Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS

Seorang anak lelaki dengan demam riwayat kejang demam,


tonsilofaringitis akut, anemia mikrositik hipokromik
et causa defisiensi besi, gizi kurang klinis

Oleh :
Faris Budiyanto G99161040/M-4
Reza Satria Halimsetiono G99161080/M-2

Pembimbing :
Pudjiastuti, dr., Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. HF
Usia : 4 tahun 6 bulan
Jenis kelamin : Lelaki
Alamat : Kalimanggis, Subah, Batang
No RM : 012920xx
Tanggal masuk : 1 November 2017
Tanggal periksa : 3 November 2017
Berat Badan : 15 kg
Panjang Badan : 110 cm

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Demam tinggi
B. Riwayat Penyakit Sekarang

I II III
Minggu Senin Selasa
30/10/2017 31/10/2017 1/11/2017

2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam naik turun, batuk
berdahak dan pilek, terus menerus sepanjang hari. Batuk berdahak, warna
kuning, susah dikeluarkan dan pilek dengan sekret berwarna putih jernih.
Pasien juga mengeluh nyeri tenggorokan yang dirasakan ketika makan dan

2
minum. Oleh orang tua pasien tidak diperiksakan ke dokter dan diberi obat
penurun panas. Setelah diberi obat, panas turun kemudian naik lagi.
1 hari SMRS pasien demam tinggi dan tidak turun dengan obat.
Karena, orang tua pasien khawatir terhadap pasien, pasien di bawa ke IGD
Rumah Sakit Dr. Moewardi.
Saat di RSDM pasien masih demam tinggi dan terus menerus, pasien
masih batuk berdahak, pilek dan mengeluhkan nyeri menelan. Tidak
didapatkan kejang, mual, maupun muntah. Menurut ibu pasien, nafsu makan
dan minum pasien sedikit menurun, tetapi masih mau jika dipaksa. Buang air
kecil dan buang air besar tidak ada keluhan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah demam tinggi kemudian kejang selama 3 menit
sebanyak 2 kali dan pernah dirawat di RSDM karena kejang demamnya.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien tidak terdapat anggota keluarga yang batuk dan
pilek dan pernah mengalami kejang demam maupun epilepsi.

E. Riwayat Lingkungan Sekitar


Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien tinggal dengan
kedua orang tuanya. Anggota keluarga dan tetangga pasien tidak ada yang
mengeluhkan keluhan serupa dengan pasien. Rumah pasien beratap genteng,
alasnya berupa plester, dan kamar mandinya sudah dilengkapi dengan jamban.

F. Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu pasien hamil dalam usia 26 tahun dan merupakan kehamilan yang
pertama. Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun saat hamil.
Antenatal care dilakukan secara rutin di bidan desa. Ibu pasien mengaku

3
mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan. Ibu pasien tidak
mengonsumsi obat-obatan. Riwayat sakit berat atau trauma saat kehamilan
juga disangkal.

G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan di RS saat usia kehamilan 39 minggu, dengan
berat lahir 3200 gram, panjang badan 49 cm, menangis spontan (+),
kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).
H. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
a. Pertumbuhan
Berat badan lahir 3200 gram, panjang badan lahir 49 cm. Sejak kecil
anak selalu dibawa ke Posyandu dan tidak didapatkan penurunan berat
badan. Umur sekarang 4 tahun 6 bulan, berat badan 15 kg, dan tinggi
badan 110 cm.
b. Perkembangan
Pasien sudah sekolah TK dan bermain dengan teman-temanya seperti
biasa
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

I. Status Imunisasi
HB0, Polio 0 : 0 bulan
BCG : 1 bulan
DPT, HB, Hib 1, Polio 1 : 2 bulan
DPT, HB, Hib 2, Polio 2 : 4 bulan
DPT, HB, Hib 3, Polio 3 : 6 bulan
Campak : 9 bulan
Kesimpulan : Pasien mendapatkan imunisasi lengkap sesuai pedoman
Kementerian Kesehatan 2014.

4
J. Riwayat Nutrisi
ASI eksklusif diberikan sejak lahir sampai usia enam bulan, diberikan
setiap kali menangis. Pasien saat ini setiap hari mengonsumsi makanan yang
sama dengan anggota keluarga lainnya sebanyak tiga kali sehari. Kadang –
kadang pasien juga mengonsumsi makanan ringan yang dibuat oleh ibunya.
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup.

K. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak pertama dari Tn. S (35 tahun) yang bekerja
sebagai wiraswasta dan Ny. W (31 tahun) yang bekerja sebagai pegawai.
Ayah Ibu pasien merupakan suku Jawa. Ayah, Ibu, dan pasien beragama
Islam. Pasien memeriksakan diri ke RSUD Dr Moewardi menggunakan
layanan BPJS kelas I.

K. Pohon Keluarga

II

III Ny.S, 31 tahun


Tn. W, 35 tahun

An. HF, 4 tahun 6 bulan

PEMERIKSAAN FISIS(01/11/2017)
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum:

5
Tampak lemah, kesadaran kompos mentis, kesan gizibaik
b. Tanda vital
Laju nadi : 120kali/menit, isi cukup, tegangan cukup
Laju napas : 36kali/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 42° C (per axilla)
Saturasi Oksigen : 98 %
c. Status Gizi
i.Secara klinis : kesan gizi baik, iga gambang tidak didapatkan, baggy
pants tidak didapatkan, wasting tidak didapatkan.
ii.Secara Antropometri
- BB / U : 15/17,3 X 100% = 87% , -2SD< z-score <0SD
Kesan: kurus
- TB / U : 110/106,7 x 100 % = 103 % , 0SD<z-score<2SD
Kesan: normohigh
- BB/TB : 15/18,5 x100% = 81% , -2SD< z-score <0SD
Kesan: gizi kurang (Kurva WHO, 2006)
Interpretasi: gizi kurang, kurus, normohigh
d. Kepala : normocephal; lingkar kepala = 49 cm(-2SD<LK< 0SD,
Nellhaus)
e. Mata :didapatkan konjungtiva anemis, tidak didapatkan sklera
ikterik,didapatkan refleks cahaya langsung dan tidak langsung mata
kanan dan kiri, pupil isokor dengan diameter 2mm/2mm.
f. Hidung : tidak didapatkan nafas cuping hidung, didapatkan sekret
dengan jumlah sedikit warna putih kental
g. Mulut : mukosa bibir basah, tidak didapatkan sianosis, didapatkan
caries dentis
h. Tenggorok : faring tampak hiperemis, tonsil T3-T3 tampak hiperemis,
tidak didapatkan detritus, tidak didapatkan kripta
i. Telinga : tidak didapatkan sekret

6
j. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
k. Toraks : tidak didapatkan retraksi
l. Cor
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di sela iga 4linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II interval normal, reguler, tidak
didapatkanbising
m. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : fremitus raba dinding dada kanan dan kiri simetris
Perkusi : sonor di seluruh lapang pulmo
Auskultasi : suara dasar vesikuler, tidak didapatkan suara tambahan.
n. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : didapatkan bising usus dalam batas normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, tidak didapatkan nyeri tekan,hepar dan lien tidak
teraba.
o. Ekstremitas : Tidak didapatkan edema dan akral dingin pada ektremitas
atas dan bawah, Arteri dorsalis pedis teraba kuat, Capillary Refill Time
kurang dari 2 detik
p. Modifikasi Skor Centor dan Pedoman Pemeriksaan kultur
Kriteria Point (McIsaac, 2004)
Kriteria Point
Temperatur > 38 oC 1
Ada batuk 1

7
Pembesaran kelenjar leher anterior 0
Pembengkakan/eksudat tonsil 1
Usia 1-14 tahun 1
Skor Centor 4 (diberikan antibiotic)
q. Status Neurologis
Reflek fisiologis:
- Achiles : didapatkan +2 pada kanan dan kiri
- Patella : didapatkan +2 pada kanan dan kiri
- Biceps : didapatkan +2 pada kanan dan kiri
- Triceps : didapatkan +2 pada kanan dan kiri

Refleks patologis:
- Babinsky : tidak ditemukan
- Chaddock : tidak ditemukan
- Openheim : tidak ditemukan
- Gordon : tidak ditemukan
- Schafer : tidak ditemukan
Meningealsign:
- Kaku kuduk : tidak ditemukan
- Kernig : tidak ditemukan
- Brudzinski I : tidak ditemukan
- Brudzinski II : tidak ditemukan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tabel 1.1. Laboratorium Darah (1 November 2017)
Hematologi rutin
Hb 9.5 g/dL ↓
Hct 29% ↓
AL 7.5 ribu/μL
AT 351 ribu/μL

8
AE 5.21juta/μL
Indeks eritrosit
MCV 56.2 /μm ↓
MCH 18.3 pg ↓
MCHC 32.4 g/dL ↓
RDW 13.6 %
MPV 8.6 fl
PDW 16% ↓
Hitung jenis
Eosinofil 0.8%
Basofil 0.30%
Neutrofil 77.00% ↑
Limfosit 13.80% ↓
Monosit 8.10% ↑
Kimia klinik
Glukosa Darah Sewaktu 111 mg/dL
Kesan: anemia mikrositik hipokromik, neutrofilia, limfositopenia
Tabel 1.2. Urinalisis (1 November 2017)

Makroskopis
Warna Yellow
Kejernihan Clear
Kimia Urin
Berat Jenis 1.012
pH 6.0
Leukosit Negatif
Nitrit Negatif
Protein Negatif
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Urobilinogen Negatif
Bilirubin Negatif
Eritrosit Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 1.8/ul
Leukosit 1.4/LPB
Epitel
Epitel squamous 0-1/LPB
Epitel transisional 1-3/LPB
Epitel bulat -/LPB
Silinder
Hyline 0/LPB
Granulated 0-1/LPB

9
Lekosit -/LPK
Bakteri 0.0/ul
Yeast Like Cell 0.0/LPK
Sperma 0.0/LPK
Konduktivitas 14.4mS/cm
Eritrosit 0-1/LPB; Leukosit 0-1/LPB; bakteri (+)
Kesan : dalam batas normal

V. KEBUTUHAN ENERGI HARIAN


Kebutuhan energi harian berdasarkan tabel recommended dietary
allowances (RDA) untuk bayi dan anak pada pasien ini adalah sekitar 90
kkal/kg/hari, di mana mengacu pada tinggi badan pasien sebesar 110 cm.
Jadi, kebutuhan energi harian pasien adalah sebesar 1350 kkal/hari, di mana
berat badan pasien sebesar 15 kg.
Tabel 1.3Recommended dietary allowances untuk bayi dan anak

VI. RESUME
Dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam naik turun, batuk
berdahak dan pilek, terus menerus sepanjang hari. Batuk berdahak, warna
kuning, susah dikeluarkan dan pilek dengan sekret berwarna putih jernih.
Pasien juga mengeluh nyeri tenggorokan yang dirasakan ketika makan dan
minum. Oleh orang tua pasien tidak diperiksakan ke dokter dan diberi obat
penurun panas. 1hari SMRS pasien demam tinggi dan tidak turun dengan
obat. Karena, orang tua pasien khawatir terhadap pasien, pasien di bawa ke
IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi.

10
Saat di RSDM pasien masih demam tinggi dan terus menerus, pasien
masih batuk berdahak, pilek dan mengeluhkan nyeri menelan. Tidak
didapatkan kejang, mual, maupun muntah. Menurut ibu pasien, nafsu makan
dan minum pasien sedikit menurun, tetapi masih mau jika dipaksa. Buang air
kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Hasil laboratorium darah (1
November 2016), Hb 9.5 g/dl, Ht 29%, MCV 56.2/um, MCH 18.3 pg, MCHC
32.4 g/dl, PDW 16%, Netrofil 77.00%, Limfosit 13.80%, Monosit 8.10%,
GDS 111 md/dl.

VII. DAFTAR MASALAH


Anak lelaki umur 4 tahun 6 bulan dengan :
- Demam tinggi mendadak sejak 1 hari SMRS
- Keadaan umum tampak lemah
- Suhu febris, dengan suhu 42° C (per axiller)
- Batuk berdahak warna kuning susah keluar
- Hidung kanan dan kiri terdapat sedikit skeret warna putih kental
- Faring hiperemis, tonsil T3-T3 hiperemis
- Nyeri telan
- Kesan pemeriksaan laboratorium: anemia mikrositik hipokromik,
neutrofilia, limfositopenia
- Susah makan dan minum
VIII. DIAGNOSIS BANDING
a. Demam tinggi dengan riwayat kejang demam 2 kali
b. Tonsilofaringitis Akut et causa bakteri dd viral
c. Anemia mikrositik hipokromik et causa infeksi dd defisiensi besi
d. Gizi kurang klinis

11
IX. DIAGNOSIS KERJA
a. Demam tinggi dengan riwayat kejang demam 2 kali
b. Tonsilofaringitis Akutet causa bakteri dd viral
c. Anemia mikrositik hipokromik et causa infeksi dd defisiensi besi
d. Gizi kurang klinis

X. PLAN
1. Diagnostik
a. Kultur Swab tenggorokan
b. Cek laboratorium DL2, GDT, GDS
c. Cek urin dan feses rutin
2. Tatalaksana
a. Rawat bangsal infeksi anak konsul neurologi anak
b. Diet nasi lauk 1500 kkal/hari
c. Infus D1/4 NS 12 tpm makro
d. Diazepam (0,3 mg/kgBB/kali) = 5 mg per oral (jika suhu tubuh
>38,50C)
e. Paracetamol sirup (15 mg/kgBB/kali) = 225 mg/kali, 3 x 1 cth per
oral (jika suhu tubuh >38,50C)
f. Injeksi Ampicilin IV (25 mg/kgBB/6jam) = 370 mg/6jam (IV)
3. Edukasi
a. Edukasi keluarga tentang penyakit pasien, prognosis pasien baik
dengan penanganan yang tepat.
b. Edukasi keluarga untuk menambah intake makanan terutama daging,
dan buah-buahan yang mengandung vitamin C.
c. Edukasi keluarga untuk ikut memantau jika suhu tubuh pasien
>38,50C segera lapor atau mengkonsumsi Diazepam dan
Paracetamol sirupsecara oral.

12
d. Edukasi keluarga jika timbul kejang, seperti mata melirik, tidak
sadar, tubuh kaku atau bergerak-gerak sendiri untuk jangan panik ,
kendorkan pakaian pasien, posisikan terlentang miring dan jangan
memasukkan apapun ke mulut pasien sembari segera melapor ke
petugas serta mencatat kapan dan berapa lama timbul kejang.

XI. MONITORING
a. Mengawasi keadaan umum, tanda-tanda vital per 8 jam.
b. Pantau balans cairan dan diuresis selama pemberian cairan intravena
per 8 jam.
c. Mengawasi jika suhu tubuh pasien >38,50C segera meminta keluarga
untuk mengkonsumsikan Diazepam dan Paracetamol sirup secara oral
ke pasien.
d. Mengawasi jika terjadi kejang segera berikan injeksi Diazepam,
kendorkan pakaian pasien, posisikan terlentang miring.

XII. TARGET
a. Pasien dapat pulang jika tidak timbul kejang dalam 1-2 hari kedepan;
sudah tidak demam dengan suhu normal, infeksi tenggorokannya sudah
dikultur; diagnosis anemianya tegak karena asupan besi yang kurang
atau proses infeksi yang dialami sehingga pertimbangan untuk
pemberian suplementasi besi.

XIII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam

13
XV. FOLLOW UP
Follow up 2/11/2017 3/11/2017 4/11/2017 5/11/2017
S Demam (+), mual Demam (+) naik Demam (+), mual Demam (-), mual
(+), BAB dalam turun, mual (+), (-), BAB dalam (-), BAB dalam
batas normal, gigi BAB dalam batas batas normal, batas normal,
sakit (-), BAK normal, BAK BAK kuning, BAK kuning,
kuning, muntah (-) kuning, gigi sakit muntah (-) batuk muntah (-) batuk
batuk(+), pilek (-), muntah (-) (+), pilek (+), (+) berkurang,
(+), kejang (-), batuk (+), pilek kejang (-), nyeri pilek (-), kejang (-
nyeri telan (+), (+), kejang (-), telan (+) ), nyeri telan (+)
susah makan dan nyeri telan (+), berkurang, mulai berkurang, mulai
minum susah makan dan mau makan yang mau makan lebih
minum lunak banyak
O KU: tampak sakit KU: tampak sakit KU: tampak sakit KU: tampak sehat,
sedang, GCS sedang, GCS ringan, GCS GCS E4V5M6,
E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi gizi kesan baik
kesan baik kesan baik kesan baik
Tanda SiO2: 99%, RR 22 SiO2: 99%, RR 22 SiO2: 97%, RR 24 SiO2: 97%, RR 20
Vital x/menit, t 37,6oC, x/menit, t 36.7oC, x/menit, t 38.6oC, x/menit, t 36.8oC,
HR 94x/menit HR 136 x/menit HR 78x/menit HR 122 x/menit
Kepala Normosefal, Normosefal, Normosefal, Normosefal,
lingkar kepala lingkar kepala lingkar kepala lingkar kepala
(LK): 49 cm, (LK): 49 cm, (LK): 49 cm, (LK): 49 cm,
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-)

14
Oedem palpebra Oedem palpebra Oedem palpebra Oedem palpebra
(-/-) (-/-) (-/-) (-/-)
Hidung Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping
hidung (-), sekret hidung (-), sekret hidung (-), sekret hidung (-), sekret
(-/-) (-/-) (-/-) (-/-)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1
hiperemis (-), hiperemis (-), hiperemis (-), hiperemis (-),
faring hiperemis (- faring hiperemis (- faring hiperemis (- faring hiperemis (-
) ) ) )
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)
Cor I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak
tampak tampak tampak tampak
P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis
tidak kuat angkat tidak kuat angkat tidak kuat angkat tidak kuat angkat
P: batas jantung P: batas jantung P: batas jantung P: batas jantung
sulit dievaluasi sulit dievaluasi sulit dievaluasi sulit dievaluasi
A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II
intensitas normal, intensitas normal, intensitas normal, intensitas normal,
reguler, bising (-) reguler, bising (-) reguler, bising (-) reguler, bising (-)
Pulmo I: pengembangan I: pengembangan I: pengembangan I: pengembangan
dada kanan = kiri dada kanan = kiri dada kanan = kiri dada kanan = kiri
P: fremitus raba P: fremitus raba P: fremitus raba P: fremitus raba
kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri
P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor
A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar:
vesikuler (+/+), vesikuler (+/+), vesikuler (+/+), vesikuler (+/+),
suara tambahan (- suara tambahan (- suara tambahan (- suara tambahan (-

15
/-) /-) /-) /-)
Abdomen I: dinding dada I: dinding dada I: dinding dada I: dinding dada
sejajar dengan sejajar dengan sejajar dengan sejajar dengan
dinding perut dinding perut dinding perut dinding perut
A: bising usus (+) A: bising usus (+) A: bising usus (+) A: bising usus (+)
normal 11 x/ menit normal 10 x/ menit normal 9 x/ menit normal 12 x/ menit
P: timpani P: timpani P: timpani P: timpani
P: supel, nyeri P: supel, nyeri P: supel, nyeri P: supel, nyeri
tekan (-), hepar tekan (-), hepar tekan (-), hepar tekan (-), hepar
tidak teraba, tidak teraba, tidak teraba, tidak teraba,
ascites (-) dan lien ascites (-) dan lien ascites (-) dan lien ascites (-) dan lien
tidak teraba tidak teraba tidak teraba tidak teraba
Ekstremitas Akral dingin (-), Akral dingin (-), Akral dingin (-), Akral dingin (-),
sianosis (-), CRT < sianosis (-), CRT < sianosis (-), CRT < sianosis (-), CRT <
2”, ADP kuat 2”, ADP kuat 2”, ADP kuat 2”, ADP kuat
R. fisiologis: R. fisiologis: R. fisiologis: R. fisiologis:
dalam batas dalam batas dalam batas dalam batas
normal normal normal normal
R. patologis: (-) R. patologis: (-) R. patologis: (-) R. patologis: (-)
Meningeal sign : (- Meningeal sign : (- Meningeal sign : (- Meningeal sign : (-
) ) ) )
Asessment - Demam tinggi - Demam tinggi - Demam tinggi - Demam tinggi
dengan riwayat dengan riwayat dengan riwayat dengan riwayat
kejang demam 2 kejang demam 2 kejang demam 2 kejang demam 2
kali kali kali kali
- Tonsilofaringitis - Tonsilofaringitis - Tonsilofaringitis - Tonsilofaringitis
Akutet causa Akutet causa Akutet causa Akutet causa
bakteri dd viral bakteri dd viral bakteri dd viral bakteri dd viral

16
- Anemia - Anemia - Anemia - Anemia
mikrositik mikrositik mikrositik mikrositik
hipokromik et hipokromik et hipokromik et hipokromik et
causa infeksi dd causa infeksi dd causa infeksi dd causa infeksi dd
defisiensi besi defisiensi besi defisiensi besi defisiensi besi
- Gizi kurang klinis - Gizi kurang - Gizi kurang - Gizi kurang
klinis klinis klinis
Terapi - Diet nasi lauk - Diet nasi lauk - Diet nasi lauk - Diet nasi lauk
1500 kkal/hari 1500 kkal/hari 1500 kkal/hari 1500 kkal/hari
- Infus D1/4 NS 12 - Infus D1/4 NS 12 - Infus D1/4 NS 12 - Infus D1/4 NS 12
tpm makro tpm makro tpm makro tpm makro
- Diazepam 5 mg - Diazepam (5 mg - Dizepam 5 mg - Diazepam 5 mg
per oral (jika per oral (jika per oral (jika per oral (jika
suhu tubuh suhu tubuh suhu tubuh suhu tubuh
>38,50C) >38,50C) >38,50C) >38,50C)
- Paracetamol sirup - Paracetamol sirup - Paracetamol sirup - Paracetamol sirup
= 200 mg/8 jam = 200 mg/8 jam = 200 mg/8 jam = 200 mg/8jam
- Injeksi - Injeksi Ampicilin - Injeksi - Injeksi
Ampicilin 370 370 mg/6jam Ampicilin 370 Ampicilin 370
mg/6jam mg/6jam mg/6jam

Planning Urinalisa/ Feses Menunggu hasil - Menunggu hasil - Menunggu hasil


rutin kultur swab kultur swab kultur swab
Kultur swab tenggorok tenggorok tenggorok
tenggorok - Usul kultur - kultur darah
darah - konsul gigi
- Usul konsul gigi mulut
mulut

17
Monitoring KUVS dan BCD 8 KUVS dan BCD 8 KUVS dan BCD 8 KUVS dan BCD 8
jam jam jam jam

BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus didapatkan anamnesis keluhan utama berupa demam tinggi


pasien sebelumya pernah mengalami kejang sebanyak 2 kali ketika demam
tinggi, pada saat ini pasien tidak kejang. Keluhan lain selain itu batuk yang
sedikit berdahak dan pilek yang dirasakan sudah sejak 10 hari yang lalu diawali
nyeri namun sekarang sudah tidak nyeri. Dahak akhir-akhir ini berwarna
kekuningan. Pada keluarga pasien tidak terdapat anggota keluarga yang pernah
mengalami kejang demam maupun epilepsy, dan saat ini tidak ada yang sedang
batuk pilek.
Anamnesis keluhan lain didapatkan batuk berdahak kuning, dan pilek.
Riwayat pernah mengalami nyeri mengindikasikan pernah terjadi inflamasi pada
tenggrorokan pasien. Dahak yang berwarna kuning menunjukkan ada kuman
yang bereplikasi, karena normalnya mukus tidak berwarna. Hasil anamnesis
menunjukkan kemungkinan penyebab demam berasal dari infeksi pada saluran
nafas atas.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan febris dengan suhu 42° C, kepala
mesosefal, konjungtiva tampak anemis, terlihat sedikit sekret pada lubang
hidung, faring tampak hiperemis, tonsil T3-T3 juga tampak hiperemis, tidak
terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada kelainan reflek fisiologis
dan patologis.
Demam yang terjadi kemungkinan karena terjadi infeksi pada saluran nafas
atas ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan fisik yang didapat. Faringitis
streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut, faring

18
hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, tonsil bengkak, kelenjar getah bening
leher anterior bengkak. Untuk perhitungan skor Centor pada kasus ini didapatkan
nilai 4 sehingga pemberian antibiotik empiris yaitu golongan penicillin seperti
ampicillin sulbactam dapat dilakukan dengan menunggu hasil kultur.
Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.
Evaluasi penyebab demam dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin, gambaran
darah tepi, elektrolit maupun gula darah serta untuk mencari sumber infeksi pada
kasus ini, dengan swab tenggorokan, urin rutin dan feses rutin. Karena ada riayat
sebelumnya mengalami kejang setelah demam tinggi maka harus di cek
penyebabnya. Pemeriksaan penunjang lumbal pungsi tidak dilakukan karena
secara klinis tidak curiga ke arah meningitis. Begitupula EEG karena tidak bisa
memprediksi timbulnya kejang berikutnya. Dari hasil pemeriksaan penunjang
didapatkan urinalisis dalam batas normal, feses rutin belum bias dilakukan
karena pasien belum BAB, swab tenggorokan sudah dilakukan namun hasil
kultur 1 minggu lagi. Pada pemeriksaan laboratorium: anemia mikrositik
hipokromik, neutrofilia dan limfositopenia. Hasil anemia mikrositik hipokromik
pada kasus ini bisa terjadi karena proses infeksi yang dialami atau kurang asupan
zat besi. Sehingga untuk menegakkan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
feritin, TIBC, dan SI.
Diagnosis kerja berupa kejang demam sederhana et causa tonsilo faringitis
akut dengan anemia mikrositik hipokromik et causa infeksi dd deisiensi besi dan
dengan gizi baik, normoweight, normoheigh. Diagnosis pasti tonsilofaringitis
akut menunggu dari hasil kultur, namun dari perhitungan skor Centor didapatkan
nilai 4 sehingga dapat diberikan antibiotik empiris. Diagnosis anemia defisiensi
besi menurut WHO yaitu paling sedikit terpenuhi 3 dari kadar Hb yang kurang
dari normal sesuai usia, Hct rata-rata 31% (32-35%), kadar Fe serum <50ug/dl
(N=80-180ug/dl), saturasi transferrin < 15% (N=20-50%). Diagnosis gizi
menggunakan kuva WHO 2006 untuk anak 0-2 tahun, didapatkan hasil gizi baik,
normoweight, normoheigh.

19
Seorang anak dengan riwayat kejang demam sebelumnya bila suhu > 38,5o
C, pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus. Tidak
ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya
kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Tatalaksana Tonsilofaringitis bertujuan untuk mencegah komplikasi yang
ditimbulkan, terutama oleh kuman streptococcus grup A. Karena pada kasus,
hasil kultur 1 minggu lagi, maka pada kasus diberikan antibiotik pilihan pada
terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah ampicillin injeksi (25
mg/kgBB/6jam). Pada tatalaksana ADB penggunaan transfusi PRC hanya
diindikasikan jika Hb <6g/dl, namun pada kasus dijumpai infeksi yang tergolong
menengah – berat, dari nilai Hb 7.0g/dl menjadi 6.9 g/dl sehingga perbaikan Hb
segera perlu diberikan agar Hb tidak semakin turun oleh proses infeksi.
Edukasi yang penting terhadap kasus ini, jika terjadi kejang saat demam
tinggi untuk tidak panik, kendorkan pakaian pasien, terlentang dan miringkan
pasien, jangan masukan benda apapun ke mulut pasien, kemudian segera bawa ke
layanan kesehatan terdekat. Kejang demam terjadi pada demam, sehingga
diharapkan keluarga pasien segera memberikan obat antipiretik jika pasien
merasa demam. Selain itu jika timbul kejang, untuk diingat seberapa lama kejang
terjadi, apakah didahului dengan demam, kapan terjadi dan bentuk kejang yang
dialami.
Edukasi untuk menambah asupan makanan penting terutama yang
mengandung besi hewani, agar penyerapannya lebih cepat maka dikombinasikan
dengan mengkonsumsi vitamin C dari buah-buahan dan menghindari
mengkonsumsi daging bersamaan dengan mengkonsumsi tanin seperti pada teh.

20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Kejang Demam
A. Definisi
Kejang Demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (per rectal diatas 38o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kejang demam ini terjadi pada 2 % - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun
(Pusponegoro et al., 2006).
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam (Pusponegoro et al., 2006).
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam (Mansjoeret al., 2000). Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam (Pusponegoro et al., 2006).
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam (Pusponegoro et al., 2006). Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam,
kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam (Pusponegoro et al., 2006).
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistem susunan saraf pusat (Mansjoeret al., 2000).

21
B. Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat,
Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20
% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul
pada tahun kedua kehidupan (17 – 23 bulan) kejang demam sedikit lebih sering
pada laki – laki (Pusponegoro et al., 2006).

C. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan
suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui
kardiovaskuler.Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air (IKA FKUI, 1985).
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na –
K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel (IKA FKUI, 1985).
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.

22
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan (IKA FKUI, 1985).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10 % - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %.
Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang (IKA FKUI, 1985).
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang
kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40o C atau lebih. Dari
kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang
(IKA FKUI, 1985).
Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat
merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia
(Haslam, 2000).Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya

23
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak (IKA FKUI, 1985).
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari,
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi
epilepsi (IKA FKUI, 1985).

D. Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam
(Mansjoeret al., 2000). Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada
saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik (Behrma et
al., 2000; Mansjoeret al., 2000).Selain itu terdapat faktor perkembangan
terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan
kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira – kira 33 % anak akan mengalami satu
kali rekurensi atau lebih, dan kira 9 % anak akan mengalami tiga kali rekurensi
atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi (Behrma et al., 2000;
Mansjoeret al., 2000).

E. Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam

24
(Pusponegoro et al., 2006; Saharso, 2006). Kejang demam sederhana
merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam (Pusponegoro et al., 2006).
Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam sederhana,
kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu
yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga
tengah yang akut, dan sebagainya. Bila dalam riwayat penderita pada umur –
umur sebelumnya terdapat periode – periode dimana anak menderita suhu
yang sangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; maka pada kejang
yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin kejang yang ini ada
penyebabnya (Hendarto, 1982).
Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu
sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan
suhu yang tiba – tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan
kejang (Hendarto, 1982).
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya
bersifat tonik – klonik seperti kejang grand mal; kadang – kadang hanya
kaku umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi
sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya
pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang demam
sederhana masih mungkin (Hendarto, 1982).
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang dengan salah satu ciri berikut :
a. Kejang lama lebih dari 15 menit.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam(Pusponegoro et al., 2006;
Saharso, 2006)

25
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % kejang demam. Kejang fokal adalah
kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial
(Pusponegoro et al., 2006).
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara
anak yang mengalami kejang demam (Pusponegoro et al., 2006).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah (Pusponegoro et al., 2006).
2. Lumbal Pungsi
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena
itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
b. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
c. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin.
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal (Pusponegoro et al., 2006).
3. Elektroensefalografi

26
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak
direkomendasikan.Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada
anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal (Pusponegoro et al.,
2006).
4. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan
(CT – scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti (Pusponegoro et al.,
2006) :
a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Paresis nervus VI
c. Papiledema

G. Penatalaksanaan
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan
dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit, dengan dosis
maksimal 20 mg (Pusponegoro et al., 2006).
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3
tahun (Pusponegoro et al., 2006).

27
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.Bila setelah
2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB (Pusponegoro et al., 2006).
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan
dosis awal 10 – 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8
mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam
apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
Pemberian Obat Pada Saat Demam (Pusponegoro et al., 2006):
a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah
10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.Meskipun jarang,
asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan.
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada
suhu > 38,5o C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 % kasus.Fenobarbital,

28
karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam.

II. Tonsilofaringitis
i. Definisi
Faringitis secara luas menyangkut tonsillitis, nasofaringitis, dan
tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya yang ditandai dengan
keluhan nyeri tenggorok(Roni et al., 2008).

ii. Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak
berusia ≤ 3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus,
rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus
beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah bakteri terbanyak penyebab penyakit
faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% pada
anak sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.mikroorganisme seperti
klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat
jarang terjadi (Roni et al., 2008).
Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik di
faring, seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol,
inhalasi uap dan debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yang
tidak adekuat(Rusmarjono et al., 2007).

iii. Patogenesis

29
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak
langsung dengan mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan
benda yang terkontaminasi, serta melalui makanan merupakan cara penularan
yang kurang berperan. Penyebaran SBHGA memerlukan penjamu yang rentan
dan difasilitasi dengan kontak yang erat (Roni et al., 2008; Simon et al., 2016).
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang
kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar peradangan
melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah
terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan
lokal sehingga menyebabkan eritem faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi
streptococcus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraseluler
dan protease. Transmisi dari virus dan SBHGA lebih banyak terjadi akibat
kontak tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan kontak oral.
Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam(Roni et
al., 2008; Rusmarjono et al., 2007).

iv. Manifestasi Klinik


Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang
biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri
perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok.
Gejala seperti rhinorrea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya
disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat ditemukan pada
anamnesa.
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut
streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem pada tonsil
dan faring yang disrtai pembesaran tonsil. Faringitis streptococcus sangat
mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut disertai mual muntah, faring
hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, tonsil bengkak dengan eksudasi, kelenjar

30
getah bening leher anterior bengkak dan nyeri, uvula bengkak dan merah,
ekskoriasi hidung disertai impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie palatum
mole(Roni et al., 2008; Behrma et al., 2000).
Gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus
di palatum mole, dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala
yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam berlangsung 4-10 hari dengan
prognosis baik(Roni et al., 2008).

v. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri
atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada saat ini
terdapat metode cepat mendeteksi antigen streptococcus grup A dengan
sensitivitas dan spesivitas yang cukup tinggi(Roni et al., 2008; Behrma et al.,
2000).

vi. Penatalaksanaan
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi(Behrma et al., 2000). Faringitis streptococcus
grup A merupakan faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus
dalam penggunaan antibiotik. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai

31
merupakan terapi suportif yang dapat diberikan. Pemberian obat kumur dan obat
hisap pada anak cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila
terdapat nyeri berlebih atau demam dapat diberikan paracetamol atau
ibuprofen(Roni et al., 2008).
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah
penisislin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin
penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan
1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti
pilihan pengganti penisislin pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya
sama amoksisilin memiliki rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50
mg/kgBB/ hari dibagi 2 selama 6 hari (Roni et al., 2008). Selain itu eritromisin
40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30 mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15
mg/kgBB/hari dapat digunakan untuk pengobatan faringitis streptococcus pada
penderita yang alergi terhadap penisilin(Behrma et al., 2000).
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan, serta kecenderungan neoplasma.
The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi
tonsilektomi adalah sebagai berikut :
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial,
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor
pulmonale,
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,

32
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus β
hemolitikus,
7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif.

vii. Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi
biasanya menggambarkan perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring.
Beberapa kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada
faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas.
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara
hematogen. Akibat perluasan langsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis media,
mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau faringeal, atau pneumonia.
Penyebaran hematogen SBHGA dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis,
atau arthritis septic, sedangkan komplikasi non supuratif berupa demam reumatik
dan gromerulonefritis(Roni et al., 2008; Sudarmo et al., 2008).

III. Anemia Defisiensi Besi


A. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan persediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006), dan
merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan
masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia (Pudjiadi et al., 2009).

B. Epidemiologi
Prevalensi ADB pada anak balita diIndonesia sekitar 40-45%.Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001menunjukkan prevalens ADB pada

33
bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%,
64,8% dan 48,1%. Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6
bulan dan 12 bulan didapatkan insidens ADB sebesar 40,8% dan 47,4%. Pada
usia balita, prevalens tertinggi defisiensi besi ( DB) umumnya terjadi pada tahun
kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan
yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian DB lebih tinggi pada usia bayi,
terutama pada bayi premature (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI
secara eksklusif tanpa suplementasi (Gatot et al., 2011).
Selain itu, prevalensi yang tinggi juga dijumpai pada akhir masa bayi, awal
masa anak, anak sekolah, dan masa remaja karena adanya percepatan tumbuh
pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah, penggunaan susu sapi
dengan kadar besi yang kurang sehingga dapat menyebabkan exudative
enteropathy dan kehilangan darah akibat menstruasi (Gatot et al., 2011).

C. Etiologi
Salah satu penyebab ADB ialah kekurangan gizi; beberapa penyebab lain
yang diklasifikasikan menurut umur tampak pada Tabel 3.1. Pengetahuan
mengenai klasifikasi penyebab menurut umur ini penting untuk diketahui, untuk
mencari penyebab berdasarkan skala prioritas dengan tujuan menghemat biaya
dan waktu. Seorang anak yang mula-mula berada di dalam keseimbangan besi
kemudian menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium
yaitu (Salam dan Daniel, 2002):

Tabel 3.1 Penyebab ADB MenurutUmur


1. Bayi dibawahumur1tahun
- Persediaan besi yangkurangkarenaberatbadanlahirrendahataulahirkembar.
2. Anak berumur1-2tahun
- Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan
(hanya minum susu)
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
- Malabsorbsi

34
- Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
divertikulum Meckeli.
3. Anak berumur2-5tahun
- Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun.
- Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
divertikulumMeckeli.
4. Anak berumur5tahun–masaremaja
- Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
poliposis.
5. Usiaremaja–dewasa
- Padawanitaantaralainkarenamenstruasiberlebihan.

1. Stadium I(iron depleted state): hanya ditandai oleh kekurangan persediaan


besi di dalam depot. Keadaan ini dinamakan stadium deplesi besi. Pada
stadium ini baik kadar besi di dalam serum maupun kadar hemoglobin masih
normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan
sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang. Disamping itu kadar
feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat mencerminkan kadar besi
di dalam depot.
2. Stadium II(iron deficient erythropoiesis): Mulai timbul bila persediaan besi
hampir habis. Kadar besi di dalam serum mulai menurun tetapi kadar
hemoglobin di dalam darah masih normal. Keadaan ini disebut stadium
defisiensi besi.
3. Stadium III(iron deficiency anemia): Keadaan ini disebut anemia defisiensi
besi. Stadium ini ditandai oleh penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH,
MCHC disamping penurunan kadar feritin dan kadar besi di dalam serum.

D. Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi
makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted
state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit

35
tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron
deficient erythropoiesis. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer
sehingga disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saai ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya (Bakta,
2006).

E. Manifestasi Klinik
Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik. Pada
ADB gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan zat besi di dalam otot
jantung menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut.
Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya
disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini
dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang
berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB (Salam dan Daniel,
2002).
Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi
besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit
T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh
berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain
kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat
adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena
enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung
besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa
permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti
sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada
5,5% kasus ADB. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat
menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi.
Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata

36
karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan
ditemui gastritis pada 75% kasus ADB (Salam dan Daniel, 2002).

F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium
yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit
ditambah pemeriksaan morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe
serum, Total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, feritin) (Respati et
al., 2006).
Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb merupakan hal
pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam
menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan
MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya
normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat.
Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik,
anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit,
mikrosit dan sel fragmen) (Soegijanto, 2004).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama
dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infeksi cacing
sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai
normal. Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang
masif. Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat.
Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak
hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28%
(Behram et al., 2000).
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun yang
terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin
yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC
(saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe

37
serum/TIBC x 100%, merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke
eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui
pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. SI (7%) dapat
dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah
atau pemeriksaan lainnya. Feritin serum merupakan indikator cadangan besi
yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan (Respati et
al., 2006).
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang
dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin
(FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi
terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat
menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam sel.Nilai FEP > 100 ug/dl
eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya
ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai saturasi transferin yang menurun
merupakan tanda ADB yang progresif(Respati et al., 2006).
Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang
khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan
Prussian blue (Bakta, 2006).

G. Diagnosis
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO (Pudjiadi et al., 2009):
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal 32 – 35 %)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl ( Normal 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (Normal 20 – 50 %)
5. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositik yang dikonfirmasi dengan
kadar MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
6. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang

38
H. Penatalaksanaan
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera
dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas
pemberian preparat besi secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat
dan lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan
cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi elemental diberikan dengan dosis
seperti pada Tabel 3.2; penyerapannya akan lebih sempurna jika diberikan
sewaktu perut kosong dan diberikan bersama asam askorbat atau asam suksinat.
Bila diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan akan berkurang
hingga 40-50%. Namun mengingat efek samping pengobatan besi secara oral
berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk
mengurangi efek samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan.
Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi dextran dapat
dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik misalnya karena
keadaan pasien tidak dapat menerima secara oral, kehilangan besi terlalu cepat
yang tidak dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau gangguan saluran
cerna misalnya malabsorpsi. Cara pemberian parenteral jarang digunakan karena
dapat memberikan efek samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri
kepala, lemas, artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons
pengobatan mula-mula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-
24 jam. Hiperplasi seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-
48 jam yang ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam,
yang mencapai puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan
setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka jangka
waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan (Salam dan Daniel, 2002).
Transfusi darah hanya diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi pasien
ADB dengan Hb 6 g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut risiko untuk

39
terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis. Transfusi
darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai infeksi berat, dehidrasi
berat atau akan menjalani operasi besar/ narkose. Pada keadaan ADB yang
disertai dengan gangguan/ kelainan organ yang berfungsi dalam mekanisme
kompensasi terhadap anemia yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau
penyakit jantung hipertensif) dan atau paru (gangguan ventilasi dan difusi gas
antara alveoli dan kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi darah. Komponen
darah berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap dengan tetesan
lambat (Salam dan Daniel, 2002).
Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah kurang
gizi. Besi di dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme. Besi non-
heme yang antara lain terdapat di dalam beras, bayam, jagung, gandum, kacang
kedelai berada dalam bentuk senyawa ferri yang harus diubah dulu di dalam
lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang siap untuk diserap di dalam usus.
Penyerapan Fe-non heme dapat dipengaruhi oleh komponen lain di dalam
makanan. Fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam klorida dan asam amino
memudahkan absorbsi besi sedangkan tanin (bahan di dalam teh), kalsium dan
serat menghambat penyerapan besi. Berbeda dengan bentuk non-heme, absorpsi
besi dalam bentuk heme yang antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging
sapi, lebih mudah diserap. Disini tampak bahwa bukan hanya jumlah yang
penting tetapi dalam bentuk apa besi itu diberikan (Salam dan Daniel, 2002).

Tabel 3.2 Dosis dan lama pemberian suplementasi besi

Usia (tahun) Dosis besi Lama pemberian


elemental
Bayi* :BBLR (< 2.500g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2 - 5 (balita) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3
bulan berturut-turut
setiap tahun

40
> 5 - 12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3
bulan berturut-turut
12 - 18 (remaja) 60 mg/hari# 2x/minggu
setiap tahunselama 3
bulan berturut-turut
Keterangan:
setiap tahun
* Dosis maksimum untuk bayi:15 mg/hari,dosis tunggal
# Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat

I. Pencegahan
1. Pencegahan primer (Bakta, 2006; Pudjiadi AH et al., 2009):
a. Pendidikan kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban,
pemakaian alas kaki.
b. Penyuluhan gizi: mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan;
menunda pemakaian susu sapi hingga 1 tahun; menggunakan makanan
tambahan yang difortifikasi sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun;
pemberian vitamin C serta menghindari bahan yang menghambat
absorbs besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada makanan; menghindari
minum susu berlebih dan meningkatkan makanan yang mengandung
besi hewani.
c. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan
kronik.
2. Pencegahan sekunder (Pudjiadi AH et al., 2009):
a. Skrining ADB, dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
hematokrit. American Academy of Pediatric (AAP) menganjurkan antara
usia 9-12 bulan, 6 bulan kemudian, dan 24 bulan. Pada daerah beresiko
tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun hingga 5 tahun.
b. Suplementasi besi, merupakan cara paling tepat untuk mencegah ADB
pada daerah dengan prevalensi tinggi.

41
Anak yang sudah menunjukkan gejala ADB telah masuk ke dalam lingkaran
penyakit, yaitu ADB mempermudah terjadinya infeksi sedangkan infeksi
mempermudah terjadinya ADB. Oleh karena itu antisipasi sudah harus dilakukan
pada waktu anak masih berada di dalam stadium I & II (Gatot D et al., 2011).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien tersebut didiagnosis dengan Tonsilofaringitis akut, Anemia mikrositik
hipokromik ec defisiensi besi dd infeksi, Gizi kurang klinis

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up kembali
untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien jika terjadi kejang kembali untuk tidak
panik, kendorkan pakaian pasien, terlentang dan miringkan pasien, jangan
masukan benda apapun ke mulut pasien, kemudian segera bawa ke layanan
kesehatan terdekat. Mengingat seberapa lama kejang terjadi, apakah
didahului dengan demam, kapan terjadi dan bentuk kejang yang dialami.
3. Edukasi untuk menambah asupan makanan penting terutama yang
mengandung besi hewani, agar penyerapannya lebih cepat maka
dikombinasikan dengan mengkonsumsi vitamin C dari buah-buahan dan

42
menghindari mengkonsumsi daging bersamaan dengan mengkonsumsi tanin
seperti pada teh.

DAFTAR PUSTAKA

Bakta IM (2006). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, hal: 26-39.

Behrma R et al. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

Gatot D et al. (2011). Rekomendasi Suplemen Besi untuk Anak. IDAI

Hendarto SK (1982). Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM. Cermin Dunia
Kedokteran. 27: 6 – 8.

IKA FKUI (1985). Ilmu Kesehatan Anak. IKA FKUI: Jakarta, hal: 25, 847 – 855.

Mansjoer A, et al. (2000). Neurologi Anak, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK Universitas Indonesia: Jakarta,
hal: 48, 434 – 437.

McIssac W (2004). Empirical validation of guidelines for the management of


pharyngitis in children and adults. JAMA, 291(13): 1587-95.

Pudjiadi AH et al. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. IDAI.

Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S (2006). Konsensus Penatalaksanaan Kejang


Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Jakarta, hal: 1 – 14.

43
Raspati H et al. (2006). Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi Onkologi
Anak. Cetakan ke-2 IDAI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Pp: 30-42

Roni N et al. (2008). Faringitis, Tonsillitis, Tonsilofaringitis Akut dalam


RespirologiAnak. Jakarta: IDAI.

Rusmarjono et al. (2007). Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam


BukuAjar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Jakarta : FKUI.

Salam MA, Daniel A (2002). Diagnosis, pengobatan dan pencegahan Anemia


Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2): 74-77.

Saharso D (2006). Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo: Surabaya, hal: 271 – 273.

Simon H et al. (2016). Pediatrics,


Pharyngitishttp://emedicine.medscape.com/article/803258-overview (diakses
tanggal 10 Mei 2016)

Soegijanto S (2004). Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta: IDI.

Sudarmo S et al. (2008). Infeksi Streptococcus grup A dalam Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI.

Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam
Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225

Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga,


Hidung, dan Tenggorok. RSUD Saras Husada,Purworejo. Available at
:http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penatalaksanaan+Fari
ngitis+Kronik(Accessed : March 28th 2014).

Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H.
Adam Malik Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th
2014).

Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus,
dan Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar
Penyakit THT Edisi Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271

44
Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter 23.The
McGraw-Hill Companies, 2004: p. 816

Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic


Otorhinolaryngology. New York. Thieme, 2006: p. 119

45

Anda mungkin juga menyukai