Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

Pembimbing:
dr. Jeffry Pattisahusiwa, SpA.

Disusun oleh:
Kristabella Gianina (2015-061-210)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA

RSUD SYAMSUDIN, SH SUKABUMI


PERIODE 13 MARET-15 APRIL 2017


BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AG
Usia : 2 tahun 4 bulan
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Kp Sugi RT 002/001
Care giver : Orang tua (ibu)
Tanggal Pemeriksaan : 17 – 03 – 2017
Tanggal masuk RS : 15 – 03 – 2017 (IGD pukul 18.27, PICU pukul 21.30)

IDENTITAS ORANGTUA
• Ayah
Nama ayah : Tn. R
Usia : 24 tahun
Alamat : Kp Sugi, Cianjur
Pekerjaan : Satpam
Pendidikan : SMA
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pendapatan : 2,4 juta / bulan
• Ibu
Nama ibu : Ny. R
Usia : 23 tahun
Alamat : Kp Sugi, Cianjur
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pendapatan :-

1
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ayah dan Ibu pasien pada hari Jumat
tanggal 17 Maret 2017 di Ruang PICU RSUD R. Syamsudin, SH, Sukabumi.
Keluhan utama: Kejang sejak 1 jam SMRS
Keluhan tambahan: Muntah, demam, penurunan kesadaran
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS ke
IGD RS Syamsudin SH. Pasien membawa rujukan dari Rumah Sakit Bhayangkara dengan
diagnosis kejang e.c. suspek meningitis dan hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin yang
diperiksa pada tanggal 15 Maret 2017 dengan hasil Hemoglobin 10,3, Haematokrit 32,
Leukosit 25.400, dan Trombosit 758.000. Alasan rujukan pasien dikarenakan pasien kejang
sehingga tidak ada fasilitas PICU untuk merawat pasien di Rumah Sakit Bhayangkara.
Pada awalnya, pasien demam sejak 1 bulan SMRS. Demam dirasakan tinggi setiap sore
dan menurun jika diberikan obat contrexin demam anak. Demam disertai dengan batuk dan
pilek. Sejak 2 minggu SMRS, ibu pasien mengatakan pasien mulai tampak lemas dan
cenderung mengantuk, namun nafsu makan tetap baik. Lalu pasien dibawa ke praktek dokter
umum, di sana pasien dikatakan lemas karena kurang makan sehingga hanya diberikan
suplemen penambah nafsu makan. Kemudian, sejak 1 minggu SMRS, pasien mulai tampak
jalan sempoyongan. Sejak 1 hari SMRS pasien mulai tampak mengalami penurunan kesadaran,
malas bicara, dan tidak menangis. Pasien makan bubur 1 porsi, kemudian muntah.
Pada hari masuk rumah sakit, sekitar pukul 08.00 pasien mengalami kejang seluruh tubuh
saat digendong dengan mata mendelik ke atas, pasien tampak tidak sadar, dan tidak menangis.
Kejang berlangsung selama ±5 menit, pasien langsung nampak lemas dan tertidur. Kemudian
pada pukul 14.00, kejang kembali terjadi saat pasien sedang tidur, namun hanya pada tubuh
bagian kiri dan berlangsung selama 2 menit. Karakteristik kejang serupa seperti sebelumnya.
Selanjutnya pada sore hari, kejang terjadi lagi pada tubuh sebelah kiri saat pasien sedang tidur
dan berlangsung sekitar 2 menit. Karakteristik kejang serupa seperti sebelumnya. Setelah itu,
pasien langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara. Di sana, pasien juga kejang kaku pada
semua badan dan berlangsung sekitar 5 menit. Pasien diberikan stesolid 5 mg dari rektal lalu
kejang berhenti. Selanjutnya, pasien dirujuk ke RS Syamsudin SH karena perlunya perawatan
intensif dan tidak ada PICU di Rumah Sakit Bhayangkara.
Ibu pasien mengatakan pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 0,5 kg selama
sebulan. Keluhan BAB cair, gangguan berkemih, serta sesak disangkal.
2
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat keluhan serupa : (-)
 Riwayat alergi obat maupun makanan : alergi ikan
 Riwayat konsumsi obat rutin (-)
 Riwayat trauma (-)
 Riwayat operasi (-)
 Riwayat rawat inap di rumah sakit (-)

Riwayat penyakit keluarga:


• Riwayat mengalami keluhan serupa (+)
Kakek dan paman pasien memiliki riwayat TB paru dalam pengobatan
• Riwayat asma disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat diabetes mellitus disangkal
• Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal

Riwayat Makanan
Usia Makanan
0-7 bulan ASI
7 bulan-sekarang SGM, bubur
1,5 tahun Mulai makan nasi cincang
Kesimpulan: Riwayat makanan sesuai dengan usia menurut WHO

3
Status Imunisasi

Kesimpulan : Status Imunisasi dasar lengkap menurut KEMENKES

Riwayat kehamilan dan persalinan:


a. Keadaan kesehatan ibu selama kehamilan : sehat
b. ANC (frekuensi, tempat, pelaksana) : 9 bulan rutin teratur di posyandu
c. Imunisasi Tetanus Toxoid : 1x
d. Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan : tablet Fe, multivitamin, asam folat
e. Kebiasaan : merokok, minuman keras, NAPZA disangkal

Riwayat kelahiran:
a. Tempat persalinan : Rumah
b. Penolong persalinan : Dukun beranak
c. Cara persalinan : Spontan per vaginam
d. Hambatan persalinan : -
e. Masa gestasi : 36 minggu
f. Keadaan bayi :

4
 Berat badan lahir : tidak diukur
 Panjang badan lahir : tidak diukur
 APGAR : tidak diketahui, langsung menangis dan gerakan aktif
 Kuning, sianosis, kejang : disangkal
 Cara reproduksi :
o Usia ibu saat hamil : 21 tahun
o Jumlah anak: 1 (P1A0)
Pohon keluarga:

Ayah, 24 tahun, Ibu, 23 tahun
• Satpam Ibu Rumah Tangga

Pasien, 2 tahun 4 bulan

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di Ruang PICU pada tanggal 17 Maret 2017
Pemeriksaan Antropometri
Berat badan : 11 kg
Panjang badan : 89 cm

5
WFA : -2 – 0 SD
HFA : -2 – 0 SD
WFH : -2 – 1 SD

Kesimpulan : Status gizi cukup/baik menurut WHO


6
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Tampak sakit berat
 Kesadaran : Apatis (E4M5V4)
 Tanda-tanda vital
 Tekanan Darah : 114/79 mmHg (P5: <74 mmHg; P50: 91/55 mmHg; P90:
106/68 mmHg; P95: 110/72 mmHg)
 Nadi : 120 x/menit (N: 80-125 x/menit) Teratur, kuat & penuh
 Laju pernapasan : 36 x/ menit (N: 20-30 x/menit)
 Suhu : 36,5OC (N: 36.5-37.5°C)
 SpO2 : 95%
 Kepala : Normosefali, deformitas (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
2mm/ 2mm, refleks cahaya langsung (+/+) lambat, refleks cahaya tidak langsung (+/+)
lambat
 Hidung : Deviasi septum (-), sekret -/-
 Mulut : Mukosa oral kering
 Telinga : Tidak terdapat sekret yang keluar
 Leher : Trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
 Toraks
• Paru
 Inspeksi : gerakan napas tampak simetris, gerakan otot napas
tambahan (-), retraksi dinding dada (-), pernapasan cuping hidung (-)
 Palpasi : gerakan napas teraba simetris
 Perkusi : sonor
 Auskultasi : bunyi napas bronkovesikuler +/+, ronkhi-/-, wheezing -/-
• Jantung
 Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus cordis tidak teraba
 Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

7
 Abdomen
 Inspeksi : datar, warna kulit sama dengan area di sekitarnya, tidak
ada jejas maupun pelebaran vena
 Auskultasi : Bising usus -
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
 Perkusi : timpani
 Ekstremitas : Akral dingin, CRT< 2 detik, edema (-)
 Kulit : Turgor kulit baik
 Genitalia : Tidak tampak adanya lesi
 Bokong : Anus (+)

Pemeriksaan Neurologis
 Kesadaran : Apatis GCS E4V5M4
 Rangsangan meningeal : Kaku kuduk (+), Kernig (-), Brudzinski 1 dan 2 (-)
 Saraf kranial
 NI : Tidak dilakukan
 N II dan III : Pupil isokor 2mm/2mm, letak pupil di tengah, refleks
cahaya langsung +/+ lambat, refleks cahaya tidak
langsung +/+ lambat
 N III, IV, VI : Gerakan bola mata -, tidak mengikuti arah gerakan jari
 NV : Fungsi sensorik dan motorik wajah -
 N VII : Wajah tampak simetris
 N VIII : Respon suara baik, keseimbangan baik
 N IX,X : Saliva (+), refleks menelan baik
 N XI : Tonus m.trapezius baik dan simetris
 N XII : Lidah simetris, deviasi dan fasikulasi (-)
 Refleks Fisiologis
 Biceps : ++/++
 Triceps : ++/++
 Patela : ++/++  hiperefleks
 Achilles : ++/++
 Refleks Patologis
 Babinski : +/+

8
 Chaddock : +/+
 Gordon : -/-
 Schaeffer : -/-
 Oppenheim : -/-
 Klonus : +/+
 Otonom
 BAB (-), BAK (+)
RESUME
An. AG, laki-laki usia 2 tahun 4 bulan
Pasien datang dibawa oleh Ibunya ke Poli Anak RS Syamsudin SH dengan keluhan kejang
sejak 1 jam SMRS. Sejak 1 hari SMRS, pasien mengalami penurunan kesadaran, malas bicara,
dan tidak menangis Pasien membawa rujukan dari RS Bhayangkara dengan diagnosis kejang
e.c. suspek meningitis dan hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin yang diperiksa pada
tanggal 15 Maret 2017 dengan hasil Haemoglobin 10,3, Leukosit 25.400, Haematokrit 32 dan
Trombosit 758.000. Alasan rujukan pasien dikarenakan kejang sehingga tidak ada fasilitas
PICU untuk merawat pasien di RS Bhayangkara. Ibu pasien juga mengakui pasien mengalami
penurunan nafsu makan dan berat badan sebanyak 0,5 kg dalam sebulan. Ibu pasien
menyangkal adanya keluhan lain berupa BAB cair, gangguan berkemih atau sesak pada
anaknya.
Tanda-tanda Vital (17 Maret, hari rawat ke-3)
 Tekanan Darah : 114/79 mmHg (P5: <74 mmHg; P50: 91/55 mmHg; P90:
106/68 mmHg; P95: 110/72)
 Nadi : 120 x/menit (N: 80-125 x/menit), teratur kuat penuh
 Laju pernapasan : 36 x/ menit (N: 20-30 x/menit)
 Suhu : 36,5OC (N: 36.5-37.5°C)
Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum: tampak sakit berat
• Kesadaran: Apatis (E4V5M4)
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor 2mm/ 2mm, refleks
cahaya langsung (+/+) lambat, refleks cahaya tidak langsung (+/+) lambat
 Mulut : mukosa oral kering
 Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), timpani, bising usus -
 Ekstremitas : akral dingin, CRT< 2 detik, edema (-)

9
 Pemeriksaan Neurologis:
 Rangsangan meningeal : Kaku kuduk (+)
 Refleks Fisiologis
 Biceps : ++/++
 Triceps : ++/++
 Patela : ++/++  hiperefleks
 Achilles : ++/++
 Refleks Patologis
 Babinski : +/+
 Chaddock : +/+
 Klonus : +/+
 Paru, Jantung : dalam batas normal

DIAGNOSIS BANDING
 Meningitis TB
 Meningitis viral
 Meningitis bakterialis
 Ensefalitis

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit, Trombosit)
 Glukosa Darah Sewaktu
 Elektrolit
 Fungsi hati (SGOT, SGPT)
 Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
 Foto thorax
 Lumbal Pungsi

10
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 15 Maret 2017

Pemeriksaan Nilai Normal Hasil

Hemoglobin 10.7 – 14.7 mg/dl 9.8


Hematokrit 35 – 43 % 30
Leukosit 4,000-10,000/μl 36.900
Trombosit 150 – 450 ribu/μl 725.000
Eritrosit 4.4 – 6.0 juta/μ 4.5
Indeks Eritrosit:
73 – 101 fL 67
 MCV
24 – 30 pg 22
 MCH
26 – 34 g/dL 33
 MCHC
Kimia Klinik
GDS 60-100 mg/dl 119
Elektrolit
Natrium (Na) 132-145 mmol/L 128
Kalium (K) 3.1-5.1 mol/L 4.3
Kalsium 8.8-10.8 mg/dL 10.0
Klorida (Cl) 96-111 mmol/L 94

Laboratorium tanggal 16 Maret 2017


Pukul 10.09
Pemeriksaan Nilai Normal Hasil
Kimia Klinik
Fungsi Hati
ALT (SGOT) <48 U/l 26
AST (SGPT) <33 U/l 42
Fungsi Ginjal
Ureum <48 mg/dL 17
Kreatinin 0-1 mg/dL 0.23

11
Hasil Tes Nonne Pandy (16 Maret 2017)

Laboratorium tanggal 17 Maret 2017


Pukul 13.10

Pemeriksaan Nilai Normal Hasil


Cairan tubuh
Mikroskopis
Jumlah Sel Leukosit 100 sel/µL
Hitung Jenis
 PMN 45%

 MN 55%
Protein Cairan 15-40 mg/dL 4220
Glukosa Cairan 50-80 mg/dL 47
Makroskopis
 Volume mL 3

 Warna Kuning Jernih


 Bekuan Negatif
Nonne Negatif Positif
Pandy Negatif Positif

Mikrobiologi
BTA Negatif

12
Hasil Foto Thorax (16 Maret 2017 diekspertise 21 Maret 2017)

Kesimpulan:
 Limfadenopati perihiler kanan
dan kiri e.c menyokong TB
paru aktif
 Tidak tampak kardiomegali

DIAGNOSIS KERJA
An.AG, laki-laki usia 2 tahun 4 bulan, berat badan 11 kg, dan tinggi badan 89 cm, dengan:
- Meningitis TB
- Status Gizi baik menurut WHO
- Status Imunisasi lengkap menurut KEMENKES

TATA LAKSANA
 Tatalaksana umum:
o Rawat PICU
o IVFD Kaen Mg3 10 tetes/menit
o Sonde 8x5 cc
 Tatakaksana khusus:
o Ceftriaxone 1x1 gr IV
o Streptomicin 1x300 mg IV
o OAT 1x2 tab PO
o Dexamethasone 3x2mg IV
o Ranitidin 2x12mg IV
o Acyclovir 4x100 mg PO
o Lumbal Puncture

13
o Ro Thorax
PROGNOSIS
 Quo ad vitam : malam
 Quo ad fungsionam : malam
 Quo ad sanasionam : malam

FOLLOW UP :

Tanggal Subject Object Assessment Planning

15 Maret Penurunan KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia  Rawat PICU
2017 kesadaran Kesadaran:E1M2V1 2 tahun 4 bulan, berat  O2 nasal 2 lpm
TD: 110/80 mmHg badan 11 kg, dan  IVFD Kaen Mg3
HR: 127x/menit tinggi badan 89 cm, 900cc/24 jam
RR: 29x/menit dengan:  OGT puasa
Suhu: 36oC - Suspek meningitis  Ranitidin 2x12mg
SpO2: 93% - Sepsis+elektrolit IV
Mata: konjungtiva imbalance  Ampicillin 4x1 gr
anemis (+/+), sklera - Status gizi baik IV
ikterik (-/-), mata cekung menurut WHO
 Colsansetin 4x200
(-/-), pupil isokor - Status Imunisasi
mg IV
2mm/2mm lengkap menurut
 Deksamethasone
Mulut: mukosa oral KEMENKES
4x2 mg IV
basah
Paru: gerak napas  Acyclovir 4x100
mg PO
tampak dan teraba
simetris, vesikuler +/+,  Cek SGOT,
rhonki +/+, wheezing -/- SGPT, ureum,
Abdomen: tampak datar, kreatinin
BU (+), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s
Pemeriksaan neurologis :
DBN
16 Maret  Muntah (+) 10 KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia  Rawat PICU
2017 cc (keruh) Kesadaran: Apatis 2 tahun 4 bulan, berat  IVFD Kaen Mg3
 Demam – (E4M5V4) badan 11 kg, dan 10 tetes/menit
 Kejang – TD: 102-116/66-83 tinggi badan 89 cm,  Sonde 8x5 cc
 BAB – mmHg dengan:  Ceftriaxone 1x1
 BAK  + HR: 84-117x/menit - Suspek meningitis gr IV
banyak 250 cc RR: 24-39x/menit o
TB  Streptomicin
 Makan & minum Suhu: 36,8-37,1 C - Status gizi baik 1x300 mg IV
 puasa SaO2 : 90-95% menurut WHO  OAT 1x2 tab PO
Mata: konjungtiva - Status Imunisasi
 Dexamethasone
anemis (+/+), sklera lengkap menurut 3x2mg IV
ikterik (-/-), mata cekung KEMENKES
(-/-), pupil isokor

14
3mm/3mm, reflex cahaya  Ranitidin 2x12mg
langsung dan tak IV
langsung +/+ lambat
Mulut: mukosa oral  Acyclovir 4x100
kering mg PO
Paru: gerak napas  Lumbal Puncture
tampak dan teraba  Ro Thorax
simetris, vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: tampak datar,
BU (-), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s
Pemeriksaan neurologis :
 Refleks fisiologis:
 +++/+++
(hiperrefleks)
 Refleks patologis:
Babinski +/+,
Chaddock +/+, klonus
+/+, kaku kuduk +/+
17 Maret  Muntah - KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia  Rawat PICU
2017  Demam – Kesadaran: Apatis 2 tahun 4 bulan, berat  IVFD Kaen Mg3
 Kejang – (E4M5V4) badan 11 kg, dan 10 tetes/menit
 BAB – TD: 70-122/46-80 tinggi badan 89 cm,  Sonde 8x5 cc
 BAK  +820 cc mmHg dengan:  Ceftriaxone 1x1
 Makan puasa HR: 74-146x/menit - Meningitis TB gr IV
RR: 20-58x/menit - Status gizi baik  Streptomicin
 Minum  sonde o
Suhu: 36-36,8 C menurut WHO 1x300 mg
30 cc (mulai dari
SaO2 : 91-96% - Status Imunisasi  OAT 1x2 tab
pukul 15.00) 
Mata: konjungtiva lengkap menurut
air putih 10 cc,  Dexamethasone
anemis (+/+), sklera KEMENKES
PASI 20 cc 3x2mg
ikterik (-/-), mata cekung
 Retensi 30 cc  Ranitidin 2x12mg
(-/-), pupil isokor
cokelat IV
3mm/3mm, reflex cahaya
langsung dan tak
langsung +/+ lambat
Mulut: mukosa oral
kering
Paru: gerak napas
tampak dan teraba
simetris, vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: tampak datar,
BU (-), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s

15
Pemeriksaan neurologis :
 Refleks fisiologis:
+++/+++
(hiperrefleks)
 Refleks patologis:
Babinski +/+,
Chaddock +/+, klonus
+/+, kaku kuduk +/+
18 Maret  Muntah - KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia  Rawat PICU
2017  Demam – Kesadaran: Apatis 2 tahun 4 bulan, berat  IVFD Kaen Mg3
 Kejang – (E4M5V4) badan 11 kg, dan 1000 cc/24 jam
 BAB – TD: 86-139/42-91 tinggi badan 89 cm,  Sonde 8x5 cc
 BAK  +470 cc mmHg dengan:  Ceftriaxone 1x1
 Makan puasa HR: 100-145x/menit - Meningitis TB gr IV
RR: 12-42x/menit - Status gizi baik  Streptomicin
 Minum  sonde o
Suhu: 36,1-36,8 C menurut WHO 1x300 mg
40 cc bilas
SaO2 : 92-99% - Status Imunisasi  OAT 1x2 tab
lambung dengan
Mata: konjungtiva lengkap menurut
NaCl  Dexamethasone
anemis (+/+), sklera KEMENKES
 Retensi 40 cc 3x2mg
ikterik (-/-), mata cekung
cokelat  Ranitidin 2x12mg
(-/-), pupil isokor
IV
3mm/3mm, reflex cahaya
langsung dan tak
langsung +/+ lambat
Mulut: mukosa oral
basah
Paru: gerak napas
tampak dan teraba
simetris, vesikuler +/+,
rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen: tampak datar,
BU (-), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s
Pemeriksaan neurologis :
 Refleks fisiologis:
+++/+++
(hiperrefleks)
 Refleks patologis:
Babinski +/+,
Chaddock +/+, klonus
+/+, kaku kuduk +/+

16
BAB II
ANALISA KASUS

Kasus Gejala menurut Teori


Pendekatan Diagnosis Anamnesis Anamnesis
Pada awalnya, pasien demam sejak 1 bulan SMRS. Stadium Awal (Stadium I)
Demam disertai dengan batuk dan pilek. Sejak 2 Didominasi oleh gejala gastrointestinal, tidak terlihat manifestasi neurologis,
minggu SMRS, ibu pasien mengatakan pasien mulai berlangsung ±2 mgg. Anak dapat apatis atau iritabel dengan sakit kepala yang hilang
tampak lemas dan cenderung mengantuk, namun muncul, kenaikan suhu yang ringan, anoreksia, mual, muntah.
nafsu makan tetap baik. Kemudian, sejak 1 minggu
SMRS, pasien mulai tampak jalan sempoyongan. Stadium II
Anak terlihat mengantuk dan mengalami disorientasi dengan
Sejak 1 hari SMRS, pasien tampak tanda iritasi meningen. Refleks fisiologis ↑, refleks abdominal
mulai
mengalami penurunan kesadaran, malas bicara,
menghilang dan klonus. Dijumpai keterlibatan saraf kranial III, VI, dan VII
dan tidak menangis. Pasien makan bubur 1 porsi,
kemudian muntah.
Stadium III
Anak dapat dalam keadaan koma atau terdapat periode yang
Pasien datang dibawa oleh Ibunya ke Poli Anak RS
Syamsudin SH dengan keluhan kejang sejak 1 hilang muncul dari penurunan kesadaran. Refleks cahaya pupil↓.

jam SMRS. Dapat ditemukan spasme klonik rekuren dari ekstremitas,


pernapasan ireguler, dan demam tinggi. Hidrosefalus terjadi pada
⅔ penderita yang infeksinya sudah berjalan >3 bl dan tidak diterapi adekuat
Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Fisik :

17
 Keadaan umum: tampak sakit berat  Pemeriksaan neurologis :
 Kesadaran: Apatis (E4V5M4)  kaku kuduk (+)
 Rangsang meningen: Brudzinski (sensitivitas : 5%) and Kernig (sensitivitas :
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-
5%)
/-), pupil isokor 2mm/ 2mm, refleks cahaya  Tanda neurologis fokal : abnormalitas nervus kranial (3,4,6) menandakan
langsung (+/+) lambat, refleks cahaya tidak peningkatan TIK, refleks asimetris
 Peningkatan lingkar kepala  komplikasi seperti hidrosefalus, efusi subdural
langsung (+/+) lambat
 Pemeriksaan kardiovaskular: takikardi, hipotensi, keterlambatan pengisian waktu
 Mulut : mukosa oral kering kapiler, nadi lemah.
 Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), timpani,  Gejala lain: distress pernapasan, kejang, infeksi sendi/tulang/kulit
bising usus -
 Ekstremitas : akral dingin, CRT< 2 detik,
edema (-)
 Pemeriksaan Neurologis:
 Rangsangan meningeal : Kaku kuduk (+)
 Refleks Fisiologis
 Biceps : ++/++

 Triceps : ++/++
 Patela : ++/++ hiperefleks
 Achilles: ++/++
 Refleks Patologis
 Babinski : +/+
 Chaddock : +/+
 Klonus : +/+
 Paru, Jantung : dalam batas normal

18
Etiologi Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis Mycobacterium Tuberculosis
Terapi
 Tatalaksana umum:
o Rawat PICU
o IVFD Kaen Mg3 10 tetes/menit
o Sonde 8x5 cc
 Tatakaksana khusus:
o Ceftriaxone 1x1 gr IV
o Streptomicin 1x300 mg IV
o OAT 1x2 tab PO
o Dexamethasone 3x2mg IV
o Ranitidin 2x12mg IV
• Anak-anak >6 minggu harus diberikan terapi empiris berupa vancomycin
o Acyclovir 4x100 mg PO (4x15mg/kg) dan cefotaxime (atau ceftriaxone 100 mg/kg tiap hari)
o Lumbal Puncture
Pada keadaan TB berat:
o Ro Thorax • Tahap intensif: minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin, Pirazinamid,
Etambutol atau Streptomisin).
• Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
• Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid dengan
dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid
adalah 2–4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka
waktu 2–6 minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

19
BAB III
MENINGITIS TUBERKULOSIS

2.1.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)


yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini
merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium,
usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3µ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intraselular patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium
tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah
Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.

2.1.2 Epidemiologi

Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas


dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis
TB terjadi pada setiap 300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB
menghasilkan tingkat tertinggi morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk
tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi perhatian khusus pada anak-anak,
persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB. Dari keselamatan kasus
meningitis tuberkulosis, 50% mengalami kematian, dan penderita yang
selamat bisa mengalami gejala sisa neurologis substansial termasuk
keterlambatan perkembangan pada anak-anak, kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan
saraf kranial.
Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis
yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-

20
20%. Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual.
Di Indonesia, insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada
orang dengan HIV/AIDS. Meningitis tuberkulosis merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai
30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB. Di Indonesia, meningitis
tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak
masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak
kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan
pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur
dibawah 3 bulan.
Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh
kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi
yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis
tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam
kurun waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah
pasien tuberkulosis dewasa. Walaupun bukan negara endemis tuberkulosis,
meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus tuberculosis.

2.1.3 Etiologi

Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis


merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis.
Pada kasus meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti
virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :

21
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyebab Infeksi pada Meningitis
Kategori Agen
Bakteri Pneumococcus Meningococcus Haemophilus
influenza, Staphylococcus Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Virus Enterovirus
Jamur Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
Sumber : Kahan, 2005

2.1.4 Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya meningitis tuberkulosis adalah:
1. Usia (anak-anak > dewasa )
2. Koinfeksi-HIV
3. Malnutrisi
4. Keganasan
5. Penggunaan agen imunosupresif

2.1.5 Klasifikasi
Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas:
Tabel. 2.2. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosis

Stage I  Gejala tidak spesifik: demam, sakit kepala, iritabel, sering mengantuk,
(Fase lemas
Prodromal)  Belum ada defisit neurologi fokal, hanya tidak aktif/hilang tahap
perkembangan
 Berlangsung sekitar 1-2 minggu
Stage II  Gejala umum: letargi, kejang, muntah
(Fase  PF neurologis: kaku kuduk, tanda Kernig (+), tanda Brudzinki (+)
Transisi)  Kelumpuhan saraf kranial
 Tanda-tanda peningkatan TIK: hidrosefalus
 Beberapa anak-anak tidak menunjukkan gejala peradangan meningen,
tapi menunjukkan gejala ensefalitis: disorientasi, gangguan dalam
berjalan, gangguan dalam bicara
 Berlangsung sekitar 1-3 minggu
Stage III  Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat
(Fase  Hemi/paraplegi
Terminal)  Hipertensi
 Deserebrasi postur
 Kemunduran tanda-tanda vital
 Kematian (sekitar 3 minggu)
Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics 20th ed

22
2.1.6 Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater.

Gambar 2.1. Anatomi Lapisan Selaput Otak

Gambar 2.1 Anatomi meningen


Sumber : Schuenke, M., et al. 2007. Atlas of Head and Neuroanatomy. 1st ed. United of
States of America : Thieme.

Lapisan Luar (Dura mater)


Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang
epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan
jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit,
ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada
medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.

` Lapisan Tengah (Araknoid)


Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan
dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan
piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi
cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang
subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan
ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng
seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya,

23
maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid
menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus
venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke
dalam darah dari sinus venosus.

Lapisan Dalam (Pia mater)


Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural
terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan
membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk
jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng
yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat
melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan
saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.

Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal


Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga
dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid
merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi.
Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh
epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel
pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan
serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh
ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang
perivasikular. Hal ini penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan
merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang subaraknoid.
Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan
proteinnya sangat rendah. Selain itu, terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua

24
sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui
ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subaraknoid. Di sini vili araknoid
merupakan jalur utama untuk absorbsi cairan serebrospinal ke dalam sirkulasi vena.
Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar
cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang
mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan
mental dan kelemahan otot.

Mekanisme Terjadinya Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen
dan limfogen ke meningen. Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap.
Mula-mula terjadi inhalasi droplet M. tuberkulosis yang mengandung basil
tuberkel ke dalam alveoli paru. Selanjutnya, basil tuberkel berinteraksi dengan
berbagai makrofag di alveoli. Interaksi ini memicu sel imun untuk melepas
berbagai sitokin dan kemokin, kemudian mengaktivasi T-helper tipe 1 dan
terjadilah pembentukan granuloma. Selama tahap awal infeksi primer, basil
tuberkel menyebar secara limfogen dan terbentuklah kompleks primer. Selain itu,
terbentuk sedikit bakteremia yang dapat menyebar secara hematogen ke berbagai
organ. Penyebaran secara hematogen ini biasa terjadi pada bagian tubuh yang
teroksigenisasi tinggi, termasuk otak.
Tahap kedua dimulai dengan perkembangan lesi tuberkel (fokus Rich) di
meningen, area subpial, atau area subependimal otak. Lesi ini dapat dorman
untuk waktu yang lama. Selanjutnya, pertumbuhan atau perkembangan dari lesi
ini dapat menyebabkan ruptur ke dalam rongga subaraknoid. Lesi ini
menginfiltrasi pembuluh darah kortikomeningeal, memicu inflamasi, obstruksi,
serta infark korteks serebri. Batang otak merupakan area yang memungkinkan
terjadinya perkembangan terbesar lesi ini sehingga sangat umum ditemukan
gangguan pada saraf kranial III, VI, VII.
Lokasi penyebaran lesi tuberkel menentukan tipe perkembangan
penyakitnya dalam sistem saraf pusat. Lesi yang ruptur ke area subaraknoid
menyebabkan meningitis. Bila lesi menyebar ke area otak yang lebih dalam atau
parenkim tulang belakang menyebabkan tuberkuloma atau abses.

25
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatosa di leptomeningen (pia mater
dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung
terkumpul di daerah basal otak. Eksudat dapat mengganggu atau menghambat
aliran normal cairan serebrospinal yang keluar masuk sistem ventrikular pada
tingkat sisterna basilar, sehingga mengarah kepada hidrosefalus, peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi.

Gambar 2.2 Patofisiologi Meningitis TB


Sumber: Isabel, Bini Estela, and Hernández Pando ROGELIO. "Pathogenesis and Immune
Response in Tuberculous Meningitis." The Malaysian Journal of Medical Sciences : MJMS.
Penerbit Universiti Sains Malaysia, Jan. 2014. Web. 27 Mar. 2017.

2.1.8 Diagnosis
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara:

2.1.8.1 Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis
seperti demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti
mual muntah, penurunan nafsu makan, mudah mengantuk,
fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran adanya riwayat
kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi
malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah,
diare, hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga

26
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.

2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis


meningitis adalah pemeriksaan rangsang meningeal, yaitu sebagai
berikut:

1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila
didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh
mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila
ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak
dapat diekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.
3. Brudzinski I
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan di dada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi
disendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
4. Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

27
5. Brudzinski III
Pasien tidur terlentang, tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu
jari pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda
Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas
superior.
6. Brudzinski IV
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu
jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Brudzinski IV positif
(+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.
7. Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diekstensikan kedua
tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya
lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat
tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang
dari 60° pada lansia.

2.8.1.3 Pemeriksaan Penunjang


 Lumbal Pungsi
Merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
menganalisa jumlah sel, glukosa, dan protein cairan cerebrospinal,
dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum
lumbal pungsi ke dalam rongga dura lewat processus spinosus L4-
L5/L5-S1 untuk mengambil cairan serebrospinal. Nilai normal dan
berbagai macam meningitis pada CSF dapat dilihat pada Tabel 2.3.

28
Tabel 2.3 Hasil Analisa Cairan Serebrospinal

Kadar glukosa normal berkisar antara 50-80 mg/dl.


Penurunan kadar glukosa disebabkan karena proses inflamasi dari
bakteri dan sel darah putih dalam cairan serebrospinal sehingga
terjadi disfungsi transporter glukosa ke dalam cairan serebrospinal.
Pada meningitis TB, kadar glukosa menurun tapi tidak sampai
hilang. Sedangkan pada meningitis bakterialis, kadar glukosa dapat
menurun drastic sampai hilang sepenuhnya.
Kadar protein normal berkisar antara 15-40 mg/dl.
Peningkatan kadar protein dalam serebrospinal berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas sawar darah otak sehingga
terjadi kebocoran protein ke dalam cairan serebrospinal.
Peningkatan permeabilitas ini berhubungan dengan proses imun
atau inflamasi pada cairan serebrospinal.
Terdapat 2 cara kualitatif untuk menentukan peningkatan
kadar albumin/globulin dalam cairan serebrospinal, yaitu tes
Nonne dan tes Pandy.
 Tes Nonne
o Dilakukan dengan menambahkan 1 ml larutan
ammonium sulfat jenuh ke dalam 1 ml cairan
serebrospinal. Pembentukan cincin menunjukkan
29
peningkatan kadar albumin/globulin dalam cairan
serebrospinal. Semakin tinggi kadar globulin, semakin
tebal cincin keruh yang terjadi. Tes ini lebih bermakna
daripada tes Pandy karena dalam keadaan normal tes ini
sama sekali tidak ada kekeruhan pada batas cairan.

 Tes Pandy
o Dilakukan dengan menambahkan 2 tetes cairan
serebrospinal ke dalam reagan Pandy (10 gr fenol dalam
150 ml air). Hasil opak atau keruh menunjukkan
peningkatan kadar albumin/globulin dalam cairan
serebrospinal. Tidak ada kekeruhan atau kekeruhan yang
sangat halus berupa kabut menandakan hasil reaksi yang
negatif.

Gambar 2.3 (kiri) Hasil Tes Nonne, (kanan) hasil Tes Pandy positif

 Uji Mantoux/Tuberkulin
Pada anak,uji tuberkulin merupakan pemeriksaan skrining
tuberkulosis yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara
melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux
lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan
PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada
½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan

30
48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi)
yang terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih
dianggap valid. Bila pasien tidak kontrol dalam 96 jam dan
hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux
dinyatakan positif apabila diameter indurasi >10 mm.

Tabel 2.4 Hasil Uji Mantoux


1. Pembengkakan (Indurasi) 0-4mm,uji mantoux negatif.
Arti klinis: tidak ada infeksi M. tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) 3-9mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan Mycobacterium atypical atau setelah
vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) ≥ 10mm,uji mantoux positif.
Arti klinis: sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Sumber : Levin, 2009
2.8.1.4 Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar


glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :
a. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
b. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
c. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap
glukosa pada cairan serebrospinal.
d. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi
organ dan penyesuaian dosis terapi.
e. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.

2.1.8.5 Pemeriksaan Radiologis


1. Foto Toraks
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya
infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia

31
dan tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan karena
kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus
paranasal. Pada penderita dengan meningitis tuberkulosis
umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada
pemeriksaan rontgen toraks, kadang- kadang disertai dengan
penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks
yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis
tuberkulosis.

2. Computed Tomography Scan/Magnetic Resonance Imaging Scan


Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat
menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal,
serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari
pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien meningitis
tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seringnya
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan
adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda dema otak
atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga
ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah
korteks serebri atau thalamus.

2.1.9 Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.

32
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis TB berupa :
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel,
dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semi
dorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi
dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg/kgBB/
hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian
per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak
boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan
tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam
cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan
muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia
dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.

2. Isoniazid (H)
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid
diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari dan diberikan dalam satu
kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet
100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam.
Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan
dapat menembus sawar darah plasenta.

33
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih
banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10
mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.

3. Pirazinamid (Z)
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat
ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml
tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang
timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk
tablet 500 mg.

4. Etambutol (E)
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/
hari, maksimal 1,25 gram/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet
250 mg dan 500 mg.
Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak
pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta
warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada

34
anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak,
etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25
mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat
dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan.

5. Streptomisin (S)
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi
drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar
puncak 45-50 µg / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang,
tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak
menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada
nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran,
dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin
dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan
dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin,
yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek samping yang mungkin
juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan vestibuler.

35
Tabel 2.7. Regimen : RHZE / RHZS

Rifampisin 10-20mg/kg/BB/hari

Isoniazid 7-15mg/kg/BB/hari

Pirazinamid 30-40 mg/kg/BB/hari

Etambutol 15-25 mg/kg/BB/hari

Streptomisin 20 mg/kgBB/hari

Sumber : Pengendalian dan penyakit penyehatan lingkungan KKRI, 2013

Di samping tuberkulostatik, dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan


deksametason.Steroid diberikan untuk menghambat reaksi inflamasi, mencegah
komplikasi infeksi, menurunkan edema serebri, mencegah perlekatan antara
araknoid dan otak, mencegah arteritis/infark otak. Indikasi steroid adalah
penurunan kesadaran serta defisit neurologis fokal. Dosis steroid adalah
deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2
minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.

2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis TB adalah:
- Hidrosefalus
- Cairan subdural
- Abses otak
- Cedera kepala
- Gangguan pendengaran
- Peningkatan tekanan dalam otak (tekanan intrakranial)
- Kerusakan otak
- Kejang
- Serangan otak
- Araknoiditis

36
2.1.11 Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan
perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis
juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci
tangan dengan bersih sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat
dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi
kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas
klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah
penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan ke
lemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang
misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi
juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

2.1.12 Prognosis
Prognosis meningitis TB berhubungan dengan staging penderita. Sebagian
besar penderita pada staging I memiliki prognosis yang sangat baik, sedangkan
sebagian besar penderita pada staging III yang bertahan memiliki disabilitas yang
permanen, seperti kebutaan, tuli, paraplegi, diabetes insipidus, atau retardasi mental.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi,
dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan TIK.
Pengobatan antituberkulosis dapat diberikan pada anak yang menderita
meningitis basiler, hidrosefalus, kelumpuhan saraf kranial, ataupun stroke tanpa
etiologi lain.
Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan
diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningokokal akan
dijumpai gejala sisanya.

37
KESIMPULAN

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini

tinggi dan prognosisnya buruk. Dari keselamatan kasus meningitis tuberkulosis, 50%

mengalami kematian. Pada anak-anak, persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB. Angka

kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun,

Mycobacterium tuberculosis merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya

penyakit meningitis. Klasifikasi dibagi berdasarkan staging. Stage I merupakan fase

prodromal, gejala-gejala khas meningitis TB belum muncul. Stage II merupakan fase transisi,

penderita mulai letargi, PF neurologis positif, kelumpuhan saraf kranial, serta terjadi tanda-

tanda peningkatan TIK seperti hidrosefalus. Sedangkan pada stage III (fase terminal), penderita

sudah koma/stupor. Pada pemeriksaan anamnesa, dapat diketahui trias meningitis, yaitu

demam, kaku kuduk, dan nyeri kepala. Pemeriksaan fisik dapat diketahui dari pemeriksaan

rangsang meningeal dan saraf kranial. Pemeriksaan penunjang yang paling sensitif yaitu

lumbal pungsi dengan kedua tes kualitatifnya (Tes Nonne dan Tes Pandy). Terapi diberikan

melalui 2 tahap, yaitu fase intensif dan lanjutan. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai

5 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

Sedangkan, terapi lanjutan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan rifampisin

hingga 12 bulan. Pencegahan dilakukan dengan imunisasi BCG, fisioterapi, serta rehabilitasi.

Prognosis dapat ditentukan berdasarkan staging. Semakin tinggi staging, maka semakin buruk

pula prognosisnya.

38
Daftar Pustaka
1. Isabel, Bini Estela, and Hernández Pando ROGELIO. "Pathogenesis and Immune
Response in Tuberculous Meningitis." The Malaysian Journal of Medical Sciences :
MJMS. Penerbit Universiti Sains Malaysia, Jan. 2014. Web (cited: 27 Mar. 2017)
2. Rock, R. Bryan, Michael Olin, Cristina A. Baker, Thomas W. Molitor, and Phillip K.
Peterson. "Central Nervous System Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects."
Clinical Microbiology Reviews. American Society for Microbiology (ASM), Apr.
2008. Web. (cited: 27 Mar. 2017).
3. "Tuberculous Meningitis." Background, Pathophysiology, Etiology. N.p., 06 Jan.
2017. (cited: Web. 27 Mar. 2017)
4. Joshi A. Rashmi. Identification of Substances of Biochemical Importance. In: Joshi A.
Rashmi and Manju Saraswat (Eds). A Textbook of Practical Biochemistry. B. Jain
Publishers. New Delhi. 2004; 51.
5. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,
Pennsylvania. 2006.
6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.
7. L Solari et al. International Journal of Infectious Diseases 17 (2013) e1111–e1115

39

Anda mungkin juga menyukai