Pembimbing:
dr. Jeffry Pattisahusiwa, SpA.
Disusun oleh:
Kristabella Gianina (2015-061-210)
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AG
Usia : 2 tahun 4 bulan
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Kp Sugi RT 002/001
Care giver : Orang tua (ibu)
Tanggal Pemeriksaan : 17 – 03 – 2017
Tanggal masuk RS : 15 – 03 – 2017 (IGD pukul 18.27, PICU pukul 21.30)
IDENTITAS ORANGTUA
• Ayah
Nama ayah : Tn. R
Usia : 24 tahun
Alamat : Kp Sugi, Cianjur
Pekerjaan : Satpam
Pendidikan : SMA
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pendapatan : 2,4 juta / bulan
• Ibu
Nama ibu : Ny. R
Usia : 23 tahun
Alamat : Kp Sugi, Cianjur
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pendapatan :-
1
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ayah dan Ibu pasien pada hari Jumat
tanggal 17 Maret 2017 di Ruang PICU RSUD R. Syamsudin, SH, Sukabumi.
Keluhan utama: Kejang sejak 1 jam SMRS
Keluhan tambahan: Muntah, demam, penurunan kesadaran
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS ke
IGD RS Syamsudin SH. Pasien membawa rujukan dari Rumah Sakit Bhayangkara dengan
diagnosis kejang e.c. suspek meningitis dan hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin yang
diperiksa pada tanggal 15 Maret 2017 dengan hasil Hemoglobin 10,3, Haematokrit 32,
Leukosit 25.400, dan Trombosit 758.000. Alasan rujukan pasien dikarenakan pasien kejang
sehingga tidak ada fasilitas PICU untuk merawat pasien di Rumah Sakit Bhayangkara.
Pada awalnya, pasien demam sejak 1 bulan SMRS. Demam dirasakan tinggi setiap sore
dan menurun jika diberikan obat contrexin demam anak. Demam disertai dengan batuk dan
pilek. Sejak 2 minggu SMRS, ibu pasien mengatakan pasien mulai tampak lemas dan
cenderung mengantuk, namun nafsu makan tetap baik. Lalu pasien dibawa ke praktek dokter
umum, di sana pasien dikatakan lemas karena kurang makan sehingga hanya diberikan
suplemen penambah nafsu makan. Kemudian, sejak 1 minggu SMRS, pasien mulai tampak
jalan sempoyongan. Sejak 1 hari SMRS pasien mulai tampak mengalami penurunan kesadaran,
malas bicara, dan tidak menangis. Pasien makan bubur 1 porsi, kemudian muntah.
Pada hari masuk rumah sakit, sekitar pukul 08.00 pasien mengalami kejang seluruh tubuh
saat digendong dengan mata mendelik ke atas, pasien tampak tidak sadar, dan tidak menangis.
Kejang berlangsung selama ±5 menit, pasien langsung nampak lemas dan tertidur. Kemudian
pada pukul 14.00, kejang kembali terjadi saat pasien sedang tidur, namun hanya pada tubuh
bagian kiri dan berlangsung selama 2 menit. Karakteristik kejang serupa seperti sebelumnya.
Selanjutnya pada sore hari, kejang terjadi lagi pada tubuh sebelah kiri saat pasien sedang tidur
dan berlangsung sekitar 2 menit. Karakteristik kejang serupa seperti sebelumnya. Setelah itu,
pasien langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara. Di sana, pasien juga kejang kaku pada
semua badan dan berlangsung sekitar 5 menit. Pasien diberikan stesolid 5 mg dari rektal lalu
kejang berhenti. Selanjutnya, pasien dirujuk ke RS Syamsudin SH karena perlunya perawatan
intensif dan tidak ada PICU di Rumah Sakit Bhayangkara.
Ibu pasien mengatakan pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 0,5 kg selama
sebulan. Keluhan BAB cair, gangguan berkemih, serta sesak disangkal.
2
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat keluhan serupa : (-)
Riwayat alergi obat maupun makanan : alergi ikan
Riwayat konsumsi obat rutin (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat rawat inap di rumah sakit (-)
Riwayat Makanan
Usia Makanan
0-7 bulan ASI
7 bulan-sekarang SGM, bubur
1,5 tahun Mulai makan nasi cincang
Kesimpulan: Riwayat makanan sesuai dengan usia menurut WHO
3
Status Imunisasi
Riwayat kelahiran:
a. Tempat persalinan : Rumah
b. Penolong persalinan : Dukun beranak
c. Cara persalinan : Spontan per vaginam
d. Hambatan persalinan : -
e. Masa gestasi : 36 minggu
f. Keadaan bayi :
4
Berat badan lahir : tidak diukur
Panjang badan lahir : tidak diukur
APGAR : tidak diketahui, langsung menangis dan gerakan aktif
Kuning, sianosis, kejang : disangkal
Cara reproduksi :
o Usia ibu saat hamil : 21 tahun
o Jumlah anak: 1 (P1A0)
Pohon keluarga:
•
Ayah, 24 tahun, Ibu, 23 tahun
• Satpam Ibu Rumah Tangga
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di Ruang PICU pada tanggal 17 Maret 2017
Pemeriksaan Antropometri
Berat badan : 11 kg
Panjang badan : 89 cm
5
WFA : -2 – 0 SD
HFA : -2 – 0 SD
WFH : -2 – 1 SD
7
Abdomen
Inspeksi : datar, warna kulit sama dengan area di sekitarnya, tidak
ada jejas maupun pelebaran vena
Auskultasi : Bising usus -
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
Ekstremitas : Akral dingin, CRT< 2 detik, edema (-)
Kulit : Turgor kulit baik
Genitalia : Tidak tampak adanya lesi
Bokong : Anus (+)
Pemeriksaan Neurologis
Kesadaran : Apatis GCS E4V5M4
Rangsangan meningeal : Kaku kuduk (+), Kernig (-), Brudzinski 1 dan 2 (-)
Saraf kranial
NI : Tidak dilakukan
N II dan III : Pupil isokor 2mm/2mm, letak pupil di tengah, refleks
cahaya langsung +/+ lambat, refleks cahaya tidak
langsung +/+ lambat
N III, IV, VI : Gerakan bola mata -, tidak mengikuti arah gerakan jari
NV : Fungsi sensorik dan motorik wajah -
N VII : Wajah tampak simetris
N VIII : Respon suara baik, keseimbangan baik
N IX,X : Saliva (+), refleks menelan baik
N XI : Tonus m.trapezius baik dan simetris
N XII : Lidah simetris, deviasi dan fasikulasi (-)
Refleks Fisiologis
Biceps : ++/++
Triceps : ++/++
Patela : ++/++ hiperefleks
Achilles : ++/++
Refleks Patologis
Babinski : +/+
8
Chaddock : +/+
Gordon : -/-
Schaeffer : -/-
Oppenheim : -/-
Klonus : +/+
Otonom
BAB (-), BAK (+)
RESUME
An. AG, laki-laki usia 2 tahun 4 bulan
Pasien datang dibawa oleh Ibunya ke Poli Anak RS Syamsudin SH dengan keluhan kejang
sejak 1 jam SMRS. Sejak 1 hari SMRS, pasien mengalami penurunan kesadaran, malas bicara,
dan tidak menangis Pasien membawa rujukan dari RS Bhayangkara dengan diagnosis kejang
e.c. suspek meningitis dan hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin yang diperiksa pada
tanggal 15 Maret 2017 dengan hasil Haemoglobin 10,3, Leukosit 25.400, Haematokrit 32 dan
Trombosit 758.000. Alasan rujukan pasien dikarenakan kejang sehingga tidak ada fasilitas
PICU untuk merawat pasien di RS Bhayangkara. Ibu pasien juga mengakui pasien mengalami
penurunan nafsu makan dan berat badan sebanyak 0,5 kg dalam sebulan. Ibu pasien
menyangkal adanya keluhan lain berupa BAB cair, gangguan berkemih atau sesak pada
anaknya.
Tanda-tanda Vital (17 Maret, hari rawat ke-3)
Tekanan Darah : 114/79 mmHg (P5: <74 mmHg; P50: 91/55 mmHg; P90:
106/68 mmHg; P95: 110/72)
Nadi : 120 x/menit (N: 80-125 x/menit), teratur kuat penuh
Laju pernapasan : 36 x/ menit (N: 20-30 x/menit)
Suhu : 36,5OC (N: 36.5-37.5°C)
Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum: tampak sakit berat
• Kesadaran: Apatis (E4V5M4)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor 2mm/ 2mm, refleks
cahaya langsung (+/+) lambat, refleks cahaya tidak langsung (+/+) lambat
Mulut : mukosa oral kering
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), timpani, bising usus -
Ekstremitas : akral dingin, CRT< 2 detik, edema (-)
9
Pemeriksaan Neurologis:
Rangsangan meningeal : Kaku kuduk (+)
Refleks Fisiologis
Biceps : ++/++
Triceps : ++/++
Patela : ++/++ hiperefleks
Achilles : ++/++
Refleks Patologis
Babinski : +/+
Chaddock : +/+
Klonus : +/+
Paru, Jantung : dalam batas normal
DIAGNOSIS BANDING
Meningitis TB
Meningitis viral
Meningitis bakterialis
Ensefalitis
10
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 15 Maret 2017
11
Hasil Tes Nonne Pandy (16 Maret 2017)
MN 55%
Protein Cairan 15-40 mg/dL 4220
Glukosa Cairan 50-80 mg/dL 47
Makroskopis
Volume mL 3
Mikrobiologi
BTA Negatif
12
Hasil Foto Thorax (16 Maret 2017 diekspertise 21 Maret 2017)
Kesimpulan:
Limfadenopati perihiler kanan
dan kiri e.c menyokong TB
paru aktif
Tidak tampak kardiomegali
DIAGNOSIS KERJA
An.AG, laki-laki usia 2 tahun 4 bulan, berat badan 11 kg, dan tinggi badan 89 cm, dengan:
- Meningitis TB
- Status Gizi baik menurut WHO
- Status Imunisasi lengkap menurut KEMENKES
TATA LAKSANA
Tatalaksana umum:
o Rawat PICU
o IVFD Kaen Mg3 10 tetes/menit
o Sonde 8x5 cc
Tatakaksana khusus:
o Ceftriaxone 1x1 gr IV
o Streptomicin 1x300 mg IV
o OAT 1x2 tab PO
o Dexamethasone 3x2mg IV
o Ranitidin 2x12mg IV
o Acyclovir 4x100 mg PO
o Lumbal Puncture
13
o Ro Thorax
PROGNOSIS
Quo ad vitam : malam
Quo ad fungsionam : malam
Quo ad sanasionam : malam
FOLLOW UP :
15 Maret Penurunan KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia Rawat PICU
2017 kesadaran Kesadaran:E1M2V1 2 tahun 4 bulan, berat O2 nasal 2 lpm
TD: 110/80 mmHg badan 11 kg, dan IVFD Kaen Mg3
HR: 127x/menit tinggi badan 89 cm, 900cc/24 jam
RR: 29x/menit dengan: OGT puasa
Suhu: 36oC - Suspek meningitis Ranitidin 2x12mg
SpO2: 93% - Sepsis+elektrolit IV
Mata: konjungtiva imbalance Ampicillin 4x1 gr
anemis (+/+), sklera - Status gizi baik IV
ikterik (-/-), mata cekung menurut WHO
Colsansetin 4x200
(-/-), pupil isokor - Status Imunisasi
mg IV
2mm/2mm lengkap menurut
Deksamethasone
Mulut: mukosa oral KEMENKES
4x2 mg IV
basah
Paru: gerak napas Acyclovir 4x100
mg PO
tampak dan teraba
simetris, vesikuler +/+, Cek SGOT,
rhonki +/+, wheezing -/- SGPT, ureum,
Abdomen: tampak datar, kreatinin
BU (+), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s
Pemeriksaan neurologis :
DBN
16 Maret Muntah (+) 10 KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia Rawat PICU
2017 cc (keruh) Kesadaran: Apatis 2 tahun 4 bulan, berat IVFD Kaen Mg3
Demam – (E4M5V4) badan 11 kg, dan 10 tetes/menit
Kejang – TD: 102-116/66-83 tinggi badan 89 cm, Sonde 8x5 cc
BAB – mmHg dengan: Ceftriaxone 1x1
BAK + HR: 84-117x/menit - Suspek meningitis gr IV
banyak 250 cc RR: 24-39x/menit o
TB Streptomicin
Makan & minum Suhu: 36,8-37,1 C - Status gizi baik 1x300 mg IV
puasa SaO2 : 90-95% menurut WHO OAT 1x2 tab PO
Mata: konjungtiva - Status Imunisasi
Dexamethasone
anemis (+/+), sklera lengkap menurut 3x2mg IV
ikterik (-/-), mata cekung KEMENKES
(-/-), pupil isokor
14
3mm/3mm, reflex cahaya Ranitidin 2x12mg
langsung dan tak IV
langsung +/+ lambat
Mulut: mukosa oral Acyclovir 4x100
kering mg PO
Paru: gerak napas Lumbal Puncture
tampak dan teraba Ro Thorax
simetris, vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: tampak datar,
BU (-), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s
Pemeriksaan neurologis :
Refleks fisiologis:
+++/+++
(hiperrefleks)
Refleks patologis:
Babinski +/+,
Chaddock +/+, klonus
+/+, kaku kuduk +/+
17 Maret Muntah - KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia Rawat PICU
2017 Demam – Kesadaran: Apatis 2 tahun 4 bulan, berat IVFD Kaen Mg3
Kejang – (E4M5V4) badan 11 kg, dan 10 tetes/menit
BAB – TD: 70-122/46-80 tinggi badan 89 cm, Sonde 8x5 cc
BAK +820 cc mmHg dengan: Ceftriaxone 1x1
Makan puasa HR: 74-146x/menit - Meningitis TB gr IV
RR: 20-58x/menit - Status gizi baik Streptomicin
Minum sonde o
Suhu: 36-36,8 C menurut WHO 1x300 mg
30 cc (mulai dari
SaO2 : 91-96% - Status Imunisasi OAT 1x2 tab
pukul 15.00)
Mata: konjungtiva lengkap menurut
air putih 10 cc, Dexamethasone
anemis (+/+), sklera KEMENKES
PASI 20 cc 3x2mg
ikterik (-/-), mata cekung
Retensi 30 cc Ranitidin 2x12mg
(-/-), pupil isokor
cokelat IV
3mm/3mm, reflex cahaya
langsung dan tak
langsung +/+ lambat
Mulut: mukosa oral
kering
Paru: gerak napas
tampak dan teraba
simetris, vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: tampak datar,
BU (-), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s
15
Pemeriksaan neurologis :
Refleks fisiologis:
+++/+++
(hiperrefleks)
Refleks patologis:
Babinski +/+,
Chaddock +/+, klonus
+/+, kaku kuduk +/+
18 Maret Muntah - KU: tampak sakit berat An.AG, laki-laki usia Rawat PICU
2017 Demam – Kesadaran: Apatis 2 tahun 4 bulan, berat IVFD Kaen Mg3
Kejang – (E4M5V4) badan 11 kg, dan 1000 cc/24 jam
BAB – TD: 86-139/42-91 tinggi badan 89 cm, Sonde 8x5 cc
BAK +470 cc mmHg dengan: Ceftriaxone 1x1
Makan puasa HR: 100-145x/menit - Meningitis TB gr IV
RR: 12-42x/menit - Status gizi baik Streptomicin
Minum sonde o
Suhu: 36,1-36,8 C menurut WHO 1x300 mg
40 cc bilas
SaO2 : 92-99% - Status Imunisasi OAT 1x2 tab
lambung dengan
Mata: konjungtiva lengkap menurut
NaCl Dexamethasone
anemis (+/+), sklera KEMENKES
Retensi 40 cc 3x2mg
ikterik (-/-), mata cekung
cokelat Ranitidin 2x12mg
(-/-), pupil isokor
IV
3mm/3mm, reflex cahaya
langsung dan tak
langsung +/+ lambat
Mulut: mukosa oral
basah
Paru: gerak napas
tampak dan teraba
simetris, vesikuler +/+,
rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen: tampak datar,
BU (-), teraba supel,
nyeri tekan (-),
Ekstremitas: akral
hangat, CRT < 2s
Pemeriksaan neurologis :
Refleks fisiologis:
+++/+++
(hiperrefleks)
Refleks patologis:
Babinski +/+,
Chaddock +/+, klonus
+/+, kaku kuduk +/+
16
BAB II
ANALISA KASUS
17
Keadaan umum: tampak sakit berat Pemeriksaan neurologis :
Kesadaran: Apatis (E4V5M4) kaku kuduk (+)
Rangsang meningen: Brudzinski (sensitivitas : 5%) and Kernig (sensitivitas :
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-
5%)
/-), pupil isokor 2mm/ 2mm, refleks cahaya Tanda neurologis fokal : abnormalitas nervus kranial (3,4,6) menandakan
langsung (+/+) lambat, refleks cahaya tidak peningkatan TIK, refleks asimetris
Peningkatan lingkar kepala komplikasi seperti hidrosefalus, efusi subdural
langsung (+/+) lambat
Pemeriksaan kardiovaskular: takikardi, hipotensi, keterlambatan pengisian waktu
Mulut : mukosa oral kering kapiler, nadi lemah.
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), timpani, Gejala lain: distress pernapasan, kejang, infeksi sendi/tulang/kulit
bising usus -
Ekstremitas : akral dingin, CRT< 2 detik,
edema (-)
Pemeriksaan Neurologis:
Rangsangan meningeal : Kaku kuduk (+)
Refleks Fisiologis
Biceps : ++/++
Triceps : ++/++
Patela : ++/++ hiperefleks
Achilles: ++/++
Refleks Patologis
Babinski : +/+
Chaddock : +/+
Klonus : +/+
Paru, Jantung : dalam batas normal
18
Etiologi Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis Mycobacterium Tuberculosis
Terapi
Tatalaksana umum:
o Rawat PICU
o IVFD Kaen Mg3 10 tetes/menit
o Sonde 8x5 cc
Tatakaksana khusus:
o Ceftriaxone 1x1 gr IV
o Streptomicin 1x300 mg IV
o OAT 1x2 tab PO
o Dexamethasone 3x2mg IV
o Ranitidin 2x12mg IV
• Anak-anak >6 minggu harus diberikan terapi empiris berupa vancomycin
o Acyclovir 4x100 mg PO (4x15mg/kg) dan cefotaxime (atau ceftriaxone 100 mg/kg tiap hari)
o Lumbal Puncture
Pada keadaan TB berat:
o Ro Thorax • Tahap intensif: minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin, Pirazinamid,
Etambutol atau Streptomisin).
• Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
• Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid dengan
dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid
adalah 2–4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka
waktu 2–6 minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
19
BAB III
MENINGITIS TUBERKULOSIS
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
20
20%. Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual.
Di Indonesia, insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada
orang dengan HIV/AIDS. Meningitis tuberkulosis merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai
30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB. Di Indonesia, meningitis
tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak
masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak
kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan
pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur
dibawah 3 bulan.
Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh
kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi
yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis
tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam
kurun waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah
pasien tuberkulosis dewasa. Walaupun bukan negara endemis tuberkulosis,
meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus tuberculosis.
2.1.3 Etiologi
21
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyebab Infeksi pada Meningitis
Kategori Agen
Bakteri Pneumococcus Meningococcus Haemophilus
influenza, Staphylococcus Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Virus Enterovirus
Jamur Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
Sumber : Kahan, 2005
2.1.5 Klasifikasi
Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas:
Tabel. 2.2. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosis
Stage I Gejala tidak spesifik: demam, sakit kepala, iritabel, sering mengantuk,
(Fase lemas
Prodromal) Belum ada defisit neurologi fokal, hanya tidak aktif/hilang tahap
perkembangan
Berlangsung sekitar 1-2 minggu
Stage II Gejala umum: letargi, kejang, muntah
(Fase PF neurologis: kaku kuduk, tanda Kernig (+), tanda Brudzinki (+)
Transisi) Kelumpuhan saraf kranial
Tanda-tanda peningkatan TIK: hidrosefalus
Beberapa anak-anak tidak menunjukkan gejala peradangan meningen,
tapi menunjukkan gejala ensefalitis: disorientasi, gangguan dalam
berjalan, gangguan dalam bicara
Berlangsung sekitar 1-3 minggu
Stage III Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat
(Fase Hemi/paraplegi
Terminal) Hipertensi
Deserebrasi postur
Kemunduran tanda-tanda vital
Kematian (sekitar 3 minggu)
Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics 20th ed
22
2.1.6 Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater.
23
maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid
menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus
venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke
dalam darah dari sinus venosus.
24
sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui
ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subaraknoid. Di sini vili araknoid
merupakan jalur utama untuk absorbsi cairan serebrospinal ke dalam sirkulasi vena.
Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar
cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang
mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan
mental dan kelemahan otot.
25
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatosa di leptomeningen (pia mater
dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung
terkumpul di daerah basal otak. Eksudat dapat mengganggu atau menghambat
aliran normal cairan serebrospinal yang keluar masuk sistem ventrikular pada
tingkat sisterna basilar, sehingga mengarah kepada hidrosefalus, peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi.
2.1.8 Diagnosis
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara:
2.1.8.1 Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis
seperti demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti
mual muntah, penurunan nafsu makan, mudah mengantuk,
fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran adanya riwayat
kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi
malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah,
diare, hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
26
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.
1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila
didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh
mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila
ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak
dapat diekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.
3. Brudzinski I
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan di dada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi
disendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
4. Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
27
5. Brudzinski III
Pasien tidur terlentang, tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu
jari pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda
Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas
superior.
6. Brudzinski IV
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu
jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Brudzinski IV positif
(+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.
7. Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diekstensikan kedua
tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya
lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat
tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang
dari 60° pada lansia.
28
Tabel 2.3 Hasil Analisa Cairan Serebrospinal
Tes Pandy
o Dilakukan dengan menambahkan 2 tetes cairan
serebrospinal ke dalam reagan Pandy (10 gr fenol dalam
150 ml air). Hasil opak atau keruh menunjukkan
peningkatan kadar albumin/globulin dalam cairan
serebrospinal. Tidak ada kekeruhan atau kekeruhan yang
sangat halus berupa kabut menandakan hasil reaksi yang
negatif.
Gambar 2.3 (kiri) Hasil Tes Nonne, (kanan) hasil Tes Pandy positif
Uji Mantoux/Tuberkulin
Pada anak,uji tuberkulin merupakan pemeriksaan skrining
tuberkulosis yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara
melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux
lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan
PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada
½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan
30
48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi)
yang terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih
dianggap valid. Bila pasien tidak kontrol dalam 96 jam dan
hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux
dinyatakan positif apabila diameter indurasi >10 mm.
31
dan tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan karena
kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus
paranasal. Pada penderita dengan meningitis tuberkulosis
umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada
pemeriksaan rontgen toraks, kadang- kadang disertai dengan
penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks
yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis
tuberkulosis.
2.1.9 Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.
32
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis TB berupa :
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel,
dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semi
dorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi
dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg/kgBB/
hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian
per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak
boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan
tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam
cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan
muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia
dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.
2. Isoniazid (H)
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid
diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari dan diberikan dalam satu
kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet
100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam.
Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan
dapat menembus sawar darah plasenta.
33
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih
banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10
mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
3. Pirazinamid (Z)
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat
ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml
tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang
timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk
tablet 500 mg.
4. Etambutol (E)
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/
hari, maksimal 1,25 gram/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet
250 mg dan 500 mg.
Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak
pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta
warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada
34
anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak,
etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25
mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat
dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan.
5. Streptomisin (S)
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi
drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar
puncak 45-50 µg / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang,
tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak
menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada
nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran,
dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin
dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan
dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin,
yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek samping yang mungkin
juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan vestibuler.
35
Tabel 2.7. Regimen : RHZE / RHZS
Rifampisin 10-20mg/kg/BB/hari
Isoniazid 7-15mg/kg/BB/hari
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis TB adalah:
- Hidrosefalus
- Cairan subdural
- Abses otak
- Cedera kepala
- Gangguan pendengaran
- Peningkatan tekanan dalam otak (tekanan intrakranial)
- Kerusakan otak
- Kejang
- Serangan otak
- Araknoiditis
36
2.1.11 Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan
perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis
juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci
tangan dengan bersih sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat
dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi
kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas
klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah
penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan ke
lemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang
misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi
juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.
2.1.12 Prognosis
Prognosis meningitis TB berhubungan dengan staging penderita. Sebagian
besar penderita pada staging I memiliki prognosis yang sangat baik, sedangkan
sebagian besar penderita pada staging III yang bertahan memiliki disabilitas yang
permanen, seperti kebutaan, tuli, paraplegi, diabetes insipidus, atau retardasi mental.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi,
dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan TIK.
Pengobatan antituberkulosis dapat diberikan pada anak yang menderita
meningitis basiler, hidrosefalus, kelumpuhan saraf kranial, ataupun stroke tanpa
etiologi lain.
Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan
diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningokokal akan
dijumpai gejala sisanya.
37
KESIMPULAN
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini
tinggi dan prognosisnya buruk. Dari keselamatan kasus meningitis tuberkulosis, 50%
mengalami kematian. Pada anak-anak, persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB. Angka
kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun,
prodromal, gejala-gejala khas meningitis TB belum muncul. Stage II merupakan fase transisi,
penderita mulai letargi, PF neurologis positif, kelumpuhan saraf kranial, serta terjadi tanda-
tanda peningkatan TIK seperti hidrosefalus. Sedangkan pada stage III (fase terminal), penderita
sudah koma/stupor. Pada pemeriksaan anamnesa, dapat diketahui trias meningitis, yaitu
demam, kaku kuduk, dan nyeri kepala. Pemeriksaan fisik dapat diketahui dari pemeriksaan
rangsang meningeal dan saraf kranial. Pemeriksaan penunjang yang paling sensitif yaitu
lumbal pungsi dengan kedua tes kualitatifnya (Tes Nonne dan Tes Pandy). Terapi diberikan
melalui 2 tahap, yaitu fase intensif dan lanjutan. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai
5 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Sedangkan, terapi lanjutan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan. Pencegahan dilakukan dengan imunisasi BCG, fisioterapi, serta rehabilitasi.
Prognosis dapat ditentukan berdasarkan staging. Semakin tinggi staging, maka semakin buruk
pula prognosisnya.
38
Daftar Pustaka
1. Isabel, Bini Estela, and Hernández Pando ROGELIO. "Pathogenesis and Immune
Response in Tuberculous Meningitis." The Malaysian Journal of Medical Sciences :
MJMS. Penerbit Universiti Sains Malaysia, Jan. 2014. Web (cited: 27 Mar. 2017)
2. Rock, R. Bryan, Michael Olin, Cristina A. Baker, Thomas W. Molitor, and Phillip K.
Peterson. "Central Nervous System Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects."
Clinical Microbiology Reviews. American Society for Microbiology (ASM), Apr.
2008. Web. (cited: 27 Mar. 2017).
3. "Tuberculous Meningitis." Background, Pathophysiology, Etiology. N.p., 06 Jan.
2017. (cited: Web. 27 Mar. 2017)
4. Joshi A. Rashmi. Identification of Substances of Biochemical Importance. In: Joshi A.
Rashmi and Manju Saraswat (Eds). A Textbook of Practical Biochemistry. B. Jain
Publishers. New Delhi. 2004; 51.
5. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,
Pennsylvania. 2006.
6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.
7. L Solari et al. International Journal of Infectious Diseases 17 (2013) e1111–e1115
39