Anda di halaman 1dari 6

Yth.

1. Kepala Dinas Kesehatan Daerah Provinsi seluruh Indonesia


2. Kepala Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota seluruh Indonesia
3. Direktur/Kepala Rumah Sakit, seluruh Indonesia
4. Kepala Puskesmas, seluruh Indonesia
5. Pimpinan Klinik seluruh Indonesia
6. Dokter Praktik Mandiri seluruh Indonesia
7. Bidan Praktik Mandiri, seluruh Indonesia
8. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
9. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia
10. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)

SURAT EDARAN
NOMOR : HK.02.02/II/3398/2022
TENTANG
KEWAJIBAN PELAKSANAAN SKRINING HIPOTIROID KONGENITAL PADA BAYI BARU
LAHIR DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PENYELENGGARA PERTOLONGAN
PERSALINAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS ANAK INDONESIA

Dalam rangka melaksanakan visi dan misi pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu
Bangsa Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian yang berlandaskan gotong
royong, maka keberadaan SDM yang unggul menjadi hal yang utama. Untuk menciptakan SDM
yang unggul salah satunya dilakukan melalui peningkatan kualitas anak Indonesia. Skrining
atau uji saring pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) merupakan salah satu kegiatan dalam
rangka peningkatan kualitas anak yaitu melalui tes yang dilakukan pada saat bayi berumur
beberapa hari untuk memilah bayi yang menderita kelainan kongenital dari bayi yang sehat.
Skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi adanya gangguan kongenital sedini mungkin,
sehingga bila ditemukan dapat segera dilakukan intervensi secepatnya. Dengan demikian
Neonatal Screening merupakan salah satu pelayanan preventif untuk meningkatkan kualitas
anak-anak di Indonesia.
Hipotiroid Kongenital (HK) adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid
yang didapat sejak bayi baru lahir akibat dari kelainan anatomi atau gangguan metabolisme
pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium. HK sendiri sangat jarang memperlihatkan
gejala klinis pada awal kehidupan, akan tetapi pada kasus yang terlambat dideteksi dan
pengobatannya, anak akan mengalami gangguan pertumbungan dan perkembangan serta
keterbelakangan mental. Hal ini akan berdampak serius pada masalah sosial anak, anak tidak

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
mampu beradaptasi di sekolah formal dan menimbulkan beban bagi keluarga dalam
pengasuhannya. Dengan demikian kunci keberhasilan pengobatan anak dengan HK adalah
dengan Neonatal Screening/deteksi dini terhadap seluruh bayi usia 48–72 jam melalui
pemeriksaan laboratorium dan pengobatan sebelum anak berumur 1 bulan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 78 Tahun 2014 tentang Skrining Hipotiroid
Kongenital, menyatakan bahwa seluruh bayi baru lahir di Indonesia mendapatkan pelayanan
Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) sesuai standar, dan mewajibkan setiap fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan Skrining Hipotiroid Kongenital melakukan pencatatan dan
pelaporan. Saat ini sebagian besar pelaporan SHK berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan
milik pemerintah, terutama Puskesmas. Berdasarkan Riskesdas 2018, proporsi persalinan di
Fasyankes swasta adalah sebesar 52,3%. Dalam upaya percepatan SHK perlu dilakukan
upaya peningkatan pelibatan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan baik milik pemerintah
maupun swasta, baik dalam pelaksanaan SHK dan pelaporannya. Pelaporan SHK secara riil
oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan oleh Pemerintah sebagai acuan
dalam penyusunan kebijakan penanggulangan hipotiroid kongenital selanjutnya.
Rumah Sakit, Puskesmas, klinik milik pemerintah/swasta, dan tempat praktik mandiri
dokter serta tempat praktik mandiri bidan yang menyelenggarakan pertolongan persalinan
dapat mendukung pelaksanaan SHK, melalui pemberian informasi kepada Ibu/keluarga agar
membawa kembali bayi yang baru dilahirkan ke fasilitas pelayanan Kesehatan untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan neonatal esensial dan melakukan SHK melalui pengambilan sampel
darah tumit idealnya pada bayi umur 48 – 72 jam terhitung sejak bayi dilahirkan.
Surat edaran ini bertujuan agar seluruh Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
khususnya yang menyelenggarakan pertolongan persalinan untuk melakukan pemeriksaan
SHK sebagai bagian dari pelayanan kesehatan neonatal esensial pada bayi baru lahir, serta
melaporkan pelaksanaanya secara online melalui aplikasi e-kohort.
Mengingat ketentuan:
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
3. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 10);
4. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2021 tentang Kementerian Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesiak Tahun 2021 Nomor 83);

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 78 Tahun 2014 tentang Skrinning Hipotiroid
Kongenital (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1751);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 853).

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini disampaikan bahwa dalam upaya
percepatan pelaksanaan dan peningkatan SHK, dalam rangka peningkatan kualitas hidup anak
Indonesia pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, dan pemangku
kepentingan terkait untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan baik milik pemerintah, pemerintah daerah, dan
swasta yang menyelenggarakan pertolongan persalinan wajib melakukan SHK pada bayi
baru lahir sebagai salah satu kegiatan pelayanan kesehatan neonatal esensial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. SHK yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan persalinan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan melalui 2 (dua)
kegiatan, yaitu:
a. Pengambilan sampel darah tumit bayi baru lahir idealnya pada usia 48 (empat puluh
delapan) sampai dengan 72 (tujuh puluh dua) jam terhitung sejak waktu bayi
dilahirkan dan
b. Mengirim sampel darah ke laboratorium rujukan SHK.
c. Apabila terdapat kondisi dimana pengambilan sampel darah tumit tidak dapat
dilaksanakan pada waktu ideal, maka sampel dapat diambil pada usia bayi > 24 (dua
puluh empat) jam sampai dengan 14 (empat belas) hari.
3. Pengambilan sampel SHK pada angka 2 huruf a dilakukan oleh tenaga Kesehatan terlatih
di fasilitas pelayanan Kesehatan berupa Puskesmas, Klinik, Praktik Mandiri Bidan, rumah
sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lain penyelenggara pertolongan persalinan.
4. Pemeriksaan sampel SHK pada angka 2 huruf b dilakukan di laboratorium rujukan SHK
yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
5. Langkah-langkah percepatan pelaksanaan SHK oleh fasilitas pelayanan kesehatan:
a. Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota melakukan pemetaan data fasilitas
pelayanan kesehatan pemberi pertolongan persalinan di wilayahnya.
b. Berdasarkan hasil estimasi sasaran persalinan di wilayahnya, Dinas Kesehatan
Daerah Kabupaten/Kota dengan melibatkan organisasi profesi terkait
menyelenggarakan sosialisasi dan pelatihan pengambilan sampel SHK termasuk

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
pendampingan dalam pencatatan dan pelaporan online melalui aplikasi e-kohort
kepada:
1) seluruh Puskesmas
2) semua Rumah Sakit, klinik, praktik mandiri bidan serta fasilitas pelayanan
kesehatan lain pemberi pertolongan persalinan
3) pemangku kepentingan terkait yang mendukung pelaksanaan SHK, seperti BPJS
Kesehatan dan asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota membangun komitmen bersama dengan
seluruh puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lain jejaring Puskesmas
termasuk Rumah Sakit di wilayah kerja masing-masing Puskesmas yang
memberikan pertolongan persalinan, untuk melakukan strategi pemenuhan
pemeriksaan SHK sesuai sasaran bayi baru lahir.
d. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyusun Standar Prosedur Operasional dan
ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan Kesehatan mengenai pemeriksaan SHK
dengan mengacu pada PNPK dan/atau PPK bagi dokter di FKTP, meliputi
pemberian informasi kepada ibu/keluarga mengenai kewajiban pemeriksaan SHK
pada bayi baru lahir dalam jangka waktu 48-72 jam sejak jam persalinan, dan tata
laksana pemeriksaan SHK.
e. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Puskesmas dapat melakukan pelatihan
pemeriksaan SHK baik secara luring atau daring untuk meningkatkan kemampuan
tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan pelaksana pemeriksaan SHK,
serta menyampaikan nama dan nomor kontak laboratorium rujukan untuk memeriksa
sampel darah sesuai dengan regionalisasi.
f. Dalam hal fasilitas pelayanan Kesehatan penyelenggara pertolongan persalinan
belum memiliki akun e-kohort, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuatkan akun
e-kohort dan melakukan pendampingan dalam penggunaan aplikasi tersebut.
g. Puskesmas mengundang FKTP lain jejaring pelayanan di wilayah kerjanya
melakukan evaluasi secara berkala setiap minggu mengenai pelaksanaan
pemeriksaan SHK khususnya target capaian pemeriksaan SHK.
h. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat membentuk tim untuk melakukan monitoring
dan evaluasi penyelenggaraan SHK secara berkala setiap 1 (satu) bulan sekali
dalam rangka pemenuhan target pelaksanaan SHK oleh fasilitas pelayanan
Kesehatan termasuk oleh rumah sakit yang menyelenggarakan pertolongan
persalinan.
i. Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pertolongan persalinan
harus menginput data sampel darah SHK secara lengkap pada e-kohort dan
mengirim sampel ke lab rujukan sesuai regionalisasi paling lambat 3 hari setelah
sampel darah tumit bayi diambil.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
j. Data sampel yang diinput oleh Fasyankes melalui e-kohort akan terkoneksi ke
laboratorium rujukan dan laboratorium rujukan akan memberi umpan balik hasil
pemeriksaan SHK kepada Fasyankes.
k. Dalam hal terdapat hasil pemeriksaan sampel darah dari laboratorium rujukan positif,
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan fasilitas pelayanan
kesehatan untuk penatalaksanaan lebih lanjut dengan mengambil sampel darah
serum bayi untuk dilakukan tes konfirmasi (FT4 dan TSH) di RS setempat atau di
laboratorium rujukan SHK terdekat
l. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan fasilitas pelayanan
memastikan bayi dengan hasil SHK tinggi mendapat pelayanan Kesehatan rujukan
dari dokter spesialis anak dan/atau konsultan endokrin di rumah sakit setempat untuk
diberi pengobatan sulih hormon tiroid sebelum bayi berusia 1 (satu) bulan dan
monitoring secara teratur.
6. Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Daerah Provinsi, dan Dinas Kesehatan Daerah
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan SHK
berdasarkan kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
7. Pembiayaan pelaksanaan SHK untuk tahun 2022 mengacu kepada SE Direktur Jenderal
Kesehatan Masyarakat No. HK.02.02/B/628/2022 tentang Pelaksanaan Skrining Hipotiroid
Kongenital pada Bayi Baru Lahir Tahun Anggaran 2022.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Oktober 2022
Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan,

drg. Murti Utami, MPH, QGIA, CGCAE


NIP 196605081992032003

Tembusan:
1. Menteri Kesehatan
2. Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
3. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan
4. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai