
kaki, dan jari kaki. Setelah semua respon motorik didapat,
turunkan stimulator hingga < 0,5 mA, lalu masukkan 20-30
ml anestetik lokal (Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
6) Blok Saraf Poplitea
Blok saraf poplitea memberi anestesi daerah
proksimal sebelum saraf skiatik bercabang menjadi nervus
peroneus komunis dan tibialis di fosa poplitea. Blok ini dapat
dilakukan dari lateral ataupun posterior. Keuntungan blok dari
lateral adalah pasien tetap dalam posisi supinasi, sedangkan
jika dari posterior pasien posisi pronasi atau lateral dekubitus.
Pada blok dari lateral, palpasi celah intertendinous antara
muskulus vastus lateralis dan biseps femoris, kurang lebih 10-
12 cm dari proksimal patela, kemudian jarum ditusukkan
dengan sudut distal 20°-30° dan sudut posterior 30°-45°
hingga ditemukan respon motorik pergelangan kaki, kaki, dan
jari kaki (kedalaman 6-9 cm), lalu masukkan 30-40 ml
anestetik lokal.
Blok saraf poplitea dari posterior dengan
mengidentifikasi fosa poplitea sebagai segitiga dengan batas
lateral muskulus biseps femoris, batas medial muskulus
semitendinous dan semimembranous, dan batas inferior garis

25
poplitea. Pada titik tengah garis poplitea tarik garis tegak lurus
hingga bersilangan pada ujung segitiga poplitea (8-10 cm),
kemudian lokasi jarum 1 cm dari ujung dan 1 cm ke lateral
dengan sudut posterior 30°- 45°, kedalaman 4-6 cm hingga
menemukan kontraksi pergelangan kaki, kaki, dan jari kaki,
lalu berikan 30-40 ml anestetik lokal (Irawan, 2013;
Butterworth et al., 2013).
7) Blok Saraf Pergelangan Kaki
Saraf perifer yang mempersarafi kaki ada lima dan
semuanya dapat diblok setinggi maleolus. Nervus tibialis
merupakan saraf utama telapak kaki, terletak di posterior
arteri tibialis posterior dan diblok dengan infi ltrasi 5-8 ml
anestetik lokal. Nervus suralis mempersarafi bagian lateral
kaki dan diblok dengan 5-8 ml anestetik lokal di celah antara
maleolus lateralis dan kalkaneus. Nervus peroneus profunda
mempersarafi jari kaki pertama dan kedua, diblok dengan
identifi kasi celah proksimal antara tendon ekstensor halikus
longus dan tendon ekstensor digitorum longus, lalu injeksi
subkutan 5-8 ml anestetik lokal hingga mengenai periosteum.
Kemudian dari lokasi ini infi ltrasi subkutan 5-8 ml anestetik
lokal ke arah maleolus lateralis untuk memblok nervus
peroneus superfi sialis yang mempersarafi dorsum kaki.
Setelah itu, dari lokasi yang sama arahkan jarum ke maleolus
medialis infi ltrasi subkutan 5-8 ml anestetik lokal untuk
memblok nervus safenus yang mempersarafi bagian medial
kaki (Irawan, 2013; Butterworth et al., 2013).
4. Penggunaan Anestetik Lokal untuk Blok Spinal, Epidural, dan Kaudal
Blok spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam
ruang subarackhnoid. Blok spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan
anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid (Butterworth et al., 2013).

26
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis  subkutis  lig. Supraspinosum  lig.
Interspinosum  lig. Flavum  ruang epidural  durameter  ruang
subarachnoid (Butterworth et al., 2013).
Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural.
Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan duramater.
Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm dan dibagian posterior kedalaman
maksimal pada daerah lumbal (Butterworth et al., 2013).
Obat anestetik di lokal diruang epidural bekerja langsung
pada akarsaraf spinal yang terletak dilateral. Awal kerja anestesi
epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas
blockade sensorik-motorik juga lebih lemah (Butterworth et al., 2013).

Blok kaudal adalah bentuk blok epidural yang disuntikkan


melalui tempat yang berbeda yaitu ke dalam kanalis sakralis melalui
hiatus sakralis (Butterworth et al., 2013).

5. Penggunaan Anestetik Lokal sebagai Antiaritmia


Lidokain (lignokain) relatif aman bila diberikan sebagai
injeksi intravena yang diberikan dengan lambat dan harus menjadi
pilihan utama dalam keadaan darurat untuk mengatasi aritmia
ventrikel. Meskipun efektif dalam mengurangi takikardia ventrikel dan
mengurangi risiko terjadinya fibrilasi ventrikel setelah infark miokard,
obat ini tidak mengurangi mortalitas bila digunakan sebagai profilaksis
dalam kondisi ini. Pada pasien dengan gagal jantung atau hati, dosis
perlu dikurangi untuk mencegah terjadinya konvulsi, depresi SSP, atau
depresi sistem kardiovaskular.
a) Indikasi
Aritmia ventrikel, terutama setelah infark miokard.
b) Peringatan

27
Dosis lebih rendah pada gagal jantung kongestif, pada gagal hati,
gagal ginjal dan setelah bedah jantung; usia lanjut; kehamilan.
c) Kontraindikasi
Gangguan nodus SA, semua derajat blok AV, depresi miokard
yang berat; porfiria.
d) Efek Samping
Pusing, kesemutan, atau mengantuk (terutama bila injeksi terlalu
cepat); efek SSP lainnya (bingung, depresi pernapasan dan
konvulsi); hipotensi dan bradikardia (sampai terjadi henti jantung);
hipersensitivitas.
e) Dosis
Injeksi intravena, pada pasien tanpa gangguan sirkulasi yang berat,
100 mg sebagai bolus selama beberapa menit (50 mg pada pasien
dengan BB lebih ringan atau pasien dengan gangguan sirkulasi
yang berat), segera diikuti dengan infus 4 mg/menit selama 30
menit, 2 mg/menit selama 2 jam, kemudian 1 mg/menit; kadarnya
dikurangi lagi bila infusnya dilanjutkan lebih dari 24 jam (pantauan
EKG dan supervisi dokter ahli jantung) (PIONAS BPOM, 2015).

6. Penggunaan Anestetik Lokal sebagai Analgesik


Beberapa penelitian klinis (Tabel 3.2) yang memilih lidokain
sistemik untuk analgesia pasca operasi menggunakan dosis 1,5-2
mg.kg-1 secara bolus saat induksi anestesi diikuti dengan infus lanjutan
1,5-3 mg.kg-1.h-1 saat intraoperasi hingga akhir operasi. Lidokain,
dalam bentuk terapi ini, menghasilkan analgesia yang relevan secara
klinis saat intra dan pasca operasi, mencegah rasa sakit kronis,
mengurangi konsumsi anestesi volatil dan opioid, secara signifikan
mempercapat pemulihan fungsi usus dan mengurangi waktu rawat
inap. Belum dibuktikan bahwa lidokain menunjukkan kegiatan anti-
peradangan dan mekanisme yang berpotensi pada modulasi respon

28
stress yang terinduksi oleh peradangan saat operasi (Tavares
Mendonça et al., 2015).
Tabel 3.2 Efek-efek infusi intravena lidokain menurut beberapa penelitian klinis

Referensi Jenis Profil Infusi Dampak


Penelitian Kelompok Lidokain
Sampel IV
Dirks dkk, RCT Model sensasi Lidokain Sistemik lidokain
(Randomize panas/capsaici 2% bolus 2 menunjukkan efek
d n rasa sakit mg/kg, selektif pada
Controlled eksperimental kemudian hiperalgesia
Trial) pada 24 infusi 3 sekunder.
relawan mg/kg/h
Koppert RCT 12 relawan Lidokain Sistemik lidokain
dkk., model injeksi 2% injeksi mengurangi
sensasi bolus 2 pinprickhyperalges
capsaicin mg/kg ia dengan mode
dalam 10 pusat tindakan.
menit diikuti
dengan
infusi
intravena 2
mg/kg/h
untuk 50
menit
berikutnya
Koppert RCT 40 pasien Lidokain Pasien yang
dkk., menjalankan 2% bolus menerima lidokian
operasi besar 1,5 mg/kg melaporkan bahwa
pada perut dalam 10 mereka memiliki
menit diikuti rasa sakit yang
dengan 1,5 lebih sedikit
mg/kg/h selama bergerak
(infusi dan membutuhkan
dimulai 30 morfin yang lebih
menit sedikit saat 72 jam
sebelum pertama setalah
penyayatan operasi
kulit dan

29
dihentikan 1
jam setelah
operasi
berakhir)
Finnerup 24 pasien 5 mg/kg Lidokain
dkk., dengan luka lidokain mengurangi rasa
pada urat diinfuisikan sakit neuropatik
syaraf tulang selama 30 dibawah tingkat
belakang menit luka tanpa
dengan rasa bergantung dengan
sakit ada atau tidak
neuropatik adanya rasa sakit
Kuo dkk., RCT 60 pasien IV dan Analgesia epidural
mengajukan epidural: torakik dengan
operasi usus Lidokain lidokain
besar 2% bolus 2 mempunyai pereda
mg/kg rasa sakit yang
diikuti lebih baik,
dengan 3 mengurangi
mg/kg/h konsumsi opioid,
(infusi memulihkan fungsi
dimulai 30 isi perut lebih awal
menit dan lebih sedikit
sebelum produksi sitokin
operasi dan daripada lidokain
dipertahanka IV selama 72 jam
n selama setelah operasi
prosedur) usus besar.
Wu dkk., RCT 100 pasien Lidokain Efek tambahan
dijadwalkan 2% 3 pada pereda rasa
untuk mg/kg/h sakit dan efek
laparoscopic (infusi sinergistik pada
cholecystectom dimulai 30 pemulihan fungsi
y pilihan menit isi perut ketika IM
sebelum dekstrometorfan
penyayatan dikombinasikan
kulit dan dengan lidokain IV
dipertahanka setalah
n selama laparoscopic
prosedur) cholecystectomy

30
Kaba dkk., RCT 40 pasien Lidokain Intravena lidokain
dijadwalkan 2% injeksi meningkatkan
menjalani bolus 1,5 analgesia pasca
laparoscopic mg/kg saat operasi, kelelahan,
colectomy induksi dan fungsi isi perut
anestesi, setelah
kemudian laparoscopic
infusi 2 colectomy.
mg/kg/h saat Manfaat ini
intra operasi terhubung dengan
dan 1,33 pengurangan yang
mg/kg/h signifikan pada
untuk 24 waktu rawat inap.
jam pasca
operasi
Herroeder RCT 60 pasien yang Lidokain Lidokain secara
dkk., menjalani 2% bolus signifikan
operasi 1,5 mg/kg mempercepat
colorectal, sebelum pemulihan fungsi
tidak ingin induksi isi perut dan
atau tidak bisa anestesi memperpendek
menerima diikuti waktu rawat inap
kateter dengan selama satu hari.
epidural. infusi Tingkat plasma
lanjutan 2 yang ditinggikan
mg/min dari Il-6, IL-8,
hingga 4 C3a, Il-1ra,
jam pasca CD11b, L- dan P-
operasi selektin, dan
platelet-leukocyte
yang dijumlah
secara signifikan
dilemahkan oleh
sistemik lidokain.
Marret dkk., Meta- 8 RCT Pada tujuh Intravena lidokain
analisis membandingka dari delapan menurunkan durasi
n intravena RCT, ileus, lamanya
lidokain lidokain 2% rawat inap,
lanjutan bolus (1,5-2 intesitas rasa sakit
selama dan mg/kg) pasca operasi saat

31
setelah operasi diberikan 24 jam setelah
perut dengan sebelum operasi dan
plasebo (total operasi muntah.
320 pasien) pembedahan
diikuti
dengan
infusi
lanjutan
hingga akhir
operasi atau
24 jam
setelahnya
Yardeni RCT 65 pasien Lidokain IB Terdapat lebih
dkk., wanita 2% (injeksi sedikit produksi
dijadwalkan bolus 3 ex-vivo Il-1ra dan
untuk mg/kg Il-6 secara
transabdomina lidokain signifikan pada
l hysterectomy melalui kelompok lidokain
sejumlah + pasien yang
alat suntik dikontrol dengan
diikuti analgesia epidural
dengan
infusi IV
lanjutan 1,5
mg/kg/h
hingga akhir
operasi) +
pasien yang
dikontrol
dengan
analgesia
epidural
Saadawy RCT 120 pasien Lidokain Lidokain
dkk., yang menjalani 2% bolus 2 mengurangi
laparoscopic mg/kg pada persyaratan
cholecystectom 15 menit anestesi, nilai rasa
y sebelum sakit dan konsumsi
induksi morfin relatif pada
anestesi kelompok kontrol.
diikuti Lidokain

32
dengan 2 terhubung dengan
mg/kg/h pemulihan fungsi
infusi isi perut yang lebih
melalui awal.
akhir
operasi
Wongyingsi RCT 60 pasien Lidokain Analgesi epidural
nn dkk., dijadwalkan 2% 1 torakik
untuk operasi mg/kg/h + memberikan
laparoscopic pasien yang analgesia yang
colorectal dikontrol lebih baik pada
pilihan dengan pasien yang
analgesia menjalani operasi
morfin rektal. Waktu
untuk 48 istirahat, pola
jam awal makan dan rawat
setelah inap sama.
operasi
Swenson RCT 42 pasien yang Lidokain Tidak ada
dkk., menjalani 2% (1 perbedaan yang
operasi usus mg/min diteliti antara
besar terbuka pada pasien kelompok lidokain
< 70 kg, 2 IV dan analgesia
mg/min apidural dalam
pada pasien isitilah fungsi isi
> atau = 70 perut, durasi rawat
kg) inap, dan kontrol
rasa sakit pasca
operasi
Grigoras RCT 36 pasien yang Lidokain IV Intravena lidokain
dkk., menjalani 2% bolus pra operasi
operasi untuk 1,5 mg/kg mengurangi
kanker sebelum insiden rasa sakit
payudara induksi pasca operasi yang
anestesi terus-menerus
umum, setelah operasi
diikuti kanker payudara.
dengan Mencegah induksi
infusi hiperalgesia sentral
lanjutan 1,5 yang merupakan

33
mg/kg/h mekanisme yang
dihentikan 1 berpotensi
jam setelah
penutupan
kulit
Kang dkk., RCT 48 pria Lidokain Intra operasi
dijadwalkan 2% bouls lidokain IV dengan
untuk 1.5 mg/kg dosis rendah
gastrectomy 20 menit mengurangi
sebelum konsumsi opioid
penyayatan dan lamanya rawat
diikuti inap setelah
dengan gastrectomy. Tidak
infusi ada perbedaan
lanjutan 1,5 yang tercatat
mg/kg/h antara kelompok
hingga akhir untuk intesitas rasa
operasi sakit atau durasi
ileus.
Kyoung-Tae RCT 51 pasien Lidokain
dkk., menjalani 2% bolus
lumbar 1,5 mg/kg
microdiscecto diikuti
my dengan
infusi 2
mg/kg/h
hingga akhir
operasi

F. Komplikasi Penggunaan Anestetik Lokal


Saat kadar lidokain sistemik di sirkulasi meningkat, akan muncul
tanda dan gejala efek lidokain terhadap sistem saraf pusat dan
kardiovaskular (Tavares Mendonça et al., 2015).
Konsentrasi plasma lidokain dibawah 5 μg.mL-1 menyebabkan
analgesia dan hambatan korteks motorneuron, menjelaskan sifat
antikonvulsif lidokain. Kadar serum yang lebih tinggi, dari 5 hingga 10
μg.mL-1, dapat menyebabkan parestesia perioral, rasa tidak enak di dalam

34
mulut, pusing, diplopia, tinnitus, mengantuk, kebingungan, agitasi,
twitcing otot dan kejang (Tavares Mendonça et al., 2015).
Kejang adalah tanda awal dari keracunan anestesi lokal yang parah.
Keracunan ini terjadi karena terhambatnya inhibitor neuron melalui
stimulasi reseptor GABA (gamma-aminubutyric acid) di pusat amigdala.
Kejang itu biasanya terjadi ketika konsentrasi lidokain serum lebih dari 8
μg.mL-1 meskipun dapat muncul di konsentrasi yang lebih rendah pada
saat situasi hiperkarbia. Toksisitas kardiovaskular masih terjadi bersama
dengan depresi myokardial yang bergerak sendiri dalam dosis lidokain
yang lebih tinggi dari 25 μg.mL--1. Gejala yang muncul berupa
bradikardia, interval PR memanjang dan kompleks QSR lebar, hambatan
konduksi, hipotensi progesif dan aritmia ventrikular. Toksisitas
kardiovaskuler yang parah terjadi pada hampir tiga kali konsentrasi serum
yang menyebabkan kejang (Tavares Mendonça et al., 2015; Butterworth et
al., 2013).
Penanganan toksisitas lidokain harus dilakukan dengan oksigenasi,
terapi cairan dan penggunaan vasopresor, inotropik, antiritmia dan
antikonvulsi menurut kebutuhan. Pemberian emulsi lipid diindikasikan
untuk mencegah kegagalan kardiovaskular berdasarkan beratnya kondisi
klinis dan laju perkembangan gejala, karena hanya sebagian kecil pasien
menderita toksisitas yang parah terhadap anestesi lokal (Tavares
Mendonça et al., 2015).

35

Anda mungkin juga menyukai