Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

BATUK DARAH

4.1 Definisi
Batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal dari saluran nafas
di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah hemoptoe atau hemoptisis.(8) Batuk darah lebih
sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit yang mendasari sehingga etiologinya harus
dicari melalui pemeriksaan yang seksama.(9)
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang paling sering terjadi
diantara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh 3
faktor:
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di dalam saluran pernapasan.
Terjadinya asfiksia ini tidak tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi, akan tetapi
ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau terjadinya efek psikis dimana pasien takut
dengan perdarahan yang terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat menimbulkan renjatan
hipovolemik (hypovolemic shock). Bila perdarahan yang terjadi cukup banyak, maka
hemoptisis tersebut digolongkan ke dalam hemoptisis masif walaupun terdapat beberapa
kriteria, antara lain:
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila jumlah
perdarahan yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24 jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila jumlah
perdarahan yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.
c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari
setelah perdarahan. Keadaan ini merupakan keadaan yang gawat, oleh karena baik bagian
jalan napas maupun bagian fungsionil paru tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
akibat terjadinya obstruksi total.(10)

4.2 Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : (8)

19

1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan
sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

Etiologi lain hemoptisis adalah sebagai berikut :(11,12)

1. Batuk darah idiopatik


Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya, dengan
insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya
terjadi pada umur 30-50 tahun kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti spontan dengan
suportif terapi.
2. Batuk darah sekunder
Batuk darah sekunder adalah batuk darah yang diketahui penyebabnya.
a. Oleh karena keradangan, ditandai vaskularisasi arteri bronkiale >4% (normal1%)
1) TB:batuk sedikit-sedikit, masif perdarahannya dan bergumpal.
2) Bronkiektasis : bercampur purulen.
3) Abses paru : bercampur purulen.
4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih.
5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir.
b. Neoplasma
1) Karsinoma paru.
2) Adenoma.
c. Lain-lain
1) Trombo emboli paru infark paru.
2) Mitral stenosis.
3) Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat.
ASD
VSD
4) Trauma dada.

1.

Berdasarkan usia penderita, Pursel membagi batuk darah menjadi:(13)


Anak-anak dan remaja:
b. Bronkiektasis
20

c. Stenosis mitral
d. Tuberkulosis
2. Umur 20 40 tahun:
a. Tuberkulosis
b. Bronkiektasis
c. Stenosis mitral
3. Umur lebih dari 40 tahun:
a. Karsinoma bronkogen
b. Tuberkulosis
c. Bronkiektasis
4.3

Patofisiologi

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabangcabang arteri bronkialis yang berperan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru,juga bila
terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.(10)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut : (11,12)
1. Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena:
a. Adanya Rasmussens aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini telah lama dianut, tetapi
beberapa laporan otopsi lebih membuktikan terdapat hipervaskularisasi bronkus yang
merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari
perdarahan. Setelah

berkembangnya arteriografi dapat dibuktikan bahwa pada setiap

proses paru terjadi hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan arteri pulmonalis dalam
melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh karena itu terdapatnya Rasmussen
aneurisma pada kaverna tuberculosis yang merupakan asal perdarahan diragukan.
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia dari basil tuberkulosa yang
menginfeksi parenkim paru.
2. Batuk darah pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus

atau berasal dari

jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya pembuluh darah kecil pada area tumor
atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner.
3. Batuk darah pada bronkiektasis:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk menyebabkan
perdarahan.
21

b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal dan juga terjadi
aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus yang mengalami
ektasis.
4. Batuk darah pada bronchitis kronis:
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang, terobek oleh mekanisme batuk.
5. Batuk darah pada abses paru:
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar menutup, maka pembuluh
darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat trauma pada saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis, karena tekanan dalam
vena pulmonalis tinggi menyebabkan rupture vena pulmonalis atau distensi kapiler
sehingga butir darah merah masuk ke alveoli.
b. Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di mukosa bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis dan vena bronkialis yang hebat
sehingga tampak seperti varises.
7. Batuk darah pada infark paru:
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi anastomose. Selain itu juga
terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut, akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana
butir-butir darah masuk ke alveoli dan terjadi batuk darah.
8. Batuk darah pada Good Pasture syndrome:
Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu terbentuknya antibody to
glomerular basement membrane (anti GBM Ab) lebih spesifiknya kolagen tipe IV pada
paru sehingga membuat hilangnya keutuhan membranan basalis epithelial-endotelial dan
memudahkan masuknya sel darah merah dan netrofil masuk ke dalam alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur:
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan antikoagulan serta enzim
proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10. Batuk darah pada batuk keras:
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak bercampur di dalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi pada bronkus yang
berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
11. Cedera dada
22

Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam
alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
4.4 Klasifikasi
Klasifikasi menurut Pusel: (14)
+

batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis

++
+++
++++
Massiv

dalam sputum
batuk dengan perdarahan 1 30 ml
batuk dengan perdarahan 30 150 ml
batuk dengan perdarahan 150-500 ml
batuk dengan perdarahan 500-1000 ml atau lebih

e
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.(8)
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada kanker
paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari
saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious).
Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah darah yang keluar menjadi: (14)
1. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7 hari.
2. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7 hari dengan interval 2
sampai 3 hari.
3. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptisis selain terjadi
vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu

23

memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang
dikeluarkan selama hemoptisis juga mempunyai kelemahan oleh karena: (12,13)
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang dengan cairan
lambung, sehingga sukar untuk menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama dengan tinja, sehingga tidak ikut
terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh: (15)
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan adanya
iskemia miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik jantung, maupun
aliran darah serebral.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap: (16)
a.
b.
c.
d.

Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis


Lamanya perdarahan
Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran.
4.5 Manifestasi Klinis
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa perdarahan

tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau
gastrointestinal. Dengan prkataan lain bahwa penderita tersebut benar-benar batuk darahdan
bukanmuntah darah (8). Hal tersebut akan dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan Batuk Darah Dengan Muntah Darah (13)
N
o
1

2
3

Keadaan
Prodromal

Batuk Darah

Muntah Darah

Darah dibatukkan dengan

Darah dimuntahkan

rasa panas di tenggorokan

dengan rasa mual

Onset

Darah dibatukkan, dapat

(Stomach Distress)
Darah dimuntahkan, dapat

Tampilan

disertai dengan muntah


Darah berbuih

disertai dengan batuk


Darah tidak berbuih
24

4
5
6
7

Warna
Isi

Merah segar
Lekosit, mikroorganisme,

Merah tua
Sisa makanan

Ph
Riwayat

hemosiderin, makrofag
Alkalis
Penyakit paru

Asam
Peminum alkohol, ulcus

penyakit dahulu
8
9

(RPD)
Anemis
Tinja

pepticum, kelainan hepar


Kadang tidak dijumpai
Blood test (-) /

Sering disertai anemis


Blood Test (+) /

Benzidine Test (-)

Benzidine Test (+)

Kriteria batuk darah: (12)


1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah sedikitnya 600
ml dalam 24 jam).
4.6 Penegakkan Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran
radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan
urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang
sehinggapenanganannya dapat disesuaikan.(11,12)
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah: (11,15)
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.

25

f.
g.
h.
i.
j.
k.

Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
Wheezing
Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
Perokok berat dan telah berlangsung lama
Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
Hematuria yang disertai dengan batuk darah.

l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.

2. Pemeriksaan fisik (11,12)


Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
1) Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca, bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan keganasan intratorakal dan supurasi
intratorakal (abses paru, bronkiektasis).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderitahemoptisis
masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempatperdarahannya.(14) Pemeriksan foto
thoraks merupakan salah satu komponen penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui
penyebab perdarahan terutama kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan dengan
kaviti, tumor, infiltrat dan atelektasis. Perdarahan intra-alveolar menimbulkan pola
infiltrat retikulonedular. Namun demikian gambaran foto thoraks bisa normal ataupun
tidak informatif.
b. Pemeriksaanbronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab sebagian
c.

penderita bronkiektasis sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto toraks.(8)


Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat diambil dari
dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak langsung).

(8)

Pemeriksaan sputum

yang dapat dilakukan adalah untuk pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam
(BTA). Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita berusia >40 tahun dan
perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan jamur.(17)
26

d. Laboratorium(16)
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut
ii. Leukosit meningkat infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis kanker paru
b. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau pasien menerima
warfarain/heparin
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang jelas dan sianosis.
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan sekaligus untuk
penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum
perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.(8,14)
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :(8)
1) Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2) Batuk darah yang berulang
3) Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasiperdarahan,
maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untukmelakukannya merupakan pendapat
yang masih kontroversial, mengingatbahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan
menimbulkan

batuk

yanglebih

impulsif,

sehingga

dapat

memperhebat

perdarahan

disampingmemperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapatmenilai


bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasiperdarahan.(8)
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optikjauh lebih unggul,
sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalammembersihkan jalan napas dari bekuan
darah serta mengambil benda asing,disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon
khusus di tempatterjadinya perdarahan.(8)
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang diajukan Busroh (1978) :
(13)

1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya
perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapilebih dari 250 cc
/ 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkanbatuk darahnya masih terus
berlangsung.
27

3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapilebih dari 250 cc
/ 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selamapengamatan 48 jam yang disertai
dengan perawatan konservatif batuk darahtersebut tidak berhenti.

4.7 Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah: (13)
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah: (13)
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps kardiovaskuler.
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade perdarahan.
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support kardiopulmoner
danmengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebabutama
kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.(12,13)
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napasyang
menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptisis palingtinggi dan
menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam jumlahkecil dengan refleks
batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlahbanyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik.(12,13)

28

Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :


1. Terapi konservatif
Dasar-dasarpengobatanyangdiberikan sebagai berikut : (11,12,13)
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan dalam posisi duduk,
atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran nafas.
Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali
disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan dalam posisi tidur
miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah
aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada
darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat
pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan sukar berhenti. Untuk
mengurangi batuk dapat diberikan Codein10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif biasanya
gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan
penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam kepustakaan dikatakan
hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks,
vasopresin (Pitrissin)., ascorbic acid dikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan
didalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus.
Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat hemostasis), misalnya vit. K, ion
kalsium, trombin dan karbazokrom. Di beberapa rumah sakit masih memberikan Hemostatika

29

(Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas,
paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat.
d. Mengobati penyakit yang mendasarinya(underlyingdisease)
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu diberikan secara
bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika yang sesuai.
2. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif yang sumber
perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah.
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini
dilakukan atas pertimbangan:
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian padaperdarahan
yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakanoperasi.
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptisis yang berulang
dapat dicegah.
Tindakan bedah meliputi: (17)
1. Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan akibat penyakit dasarnya.
Macam reseksi:
-

Pneumonektomi:
reseksi satu paru seluruhnya
Bilobektomi :
reseksi dua lobus
Lobektomi
:
reseksi satu lobus
Wedgeresection:
reseksi sebagian kecil jaringan paru
Enukleasi
:
bila kelainan patologis kecil dan jinak
Segmentektomi:
reseksi segmen bronkopulmonal
Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru, luasnya operasi dapat
ditentukan sebelum operasi. Prinsipnya adalah mempertahankan sebanyak
mungkin jaringan paru yang dianggap sehat. Luas dan jenis lesi (proses inflamasi,

abses atau kavitas) menentukan jenis reseksi yang akan dilaksanakan.


2. Terapi kolaps: pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisia, torakoplasti, frenikolisis
(membuat paralise N. phrenicus).

30

Terapi kolaps bertujuan untuk mengistirahatkan bagian paru yang sakit dengan cara
membuat kolaps jaringan paru yang sakit tersebut. Pendapat ini benar untuk kelainan berbentuk
kavitas, tetapi cara ini banyak ditinggalkan karena komplikasinya banyak.
Prosedur yang termasuk dalam kelompok terapi kolaps:
-

Pneumotoraks artificial yaitu dengan memasukkan udara ke rongga pleura kemudian secara
bertahap ditambahkan udara sehingga teracapai kolaps pada jaringan paru yang sakit. Bila
paru kolaps maka bagian tersebut dapat istirahat sehingga mempercepat proses
penyembuhan.

Bila

terdapat

adhesi

dan

paru

tidak

dapat

kolaps

dilakukan

intrapleuralpneumonolysis (operasi Jacoboes), tetapi sering terjadi komplikasi perdarahan.


Karena sering terjadi empyema setelah pneumotorak artifisial, tindakan ini sudah tidak
-

dilakukan lagi.
Pneumoperitoneum yaitu tindakan memasukkan udara ke rongga peritoneum dengan tujuan
menaikkan diafragma agar terjadi kolaps pada jaringan paru dengan harapan lesi di apikal

akan menyembuh.
Paralise nervus phrenicus yaitu dengan cara anestesi local nervus phrenicus dibebaskan dari
perlekatannya di M. scalenus anterior, kemudian saraf dirusak (crushed) sehingga timbul
paralise diafragma. Akibatnya akan terjadi elevasi diafragma dan diharapkan apeks paru

dapat diistirahatkan sehingga, terjadi proses penyembuhan.


Torakoplasti yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps paru terjadi dengan cara
menghilangkan supporting framework-nya, misalkan dengan membuang tulang iga dari
dinding dada. Indikasi torakoplasti:
Dulu: torakoplasti hamper selalu dilakukan setelah lobektomi atau pneumonektomi dengan
tujuan meminimalisasi kemungkinan terjadinya over distensi parenkim paru yang tersisa
selain itu dead space akan segera menutup (obliterasi) sehimgga resiko terbentuknya fistula
bronkopleural dan empyema dapat dikurangi.
Sekarang: kebutuhan torakoplasti diragukan dan dilakukan bila direncanakan reseksi lebih
dari 1 lobus atau mengatasi komplikasi tindakan reseksi seperti fistula bronkopleura dan
empiema.
3. Lain-lain: embolisasi artifisial.
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery Embolization (BAE) adalah penyuntikan gel

foam atau polivinil alcohol melalui katerisasi pada arteri bronkialis. Menurut Ingbar embolisasi
31

berhasil menghentikan perdarahan 95%. Dengan meningkatnya penggunaan embolisasi


arteriografi, sekarang penggunaan tindakan pembedahan untuk pengelolaan batuk darah massif
mulai ditinggalkan
4.8 Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita

mengalami

hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang
menentukan prognosis : (8,10,11)
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih
baik.
2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah
yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
a. Hemoptisis <200ml/24jam prognosa baik
b. Profuse masif >600cc/24jamprognosa jelek 85% meninggal

32

Anda mungkin juga menyukai