Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang masalah


Batuk darah ialah batuk disertai darah baik sedikit maupun banyak,
berasal dari parenkim paru atau struktur saluran napas bagian bawah dan bukan
berasal dari saluran napas atas maupun saluran pencernaan.(1,2)
Sejak jaman Hipocrates hingga tahun 1900 batuk darah hampir selalu
dianggap sebagai gejala khas tuberkulosis Paru, baru kemudian berkat
kemajuan teknologi dan keterampilan diagnostik dapat dipastikan penyakit-
penyakit lain sebagai penyebab terjadinya batuk darah.(1,2)
Kelainan penyakit saluran pernapasan sering dimanifestasikan berupa
gejala-gejala seperti sakit dada, sesak napas, batuk berdahak, bahkan batuk
disertai darah. Keluhan batuk paling sering didapatkan dan kadang belum
mendorong penderita untuk pergi ke dokter, pada umumnya penderita segera
pergi ke dokter bila batuknya disertai darah baik sedikit maupun dalam jumlah
yang banyak. Mereka terdorong oleh kecemasan bahkan ketakutan yang
berlebihan.(10,11)
Batuk darah atau hemoptoe dapat merupakan keadaan yang tidak
termasuk dalam kegawatan, namun sebaliknya pada keadaan tertentu harus
segera ditangani sebab dapat menimbulkan kematian. Dengan demikian sangat
perlu diketahui kriteria hemoptoe yang tidak segera perlu penanganan dan yang
memerlukan penanganan segera secara adekuat.(1,2)
Hemoptoe yang merupakan kegawatan paru paling sering terjadi
dibandingkan hemoptoe yang bukan merupakan kegawatan paru. Tingkat
kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh tiga faktor :(10,11)
 Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah yang
menyumbat sebagian besar saluran pernapasan. Terjadinya asfiksia ini
tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi, serta oleh refleks batuk
yang berkurang atau terjadinya kecemasan dimana pasien takut untuk
mengeluarkan darah dan saluran pernapasan.

1
 Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock), bila perdarahan
yang terjadi cukup banyak disebut dengan hemoptisis masif dimana
terdapat beberapa kriteria, antara lain:
- Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila jumlah
perdarahan yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24 jam.
- Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila jumlah
perdarahan yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.
 Adanya pneumonia aspirasi, yakni suatu keadaan dimana masuknya
bekuan darah maupun sisa – sisa darah ke dalam jaringan paru bersamaan
dengan inspirasi.

II. Tujuan penulisan


Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk dapat mengetahui
definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnostik, terapi, dan komplikasi
yang terjadi serta prognosis pada hemoptoe.

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. Definisi
Berbagai pendapat telah dikemukakan mengenai definisi hemoptoe
yang pada dasarnya hampir sama.
Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah
(10)
atau sputum yang berdarah. Batuk darah adalah batuk yang disertai
pengeluaran darah dari paru atau saluran pernapasan. (11)
Hemoptoe atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak
mengandung darah, berasal dari saluran napas di bawah pita suara. (3)

II. Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis


Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk
darah (hemoptoe) bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka
pada batuk darah (hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut :
(12,13)

Tanda-tanda batuk darah:


1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam
saluran napas
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari
kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman
5. pH alkalis
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru
Tanda-tanda muntah darah :
1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah
2. Suara napas tidak ada gangguan

3
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa
makanan
5. pH asam
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis

III. Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : (4)
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh
karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah (5) :
1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpasture’s syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechet’s syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma

4
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.
Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3
kelompok yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. (6)
Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara lain :
tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis
paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab yang sering
didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab
yang sering didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis. (6)

I. Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis
dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma
Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan
pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya
aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan
autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang
merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari
perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah
menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk
menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru

5
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada
pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar
seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpasture’s syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal
dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal
dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis
disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini
terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan
pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan
hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.

II. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah (14) :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung
fasilitas penegakan diagnosis.
Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur
sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga
prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.

6
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.

2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan


Pada prinsipnya berasal dari :
a. Saluran napas
Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia
dan abses paru.
Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis
paru, karsinoma paru dan bronkiektasis.
Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis,
penyakit oleh karena cacing.
b. Sistem kardiovaskuler
Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
c. Lain-lain
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti
hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus
sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat
antikoagulan.
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat
dibagi atas (4) :
1. Bercak (streaking ). Darah bercampur dengan sputum- hal yang sering
terjadi. Paling umum pada brongkhitis. Volume darah kurang dari 15 – 20
ml/24 jam
2. Hemoptisis. Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah yang
dibatukkan 20-600 ml dalam 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk
penyakit tertentu, hal ini berarti pendarahan dari pembuluh darah yang

7
lebih besar dan biasanya karena kangker paru, pneumonia ( necrotizing
pneumonia), TB, atau emboli paru
3. Hemoptisis massif. Darah yang di batukkan dalam waktu 24 jam lebih
dari 600 ml ,biasanya karena kangker paru, kavitas pada TB atau
bronkhiektasis.
4. Pseudohemoptisis. Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur
saluran naas bagian atas ( di atas laring) atau dari saluran cerna bagian atas
(gastrointestinal) atau hal ini dapat berupa pendarahan buatan (factitious).
Perdarahan yang terakhir biasanya karena luka disengaja pada bagian
mulut, faring, atau bagian rongga hidung.
Selain klasifikasi diatas, ada beberapa penelitian yang membagi
hemoptisis dengan tiga klasifikasi : Hemoptisis ringan (< 150 ml/hari),
hemoptisis sedang (150-400ml/hari), dan hemoptisis berat (> 400 ml/hari).
Hemoptisis dikatakan dapat mengancam jiwa jika jumlah darah yang
dibatukkan mencapai 200 ml dalam satu episode batuk.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga
mempunyai kelemahan oleh karena :
• Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan
kadang-kadang dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk
menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
• Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama
dengan tinja, sehingga tidak ikut terhitung
• Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh :
• Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada
renjatan hipovolemik (hypovolemik shock).
• Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus
yang dapat dinilai dengan adanya iskemik miokardium, baik
berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada jantung,
maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan
pemantauan terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-
fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan hemoptoe

8
dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa asfiksia,
sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.

Bila terjadi hemoptoe, maka harus dilakukan penilaian terhadap:


• Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
• Lamanya perdarahan.
• Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya
obstruksi.
• Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan
tingkat kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel (7) :
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam
sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang,
positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

III. Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar
bukan dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung.
Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada
hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam.
Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan
yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung. (8)
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu
dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik
maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1. Anamnesis

9
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya
diusahakan untuk mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan
dan batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. (2)
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah. (3)
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat
digunakan petunjuk sebagai berikut (3) :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan
disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)

10
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang
dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising
sistolik dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum
nasalis, teleangiektasi. (3)
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada
setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan
tempat perdarahannya. (3)

4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan
demikian sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik (14)
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat
memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan.
Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi
merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan. (4)
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior,
bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal
sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah
serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan
dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan. (3)

11
Algoritma 1. Sistematika diagnose haemoptisis

IV. Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus
dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis
yang masif.

Tujuan pokok terapi ialah (1,2):


1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi

12
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang
merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis
masif. (9)
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat
kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat
menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan
hipovolemik. (4)
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Terapi konservatif (4)
- Terapi definitif (9) atau pembedahan. (7)

1. Terapi konservatif (4,6)


- Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
(4)
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk
mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. (7)
- Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
- Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam
saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
- Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan
penderita.
- Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
- Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
- Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan
yang terjadi.
- Pemberian oksigen.

13
Tindakan selanjutnya bila mungkin (7) :
- Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
- Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.

2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan
pilihan. (9)
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan (4) :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian
pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut (4) :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari
10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi
selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif
batuk darah tersebut tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru
dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari
segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa
torakoplasti. (7)
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode
yang mungkin digunakan adalah (4) :
- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi
serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan

14
larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama
30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang
8,5 mm.

Algoritma 2. Tatalaksana pasien dengan hemoptisis yang mengancam jiwa

HPT: hemoptisis
CT: Computed Tomography
BAE: Bronkhial artery embolisation

V. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu
ditentukan oleh tiga faktor (4) :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.

15
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke
dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

VI. Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptoe yang rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang
menentukan prognosis :
1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.(1,14)

BAB III
KESIMPULAN

16
1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan
dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusen’s pada dinding kavitas paru disertai
fibrosis perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang masif.
3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab dan
banyaknya darah yang keluar bersama batuk.
4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru,
karsinoma dan bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda harus
dipikirkan pertama – tama tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis, kemudian
stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada usia lebih dari 40 tahun kemungkinan
urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu tuberkulosis, kemudian
bronkiektasis.
5. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan tindakan
terapeutik yang penting pada hemoptisis masif dan harus dikerjakan pada waktu
perdarahan masih berlangsung.
6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya asfiksia,
renjatan hipovolemik dan bahaya aspirasi.
7. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi
kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan
kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif maupun dengan
operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit
dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by the


committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 – 474

2. Amirana, et al. An Aggressive Surgical approach to Significant hemoptysis in


Patients with Pulmonary Tuberculosis Am Rev Respir Dis. 1968. (97) : 187 –
192

3. Soeroso HL. Susilo H. Parhussip RS. Sumari. Usman. Hemoptisis Masif. Cermin
Dunia Kedokteran. 1992. (80) : 90 – 94

4. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201

5. Moxham. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat. Par


East Ed. 1991. 4(14) : 3644 – 3649

6. Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam.


Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987. p. 688

7. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara.


Jakarta. p.19 – 20

8. Crofton SJ. Douglas A. Respiratory Diseasses. 3rd ed. Balckwell Scientific


Publications. Oxford. 1983. P.770 – 771

9. Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical


Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 – 327

10. Price SA.Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit


(Pathophysiology Clinical Consepts of Diseases Processes) alih bahasa Adji
Dharma. EGC. Jakarta. 1984. p. 531.

11. Alsagaff H. Rai IB. Alrasyid SH. Penanggulangan Batuk Darah dalam
Simposium Ilmu Kedokteran Darurat. FK – Unair. Surabaya. 1979. p.162 – 164

12. Buja LM, et al. Pulmonary Alveolar Hemorrhage : A common finding in patiens
with severe cardiac disease. Am J Cardiol, 1971. 27 : 168 – 172

13. Roger SM. Signs and Symptoms. Hemoptysis. 4th ed. JB Lippin- cott Company.
Philadelphia. 1964. Pp. 320 – 323

14. Sluiter HJ, Leerboek Long Ziekten. Van Gorkom, Assen/Maastricht. 1985

18

Anda mungkin juga menyukai