Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hemoptisis atau batuk darah merupakan masalah kesehatan yang berpotensi
menyebabkan kematian karena sulit diprediksi tingkat keparahan dan
perkembangan klinisnya.(15,16) Hemoptisis dalam jumlah yang banyak (masif)
termasuk kegawatan medis yang harus mendapatkan penanganan intensif dengan
terapi yang tepat. Selain dapat mengganggu kestabilan hemodinamik akibat
kehilangan darah dalam jumlah yang banyak, hemoptisis masif juga dapat
mengganggu pertukaran gas di alveoli dan menimbulkan komplikasi asfiksia yang
tinggi angka mortalitasnya.(16,17) Meskipun angka kejadian hemoptisis masif hanya
515% dari total kasus, hal ini harus selalu ditanggapi sebagai suatu kasus yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan dan manajemen yang efektif.(14)
Etiologi hemoptisis yang diketahui saat ini sangat beragam, tidak hanya
infeksi dan kelainan paru, tetapi juga neoplasma, kelainan kardiovaskular,
kelainan hematologi ataupun penyakit sistemik.(17,19) Perbedaan etiologi hemoptisis
terkait letak geografis terutama dipengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis
di suatu negara.(20) Penyebab utama hemoptisis di negara barat adalah keganasan
dan kelainan non tuberkulosis lainnya. Berbeda halnya dengan di negara
berkembang yang sebagian besar endemik tuberkulosis, penyakit tersebut masih
menjadi penyebab utama yang mendasari hemoptisis.(20,21)

1.2 Tujuan Umum


Untuk mengetahui tentang hemoptisis, baik dari etiologi, patofisiologi,
klasifikasi, prognosis dan seta pada penatalaksaaan.

1.3 Tujuan Khusus


Memenuhi tugas dokter muda dalam pemenuhan kredit kepanitraan klinik.
1.4 Batasan Masalah

1
1. Apa yang dimaksud dengan hemoptisis?
2. Apa etiologi hemoptisi?
3. Bagaimana etiologi hemoptisis?
4. Bagaimana cara mengklasifikasi hemoptisis?
5. Bagaimana prognosis hemoptisis?
6. Bagaimana penetalaksaan hemoptisis?

BAB II
PEMBAHASAN

2
2.1 Definisi
Berbagai pendapat telah dikemukakan mengenai definisi hemoptisis yang
pada dasarnya hampir sama. hemoptisis adalah ekspetorasi darah akibat
perdarahan pada saluran napas di bawah laring atau perdarahan yang keluar ke
saluran napas di bawah laring. Batuk darah merupakan tanda atau gejala dari
penyakit dasar. Hemoptisis adalah darah yang keluar dari mulut dengan
dibatukkan. Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk
darah atau sputum yang berdarah.(10) Batuk darah adalah batuk yang disertai
pengeluaran darah dari paru atau saluran pernapasan.(11) Hemoptisis atau batuk
darah adalah ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah, berasal dari
saluran napas di bawah pita suara. (3)

2.2 Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptisis) dapat dibagi atas : (4)
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh
karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah (5) :
1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.

2. Infeksi
a. Aspergilloma.

3
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpastures syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechets syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.

Penyebab hemoptisis banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3


kelompok yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. (6)
Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis,
bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis
mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab yang sering didapat. Pada usia
diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab yang sering didapatkan,
diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis. (6)

2.3 Patofisiologi

4
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi
dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi
pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan
fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna
tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptisis masih
diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen
ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri
bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah
menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk
menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada
pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti
pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpastures syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan
aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang
pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan
pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi
disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal.
Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas

5
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah (14) :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas
penegakan diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita,
berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga
prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
Pada prinsipnya berasal dari :
a. Saluran napas
Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia
dan abses paru. Menurut Bannet, 82 86% batuk darah disebabkan oleh
tuberkulosis paru, karsinoma paru dan bronkiektasis. Yang jarang
dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh
karena cacing.
b. Sistem kardiovaskuler
Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi. Yang jarang adalah
kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.

c. Lain-lain

6
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti
hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus
sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat
antikoagulan.
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi
atas (4) :
1. Hemoptisis masif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam,
akan tetapi Hb kurang dari 10 g%.
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%,
tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti. (4)
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada
hemoptoe selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi
dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan
gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptisis juga
mempunyai kelemahan oleh karena :
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-
kadang dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk menentukan jumlah
darah yang hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja,
sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik (hypovolemik shock).
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat
dinilai dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia,
gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal

7
kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping
menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan
hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa
asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
1. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
2. Lamanya perdarahan.
3. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
4. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat
kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel (7) :
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam
sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang,
positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

2.5 Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar
bukan dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis
sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis
darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari
epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari
penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung. (8)
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu
dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik
maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1. Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan
untuk mendapatkan data-data :

8
Jumlah dan warna darah
Lamanya perdarahan
Batuknya produktif atau tidak
Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
Sakit dada, substernal atau pleuritik
Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi
badan dan batuk
Wheezing
Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. (2)
Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
Perokok berat dan telah berlangsung lama
Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
Hematuria yang disertai dengan batuk darah. (3)
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat
digunakan petunjuk sebagai berikut (3) :
Keadaan Hemoptisis Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan
disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat
mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik

9
dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,
teleangiektasi. (3)
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan
tempat perdarahannya. (3)
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan
demikian sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik (14)
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis,
lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk
melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa
selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih
impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk
fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan. (4)
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat
optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam
membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing,
disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat
terjadinya perdarahan. (3)

2.6 Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis


Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah
(hemoptisis) bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada
batuk darah (hemoptisis) akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut :(12,13)
Tanda-tanda batuk darah:

10
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di
dalam saluran napas
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari
kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman
5. pH alkalis
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru
Tanda-tanda muntah darah :
1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah
2. Suara napas tidak ada gangguan
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa
makanan
5. pH asam
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis
2.7 Penatalaksaan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang
masif.
Tujuan pokok terapi ialah (1,2):
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang
merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis
masif. (9)

11
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan
hemoptosis paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel.
Hemoptisis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat
menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan
hipovolemik. (4)
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
Terapi konservatif (4)
Terapi definitif (9) atau pembedahan. (7)
1. Terapi konservatif (4,6)
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring
(lateral decubitus). (4) Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit
untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. (7)
Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
Batuk secara perlahan lahan untuk mengeluarkan darah di dalam
saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan
penderita.
Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan
yang terjadi.
Pemberian oksigen.
Tindakan selanjutnya bila mungkin (7) :
Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah
dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber
perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. (9)

12
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan (4) :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi
18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut (4) :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam
dantetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan
dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari
segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti. (7)
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode
yang mungkin digunakan adalah (4) :
Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi
serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan
larutan NaCl fisiologis pada suhu 4C sebanyak 50 cc, diberikan selama
30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang
8,5 mm.

2.8 Komplikasi

13
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis, yaitu
ditentukan oleh tiga faktor (4) :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke
dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

2.9 Prognosis
Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptisis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada
beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1. Tingkatan hemoptisis : hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptosis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.(1,14)

BAB III

14
KESIMPULAN

1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran


pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam
etiologi.
2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusens pada dinding kavitas paru disertai
fibrosis perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang masif.
3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab
dan banyaknya darah yang keluar bersama batuk.
4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru,
karsinoma dan bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda harus
dipikirkan pertama tama tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis, kemudian
stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada usia lebih dari 40 tahun
kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu tuberkulosis,
kemudian bronkiektasis.
5. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan
tindakan terapeutik yang penting pada hemoptisis masif dan harus
dikerjakan pada waktu perdarahan masih berlangsung.
6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya
asfiksia, renjatan hipovolemik dan bahaya aspirasi.
7. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki
kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat
menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif
maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya
hemoptisis yang terjadi.
8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam
penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

15
1. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by
the committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 474.
2. Amirana, et al. An Aggressive Surgical approach to Significant hemoptysis in
Patients with Pulmonary Tuberculosis Am Rev Respir Dis. 1968. (97) : 187
192.
3. Soeroso HL. Susilo H. Parhussip RS. Sumari. Usman. Hemoptisis Masif.
Cermin Dunia Kedokteran. 1992. (80) : 90 94.
4. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 201.
5. Moxham. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat. Par
East Ed. 1991. 4(14) : 3644 3649.
6. Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam.
Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987. p. 688.
7. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara.
Jakarta. p.19 20.
8. Crofton SJ. Douglas A. Respiratory Diseasses. 3rd ed. Balckwell Scientific
Publications. Oxford. 1983. P.770 771.
9. Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical
Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 327.
10. Price SA.Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit(Pathophysiology Clinical Consepts of Diseases Processes) alih
bahasa Adji Dharma. EGC. Jakarta. 1984. p. 531.
11. Alsagaff H. Rai IB. Alrasyid SH. Penanggulangan Batuk Darah dalam
Simposium Ilmu Kedokteran Darurat. FK Unair. Surabaya. 1979. p.162
164.
12. Buja LM, et al. Pulmonary Alveolar Hemorrhage : A common finding in
patiens with severe cardiac disease. Am J Cardiol, 1971. 27 : 168 172.
13. Roger SM. Signs and Symptoms. Hemoptysis. 4 th ed. JB Lippin- cott
Company. Philadelphia. 1964. Pp. 320 323.
14. Sluiter HJ, Leerboek Long Ziekten. Van Gorkom, Assen/Maastricht. 1985.
15. Wibisono MJ, Alsagaff H. Batuk darah. Dalam: Wibisono MJ, Winariani,
Hariadi S editor(penyunting). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo; 2010. hlm.
74-87.
16. Swidarmoko B. Batuk darah (Hemoptisis). Dalam: Swidarmoko B, Susanto
AD, editor (penyunting). Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas.

16
Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respirasi FK UI; 2010. hlm.
28-53.
17. Rasmin M. Editorial: Hemoptisis. J Respir Indo. 2009;29(2): 53-4.
18. Sakr L, Dutau H. Massive hemoptysis: An update on the role of
bronchoscopy in diagnosis and management. Respiration. 2010;80:38-58.
19. Kreit JW. Hemoptysis. Dalam: Albert RK, Spiro SG, Jett JR editor
(penyunting). Clinical Respiratory Medicine. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2008. hlm. 311-36.
20. Ashraf O. Hemoptysis, a developing world perspective. BMC Pulmonary
Medicine. 2006; 6:1.
21. Prasad R, Garg R, Singhai S, Srivastava P. Lessons from patients with
hemoptysis attending a chest clinic in India. Ann Thorac Med. 2009;4(1):
10-2.

17

Anda mungkin juga menyukai