yang berdarah.
(10)
Batuk darah adalah batuk yang disertai pengeluaran darah dari paru
III. Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : (4)
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena
jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah (5) :
1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
IV. Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabangcabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila
terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari
perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya
aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi
membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan
dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh,
sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah,
seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada
dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpastures
syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma
Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial.
Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial.
Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan
pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
V. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah (14) :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis.
Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30 tahun, biasanya
perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah
sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
Pada prinsipnya berasal dari :
a. Saluran napas
Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia dan abses
paru.
Menurut Bannet, 82 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis paru,
karsinoma paru dan bronkiektasis.
Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadangkadang dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk menentukan jumlah
darah yang hilang sesungguhnya.
Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja,
sehingga tidak ikut terhitung
Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh :
Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik (hypovolemik shock).
Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai
dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia,
gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal
kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping
menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan
hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa
asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptoe, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
Lamanya perdarahan.
Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel (7) :
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 150 ml
VI. Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari muntahan
dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat.
Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan
sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan
yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung. (8)
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutanurutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga
penanganannya dapat disesuaikan.
1. Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk
mendapatkan data-data :
Jumlah dan warna darah
Lamanya perdarahan
Batuknya produktif atau tidak
Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
Sakit dada, substernal atau pleuritik
Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan
batuk
Wheezing
Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. (2)
Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
Perokok berat dan telah berlangsung lama
Hemoptoe
Rasa tidak enak di
Hematemesis
Mual, stomach distress
2. Onset
disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih
4. Warna
Merah segar
5. Isi
Lekosit, mikroorganisme,
disertai batuk
Tidak berbuih
Merah tua
Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi
Alkalis (pH tinggi)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru
Dahulu
8. Anemi
9. Tinja
kelainan hepar
Selalu
Tinja bisa berwarna
Kadang-kadang
Warna tinja normal
Guaiac test (-)
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari
terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap,
pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis, teleangiektasi. (3)
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita
hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya. (3)
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian
sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
VII. Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya
berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah (1,2):
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan
mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama
kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. (9)
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas
yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling
tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil
dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak
dapat menimbukan renjatan hipovolemik. (4)
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
Terapi konservatif (4)
Terapi definitif (9) atau pembedahan. (7)
1. Terapi konservatif (4,6)
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus).
(4)
Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur
dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl
fisiologis pada suhu 4C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini
kemudian dihisap dengan suction.
Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.
VIII. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan oleh
tiga faktor (4) :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan
renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam
jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
IX. Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami
hemoptoe yang rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan
prognosis :
1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis
yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)
BAB III
KESIMPULAN
1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan dan atau
kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusens pada dinding kavitas paru disertai fibrosis
perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang masif.
3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab dan banyaknya
darah yang keluar bersama batuk.
4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma dan
bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda harus dipikirkan pertama tama
tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis, kemudian stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe
pada usia lebih dari 40 tahun kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik,
lalu tuberkulosis, kemudian bronkiektasis.
5. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan tindakan terapeutik
yang penting pada hemoptisis masif dan harus dikerjakan pada waktu perdarahan masih
berlangsung.
6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya asfiksia, renjatan
hipovolemik dan bahaya aspirasi.
7. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi
kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan kematian.
Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif maupun dengan operasi, tergantung
indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit dasar dan
cepatnya tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by the
committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 474